KOMITE URUSAN LUAR NEGERI
KONGRES AMERIKA SERIKAT
SUB-KOMITE UNTUK ASIA , PASIFIK DAN LINGKUNGAN GLOBAL
ENI F.H. FALEOMAVAEGA (DEMOKRAT-AS)
KETUA
PERNYATAAN DARI YANG TERHORMAT
ENI F.H. FALEOMAVAEGA
SEBELUM KOMITE
“Kejatan terhadap Kemanusiaan: Kapan Militer Indonesia akan Bertanggung Jawab atas Kejahatan Tersistematis yang Dilakukannya di Papua Barat?”
22 September 2010
Sepanjang pengetahuan saya, dengar pendapat (hearing) hari ini sangatlah bersejarah. Dengar Pendapat ini merupakan yang pertama yang pernah diadakan di Kongres AS untuk memberikan suara bagi rakyat Papua Barat.
Sejak 1969, rakyat Papua Barat telah dengan sengaja dan sistematis menjadi korban dari penghancuran etnis (genocide) yang secara perlahan-lahan dilakukan oleh militer Indonesia sedangkan Indonesia selalu menegaskan bahwa soal ini merupakan urusan internal sementara Departemen Luar Negeri Amerika Serikat “mengakui dan menghormati integritas teritorial Indonesia ”. Yang benar adalah ini bukan merupakan masalah integritas wilayah atau urusan dalam negeri, dan catatannya sangat jelas pada bagian ini.
Papua Barat merupakan bekas jajahan Belanda selama sekitar 100 tahun sama dengan Timor Leste yang merupakan bekas jajahan Portugis begitu pula dengan Indonesia yang pernah dijajah Belanda. Oleh karena posisinya sebagai wilayah yang pernah dijajah, Timor Leste mencapai kemerdekaannya terlepas dari Indonesia di tahun 2002 melalui referendum yang diputuskan oleh Perserikatan Bangsa-Bangsa, sekalipun Indonesia serius menolak hak menentukan nasib sendiri dari rakyat Timor Leste.
Sebaliknya, di tahun 1962 Amerika Serikat menekan Belanda untuk mengalihkan kekuasaannya atas Papua Barat kepada PBB. Di bawah kesepakatan yang diatur Amerika Serikat , Indonesia “membuat pengaturan dengan bantuan dan keterlibatan PBB” untuk memberikan kepada rakyat Papua menentukan kemauannya apakah menjadi bagian dari Indonesia atau tidak.
Melalui apa yang dikenal dengan sebutan Aksi Tidak Menyatakan Pendapat (Act of No Choice) yang diadakan tahun 1969, 1025 orang-orang tua Papua Barat dibawah kontrol ketat intelijen dipilih untuk mewakili 809,327 rakyat Papua Barat memutuskan status politik wilayah ini. Disamping adanya pelanggaran serius terhadap Piagam PBB dan referendum yang tidak berdasar, Papua Barat telah dipaksa menjadi bagian dari Indonesia melalui laras senjata.
Sesuai laporan Badan Penelitian Kongres (CRS), “dokumen rahasia yang dikeluarkan pada bulan Juli 2004 menunjukkan bahwa Amerika Serikat mendukung Indonesia mengambil alih Papua dengan mengakali Aksi Penentuan Pendapat di tahun 1969 sekalipun diketahui bahwa hal ini jelas-jelas tidak sesuai kehendak rakyat Papua. Dokumen dimaksud juga mencatat bahwa Amerika Serikat telah memperkirakan jika antara 85% dan 90% rakyat Papua saat itu menentang kekuasaan Indonesia dan akibatnya Indonesia tidak bisa menang dalam referendum yang bersifat terbuka pada waktu transisi kekuasaan daro pemerintah Belanda. Langkah-langkah Amerika dimaksud merupakan bukti penting dukungan kepada Suharto selama Perang Dingin.”
Secara terbuka ditambahkan, sebagai imbalan terhadap sikap anti-komunisnya Suharto, Amerika Serikat telah menghancurkan harapan dan mimpi-mimpi dari sekitar 100,000 orang Papua yang mati di bawah kekuasaan militer Indonesia. Walau beberapa pihak mempertanyakan angka tersebut, ini merupakan fakta yang tak terbantahkan bahwa Indonesia secara sengaja dan sistematis telah melakukan kejahatan terhadap kemanusiaan dan belum mempertanggungjawabkannya hingga saat ini.
