MENYIKAPI SIKAP APATIS PEMIMPIN
PEMERINTAH INDONESIA DAN GEREJA DI
TANAH PAPUA
(Sebuah
Refleksi Atas Kepedihan dan Tangisan Umat Allah di Tanah Papua)
Oleh:
Wakiya dan Tim Peduli Para Pemimpin Pemerintah
dan Gereja di Tanah Papua
PENGANTAR
Saya orang asli Papua
amat sedih melihat dan mendengar berbagai persoalan kekerasan dan konflik,
ketiadaan ruang demokrasi dan kebebasan, penangkapan, pemukukan, pemenjarahaan,
pemerkosaan gadis-gadis Papua dan budaya/tradisi, kerusakan lingkungan dan hutan
milik orang Papua, dan penembakan pada orang asli Papua yang semakin kejam dari
kalangan aparat keamananan dan pemerintah Indonesia di tanah Papua. Apalagi
penderitaan batin yang dialaminya secara dahsyat tetapi kawan-kawan manusia
yang sangat saleh justru menasehati: Hendaknya Gereja memusatkan diri pada
tugas rohaninya, dan tidak memasuki gelanggang politik. Hendaknya orang Papua
(OPM, Lembaga LSM, dan Aktivis Kemanusiaan di Papua) tidak bertindak sebagai
pimpinan gerakan politik, tetapi bertindak sebagai pemimpin jiwa-jiwa dan
pemimpin untuk keselamatan manusia “Jiwa-jiwa dan Raga-raga manusia yang ada di
tanah Papua”.
SEBUAH
REFLEKSI MENGAWALI SERUAN
Di sini sebenarnya saya
tidak pernah berniat untuk menghiasi teori politik dengan ayat-ayat Kitab Suci.
Tetapi setiap kita dipanggil menjadi nabi di Negara ini karena mendengar cinta
kasih Allah. Saya tidak bermaksud menjadikan agama sebagai alat mencapai
keberhasilan dalam bidang politik. Pula tidak bermaksud untuk mendirikan Partai
berbau agama tertentu dibidang politik. Melainkan saya hendak menemukan Allah
yang hendak mendengarkan seruan umat-Nya, Allah yang menghendaki manusia untuk
dapat hidup layak sebagai anak-anak-Nya. Allah yang kita imani bukanlah Allah
yang mati. Ia adalah Allah yang hidup, turut menanggung sengsara orang-orang
yang tersiksa dan yang mengalami sakratulmaut, yang mempunyai rasa perasaan
yang sama dengan kita, yang aktif bertindak dan senantiasa memimpin sejarah.
Jadi pesan yang kusampaikan adalah pesan dari Injil, yang berisi bahwa Allah
dekat dengan manusia dan dosa dihakimi-Nya. Saya sungguh memahami apa yang
menjadi konsekwensi dari usaha mewujudkan Kerajaan Allah. Saya menyadari bahwa
ada dosa-dosa di bidang sosial dan politik.
Akar keberdosaan
masyarakat adalah hati setiap individu. Saya yakin bahwa dosa-dosa pribadi
sudah dilebur menjadi satu sistem dosa sosial yang semakin memburuk dan harus
dilawan karena terus menerus melahirkan perbuatan kekerasan baru.
Aku adalah orang asli
Papua yang memang berada di negeriku bukan berada di Flores, Manggarai, Jawa,
Sulawesi, atau di Maluku. Aku selalu bersama masyarakat asli Papua yang sedang
menderita di negerinya. Aku ingin hidup bersama para korban kekerasan dan
konflik bahkan ingin hidup bersama komunitas alamku dan komunitas orang-orang
mati di negeriku sendiri. Pada akhirnya aku adalah pemimpin masyarakat atau
gembala umat yang bersama-sama hendak mempelajari suatu kebenaran yang mulia
dan sukar. Iman Kristiani menuntut agar kita melayani dunia bukan sebatas
rohani. Gereja yang diimpikan oleh Orang Asli Papua adalah bukanlah Gereja yang
bertakhta di atas langit, lepas dari konflik dan kekusutan dunia. Melainkan
Gereja yang adalah Uskup, Pastor, dan semua pihak mestinya berdiri di
tengah-tengah pertempuran dan perubahan ragi sebagai ragi masyarakat. Saya
merasakan tuntutan sejarah penderitaan umatnya, seolah-olah Allah menyapa orang
Papua dengan suara insani.
