Rabu, 15 Desember 2010

Komite Urusan Luar Negeri Kongres AS: Eni F.H. Faleomavaega. in PAPUA

KOMITE URUSAN LUAR NEGERI
KONGRES AMERIKA SERIKAT
WASHINGTON, D.C. 20515

SUB-KOMITE UNTUK ASIA, PASIFIK DAN LINGKUNGAN GLOBAL
ENI F.H. FALEOMAVAEGA (DEMOKRAT-AS)
KETUA


PERNYATAAN DARI YANG TERHORMAT
ENI F.H. FALEOMAVAEGA
SEBELUM KOMITE

“Kejatan terhadap Kemanusiaan: Kapan Militer Indonesia akan Bertanggung Jawab atas Kejahatan Tersistematis yang Dilakukannya di Papua Barat?

22 September 2010


Sepanjang pengetahuan saya, dengar pendapat (hearing) hari ini sangatlah bersejarah.  Dengar Pendapat ini merupakan yang pertama yang pernah diadakan di Kongres AS untuk memberikan suara bagi rakyat Papua Barat. 

Sejak 1969, rakyat Papua Barat telah dengan sengaja dan sistematis menjadi korban dari penghancuran etnis (genocide) yang secara perlahan-lahan dilakukan oleh militer Indonesia sedangkan Indonesia selalu menegaskan bahwa soal ini merupakan urusan internal sementara Departemen Luar Negeri Amerika Serikat “mengakui dan menghormati integritas teritorial Indonesia”. Yang benar adalah ini bukan merupakan masalah integritas wilayah atau urusan dalam negeri, dan catatannya sangat jelas pada bagian ini.

Papua Barat merupakan bekas jajahan Belanda selama sekitar 100 tahun sama dengan Timor Leste yang merupakan bekas jajahan Portugis begitu pula dengan Indonesia yang pernah dijajah Belanda.  Oleh karena posisinya sebagai wilayah yang pernah dijajah, Timor Leste mencapai kemerdekaannya terlepas dari Indonesia di tahun 2002 melalui referendum yang diputuskan oleh Perserikatan Bangsa-Bangsa, sekalipun Indonesia serius menolak hak menentukan nasib sendiri dari rakyat Timor Leste.

Sebaliknya, di tahun 1962 Amerika Serikat menekan Belanda untuk mengalihkan kekuasaannya atas Papua Barat kepada PBB. Di bawah kesepakatan yang diatur Amerika Serikat, Indonesia “membuat pengaturan dengan bantuan dan keterlibatan PBB” untuk memberikan kepada rakyat Papua menentukan kemauannya apakah menjadi bagian dari Indonesia atau tidak.

Melalui apa yang dikenal dengan sebutan Aksi Tidak Menyatakan Pendapat (Act of No Choice) yang diadakan tahun 1969, 1025 orang-orang tua Papua Barat dibawah kontrol ketat intelijen dipilih untuk mewakili 809,327 rakyat Papua Barat memutuskan status politik wilayah ini. Disamping adanya pelanggaran serius terhadap Piagam PBB dan referendum yang tidak berdasar, Papua Barat telah dipaksa menjadi bagian dari Indonesia melalui laras senjata. 
Sesuai laporan Badan Penelitian Kongres (CRS), “dokumen rahasia yang dikeluarkan pada bulan Juli 2004 menunjukkan bahwa Amerika Serikat mendukung Indonesia mengambil alih Papua dengan mengakali Aksi Penentuan Pendapat di tahun 1969 sekalipun diketahui bahwa hal ini jelas-jelas tidak sesuai kehendak rakyat Papua. Dokumen dimaksud juga mencatat bahwa Amerika Serikat telah memperkirakan jika antara 85% dan 90% rakyat Papua saat itu menentang kekuasaan Indonesia dan akibatnya Indonesia tidak bisa menang dalam referendum yang bersifat terbuka pada waktu transisi kekuasaan daro pemerintah Belanda. Langkah-langkah Amerika dimaksud merupakan bukti penting dukungan kepada Suharto selama Perang Dingin.”

Secara terbuka ditambahkan, sebagai imbalan terhadap sikap anti-komunisnya Suharto, Amerika Serikat telah menghancurkan harapan dan mimpi-mimpi dari sekitar 100,000 orang Papua yang mati di bawah kekuasaan militer Indonesia. Walau beberapa pihak mempertanyakan angka tersebut, ini merupakan fakta yang tak terbantahkan bahwa Indonesia secara sengaja dan sistematis telah melakukan kejahatan terhadap kemanusiaan dan belum mempertanggungjawabkannya hingga saat ini.

Walaupun saya terus mengungkapkan keprihatinan saya bahwa ada indikasi kuat pemerintah Indonesia melakukan kejahatan pembasmian etnis (genocide) terhadap orang Papua, saya tidak setuju terhadap langkah Departemen Luar Negeri Amerika Serikat yang meminta saya untuk menghapus kata ‘genocide’ pada tema awal dari dengar pendapat ini. Departemen Luar Negeri meminta penggantian tema berdasarkan pertimbangan bahwa ‘genocide’ adalah istilah hukum.

Pasal 2 dari Konvensi PBB tahun 1948 tentang Pencegahan dan Penghukuman terhadap Kejahatan Genocide (CPPCG) mendefinisikan genocide sebagai "apa saja dari aksi-aksi berikut ini yang dilakukan dengan tujuan untuk memusnahkan, semua atau sebagian, suatu bangsa, etnis, ras atau kelompok keagamaan: membunuh anggota dari kelompok ini; menyebabkan gangguan serius terhadap mental anggota dari kelompok dimaksud; secara nyata menyebabkan kondisi hidup kelompok ini bertambah berat yang dimaksudkan untuk menghancurkan fisik secara keseluruhan atau sebagian; mendorong pembatasan angka kelahiran dari kelompok-kelompok ini; secara paksa memindahkan anak-anak dari kelompok-kelompok ini ke tempat lain.”

Definisi genocide menurut hukum internasional ini secara tepat menggambarkan kejahatan kemanusiaan yang dilakukan militer Indonesia, sekalipun Departemen Luar negeri AS setuju atau tidak. Tetapi dengan memperhatikan keterlibatan Amerika Serikat, agak mengherankan bahwa setiap Pemerintahan AS hendak menutup diri dari perbuatan kotor tersebut.  

Seperti Joseph Conrad menulis dalam bukunya Hati yang Gelap, “penaklukan bumi, yang sebenarnya berarti membuatnya jauh dari mereka yang memiliki perbedaan seluruhnya atau mereka yang berhidung sedikit rata dari kita, adalah sesuatu yang tidak menarik ketika kamu melihatnya terlalu lama”.

Ketika kamu memandangnya terlalu lama, tidak ada sesuatupun yang bengis dari kejahatan Indonesia ataupun keterlibatan Amerika adalah hal yang baik saja. Pada tahun 2007, saya memimpin Delegasi Congres ke Indonesia berdasarkan janji Presiden SBY dan Wakil Presiden Kalla waktu itu bahwa saya diijinkan 5 hari mengunjungi Biak, Manokwari, dan yang teramat penting adalah Jayapura, sebagai dukungan terhadap upaya-upaya pelaksanaan Otonomi Khusus yang sudah disetujui pemerintah Indonesia sejak 2001.