Walaupun saya terus mengungkapkan keprihatinan saya bahwa ada indikasi kuat pemerintah Indonesia melakukan kejahatan pembasmian etnis (genocide) terhadap orang Papua, saya tidak setuju terhadap langkah Departemen Luar Negeri Amerika Serikat yang meminta saya untuk menghapus kata ‘genocide’ pada tema awal dari dengar pendapat ini. Departemen Luar Negeri meminta penggantian tema berdasarkan pertimbangan bahwa ‘genocide’ adalah istilah hukum.
Pasal 2 dari Konvensi PBB tahun 1948 tentang Pencegahan dan Penghukuman terhadap Kejahatan Genocide (CPPCG) mendefinisikan genocide sebagai "apa saja dari aksi-aksi berikut ini yang dilakukan dengan tujuan untuk memusnahkan, semua atau sebagian, suatu bangsa, etnis, ras atau kelompok keagamaan: membunuh anggota dari kelompok ini; menyebabkan gangguan serius terhadap mental anggota dari kelompok dimaksud; secara nyata menyebabkan kondisi hidup kelompok ini bertambah berat yang dimaksudkan untuk menghancurkan fisik secara keseluruhan atau sebagian; mendorong pembatasan angka kelahiran dari kelompok-kelompok ini; secara paksa memindahkan anak-anak dari kelompok-kelompok ini ke tempat lain.”
Definisi genocide menurut hukum internasional ini secara tepat menggambarkan kejahatan kemanusiaan yang dilakukan militer Indonesia , sekalipun Departemen Luar negeri AS setuju atau tidak. Tetapi dengan memperhatikan keterlibatan Amerika Serikat, agak mengherankan bahwa setiap Pemerintahan AS hendak menutup diri dari perbuatan kotor tersebut.
Seperti Joseph Conrad menulis dalam bukunya Hati yang Gelap, “penaklukan bumi, yang sebenarnya berarti membuatnya jauh dari mereka yang memiliki perbedaan seluruhnya atau mereka yang berhidung sedikit rata dari kita, adalah sesuatu yang tidak menarik ketika kamu melihatnya terlalu lama”.
Ketika kamu memandangnya terlalu lama, tidak ada sesuatupun yang bengis dari kejahatan Indonesia ataupun keterlibatan Amerika adalah hal yang baik saja. Pada tahun 2007, saya memimpin Delegasi Congres ke Indonesia berdasarkan janji Presiden SBY dan Wakil Presiden Kalla waktu itu bahwa saya diijinkan 5 hari mengunjungi Biak, Manokwari, dan yang teramat penting adalah Jayapura, sebagai dukungan terhadap upaya-upaya pelaksanaan Otonomi Khusus yang sudah disetujui pemerintah Indonesia sejak 2001.
Namun demikian, dalam perjalanan ke Jakarta , saya menerima berita bahwa pemerintah Indonesia hanya mengijinkan saya berkunjung selama 3 hari. Sebelum tiba tanggal 25 November 2007, saya diberitahukan bahwa saya hanya diijinkan berkunjung 1 hari dan saya tidak diperkenankan mengunjungi Jayapura. Ketika kunjungan terjadi, saya hanya diijinkan 2 jam di Biak dan 10 menit di Manokwari.
Di Biak, saya bertemu Gubernur Suebu, dan kepala suku, pimpinan agama dan pejabat lokal yang ditetapkan langsung oleh pemerintah. Orang-orang Papua lainnya, seperti Ketua Tom Beanal dan Tuan Willie Mandowen ditahan oleh militer sampai diketahui kantor saya. Duta Besar Amerika Serikat untuk Indonesia Cameron Hume dan saya juga harus berjalan di tengah barisan penjagaan militer yang ketat karena militer Indonesia (TNI) telah membatasi rakyat Papua untuk tidak bertemu dengan saya. Untuk direkam dalam dengar pendapat ini, saya menyertakan foto-foto yang memperlihatkan kuatnya kehadiran aparat militer.