Janganlah kalian takut
berpolitik, demikianlah kata burung cenderawasih untuk menghibur masyarakat
Papua yang menderita di negerinya sendiri. Masyarakat Papua adalah umat beriman
diharapkan tetap ingat akan Bunda Yesus yang dalam kidung Magnificat sungguh
menyadari dimensi politik dari iman. “Ia menurunkan orang-orang yang berkuasa
dari takhtanya dan meninggikan orang-orang yang rendah” (bdk Luk 1:52). Para
raja akan diturunkan-Nya dari Takhta apabila raktay tidak lagi hidup dengan
aman. Meskipun demikian, umat Kristen tidak dipanggil untuk ikut-ikutan masuk
dalam suatu partai atau ideology. Mereka harus menghayati imannya selaku orang
yang kreatif dan berani. Hanya Kristuslah yang mempunyai kebenaran lengkap.
Setiap orang Kristen harus menghormati pendapat dan tujuan politik orang lain
sebab semua orang adalah anak-anak Allah dan mungkin dia lebih pandai. Pada
umumnya orang Papua tidak suka bahwa kelompok Kristen identik menjadikan suatu
lembaga kantor tenaga kerja atau suatu partai politik tertentu untuk menguasai
kelompok minoritas di negeri Papua.
PIMPINAN
GEREJA DI TANAH PAPUA: Cuek dengan
Penderitaan Umatnya
Keinginan terdalam bagi
orang asli Papua berkaitan dengan sasaran strategi dan perjuangan politik akan
hendak terbebasnya dari penindasan pemerintah Indonesia di Papua adalah suatu
keharusan yang mesti diperjuangkan pucuk pimpinan Gereja sebagai gembalanya
tetapi mungkin ada berbagai pendapat yang berbeda-beda namun apa yang
dikehendaki Orang Asli Papua ini adalah suatu pilihan tegas: Pimpinan Gereja di tanah Papua (Lima Uskup di
Tanah Papua, Para Pastor, Suster, dan Para hamba Tuhan lain: Pendeta di tanah
Papua) Mau melayani masyarakat orang asli Papua atau ikut berdosa atas kematian
rakyat orang asli Papua. Jadi kuncinya adalah Mau menyelamatkan umat Allah di
tanah Papua atau ikut berdosa atas berbagai korban kematian di negeri Papua.
Pada saat doa pagi, siang, dan malam, mengungkapkan kita membelah kaum lemah
dan miskin tetapi kenyataannya di tanah Papua tidak terlaksana ketika umatmu
ditangkap, dipenjarakan, diperkosa oleh aparat keamanan Indonesia, ketika
terjadinya kerusakan lingkungan dan hutan di Papua malah menjilat dari
perusahan baik berskala Nasional maupun Internasional, ketika umatnya kena
limbah tailling PT Freeport Indonesia dan masyarakat mengungsi sehingga tidur
digubug-gubug di sekitar kota dan perusahan sawit membabat ribuan hektar di
jalan trans Deiyai dan Paniai di Timika, ketika hutannya dirubah menjadi sawit
di Keerom, Sawit Tajalereh Sentani, Sawit Nabire, Manokwari, Sorong dan MIFEE
di Merauke dan masalah kepincangan pendidikan dan masalah kesehatan semakin
meningkat pun selalu Para lima Uskup Papua dan Para Pendeta hamba Tuhan terdiam
dan mencari kenyamanan diri.
PASTOR-PASTOR
FLORES DAN MANGGARAI: Pastor Gadungan di
STFT-Fajar Timur
Apalagi para pastor
gadungan asal “Flores dan Manggarai” yang berkarya di STFT-Fajar Timur
Abepura Papua “bermata duitan”, “menjadikan STFT sebagai tempat kantor tenaga
kerja untuk Flores dan Manggarai”, dan “menjadikan lembaga Yayasan tempat
untuk mengkaderkan tenaga pengajar orang-orang asal Flores dan Menggarai”
padahal lembaga STFT ada di tanah Papua bahkan penelitian Mahasiswa STFT tingkat
III memperlihatkan terbanyak Mahasiswa adalah Flores dan Manggarai di
STFT [1]. Begitupun
dalam seminar pada 3 Oktober 2013 di Aula STFT-Fajar Timur, Abepura
memperlihatkan bahwa “kampus STFT mendominasi orang Flores dan
Manggarai” bahkan dosen-dosen pun mendominasi Non Papua. Jadi
kesimpulan sementara adalah “STFT FAJAR TIMUR MACAM ADA DI FLORES DAN
MANGGARAIKAH”? Kalau memang demikian, STFT kini ada di manakah?