Namun demikian, dalam perjalanan ke Jakarta, saya menerima berita bahwa pemerintah Indonesia hanya mengijinkan saya berkunjung selama 3 hari. Sebelum tiba tanggal 25 November 2007, saya diberitahukan bahwa saya hanya diijinkan berkunjung 1 hari dan saya tidak diperkenankan mengunjungi Jayapura. Ketika kunjungan terjadi, saya hanya diijinkan 2 jam di Biak dan 10 menit di Manokwari.

Di Biak, saya bertemu Gubernur Suebu, dan kepala suku, pimpinan agama dan pejabat lokal yang ditetapkan langsung oleh pemerintah. Orang-orang Papua lainnya, seperti Ketua Tom Beanal dan Tuan Willie Mandowen ditahan oleh militer sampai diketahui kantor saya. Duta Besar Amerika Serikat untuk Indonesia Cameron Hume dan saya juga harus berjalan di tengah barisan penjagaan militer yang ketat karena militer Indonesia (TNI) telah membatasi rakyat Papua untuk tidak bertemu dengan saya. Untuk direkam dalam dengar pendapat ini, saya menyertakan foto-foto yang memperlihatkan kuatnya kehadiran aparat militer.

            Di Manokwari, keberadaan militer malah lebih buruk. Sebelum saya tiba di Manokwari, saya diberitahukan bahwa hanya akan bertemu dengan Gubernur dimana perlu saya ketahui bahwa dia baru saja dari Cina dan baru tiba 5 hari. 10 menit kemudian, saya dimasukkan ke dalam pesawat dimana TNI, dengan seragam anti huru-hara lengkap, secara ketat menjaga orang Papua jauh dari suatu dialog berarti dengan saya. Pada kesempatan ini, saya mau membagi kepada teman-teman saya beberapa video rekaman dari kunjungan saya di tahun 2007.

            Setelah kunjungan ini dan dalam perjalanan pulang ke Washington, saya menulis kepada Presiden SBY menyatakan kekecewaan saya tetapi Jakarta tidak pernah menanggapi surat saya yang bertanggal 12 Desember 2007.  Pada tanggal 5 Maret 2008, Ketua Sub-Komite Urusan Luar Negeri untuk Afrika Donald Payne, bersama saya kami mengirim surat lain kepada Presiden SBY yang menyatakan perhatian kami yang amat dalam terhadap sikap Indonesia yang menyalahgunakan militernya. Kami sertakan foto-foto dan sebuah DVD tentang pengalaman saya di Biak dan Manokwari. Sekali lagi, Jakarta tidak menanggapinya.

            Pada tanggal 5 Maret 2008, Ketua Payne dan saya juga menulis surat kepada Menteri Pertahanan Amerika Serikat, Robert Gates dan menyertakan tembusan dari surat kami kepada Presiden SBY begitu juga DVD dan foto-foto tersebut. Disamping perhatian kami yang serius tentang kegagalan Indonesia mewujudkan janjinya mengijinkan anggota Kongres ke Jayapura dan permintaan kami untuk dibatasinya bantuan dana bagi pelatihan militer Indonesia, dalam balasannya tertanggal 2 April 2008 yang hambar dan tidak berbeda jauh, dimana jika Papua Barat bukanlah masalah utama. Dalam kesimpulannya yang keliru pada surat itu ia menyatakan, “dalam kaitan antara TNI dan hak asasi manusia, telah terjadi perbaikan dramatis”.  Copy dari surat ini begitu juga foto-foto dan DVD kami sertakan untuk didokumentasikan dalam dengar pendapat ini. 

Kopy dari bahan-bahan yang kami kirim pada tanggal 6 Maret 2008 kepada Komite Urusan Luar Negeri Kongres, Komite Hubungan Luar Negeri Senat, Sub-Komite yang berhubungan dengan Negara dan Kebijakan Luar Negeri Kongres dan Senat, Sub-Komite Kongres tentang Pertahanan, dan Anggota Kongres Kaukus Kulit Hitam juga termasuk di dalam laporan dengar pendapat ini. 

            Pada bulan Maret 2005, Ketua Payne dan saya menulis surat kepada Sekretaris Jenderal Kofi Annan meminta PBB membuka kembali perannya dulu di Papua Barat. Sebanyak 35 anggota Kongres lainnya dari Kaukus Kulit Hitam turut menandatangani surat ini dan saya masukkan juga untuk direkam dalam laporan dengar pendapat ini.

            Tahun ini, Ketua Payne dan saya sekali lagi memprakarsai suatu permintaan kepada Presiden Obama untuk memperlakukan secara adil rakyat Papua Barat dan untuk bertemu Tim yang terdiri dari 100 orang pemimpin adat Papua dalam kunjungannya ke Indonesia nanti. Sekalipun surat kami tertanggal 9 Juni 2010 ini ditandatangani oleh 50 anggota Kongres, Departemen Luar Negeri Amerika Serikat tidak merasa terganggu untuk secara bijaksana membalasnya. Kendati, kami menerima sebuah surat penolakan pada 11 Agustus 2010 yang ditandatangani oleh Sekretaris Asisten Urusan Parlemen bukan dari Departemen Luar Negeri Amerika Serikat sendiri, menjadi pertanda jelas bahwa Pemerintahan ini mungkin tidak akan berbeda dari yang sebelumnya di dalam tanggapannya terhadap masalah genting Papua Barat. Untuk dokumentasi, saya sertakan surat ini juga.

Begitu juga, saya sertakan sebuah video yang berhubung karena isinya sensitif, saya tidak akan menunjukkan di sini. Video ini merekam pembunuhan yang disertai tindak kekerasan terhadap seorang Papua yang dilakukan oleh BRIMOB dimana korban dibunuh dan isi perutnya keluar di saat korban masih hidup dan memohon seseorang menghabiskan nyawanya saja supaya mengakhiri penderitaannya saat itu. Ini bukan satu-satunya pembunuhan yang terjadi.  Almarhum Pemimpin Papua Theys Hiyo Eluay juga dibunuh secara kejam, dan daftar panjang lainnya yang nyawanya hilang terus-menerus.

Sebagai Ketua dari Sub-Komite ini, Saya sudah sangat, sangat sabar. Ya, saya mengakui kepentingan hubungan Amerika Serikat-Indonesia. Indonesia adalah negara muslim mayoritas di dunia dan Amerika mempunyai kepentingan yang besar untuk menggapai dunia Islam. Tetapi perjuangan kita sendiri dalam melawan militansi Islam tidak harus dibayar dengan harga berupa kesakitan, pembunuhan dan penderitaan rakyat Papua Barat.  Ini bukan Amerika yang saya tahu.