Di Manokwari, keberadaan militer malah lebih buruk. Sebelum saya tiba di Manokwari, saya diberitahukan bahwa hanya akan bertemu dengan Gubernur dimana perlu saya ketahui bahwa dia baru saja dari Cina dan baru tiba 5 hari. 10 menit kemudian, saya dimasukkan ke dalam pesawat dimana TNI, dengan seragam anti huru-hara lengkap, secara ketat menjaga orang Papua jauh dari suatu dialog berarti dengan saya. Pada kesempatan ini, saya mau membagi kepada teman-teman saya beberapa video rekaman dari kunjungan saya di tahun 2007.
Setelah kunjungan ini dan dalam perjalanan pulang ke Washington , saya menulis kepada Presiden SBY menyatakan kekecewaan saya tetapi Jakarta tidak pernah menanggapi surat saya yang bertanggal 12 Desember 2007. Pada tanggal 5 Maret 2008, Ketua Sub-Komite Urusan Luar Negeri untuk Afrika Donald Payne, bersama saya kami mengirim surat lain kepada Presiden SBY yang menyatakan perhatian kami yang amat dalam terhadap sikap Indonesia yang menyalahgunakan militernya. Kami sertakan foto-foto dan sebuah DVD tentang pengalaman saya di Biak dan Manokwari. Sekali lagi, Jakarta tidak menanggapinya.
Pada tanggal 5 Maret 2008, Ketua Payne dan saya juga menulis surat kepada Menteri Pertahanan Amerika Serikat, Robert Gates dan menyertakan tembusan dari surat kami kepada Presiden SBY begitu juga DVD dan foto-foto tersebut. Disamping perhatian kami yang serius tentang kegagalan Indonesia mewujudkan janjinya mengijinkan anggota Kongres ke Jayapura dan permintaan kami untuk dibatasinya bantuan dana bagi pelatihan militer Indonesia, dalam balasannya tertanggal 2 April 2008 yang hambar dan tidak berbeda jauh, dimana jika Papua Barat bukanlah masalah utama. Dalam kesimpulannya yang keliru pada surat itu ia menyatakan, “dalam kaitan antara TNI dan hak asasi manusia, telah terjadi perbaikan dramatis”. Copy dari surat ini begitu juga foto-foto dan DVD kami sertakan untuk didokumentasikan dalam dengar pendapat ini.
Kopy dari bahan-bahan yang kami kirim pada tanggal 6 Maret 2008 kepada Komite Urusan Luar Negeri Kongres, Komite Hubungan Luar Negeri Senat, Sub-Komite yang berhubungan dengan Negara dan Kebijakan Luar Negeri Kongres dan Senat, Sub-Komite Kongres tentang Pertahanan, dan Anggota Kongres Kaukus Kulit Hitam juga termasuk di dalam laporan dengar pendapat ini.
Pada bulan Maret 2005, Ketua Payne dan saya menulis surat kepada Sekretaris Jenderal Kofi Annan meminta PBB membuka kembali perannya dulu di Papua Barat. Sebanyak 35 anggota Kongres lainnya dari Kaukus Kulit Hitam turut menandatangani surat ini dan saya masukkan juga untuk direkam dalam laporan dengar pendapat ini.
Tahun ini, Ketua Payne dan saya sekali lagi memprakarsai suatu permintaan kepada Presiden Obama untuk memperlakukan secara adil rakyat Papua Barat dan untuk bertemu Tim yang terdiri dari 100 orang pemimpin adat Papua dalam kunjungannya ke Indonesia nanti. Sekalipun surat kami tertanggal 9 Juni 2010 ini ditandatangani oleh 50 anggota Kongres, Departemen Luar Negeri Amerika Serikat tidak merasa terganggu untuk secara bijaksana membalasnya. Kendati, kami menerima sebuah surat penolakan pada 11 Agustus 2010 yang ditandatangani oleh Sekretaris Asisten Urusan Parlemen bukan dari Departemen Luar Negeri Amerika Serikat sendiri, menjadi pertanda jelas bahwa Pemerintahan ini mungkin tidak akan berbeda dari yang sebelumnya di dalam tanggapannya terhadap masalah genting Papua Barat. Untuk dokumentasi, saya sertakan surat ini juga.
Begitu juga, saya sertakan sebuah video yang berhubung karena isinya sensitif, saya tidak akan menunjukkan di sini. Video ini merekam pembunuhan yang disertai tindak kekerasan terhadap seorang Papua yang dilakukan oleh BRIMOB dimana korban dibunuh dan isi perutnya keluar di saat korban masih hidup dan memohon seseorang menghabiskan nyawanya saja supaya mengakhiri penderitaannya saat itu. Ini bukan satu-satunya pembunuhan yang terjadi. Almarhum Pemimpin Papua Theys Hiyo Eluay juga dibunuh secara kejam, dan daftar panjang lainnya yang nyawanya hilang terus-menerus.