STFT
untuk apa? Mengapa ada STFT di tanah Papua? Kemudian STFT hendak ke mana? Justru
karena Non Papua lebih banyak di lembaga ini dan pola perkuliahannya katanya
meminahbobohkan para calon pemimpin di negeri Papua sehingga cuek dan malas
tahu dengan berbagai persoalan kekerasan dan konflik di negeri Papua. Di sini
semua pihak tidak mendengar Yesus dari Nazareth yang miskin bertanya: “Kenalkah
engkau akan aku dalam diri saudara-saudaraku? Dapatkah engkau beribadat dengan
tenang dan meriah, tatkala aku di salibkan? Engkau adalah pemimpin, gembala,
pengikut Kristus dan engkau harus wartakan apa yang menjadi pesan-Ku. Engkau
akan disalibkan seperti Aku juga…….”.
Ketika banyak
kemerosotan akan kemanusiaan di negeri Papua diserukan untuk pentingnya sebuah
teologi pembebasannya. Umat mengharapkan banyak dosen-dosen STFT yang pernah
kuliah di Eropa untuk membuat terobosan berkaitan dengan teologi pembebasan di
Tanah Papua tetapi kembalinya dari Eropa “menjadi manusia lintah dan menguras,
memeras derma dan intensi derma kami di tanah Papua”. Ketika terjadi penganiayaan,
pemukulan, penangkapan, ruang kebebasan dan demokrasi kami dibatasi, bahkan
nyawa umat manusia di Papua dibantai satu per satu di negerinya sendiri, para
pastor mengambil sikap diam dan menggurung diri. Semuanya terjadi di tanah air
kami dengan menciptakan sistem pemiskinan rakyat dan memang terjadi kemiskinan
di dua Propinsi Indonesia Timur yakni Propinsi Papua dan Papua Barat menurut
Badan Pusat Statistik (BPS) Propinsi Papua pada 2010. Jadi pemiskinan rakyat di
tanah Papua menjadi pemiskinan Tubuh Kristus yang gaib dalam sejarah modern. “Orang
asli Papua bersama Yesus disalibkan dan dikejar-kejar sebagai Hamba Allah.
Penderitaan Orang Asli Papua itu melengkapi apa yang masih kurang dalam
sengsara Kristus”.
Gereja Papua
diminabobohkan oleh “Pastor-Pastor Flores dan Manggarai”.
Mereka inilah meniadakan eksistensi gereja di Papua. Ada banyak keluhan dan
penderitaan umat di tanah Papua tetapi cuek dan malas tahu dengan penderitaan
umat di tanah Papua. Padahal tugas dan fungsi utama Gereja adalah memihak
kepada kaum lemah dan miskin. Gereja harus menjelma dalam dunia yang berwajah
hina, dan menjadi tanda bagi “Kristus yang menderita”. Orang asli Papua memang
menderita dan tidak ada pemimpin yang menyuarakan sebagai suara kenabian bagi
kaum miskin dan lemah. Kaum miskin dan lemah bagiku adalah bukanlah golongan
masyarakat yang asing. Mereka berwajah, bernama, berkeluarga, dan menderita
luka. Situasi mereka inilah yang membuat kotbahnya lebih konkret. Kami orang
Papua tidak suka hanya berkeluh kesah tentang kejahatan secara umum oleh
kelompok para Pastor bahkan segala penderitaan kami disembunyikan dalam
kegiatan rohani yang sifatnya sakramental dan bersenang-senang di Biara-biara
baik biara Fransiskan (OFM: gagal di tanah Papua) maupun
Agustian atau biara lainnya yang berkarya di tanah Papua, dan menyesalkan tidak
adilnya struktur-struktur masyarakat yang sengaja diciptakan oleh penguasa
Indonesia di Papua. Makin lama makin jelas analisanya. Yang mendasari
kesengsaraan ini adalah oligarki (kelompok pemeras rakyat kecil) atau kelompok
Pastor-Pastor biarawan/ti: “satu kelompok kecil yang tidak peduli akan
rakyat orang asli Papua yang lapar dan tangis. Mereka mau mengisi darah
keringat orang asli Papua ke dompetnya sendiri dengan cara menindas rakyat bersama
pemerintah Indonesia melalui aparat keamanan pun ikut serta dalam penindasan
orang asli Papua”.