            Kita dapat dan harus melakukan yang terbaik.  Pada pernyataannya sebelum PBB melawan Apartheid, Nelson Mandela menyatakan, “Hal ini akan selamanya bertahan sebagai tuduhan dan tantangan bagi semua laki-laki dan perempuan yang sadar bahwa hal ini sudah berlangsung lama jauh sebelum kita semua bangkit untuk menyatakan cukup dan cukup.”

Ini adalah harapanku yang tulus bahwa dengar pendapat hari ini akan membantu kita melihat jalan ke depan.  Sejauh ini, Indonesia telah secara buruk gagal menjalankan Otonomi Khusus dan, sebagai hasilnya, ada pertanda dimana telah bangkit rasa frustasi di kalangan rakyat Papua, dan benarlah demikian. Menurut CRS, “migrasi oleh warga Indonesia bukan Melanesia dari berbagai tempat di Indonesia ke Papua merupakan bagian kritis dari ketegangan yang ada. Menurut sejumlah perkiraan orang Papua Melanesia akan menjadi minoritas di tanah airnya sendiri pada tahun 2015”.

            Disamping begitu banyak hal yang saya mau sampaikan tentang eksploitasi komersial sumber daya mineral yang begitu besar di Papua Barat termasuk cadangan besar emas, tembaga, nikel, minyak dan gas dan peran memalukan dari Freeport milik Amerika Serikat di dalam eksploitasi ini, saya akan menanggapi isu-isu dimskasud dalam bentuk pertanyaan pada kesaksian ini.

Pada akhirnya, saya ingin mengucapkan terima kasih kepada Edmund McWilliams, seorang pensiunan senior Departeman Luar Negeri Amerika Serikat, yang telah lama membela hak-hak rakyat Papua. Tuan McWilliams tidak dapat hadir bersama kita hari ini tetapi dia telah memasukkan kesaksiannya untuk dicatat sebagai bagian dari laporan dengar pendapat ini.

            Saya juga mau menyambut para pemimpin Papua yang terbang jauh dengan biaya yang sangat mahal untuk memberikan kesaksian sebelum Sub-Komite ini.  Saya beranggapan bahwa tidak ada yang datang atas tanggungan pemerintah Indonesia tetapi nanti kita lihat selama proses ini berlangsung. Sebagian besar dari pemimpin-pemimpin Papua yang ada bersama kita hari ini telah hidup dalam perjuangan. Yang lain baru saja kembali setelah menetap di Swedia selama 38 tahun. Sejak mereka kembali ke tanah airnya dan menerima kembali kewarganegaraan Indonesia tetapi tidak jelas bagi saya apa peranan mereka di dalam perjuangan apakah mereka sudah menyerah atau tidak sepenuhnya meninggalkannya. Saya harap akan diberikan penjalasan kepada kita.

            Sekarang, saya mempersilahkan teman baikku, sesama anggota Kongres, memberi komentar atau pernyataan yang ingin sampaikan.

HOWARD L. BERMAN, California
Chairman

GARY L. ACKERMAN, New York
ENI F.H. FALEOMAVAEGA, American Samoa
DONALD M. PAYNE, New Jersey
BRAD SHERMAN, California
ELIOT L. ENGEL, New York
BILL DELAHUNT, Massachusetts
GREGORY W. MEEKS, New York
DIANE E. WATSON, California
RUSS  CARNAHAN, Missouri
ALBIO SIRES, New Jersey
GERALD E. C
onnolly, Virginia
Michael E. McMahon, New York
JOHN S. TANNER, Tennessee
GENE GREEN, Texas
LYNN WOOLSEY, California
SHEILA JACKSON LEE, Texas
BARBARA LEE, California
Shelley Berkley, Nevada
JOSEPH CROWLEY, New York
Mike Ross, Arkansas
BRAD MILLER, North Carolina
DAVID SCOTT, Georgia
JIM COSTA, California
Keith Ellison, Minnesota
GABRIELLE GIFFORDS, Arizona
RON KLEIN, Florida
VACANCY

Richard J. Kessler
Staff Director

Douglas J. Campbell
Deputy Staff Director

SHANNA WINTERS
General Counsel and Senior Policy Advisor



One  Hundred Eleventh Congress
Congress  of  the  United  States
Committee  on Foreign Affairs
U.S. House  of  Representatives
Washington,  DC    20515

Telephone: (202) 225-5021
http://www.foreignaffairs.house.gov/



September 27, 2010




ILEANA ROS-LEHTINEN, Florida
Ranking Republican Member


CHRISTOPHER H. SMITH, New Jersey
DAN BURTON, Indiana
ELTON GALLEGLY, California
DANA ROHRABACHER, California
DONALD A. MANZULLO, Illinois
EDWARD R. ROYCE, California
RON PAUL, Texas
JEFF FLAKE, Arizona
MIKE PENCE, Indiana
JOE WILSON, South Carolina
JOHN BOOZMAN, Arkansas
J. GRESHAM BARRETT, South Carolina
CONNIE MACK, Florida
JEFF FORTENBERRY, Nebraska
MICHAEL T. McCAUL, Texas
TED POE, Texas
BOB INGLIS, South Carolina
GUS M. BILIRAKIS, Florida








YLEEM  D.S. POBLETE
Republican Staff Director

Mark C. Gage
Republican Deputy Staff Director and Director, Europe and Eurasian Affairs

Douglas C. Anderson
Republican Chief Counsel





P R E S S    R E L E A S E

Eni F.H. Faleomavaega
Ketua
Sub-Komite untuk Asia, Pasifik dan Lingkungan

 











UNTUK DITERBITKAN SEGERA                      Contact:  Dr. Lisa Williams (202) 225-8577


Washington, D.C.
FALEOMAVAEGA MENGADAKAN DENGAR PENDAPAT  YANG  PERTAMA KALI  TENTANG KEJAHATAN YANG  TERENCANA  DAN SISTEMATIS  DI  PAPUA   BARAT

Pada tanggal 22 September 2010, Ketua Sub-Komite Asia, Pasifik dan Lingkungan Global, Rep. Eni F.H. Faleomavaega (Demokrat-AS), mengadakan dengar pendapat dengan tema “Kejahatan Terhadap Kemanusiaan: Kapan Militer Indonesia dapat Bertanggungjawab atas Kejahatannya yang Terencana dan Sistematis di Papua Barat?”  Ini merupakan dengar pendapat yang pertama kali diadakan oleh Kongres AS tentang masalah Papua Barat.

Duta Besar Indonesia untuk Amerika Serikat, Dino Patti Djalal, mengatakan dia “tidak merasa terganggu dengan kegiatan dengar pendapat ini karena hanya dihadiri oleh 3 anggota Kongres, dan untuk itu pemerintah Amerika Serikat tidak harus merubah posisinya.”

“Duta Besar Djalal baru di Amerika Serikat dan tidak dapat memahami adanya fakta dengar pendapat pada Rabu lalu yang begitu penting,” kata Faleomavaega. “Hanya sedikit yang Duta Besar ketahui tentang dengar pendapat tersebut; tetapi sebagai tanggapan atas dengar pendapat ini, para pemimpin Papua telah bertemu dengan pejabat-pejabat dari Dewan Pertahanan Nasional, Departemen Pertahanan Amerika Serikat, Departemen Luar Negeri Amerika Serikat, dan anggota Kongres yang lain yang karena padatnya jadwal tidak memungkinkan mereka hadir dalam dengar pendapat.”