Sebagai Ketua dari Sub-Komite ini, Saya sudah sangat, sangat sabar. Ya, saya mengakui kepentingan hubungan Amerika Serikat-Indonesia. Indonesia adalah negara muslim mayoritas di dunia dan Amerika mempunyai kepentingan yang besar untuk menggapai dunia Islam. Tetapi perjuangan kita sendiri dalam melawan militansi Islam tidak harus dibayar dengan harga berupa kesakitan, pembunuhan dan penderitaan rakyat Papua Barat. Ini bukan Amerika yang saya tahu.
Kita dapat dan harus melakukan yang terbaik. Pada pernyataannya sebelum PBB melawan Apartheid, Nelson Mandela menyatakan, “Hal ini akan selamanya bertahan sebagai tuduhan dan tantangan bagi semua laki-laki dan perempuan yang sadar bahwa hal ini sudah berlangsung lama jauh sebelum kita semua bangkit untuk menyatakan cukup dan cukup.”
Ini adalah harapanku yang tulus bahwa dengar pendapat hari ini akan membantu kita melihat jalan ke depan. Sejauh ini, Indonesia telah secara buruk gagal menjalankan Otonomi Khusus dan, sebagai hasilnya, ada pertanda dimana telah bangkit rasa frustasi di kalangan rakyat Papua, dan benarlah demikian. Menurut CRS, “migrasi oleh warga Indonesia bukan Melanesia dari berbagai tempat di Indonesia ke Papua merupakan bagian kritis dari ketegangan yang ada. Menurut sejumlah perkiraan orang Papua Melanesia akan menjadi minoritas di tanah airnya sendiri pada tahun 2015”.
Disamping begitu banyak hal yang saya mau sampaikan tentang eksploitasi komersial sumber daya mineral yang begitu besar di Papua Barat termasuk cadangan besar emas, tembaga, nikel, minyak dan gas dan peran memalukan dari Freeport milik Amerika Serikat di dalam eksploitasi ini, saya akan menanggapi isu-isu dimskasud dalam bentuk pertanyaan pada kesaksian ini.
Pada akhirnya, saya ingin mengucapkan terima kasih kepada Edmund McWilliams, seorang pensiunan senior Departeman Luar Negeri Amerika Serikat, yang telah lama membela hak-hak rakyat Papua. Tuan McWilliams tidak dapat hadir bersama kita hari ini tetapi dia telah memasukkan kesaksiannya untuk dicatat sebagai bagian dari laporan dengar pendapat ini.
Saya juga mau menyambut para pemimpin Papua yang terbang jauh dengan biaya yang sangat mahal untuk memberikan kesaksian sebelum Sub-Komite ini. Saya beranggapan bahwa tidak ada yang datang atas tanggungan pemerintah Indonesia tetapi nanti kita lihat selama proses ini berlangsung. Sebagian besar dari pemimpin-pemimpin Papua yang ada bersama kita hari ini telah hidup dalam perjuangan. Yang lain baru saja kembali setelah menetap di Swedia selama 38 tahun. Sejak mereka kembali ke tanah airnya dan menerima kembali kewarganegaraan Indonesia tetapi tidak jelas bagi saya apa peranan mereka di dalam perjuangan apakah mereka sudah menyerah atau tidak sepenuhnya meninggalkannya. Saya harap akan diberikan penjalasan kepada kita.
Sekarang, saya mempersilahkan teman baikku, sesama anggota Kongres, memberi komentar atau pernyataan yang ingin sampaikan.