PEMERINTAH
INDONESIA DI PAPUA: Menumpas dan Memeras
Rakyat Orang Asli Papua
Kami orang asli Papua
mencela pendewaan uang dan penyalahgunaan wewenang oleh para hakim, yang
mendiamkan para penguasa melanggar undang-undang, dan yang tidak menghakimi
para pembela keamanan yang melakukan pembunuhan. Kami menghimbau agar kaum
minoritas kecil, yakni para tuan tanah yang tergabung dalam suatu sistem mafia,
untuk bertobat dan menyetujui diadakannya perubahan yang perlu. “Lebih baik
kalian melepaskan cincin jarimu darpada seluruh tanganmu dipotong oleh orang
lain”.
Orang Asli Papua
menyatakan bahwa kaum kapitalis bertanggungjawab atas jeritan dan tangisan atas
kerusakan hutan dan lingkungan milik orang Papua. Pohon dan berbagai ekosistem
bahkan komunitas-komunitas hidup serta alam mereka ikut dihancurkan. Para
kapitalis sedang menghancurkan tatanan hidup alam melalui kehadiran berbagai
perusahan nasional maupun asing di pulau cenderawasih ini. Untuk meniadakan
berbagai perusahan yang dihadirkan oleh pemerintah Indonesia, masyarakat
setempat tidak mampu mengatasinya karena di beck up oleh aparat keamanan di
berbagai perusahan tersebut. Pemerintah oligarki takut kehilangan wewenang
mutlaknya atas penanaman modal dan ekspor hasil pertambangan dan segala
kekayaan alam dan monopoli atas tanah adat oleh pihak keamanan Indonesia di
Papua. Pemerintah oligarki berusaha mempertahankan kekuasaannya tidak dengan mencari
dukungan dari rakyat dan dengan argumentasi rasional, melainkan dengan uang dan
senjata untuk menumpas, memeras, dan menindas rakyat orang asli Papua. Dengan
demikian pemerintah Indonesia justru menghalangi perjuangan demi terwujudnya
kemerdekaan, keadilan dan perdamaian di tanah Papua.
Orang Asli Papua
mencela organisasi-organisasi kerakyatan (barisan merah-putih (BMP), lembaga
masyarakat adat (LMA), LMR RI, dan milisi-milisi lain yang bersikap fanatik,
balas dendam, dan melawan perikemanusiaan. Orang asli Papua mengagumi
keterlibatan dan pembelaan atas kebenaran yang dipertahankan oleh Organisasi
Papua Merdeka, organisasi kemasyarakat yang memperjuangkan nasib rakyat, nasib
jeritan dan tangisan, dan dengan simpatik dan mereka bukan sebagai golongan kiri, melainkan sebagai people power, kekuatan rakyat di tanah
Papua. Banyak teriakan, banyak pekik yang meluap, tetapi paham komunisme tidak
memikirkan perencanaan pembangunan keadilan dan kedamaian di negeri Papua.
Indonesia kini sedang menghayati paham komunisme dengan menekankan utilitarisme
di Papua. Justru karena nilai utilitarisme, banyak rakyat orang asli Papua
dikorbankan untuk memperoleh berbagai sumber kekayaan alam yang ada di negeri
cenderawasih ini. Negara menekankan dengan kekuatan senjata terhadap kaum lemah
dan kecil di tanah Papua sehingga rakyat Papua tidak berdaya dan tidak mampu
mengatasi kekuatan senjata dan ujung-ujungnya kehidupannya pun berada pada
posisi ancaman. Dalam suasana itu, sikap masyarakat Papua mengalami luka batin
dan kambuh trauma masa lalu yang pernah dialami sejak berlakunya daerah operasi
militer di seluruh tanah Papua pada tahun 1971-1995. Lebih ingin membangun
daripada pidato dengan penuh emosi. Saya mengajak untuk belajar berdialog dan kembali
membangun komunitas tetap dipertahankan sesuai budaya masing-masing di setiap
tujuh wilayah adat di tanah Papua dan tidak dihasut untuk menggunakan
kekerasan. Saya berpikir Kerajaan Allah tidak dapat dipaksakan dengan kekerasan
dan konflik, penangkapan dan pemenjarahan, pengurasan sumber daya alam,
pengeboman, penculikan, dan pembunuhan. Saya berpendapat bahwa dengan taktik
kaum revolusioner ini hak-hak asasi manusia sungguh tidak dapat diperjuangkan
karena diperhadapkan dengan moncong senjata aparat keamanan Indonesia di Papua.