“Sangat disesali, prilaku Duta Besar Djalal adalah tipe umum orang Indonesia dalam memandang masalah serius yang dibicarakan dalam dengar pendapat ini.  Lebih dari 50 anggota Kongres Amerika Serikat sangat memperhatikan kegagalan Indonesia dalam menjalankan Otonomi Khusus sehingga mereka ikut bergabung dengan Ketua Payne dari Sub-Komite Afrika dan saya sendiri untuk meminta Presiden Obama menjadikan masalah Papua Barat menjadi salahsatu prioritas utama ketika akan berkunjung ke Indonesia.”

“Para Anggota  Kongres yang menandatangani surat ini sebagian besar merupakan anggota Kaukus Kulit Hitam dan pernyataan Dubes Djalal adalah benar-benar merupakan penghinaan terhadap upaya setiap orang yang sadar dan menghargai perbedaan berkomitmen mau mengakhiri kejahatan dan  konflik di Papua Barat.”

“Rakyat Papua Barat telah lama menderita di bawah kekuatan brutal militer dan polisi Indonesia, dan banyak ahli telah mengatakan bahwa rakyat Papua barat sedang mengalami genocide (pemusnahan etnis).  Apakah ada tidaknya terjadi pemusnahan etnis, satu hal telah jelas. Militer Indonesia secara terencana telah melakukan kejahatan terhadap kemanusiaan melalui pembunuhan, penyiksaan dan pemerkosaan terhadap lebih dari 100,000 warga Papua Barat.”

“Disamping Presiden SBY mewarisi situasi yang sangat sulit, saya tidak setuju bila dia tidak dapat mengawasi militernya dan menghindari kejahatan yang sama berulang di Papua Barat. Saya juga tidak setuju apabila dia tidak menjalankan Otonomi Khusus sebagaimana telah dijanjikannya.  Walaupun Dubes Djalal menekankan bahwa PBB telah mengakui status Papua Barat (dalam Indonesia), tidak ada kebenaran yang bisa disembunyikan.”

“Ini bukanlah masalah integritas teritorial. Papua Barat merupakan bekas jajahan Belanda selama sekitar 100 tahun sama dengan Timor Leste yang merupakan bekas jajahan Portugis begitu pula dengan Indonesia yang pernah dijajah Belanda.  Oleh karena posisinya sebagai wilayah yang pernah dijajah, Timor Leste mencapai kemerdekaannya terlepas dari Indonesia di tahun 2002 melalui referendum yang diputuskan oleh Perserikatan Bangsa-Bangsa, sekalipun Indonesia serius menolak hak menentukan nasib sendiri dari rakyat Timor Leste.

Sebaliknya, di tahun 1962 Amerika Serikat menekan Belanda untuk mengalihkan kekuasaannya atas Papua Barat kepada PBB. Di bawah kesepakatan yang diatur Amerika Serikat, Indonesia “membuat pengaturan dengan bantuan dan keterlibatan PBB” untuk memberikan kepada rakyat Papua Barat menentukan kemauannya apakah menjadi bagian dari Indonesia atau tidak.

Melalui apa yang dikenal dengan sebutan Aksi Tidak Menyatakan Pendapat (Act of No Choice) yang diadakan tahun 1969, 1025 orang-orang tua Papua Barat dibawah kontrol ketat intelijen dipilih untuk mewakili 809,327 rakyat Papua Barat memutuskan status politik wilayah ini. Disamping adanya pelanggaran serius terhadap Piagam PBB dan referendum yang tidak berdasar, Papua Barat telah dipaksa menjadi bagian dari Indonesia melalui laras senjata. 

Sesuai laporan Badan Penelitian Kongres (CRS), “dokumen rahasia yang dikeluarkan pada bulan Juli 2004 menunjukkan bahwa Amerika Serikat mendukung Indonesia mengambil alih Papua dengan mengakali Aksi Penentuan Pendapat di tahun 1969 sekalipun diketahui bahwa hal ini jelas-jelas tidak sesuai kehendak rakyat Papua. Dokumen dimaksud juga mencatat bahwa Amerika Serikat telah memperkirakan jika antara 85% dan 90% rakyat Papua saat itu menentang kekuasaan Indonesia dan akibatnya Indonesia tidak bisa menang dalam referendum yang bersifat terbuka pada waktu transisi kekuasaan dari pemerintah Belanda. Langkah-langkah Amerika dimaksud merupakan bukti penting dukungan kepada Suharto selama Perang Dingin.”

“Hari ini, Amerika Serikat menyediakan bantuan jutaan dolar ke Indonesia dan militernya tetapi Indonesia tidak akan mengijinkan Anggota Kongres Amerika Serikat  untuk berkunjung ke Jayapura di Papua Barat. Ini salah dan tidak boleh dibiarkan oleh Amerika Serikat.”

“Indonesia harus serius terhadap Papua Barat, saya akan melakukan apapun semampu saya untuk mengangkat masalah ini ke permukaan, secara khusus karena banyak warga Samoa pernah bekerja sebagai misionaris di Papua Barat dan membawa Kekristenan ke pulau ini. Beberapa dari keluarga saya warga Samoa dikubur di Papua Barat dan pelayanan serta pengorbanannya mendorong saya untuk melakukan apa saja sebisa saya bagi orang-orang yang mereka cintai ini.”

“Menurut CRS, “migrasi oleh warga Indonesia bukan Melanesia dari berbagai tempat di Indonesia ke Papua merupakan bagian kritis dari ketegangan yang ada. Menurut sejumlah perkiraan orang Papua Melanesia akan menjadi minoritas di tanah airnya sendiri pada tahun 2015”.

            “Kita tidak bisa membiarkan hal ini terjadi. Disamping begitu banyak hal yang saya mau sampaikan tentang eksploitasi komersial sumber daya mineral yang begitu besar di Papua Barat termasuk cadangan besar emas, tembaga, nikel, minyak dan gas dan peran memalukan dari Freeport milik Amerika Serikat di dalam eksploitasi ini, saya mau menanggapi orang-orang Papua yang memberi kesaksiannya dalam dengar pendapat minggu lalu.”

“Tuan Octovianus Mote, Pendiri dari Jaringan Aksi Papua Barat dan Pemimpin dari Pusat Sumber Daya Papua; Tuan Henkie Rumbewas, Advokat Internasional dari Asosiasi Australia Papua Barat (AWPA); Tuan Salamon Maurits Yumame, Ketua FORDEM; S. Eben Kirksey, Ph.D., Asisten Profesor pada pusat Kelulusan, Universitas Kota New York memberi kesaksian atas dukungan dan mewakili rakyat Papua Barat, mengungkapkan dengan jelas di hadapan Kongres Amerika Serikat bahwa Indonesia telah gagal menjalankan UU Otonomi Khusus yang disetujui pada tahun 2001.  Konsekuensinya, mereka menuntut harus diadakan dialog yang baru untuk mencari jalan keluar ke depan.”