HOWARD L. BERMAN, Chairman GARY L. ACKERMAN, ENI F.H. DONALD M. PAYNE, New BRAD ELIOT L. ENGEL, BILL GREGORY W. DIANE E. WATSON, RUSS CARNAHAN, ALBIO SIRES, New Jersey GERALD E. Connolly, Virginia Michael E. McMahon, JOHN S. TANNER, GENE GREEN, SHEILA JACKSON LEE, BARBARA LEE, Shelley JOSEPH Mike BRAD MILLER, DAVID JIM COSTA, Keith GABRIELLE RON VACANCY Richard J. Kessler Staff Director Douglas J. Campbell Deputy Staff Director SHANNA WINTERS General Counsel and Senior Policy Advisor | One Hundred Eleventh Congress Congress of the United States Committee on Foreign Affairs Telephone: (202) 225-5021 http://www.foreignaffairs.house.gov/ September 27, 2010 | ILEANA ROS-LEHTINEN, Ranking Republican Member CHRISTOPHER H. SMITH, New DAN BURTON, Indiana ELTON GALLEGLY, DANA ROHRABACHER, DONALD A. MANZULLO, EDWARD R. ROYCE, RON PAUL, JEFF FLAKE, MIKE PENCE, JOE JOHN BOOZMAN, J. CONNIE MACK, JEFF FORTENBERRY, MICHAEL T. McCAUL, TED POE, Texas BOB INGLIS, South Carolina GUS M. BILIRAKIS, Florida YLEEM D.S. POBLETE Republican Staff Director Mark C. Gage Republican Deputy Staff Director and Director, Douglas C. Anderson Republican Chief Counsel |
|
UNTUK DITERBITKAN SEGERA Contact: Dr. Lisa Williams (202) 225-8577
| FALEOMAVAEGA MENGADAKAN DENGAR PENDAPAT YANG PERTAMA KALI TENTANG KEJAHATAN YANG TERENCANA DAN SISTEMATIS DI PAPUA BARAT
|
Pada tanggal 22 September 2010, Ketua Sub-Komite Asia, Pasifik dan Lingkungan Global, Rep. Eni F.H. Faleomavaega (Demokrat-AS), mengadakan dengar pendapat dengan tema “Kejahatan Terhadap Kemanusiaan: Kapan Militer Indonesia dapat Bertanggungjawab atas Kejahatannya yang Terencana dan Sistematis di Papua Barat?” Ini merupakan dengar pendapat yang pertama kali diadakan oleh Kongres AS tentang masalah Papua Barat.
Duta Besar Indonesia untuk Amerika Serikat, Dino Patti Djalal, mengatakan dia “tidak merasa terganggu dengan kegiatan dengar pendapat ini karena hanya dihadiri oleh 3 anggota Kongres, dan untuk itu pemerintah Amerika Serikat tidak harus merubah posisinya.”
“Duta Besar Djalal baru di Amerika Serikat dan tidak dapat memahami adanya fakta dengar pendapat pada Rabu lalu yang begitu penting,” kata Faleomavaega. “Hanya sedikit yang Duta Besar ketahui tentang dengar pendapat tersebut; tetapi sebagai tanggapan atas dengar pendapat ini, para pemimpin Papua telah bertemu dengan pejabat-pejabat dari Dewan Pertahanan Nasional, Departemen Pertahanan Amerika Serikat, Departemen Luar Negeri Amerika Serikat, dan anggota Kongres yang lain yang karena padatnya jadwal tidak memungkinkan mereka hadir dalam dengar pendapat.”
“Sangat disesali, prilaku Duta Besar Djalal adalah tipe umum orang Indonesia dalam memandang masalah serius yang dibicarakan dalam dengar pendapat ini. Lebih dari 50 anggota Kongres Amerika Serikat sangat memperhatikan kegagalan Indonesia dalam menjalankan Otonomi Khusus sehingga mereka ikut bergabung dengan Ketua Payne dari Sub-Komite Afrika dan saya sendiri untuk meminta Presiden Obama menjadikan masalah Papua Barat menjadi salahsatu prioritas utama ketika akan berkunjung ke Indonesia.”
“Para Anggota Kongres yang menandatangani surat ini sebagian besar merupakan anggota Kaukus Kulit Hitam dan pernyataan Dubes Djalal adalah benar-benar merupakan penghinaan terhadap upaya setiap orang yang sadar dan menghargai perbedaan berkomitmen mau mengakhiri kejahatan dan konflik di Papua Barat.”
“Rakyat Papua Barat telah lama menderita di bawah kekuatan brutal militer dan polisi Indonesia , dan banyak ahli telah mengatakan bahwa rakyat Papua barat sedang mengalami genocide (pemusnahan etnis). Apakah ada tidaknya terjadi pemusnahan etnis, satu hal telah jelas. Militer Indonesia secara terencana telah melakukan kejahatan terhadap kemanusiaan melalui pembunuhan, penyiksaan dan pemerkosaan terhadap lebih dari 100,000 warga Papua Barat.”