AJAKAN
UNTUK ORANG ASLI PAPUA
Taktik yang dipakai
oleh pemerintah Indonesia melalui aparat keamanan sama dengan taktik yang
dipakai kaum kapitalis, yakni golongan minoritas (kaum kapitalis) akan
menguasai dan menindas rakyat. Sebaliknya seluruh rakyat harus berusaha
berkembang dan melaksanakan kebebasannya sendiri. Rakyat orang asli Papua
sendirilah harus menciptakan masyarakatmu sendiri. Rakyat diharapkan harus
berpikir sendiri, dan tidak ikut-ikutan dengan cara-cara yang egois dari
beberapa pemimpin kaum penguasa yang mau mengambil alih kekuasaan.
Saya orang asli Papua
sadar akan kebenaran yang indah dan keras. Iman Kristiani tidak memisahkan kita
dari dunia, tetapi menghendaki kita hidup di dalam dunia. Gereja merupakan
bagian dari masyarakat dan tidak dapat memisahkan diri dari masyarakat. Gereja
mengikuti Yesus yang hidup, yang bekerja, yang berjuang dan mati di tengah
masyarakat. Dunia yang harus dilayani oleh Gereja adalah dunia kaum miskin,
para korban kekerasan dan konflik, membela akan kemanusiaan, dan melawan
penindasan dan ketidakadilan di Papua. Dunia kaum miskin dan kaum lemah inilah yang menjadi medan perwujudan iman
Kristiani dalam masyarakat dan tingka laku Gereja. Kita umat Kristiani
dipanggil untuk meneruskan kisah Yesus di dunia masa kini. Sejak Kristus
bangkit bercahayalah dalam sejarah dunia sebuah obor kekal. Sejak Kristus
bangkit umat manusia menemukan dasar hidup yang belum pernah ada sebelumnya.
Kristus hidup, dan barangsiapa melanjutkan karya-Nya ia akan hidup
selama-selamanya.
PENUTUP
Situasi Papua memperlihatkan bahwa orang asli Papua sedang
minoritas dan selalu saja terjadi konflik dan kekerasan di mana-mana tanpa
mencari jalan keluar demi perdamaian di tanah Papua. Dalam konteks seperti ini,
para pemimpin Gereja dan berbagai pihak mengambil sikap cuek dan malas tahu
dengan penderitaan orang asli Papua. Sebenarnya tugas misi perutusan Gereja di
tanah Papua memperlihatkan terang dan Injil di tengah konflik dan kekerasan
dalam pengabdiannya. Namun sikap para pemimpin Pemerintah Indonesia di Papua
lebih menekankan represif militer dibanding pendekatan kemanusiaan. Tugas para
pemimpin Gereja yang sebenarnya merangkul domba-domba yang sedang hilang tetapi
malah mencari kenyamanan diri dan sengaja membiarkan realitas di tanah Papua. Di
samping itu, kami juga mendapatkan hal-hal baru yang mengejutkan, yang
menimbulkan pertanyaan, terutama tentang arah dan masa depan STFT sekarang bagi
gereja dan masyarakat Papua. Sehubungan dengan arah dasar STFT sekarang ini
sepertinya menghilangkan nilai-nilai penting yang dirumsukan dalam visi awal
yaitu, mendidik petugas gereja atau pelayan umat setempat bukan mendroping dari
tenaga Flores dan Manggarai di lembaga STFT dan Yayasan termasuk menjadikan
tempat kantor tenaga kerja dan pada akhirnya bermata duitan diberbagai tempat
dalam Gereja bahkan kedatangan orang-orang Non Papua pun melebihi 1,5% di tanah
Papua dan itu melanggar hukum Internasional tentang transmigrasi.
Demikian pokok-pokok pikiran yang kami hasilkan demi kejayaan
Gereja dan orang asli di tanah Papua, agar “semua
bangsa menjadi murid-Ku”. Kami mengucapkan terima kasih yang berlimpah.
Tuhan menyertai setiap kita dalam perutusan ini.
Jakarta, 19
Januari 2014
Penulis: Wakiya dan Tim Peduli Para Pemimpin Pemerintah dan Gereja di Tanah
Papua
[1]
Baca Pernyataan Sikap ALUMNI STFT-Fajar Timur, Abepura pada 3 Oktober 2013 dan
hasil penelitian Mahasiswa tingkat III di STFT kini mereka di tingkat IV STFT
2013.