“Sophie Richardson, Ph.D., Direktur bagian Asia pada Human Rights Watch mengangkat masalah pelanggaran hak asasi manusia yang terus berlangsung di Papua Barat. Pieter Drooglever, Ph.D., Professor Emeritus pada Institut Sejarah Belanda, membeberkan latar belakang sejarah dari peristiwa-peristiwa yang telah meangkibatkan perpecahan dan perbedaan pendapat.”

“Tuan Nicholas Simeone Messet, seorang warga Papua Barat yang telah menetap di Swedia selama 38 tahun atau mungkin lebih, mengatakan bahwa orang Papua Barat ‘malas’ dan harus dipersalahkan atas gagalnya Otonomi Khusus. Menurut pendapat saya, ini tidak benar jika  menyalahkan orang-orang yang ditindas.”

Pada pernyataannya sebelum PBB melawan Apartheid, Nelson Mandela menyatakan, “Hal ini akan selamanya bertahan sebagai tuduhan dan tantangan bagi semua laki-laki dan perempuan yang sadar bahwa perlakuan yang sama sudah berlangsung lama jauh sebelum kita semua bangkit untuk menyatakan cukup dan cukup. Inilah yang saya rasakan tentang Papua Barat. Orang lainpun merasakan hal serupa, walaupun dalam pernyataan Dubes Djalal tersirat maksud bahwa tidak ada seorangpun yang peduli sepanjang Indonesia mempunyai banyak teman daripada pengkritik di dalam Kongres Amerika.”

“Untuk menjadi pengetahuan Dubes, 50 anggota Kongres Amerika Serikat begitu juga Uskup Desmond Tutu, mantan Sekjend PBB Kofi Anan dan lebih dari 174 anggota parlemen dan 80 organisasi non pemerintah dari seluruh dunia telah bergabung untuk meminta Indonesia untuk mengakhiri kekerasan dan menyelesaikan masalah Papua Barat.  Sederhananya, masalah ini tidak akan berakhir sampai Indonesia bertanggung jawab, dan saya sangat yakin bahwa Presiden Obama akan, secara nyata, mengupayakan dialog.”

“Sampai di sini, ingatan dan doa-doaku ada bersama rakyat Papua Barat yang hanya membutuhkan apa yang kita semua inginkan – hak untuk hidup secara damai dan mengejar kebahagiaan. Terkait dengan dengar pendapat ini, saya telah menerima kabar bahwa keluarga dari beberapa orang Papua yang memberi kesaksian dikunjungi oleh aparat kepolisian Indonesia.  Saya berharap hal ini tidak akan menjadi masalah tetapi, untuk perhatian kita, saya meminta Kedutaan kami di Jakarta untuk memperhatikan laporan yang mengganggu tersebut.”

“Sebagai laporan, saya sertakan juga teks lengkap dari pidato saya yang memuat secara terrinci tentang tujuan dari dengar pendapat ini,” Faleomavaega mengakhiri. 

--end--

        Pelapor Khusus in PAPUA

Fr Santon Tekege, Pr
Group Communication Realities Society in Papua
Contact Person: 085244522433
Email: Santon_papua@yahoo.com


Sabtu, 05 Juni 2010

KERUSAKAN HUTAN DAN IMPLIKASINYA BAGI MANUSIA VS CIPTAAN-CIPTAAN LAIN DI MAMA BUMI PAPUA

Kerusakan hutan dn implikasinya bagi manusia dn ciptaan2 lain....

Alam akan membalas...tunggu waktu yg tepat.

Memang alam memiliki logika tersendiri utk memulihkan keadaannya...

Manusia tidak diciptakan utk merusak alam, tpi hdp berdampingan dgn alam.

Alam dn manusia adalah ciptaan Sang Pengada.

Alam sakit manusia akan sakit

hutan rusak, manusia sengsarah bahkn mati.

MAKA: Sudah saatnya komunitas manusia sadar akan kerusakan alam/hutan yg brimplikasi negatif terhadap kehidupn manusia dn alam itu sendiri.

Pemerintah harus menghargai kearifan lokal masyarakat setempat dn masyarakat setempat menjunjung kearifannya; pemerintah peting menciptakn pembangunan yg berwawasan lingkungan /pembangunan yg berkelanjutan. Pembangunan yg tdk memisahkan ekonomi dari ekologi.

Manusia dn alam saling membutuhkan.
Manusia akn mati bila tatanan alam dirusak

perlu pemerintah mempertimbangkan hal2 ini shubungan dgn pemberian izin bgi perusahan-perusahan:

terimalah perusahan yg berwawasan lingkungan. Perusahan yg membwa dampak negatif trhdp lingkungan, ditvtup /jgn diterima.

Jangan perkosa alam kami negeri Papua, krn negeri ini adalah ibu kami, yg diberikan Allah. Tanah Perjanjian.

Lebih baik makan sebuah ubi jalar dan satu mangkok pepeda dgn penuh persaudaraan dan dalam damai sejahtera, daripada hdp dgn makanan instan yg bergudang-gudang dengan suasana penindasan dan di luar keadaan syalom. Terima kasih banyak. Gbu!!!





Penulis


Fr Agus Yerwuan, OFM

Adakah: Semua Orang Asli Papua (Pejabat maupun bukan Pejabat) Keprihatinan akan HUTAN DI PAPUA?

                                                       Hutan Papua Berkurang 3,5 Juta Hektare
                                                                       Minggu, 6 Juni 2010

Timika:  Luas kawasan hutan di Provinsi Papua mengalami pengurangan sekitar 3,5 juta hektar dari sekitar 31,56 juta hektar pada dekade 1960-an hingga menjadi 28 juta hektare saat ini.

Kepala Dinas Kehutanan Provinsi Papua, Ir Marthen Kayoi kepada ANTARA di Timika, Sabtu mengatakan pengurangan luas kawasan hutan Papua itu sebagai dampak dari meningkatnya aktivitas pembangunan serta pengelolaan hutan.

"Pengurangan kawasan hutan di Papua salah satunya akibat pemekaran wilayah kabupaten/kota serta meningkatnya aktivitas pengelolaan hutan," jelas Kayoi.

Ia mengatakan, sekitar tujuh kabupaten yang baru terbentuk di Provinsi Papua yang berada di wilayah pegunungan tengah, wilayah administratifnya seluruhnya berada di dalam kawasan hutan lindung Taman Nasional Lorentz dan Taman Nasional Memberamo.

"Kabupaten Nduga, Memberamo Raya dan Memberamo Tengah itu seluruh wilayahnya berada dalam kawasan Taman Nasional Lorentz dan Taman Nasional Memberamo," jelas Kayoi.

Menurut dia, pembentukan sejumlah kabupaten baru tersebut otomatis akan berdampak terhadap pemanfaatan kawasan hutan untuk pembangunan perkantoran pemerintah dan pemukiman masyarakat.