“Disamping Presiden SBY mewarisi situasi yang sangat sulit, saya tidak setuju bila dia tidak dapat mengawasi militernya dan menghindari kejahatan yang sama berulang di Papua Barat. Saya juga tidak setuju apabila dia tidak menjalankan Otonomi Khusus sebagaimana telah dijanjikannya. Walaupun Dubes Djalal menekankan bahwa PBB telah mengakui status Papua Barat (dalam Indonesia), tidak ada kebenaran yang bisa disembunyikan.”
“Ini bukanlah masalah integritas teritorial. Papua Barat merupakan bekas jajahan Belanda selama sekitar 100 tahun sama dengan Timor Leste yang merupakan bekas jajahan Portugis begitu pula dengan Indonesia yang pernah dijajah Belanda. Oleh karena posisinya sebagai wilayah yang pernah dijajah, Timor Leste mencapai kemerdekaannya terlepas dari Indonesia di tahun 2002 melalui referendum yang diputuskan oleh Perserikatan Bangsa-Bangsa, sekalipun Indonesia serius menolak hak menentukan nasib sendiri dari rakyat Timor Leste.
Sebaliknya, di tahun 1962 Amerika Serikat menekan Belanda untuk mengalihkan kekuasaannya atas Papua Barat kepada PBB. Di bawah kesepakatan yang diatur Amerika Serikat, Indonesia “membuat pengaturan dengan bantuan dan keterlibatan PBB” untuk memberikan kepada rakyat Papua Barat menentukan kemauannya apakah menjadi bagian dari Indonesia atau tidak.
Melalui apa yang dikenal dengan sebutan Aksi Tidak Menyatakan Pendapat (Act of No Choice) yang diadakan tahun 1969, 1025 orang-orang tua Papua Barat dibawah kontrol ketat intelijen dipilih untuk mewakili 809,327 rakyat Papua Barat memutuskan status politik wilayah ini. Disamping adanya pelanggaran serius terhadap Piagam PBB dan referendum yang tidak berdasar, Papua Barat telah dipaksa menjadi bagian dari Indonesia melalui laras senjata.
Sesuai laporan Badan Penelitian Kongres (CRS), “dokumen rahasia yang dikeluarkan pada bulan Juli 2004 menunjukkan bahwa Amerika Serikat mendukung Indonesia mengambil alih Papua dengan mengakali Aksi Penentuan Pendapat di tahun 1969 sekalipun diketahui bahwa hal ini jelas-jelas tidak sesuai kehendak rakyat Papua. Dokumen dimaksud juga mencatat bahwa Amerika Serikat telah memperkirakan jika antara 85% dan 90% rakyat Papua saat itu menentang kekuasaan Indonesia dan akibatnya Indonesia tidak bisa menang dalam referendum yang bersifat terbuka pada waktu transisi kekuasaan dari pemerintah Belanda. Langkah-langkah Amerika dimaksud merupakan bukti penting dukungan kepada Suharto selama Perang Dingin.”
“Hari ini, Amerika Serikat menyediakan bantuan jutaan dolar ke Indonesia dan militernya tetapi Indonesia tidak akan mengijinkan Anggota Kongres Amerika Serikat untuk berkunjung ke Jayapura di Papua Barat. Ini salah dan tidak boleh dibiarkan oleh Amerika Serikat.”
“Indonesia harus serius terhadap Papua Barat, saya akan melakukan apapun semampu saya untuk mengangkat masalah ini ke permukaan, secara khusus karena banyak warga Samoa pernah bekerja sebagai misionaris di Papua Barat dan membawa Kekristenan ke pulau ini. Beberapa dari keluarga saya warga Samoa dikubur di Papua Barat dan pelayanan serta pengorbanannya mendorong saya untuk melakukan apa saja sebisa saya bagi orang-orang yang mereka cintai ini.”
“Menurut CRS, “migrasi oleh warga Indonesia bukan Melanesia dari berbagai tempat di Indonesia ke Papua merupakan bagian kritis dari ketegangan yang ada. Menurut sejumlah perkiraan orang Papua Melanesia akan menjadi minoritas di tanah airnya sendiri pada tahun 2015”.