Meski demikian, Kayoi berharap Pemda di semua kabupaten yang baru dibentuk tersebut dapat membangun infrastruktur umum dengan memperhatikan kelangsungan ekosistem hutan di sekitar agar tidak terjadi kerusakan akibat penebangan yang tidak terkendali.

HPH Masih Beroperasi

Pada bagian lain, Kayoi mengatakan hingga saat ini terdapat 14 dari 25 perusahaan yang mengantongi izin Hak Pengelolaan Hutan (HPH) dari Kementerian Kehutanan masih beroperasi di Papua.

Sesuai surat keputusan bersama Gubernur Papua Barnabas Suebu dan Gubernur Papua Barat Abraham Atururi, semua perusahaan HPH yang beroperasi di Papua dilarang mengekspor kayu dalam bentuk gelondongan ke luar wilayah dua provinsi itu.

Tidak itu saja, perusahaan HPH juga diwajibkan membangun industri pengelolaan kayu seperti industri kayu lapis di Papua.

Menurut Kayoi, implementasi SK bersama dua gubernur itu cukup ampuh memproteksi hutan Papua dari aksi penebangan liar, meskipun dalam praktiknya masih terdapat "pengusaha nakal" yang mengirim kayu gelondongan ke luar Papua secara sembunyi-sembunyi.

"Akses kontrol kita agak lemah, namun dengan Sistem Informasi Penata Usahaan Hasil Hutan (SI-PUHH) yang bersifat On line dapat mengontrol peredaran kayu yang keluar dari hutan Papua," jelas Kayoi.

Ia mengatakan, sesuai mekanisme bagi hasil hutan, Pemprov Papua mendapatkan bagian 16 persen dari setiap retribusi hasil hutan, kabupaten penghasil mendapat bagian 32 persen, kabupaten lain 32 persen dan sisanya masuk ke Pemerintah Pusat melalui Kementerian Kehutanan.

Kamis, 03 Juni 2010

Indonesia: Dimanakah Keprihatinan Pemerintah bagi TAPOL/NAPOL di Papua


DIMANA KEPRIHATINAN PEMERINTAH BAGI TAPOL/NAPOL DI PAPUA?


 
Sunday, 09 May 2010 00:00
 

(Sebuah Refleksi di Bawah Pohon Ketapan Seminari Tinggi-Papua)
Oleh : Santon Tekege*
Semua realitas kehidupan di Tanah Papua dapat dilihat saat ini adalah akibat dari kepentingan Negara Indonesia dan para kapitalis dalam mengeruk kekayaan alam Papua. Nafsu perselingkuhan kepentingan ini selalu terjadi timbal-balik antara keduanya. Akibatnya, banyak korban dan penangkapan sewenang-wenang dan mendapat stigma  makar dan separatis dari pihak aparat saat Rakyat Papua berteriak meminta haknya. Pemerintah Indonesia dan Pemerintah Provinsi Papua menjadi buta dan tidak ada keprihatinan terhadap situasi Masyarakat Papua, lebih  khususnya TAPOL (Tahanan Politik) dan NAPOL (Narapidana Politik) yang selama ini meneriakkan nasib Rakyat Papua. Mereka membiarkan rakyatnya menjadi korban yang seolah-olah tak memiliki ayah dan ibu. Di manakah keprihatinan Pemerintah Indonesia dan Pemerintah Provinsi Papua bagi TAPOL/NAPOL di Papua?
Semangat transformatif yang memungkinan manusia dapat membebaskan diri dari segala macam bentuk penindasan bukanlah sekedar milik Pemerintah Indonesia atau Pemerintah Provinsi Papua sendiri, pejabat tertentu,kalapas dan gereja-gereja (kelompok agama) tetapi milik semua orang yang mendambakan keadilan, perdamaian dan keutuhan ciptaan di bumi ini.
Ada yang beranggapan bahwa TAPOL/NAPOL adalah orang-orang yang pasrah pada nasib, mereka tidak lagi memiliki semangat untuk berjuang, tidak memahami hak dan kewajibannya sebagai tahanan. Mereka dibiarkan, dicaci maki, diludahi bahkan dipukuli hingga ada yang jatuh sakit berbulan-bulan bahkan bertahun-bertahun tanpa pengawasan dan perhatian dari pihak manapun.
Perjuangan para TAPOL/NAPOL tidak berjuang hanya sekedar untuk kepentingan diri atau demi nilai diri sendiri tetapi perjuangan yang mereka lakukan untuk menuntut keadilan dan juga ingin mengakhiri penindasan untuk mencapai suatu pembebasan dari situasi keterpurukan yang dialami dan dirasakan oleh banyak orang dunia khususnya di Papua.
Semuanya selalu berakhir dengan kekalahan di pihak mereka karena mereka tidak memiliki strategi perlawanan yang kuat, pemimpin yang karismatis, organisasi yang dijadikan alat perjuangan serta tidak menguasai kemajuan teknologi. Tetapi tidak demikian halnya dengan pengamalan hidup yang mereka jalani selama berada di dalam tahanan.
Kondisi mereka sangat menyedihkan karena di dalam lembaga pemasyarakatan itu mereka mendapat banyak tekanan, mereka tidak diberi ruang gerak, kebebasan, demokrasi, dukungan untuk berekspresi bahkan ketika jatuh sakit, para TAPOL/NAPOL selalu  dibiarkan seperti seorang anak yang seolah-olah tidak memiliki orang tua.
Kalapas dan Pemerintah Indonesia maupun Pemerintah Provinsi Papua sadarlah dari ketidaksadaran ‘aneh’ yang membiarkan penghuni lapas menderita dan sengsara seperti yang sedang dialami oleh Bapak Filep Karma, Ferdinand Pakage dan Yusak Pakage dan kawan-kawan lain yang ada lembaga pemasyarakatan (lapas) di seluruh Tanah Papua.
Kalau memang demikian, sejauh mana keterlibatan serta partisipasi Pemerintah Indonesia dan Pemerintah Provinsi Papua untuk meringankan tekanan fisik dan mental yang dialami oleh para TAPOL/NAPOL ini? 
Penulis tidak bermaksud agar pemerintah lebih memperhatikan apa yang menjadi keprihatinan dan kepentingan serta pemberdayaan bagi penghuni lembaga pemasyarakatan juga aparatur pemerintah yang bertugas di dalamnya. Tidak demikian halnya dengan pengadaan barang yang dibutuhkan oleh lembaga pemerintahan itu. Juga tidak berniat agar dana Otsus ini diberikan kepada para tahanan dan para petugas tahanan yang ada di Papua. Namun yang diperlukan saat ini adalah eksistensi diri sebagai TAPOL/NAPOL itu sendiri yang sangat didambakan dan perlu untuk diangkat ke public agar mereka merasakan dirinya diperlakukan sebagai manusia. Mereka juga perlunya  diperlakukan sebagai mana adanya. Ingatlah bahwa di dunia manapun hukum dan aturan itu, tidak pernah menjamin keselamatan dan kebebasan bagi eksistensi manusia itu sendiri.
Akibat Hukum dan aturan yang ada di  Indonesia itu, banyak Rakyat Indonesia yang mengalami ketidakadilan, penindasan dan banyak Rakyat Papua diberi stigma sebagai separatis TPN/OPM atau makar seperti yang dialami oleh para TAPOL/NAPOL untuk melanggengkan kekerasan yang telah dilakukan aparat keamanan selama Papua berintegrasi dengan Indonesia. Warga Indonesia selalu mengalami penderitaan.
Wahai, Pemerintah Indonesia di manakah hati nurani dan perasaanmu terhadap rakyatmu, khususnya para TAPOL/NAPOL yang berada dibalik jeruji-jeruji besi di Papua? Di manakah hukum dan aturan yang dapat menyelamatkan manusia, dalam hal ini para TAPOL/NAPOL di seluruh Papua?
Akhirnya penulis berpikir bahwa para TAPOL/NAPOL yang ditangkap oleh aparat keamanan dan diberi stigma TPN/OPM serta dikenai Pasal Makar oleh ahli hukum bahkan hidupnya berakhir dipenjara oleh Pemerintah Indonesia dan Papua hanyalah sebuah proses perselingkuhan yang dilakukan demi kepentingan ekonomi dan politik balik antara elite-elite politik di kedua belah pihak dengan tujuan untuk menjaga keutuhan dan hukum di negara  yang tak manusiawi ini.
Dengan tujuan itu, telah banyak Orang Papua yang jadi menderita dan bahkan menjadi korban di atas tanahnya sendiri.
Dalam kondisi seperti ini, kebanyakan aktivis mahasiswa mulai tergerak hatinya untuk menyuarakan “Wene” yang artinya adalah kabar atau suara dari ufuk timur, cahaya bagi semua orang khususnya bagi kaum lemah dan miskin. Kaum lemah adalah semua orang yang direndahkan yang telah diabaikan harkat dan martabatnya sebagai manusia, semua orang yang tak mampu memancarkan sinar kebenaran, keadilan dan perdamaian bahkan kasih karena berbagai belenggu dan pembatasan oleh karena hukum dan aturan yang tak membawa keselamatan bagi manusia di Indonesia khususnya di Papua.
Hanya karena perjuangan demi kaum lemah dan miskin ini, banyak aktivis Papua terperangkap dalam jerat hukum dan aturan yang jijik dan kurang manusiawi. Hal yang sama juga dialami oleh para TAPOL/NAPOL di Papua. Mereka ditangkap demi kaum lemah dan miskin.
Mereka berjuangan demi nilai bersama yakni kebenaran, keadilan dan perdamaian bahkan kasih itu sendiri. Mereka berjuang demi eksistensi kemanusiaan di Papua. Namun perjuangan itu, selalu diperhadapkan dengan nafsu perselingkuhan kepentingan antara kaum elite politik lokal Papua dengan Jakarta yang hanya ingin mengeruk kekayaan Papua tanpa mengindahkan Masyarakat Adat Papua yang hidup di atasnya. Akibatnya banyak Masyarakat Papua mengalami penderitaan, penindasan dan kekerasan, ketidakadilan, marginalisasi dan pembunuhan yang masih terus berlanjut.
Pembatasan ruang demokrasi dan kebebasan berekpresi serta pemberian stigma TPN/OPM atau dikenai Pasal Makar. Oleh sebab itu, perlunya mencari jalan keluar dan solusi yang baik bagi Masyarakat Papua. Selain itu, perlu adannya keprihatinan dari semua pihak bagi para TAPOL/NAPOL di seluruh Tanah Papua agar mereka dapat memperoleh kembali eksistensinya sebagai manusia di tanahnya sendiri.