“Kita tidak bisa membiarkan hal ini terjadi. Disamping begitu banyak hal yang saya mau sampaikan tentang eksploitasi komersial sumber daya mineral yang begitu besar di Papua Barat termasuk cadangan besar emas, tembaga, nikel, minyak dan gas dan peran memalukan dari Freeport milik Amerika Serikat di dalam eksploitasi ini, saya mau menanggapi orang-orang Papua yang memberi kesaksiannya dalam dengar pendapat minggu lalu.”
“Tuan Octovianus Mote, Pendiri dari Jaringan Aksi Papua Barat dan Pemimpin dari Pusat Sumber Daya Papua; Tuan Henkie Rumbewas, Advokat Internasional dari Asosiasi Australia Papua Barat (AWPA); Tuan Salamon Maurits Yumame, Ketua FORDEM; S. Eben Kirksey, Ph.D., Asisten Profesor pada pusat Kelulusan, Universitas Kota New York memberi kesaksian atas dukungan dan mewakili rakyat Papua Barat, mengungkapkan dengan jelas di hadapan Kongres Amerika Serikat bahwa Indonesia telah gagal menjalankan UU Otonomi Khusus yang disetujui pada tahun 2001. Konsekuensinya, mereka menuntut harus diadakan dialog yang baru untuk mencari jalan keluar ke depan.”
“Sophie Richardson, Ph.D., Direktur bagian Asia pada Human Rights Watch mengangkat masalah pelanggaran hak asasi manusia yang terus berlangsung di Papua Barat. Pieter Drooglever, Ph.D., Professor Emeritus pada Institut Sejarah Belanda, membeberkan latar belakang sejarah dari peristiwa-peristiwa yang telah meangkibatkan perpecahan dan perbedaan pendapat.”
“Tuan Nicholas Simeone Messet, seorang warga Papua Barat yang telah menetap di Swedia selama 38 tahun atau mungkin lebih, mengatakan bahwa orang Papua Barat ‘malas’ dan harus dipersalahkan atas gagalnya Otonomi Khusus. Menurut pendapat saya, ini tidak benar jika menyalahkan orang-orang yang ditindas.”
Pada pernyataannya sebelum PBB melawan Apartheid, Nelson Mandela menyatakan, “Hal ini akan selamanya bertahan sebagai tuduhan dan tantangan bagi semua laki-laki dan perempuan yang sadar bahwa perlakuan yang sama sudah berlangsung lama jauh sebelum kita semua bangkit untuk menyatakan cukup dan cukup. Inilah yang saya rasakan tentang Papua Barat. Orang lainpun merasakan hal serupa, walaupun dalam pernyataan Dubes Djalal tersirat maksud bahwa tidak ada seorangpun yang peduli sepanjang Indonesia mempunyai banyak teman daripada pengkritik di dalam Kongres Amerika.”
“Untuk menjadi pengetahuan Dubes, 50 anggota Kongres Amerika Serikat begitu juga Uskup Desmond Tutu, mantan Sekjend PBB Kofi Anan dan lebih dari 174 anggota parlemen dan 80 organisasi non pemerintah dari seluruh dunia telah bergabung untuk meminta Indonesia untuk mengakhiri kekerasan dan menyelesaikan masalah Papua Barat. Sederhananya, masalah ini tidak akan berakhir sampai Indonesia bertanggung jawab, dan saya sangat yakin bahwa Presiden Obama akan, secara nyata, mengupayakan dialog.”
“Sampai di sini, ingatan dan doa-doaku ada bersama rakyat Papua Barat yang hanya membutuhkan apa yang kita semua inginkan – hak untuk hidup secara damai dan mengejar kebahagiaan. Terkait dengan dengar pendapat ini, saya telah menerima kabar bahwa keluarga dari beberapa orang Papua yang memberi kesaksian dikunjungi oleh aparat kepolisian Indonesia. Saya berharap hal ini tidak akan menjadi masalah tetapi, untuk perhatian kita, saya meminta Kedutaan kami di Jakarta untuk memperhatikan laporan yang mengganggu tersebut.”
“Sebagai laporan, saya sertakan juga teks lengkap dari pidato saya yang memuat secara terrinci tentang tujuan dari dengar pendapat ini,” Faleomavaega mengakhiri.
--end--
Pelapor Khusus in PAPUA
Fr Santon Tekege, Pr
Group Communication Realities Society in Papua
Contact Person: 085244522433
Email: Santon_papua@yahoo.com