*)Penulis adalah Aktivis Papua pada STFT ”Fajar Timur” Abepura-Papua.

MASYARAKAT PAPUA MENJADI KORBAN PESTA DEMOKRASI INDONESIA


MASYARAKAT PAPUA MENJADI KORBAN PESTA DEMOKRASI INDONESIA


  
Thursday, 27 August 2009 12:37
Oleh: Yanuarius Dou (*)

JUBI — Pemilihan presiden Repulik Indonesia merupakan sebuah peristiwa yang amat bersejarah dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Setiap warga negara diwajibkan turut terlibat memilih calon kepala negara (presiden) secara LUBER (Langsung, Umum, Bebas dan Rahasia). Proses pemilihan pilpres yang dilangsungkan secara baik tentu memperlihatkan kepada dunia sebagai suatu bangsa yang demokratis dan bermartabat. 

Citra diri bangsa Indonesia menjadi baik ketika demokrasi benar-benar ditegakkan. Namun ironisnya, hal ini tak terjadi. Pasca Pilpres kemarin, secara tak terduga, dua musibah besar terjadi di dua wilayah berbeda. Musibah terjadi di Jakarta dan di seluruh Papua. Kedua wilayah ini ternyata menjadi sasaran diciptakan konflik di Indonesia oleh kelompok berkepentingan. Di Jakarta terjadi pemboman terhadap Hotel Mariot. Pemboman menewaskan 9 orang dan 54 lainnya luka. Peristiwa pasca pilpres ini menuai duka yang mendalam bagi Warga Indonesia.
Kekecewaan karena konflik terus menyelimuti Masyarakat Papua. Tanah Papua yang selalu diperjuangkan sebagai Papua Zona Damai ternyata masih jauh dari harapan. Realitas menunjukkan, Papua bukan Zona Damai tetapi Zona Darurat. Masyarakat sipil Papua selalu berada dalam keadaan yang membahayakan dan karena itu hidup mereka sedang terancam. Masyarakat Papua sedang menuju kepunahan.
Pasca pilpres kemarin, masyarakat Papua benar-benar dijadikan biang keladi bagi kaum penguasa Indonesia dan militer (TNI/POLRI). Kalau di Jakarta terjadi pemboman pada Hotel Mariot yang menewaskan orang dengan pelaku yang tidak jelas identitasnya, lain halnya dengan di Papua. Di Papua terjadi rentetan pembunuhan terhadap warga sipil, terhadap warga asing (Australia), bahkan terjadi penangkapan masyarakat sipil secara sewenang-wenang dengan tuduhan-tuduhan palsu.
Beberapa rentetan peristiwa lainnya juga turut mewarnai gejolak di tanah Papua. Antara lain, pengibaran bintang Kejora yang terjadi di beberapa tempat pada tanggal 1 Juli 2009, yakni di Distrik Arso-Kampung Workwana – Kabupaten Kerom, di Sentani – Kabupaten Jayapura tepatnya dibelakang Asrama Koramil Hawai sentani, di Perumnas III Waena – Kota Madya Jayapura dan di Yapen – Kabupaten Serui. Pengibaran bendera terjadi ketika mati lampu. Ini berarti para pelaku pengibaran bendera memiliki skill melakukan pemadaman terhadap lampu. Oknum-oknum inipun sangat tidak jelas.
Di Timika lain lagi. Pasca Pilpres, penembakan terjadi hingga menewaskan 1 warga Australia. Seorang warga sipil dan 3 Masyarakat Asli Papua ditangkap dan dipenjarakan dengan tuduhan palsu. Pelaku utamanya sampai saat ini tidak terungkap secara jelas. Kapolda Papua, Fransiskus Xaverius Ekodanto, pernah mengungkapkan, pelakunya adalah orang-orang terlatih. Bila kasus ini diselidiki lebih jauh tentu berakar pada perebutan kekuasaan dalam institusi militer, yaitu antara TNI/POLRI. Pelakunya adalah pihak TNI.  Ini juga bagian dari sebuah skenario. Mereka kecewa karena tidak mendapat bantuan dari PT. Freeport Indonesia. Oknum TNI juga kecewa karena dana pengamanan perusahan PTFI senilai 472 milyar hanya diperuntukan bagi pihak kepolisian Indonesia.
Peristiwa Timika terjadi Pasca penembakan seorang warga sipil di Kampung Yeti-Distrik Arso Timur-Kabupaten Kerom. Korbannya Isak Psakor (22 tahun), 22 Juni 2009 pada pukul 02.00 sore. Ia ditembak oknum TNI dengan alasan dirinya (pelaku) menembak anjing tetapi salah sasaran. Psakor kini dirawat di salah satu rumah sakit di Jakarta.
Setelah peristiwa Arso, pada 25 Juni 2009, terjadi lagi kasus serupa yang menimpa 4 warga sipil di Kabupaten Paniai. 2 tewas, Mika Boma (59 th) dan Pendetus Boma serta 2 lainnya, Yan Pigai (37) dan Yul Keiya yang dirawat di RSUD Nabire. Pelakunya oknum Brimob.
Kasus Paniai terjadi bersamaan dengan kontak senjata di wilayah Yapen, Kabupaten Serui. Dengan tuduhan TPN/OPM,  masyarakat menjadi korban. Sebanyak 12 warga sipil ditangkap dan diproses secara hukum. Setelah peristiwa ini, Masyarakat Yapen hingga kini masih dihantui rasa takut. Mereka hidup dalam situasi tidak aman serta tertekan. Tidak hanya masyarakat sipil, seorang anggota Elsham (Sebuah LSM di Papua) juga ditangkap dalam perjalanan melakukan investigasi terhadap kasus tersebut.
Hari berlalu, namun peristiwa kekerasan di Tanah Papua masih terus berjalan bagaikan jarum jam yang selalu berputar tanpa henti. Di tengah situasi kekerasan ini Masyarakat Papua bertanya, ‘mengapa demokrasi itu dimatikan oleh aparatur negara dengan alat negara?’ adakah ruang dan waktu bagi Masyarakat Asli Papua untuk menikmati demokrasi yang hakiki? Mengapa pesta demokrasi Indonesia di Tanah Papua sebaliknya menuai tetesan darah dan air mata duka?
Masalah di Tanah Papua adalah masalah yang kompleks. Kompleksitas masalah Papua berakar pada haus kekuasaan, kekayaan dan uang. Bagi Masyarakat Indonesia, kedudukan, kekayaan dan uang dipandang dan dijadikan sebagai “dewa penyelamat”. Kepentingan nilai manusia bahkan disepelekan. Manusia Papua menjadi korban kekerasan demi merebut tanah Papua yang berlimpah dengan sumber daya alam.
Kaum migran mulai tumpah ruah di Tanah Papua demi mengejar “madu yang sudah bersarang di Papua”, yaitu OTSUS. Masyarakat Papua dijadikan buah bibir publik warga luar Papua dengan steriotipe orang Papua belum bisa, Orang Papua konsumtif, orang Papua terbelakang, Orang Papua belum sadar, orang Papua SDM lemah, Orang Papua pemabuk, orang Papua primitif dan lain-lain. Steriotipe semacam itu dikondisikan sedemikian rupa untuk mencari dan mendapat posisi aman bagi warga luar di tanah Papua, sehingga mereka memiliki alasan yang meyakinkan bagi pihak lain. Ada warga luar Papua yang benar-benar mengabdi tetapi ada pula banyak warga luar Papua yang mencari keuntungan ekonomi yang berlimpah dengan alasan dirinya atau mereka mengabdi untuk Masyarakat Papua. Kelompok masyarakat demikian dikategorikan pada kelompok “pikir lain, bicara lain dan buat lain”.
Kita semua menghendaki bahwa cita-cita Orang Papua akan kehidupan yang lebih adil, benar dan demokratis perlu dicapai. Pencapaian harapan dan cita-cita ini tidak begitu mudah terjadi. Harapan dan cita-cita ini harus diperjuangkan dengan penuh pengorbanan. Hal ini dikarenakan di Tanah Papua demokrasi telah mati. Masyarakat Papua sudah tidak mampu lagi berbicara tentang hak-hak adat, hak-hak azasi manusia, hak-hak ekonomi, hak-hak politik dan lain-lain. Karena bila masyarakat menuntut hak-hak dasarnya maka selanjutnya tentu pihak aparat negara (TNI/POLRI) akan menuduh masyarakat sebagai TPN/OPM. Ungkapan Sparatis, Makar dan OPM seolah-olah menjadi ungkapan sakral yang harus selalu dilestarikan. Padahal, stigma-stigma ini semakin memperburuk nuansa demokrasi di Tanah Papua. Demokrasi Papua di Indonesia sungguh-sungguh telah diabaikan dengan sadar, tahu dan mau oleh para intelektual sebagai aktornya.
Kondisi keterpurukan ini tidak bisa dibiarkan begitu saja oleh Pemerintah Indonesia dan seluruh Rakyat Papua. Pemerintah dan masyarakat perlu memiliki usaha dan inisiatif bersama mendorong terciptanya ruang demokrasi bagi masyarakat Papua. Pertama-tama perlu didorong dari atas ke bawah, top down. Kemudian dorongan dari bawah ke atas. Gubernur Propinsi Papua, DPRP dan MRP perlu juga duduk bersama mengambil suatu langkah strategis untuk memikirkan, merencanakan dan menentukan suatu ruang demokrasi untuk Masyarakat Papua. Ketiga komponen ini perlu memfasilitasi Masyarakat Papua, LSM, tokoh Agama dan pihak TNI dan POLRI untuk duduk bersama mengklarifikasi stigmatisasi makar dan separatis. Usaha ini penting dan mendesak agar tidak ada lagi sikap saling tuduh menuduh. Bila Pemerintah Propinsi, DPRP dan MRP membiarkan kondisi ini, maka ketiga komponen lembaga ini terus menerus akan dipandang oleh Masyarakat Papua sebagai lembaga representasi institusi negara yang memelihara status penjajahan di atas Tanah Papua.
Akhirnya, tanpa menaruh curiga dan tidak dengan maksud menuduh sesama Orang Papua dan non Papua, selanjutnya kita perlu hidup bersatu dan berjuang bersama dalam payung kesamaan martabat manusia. Berjuang sebagai ciptaan Tuhan guna mengatasi masalah-masalah di Tanah Papua secara menyeluruh dan bukan parsial.

(*) Aktivis Gerakan Pro Demokrasi Papua di Indonesia

PELAPOR

Fr Santon Tekege, Pr
Group Struggle Justice in Papua-Indonesia