Sabtu, 13 Maret 2010

"Papua Penantian Dialog Jakarta-Papua"

“PAPUA PENANTIAN DIALOG JAKARTA-PAPUA”
(Sebuah Refleksi Realitas di PAPUA)



By SantonTekege
Aktivis Mahasiswa di STFT-Fajar Timur Abepura-Papua

Semua tempat di bumi ini, dapat menghayati Injil Yesus Kristus. Penghayatan Injil Yesus Kristus selalu berkaitan dalam hidup kini dan saat ini di seluruh manca negara. Hidup, Karya, Sengsara Wafat dan Kebangkitan Yesus menjadi tugas bagi pengikut-pengikut-Nya. Tugas bagi kita sekarang ini adalah kita diutus di dunia agar menampakan Hidup, Karya dan Sengsara Wafat dan kebangkitan Yesus itu.

Dengan tugas perutusan itu, gambaran wajah Yesus Kristus selalu ada dalam tugas dan karya serta tindakan dalam kehidupan kita sehari-hari di dunia ini. perti   kita diutus di dunia agar membelah para kaum tertindas, kaum lemah, kaum miskin, dan menderita bagi manusia. Manusia tidak selalu menampakan wajah Yesus itu dalam dunia ini. Dikatakan demikian karena ada banyak konflik di dunia khususnya di Tanah Papua ini. Manusia tidak menghayati dan merefleksikan secara baik tentang Injil Yesus Kristus itu. Akhirnya yang terjadi adalah ketidakadilan, pelanggaran HAM, perampasan dan Pengurasan SDA secara tidak manusiawi dan tidak menguntungkan bagi manusia setempat seperti (PT. Freeport di Timika, Migas di Sorong dan Penambangan illegal yang ada di Degeuwo, Nabire di Topo), Pemerkosaan, Pengrusakkan lingkungan di mana-mana, intimidasi, penganiayaan, dan Pengdropan TNI dan Polisi di seluruh jagad raya tanah Papua.

Dalam keadaan seperti ini kita seluruh warga Papua diantar oleh Ketiga tokoh pembawa Injil Yesus Kristus di tanah Papua ( Ottow dan Geissler di Mansinam Manokwari kemudian Pastor Cornelis Lecoq d’Armanville, SJ di kampung Sekru Fak-fak) agar kita dapat menghayatinya dan merenungkan kembali sebagai anak-anak Allah tanpa ada konflik dan pertikaian serta pembatasan dan sempitnya ruang gerak bagi orang-orang asli Papua. Kita semua (manusia) adalah anak-anak-Nya sehingga mari kita saling mengasihi, berdamai melalui dialog yang baik demi perwujudan wajah manusia baru, hati yang baru demi kemuliaan Allah (Ad Maiorem Dei Gloriam) dalam peziarahaan hidup manusia di tanah Papua ini.

Jika  manusia tidak merefleksikan dan merenungkan sebagai anak-anak Allah yang bebas dalam dunia khususnya di Tanah Papua ini, maka mari kita sama-sama duduk dan bicara bersama secara bebas melalui dialog. Saya tahu konflik yang terjadi di Tanah Papua adalah selalu kait-kaitkan masalah antara Jakarta dan Papua sehingga kedua belah pihak yang sedang bertikai ini, perlu mencari jalan terbaik melalui jalan dialog demi mewujudkan tanah Papua yang damai dan aman.

Hingga kini waacana Dialog Jakarta - Papua menggema sampai ujung bumi; membangunkan akar rumput yang tidur terlelap; membangkitkan para arwah Anak Negeri yang telah terbawa badai; menggetarkan hati nurani bagi Pemerhati kemanusiaan di Manca Negara. Semua mata tertuju memandang seberkah sinar merekah; semua wajah berpaling menatap para duta damai yang sedang bergerak kian kemari mendorong Dialog; semua telinga tertuju mendengar wacana dialog yang menggema bagai lonceng berdentang.

Dialog juga dapat dimediasi oleh Internasional demi meningkatkan penegakan hukum yang lebih baik.  Juga meningkatkan kualitas kehidupan masyarakat Papua, sebagai misal, meningkatkan ketersediaan listrik dan air segar. Meningkatkan program kesehatan masyarakat untuk mencegah berbagai penyakit  dan pengobatan penyakit lainnya, serta meningkatkan sistem pendidikan masyarakat setara dengan sistem-sistem pendidikan lainnya  di seluruh Indonesia.
Adanya dialog nasional juga akan memberikan kesempatan untuk menyelesaikan masalah-masalah penting lainnya di Papua Barat yang telah lama menjadi keprihatinan Anggota Kongres AS dan masyarakat Internasional. Ini termasuk pelanggaran HAM, keadaan demografis yang menjadikan orang Papua sebagai minoritas di tanah mereka sendiri, perampasan dan pengrusakan sumber alam secara tidak manusiawi, penindasan, pemerkosaan, pembodohan,  pembatasan kebebasan berbicara dan menyuarakan perdamaian, serta banyaknya kendala jurnalis Internasional, peneliti, dan organisasi nonpemerintah bekerja di Papua Barat. Saya yakin bahwa  saat untuk memulai proses semacam itu (dialog). Dialog yang serius akan meningkatkan kesejahteraan rakyat Papua, menunjukkan komitmen Indonesia untuk demokrasi dan keadilan bagi semua warga negaranya sebagai anak-anak Allah yang bebas tanpa beban, dan meningkatkan citra Indonesia di panggung global. Oleh sebab itu, Nagara Indonesia perlunya keterbukaan hati dan pikiran untuk berdialog dengan orang Papua. Kita semua manusia dan sebagai anak-anak Allah sehingga perlunya sadar diri dan buka hati untuk duduk bersama bahkan bicara jalan mana yang terbaik untuk Papua dan Negara Indonesia dalam suasana konflik di Papua ini.
Karena masyarakat Papua sedang menantikan dialog Jakarta - Papua  dan bertanya: Adakah Negara Indonesia bersedia membuka diri untuk duduk di bawah satu atap, yang dimediasi oleh pihak ketiga yang indenpenden, membicarakan pelbagai dilema kemanusiaan yang sudah, sedang dan akan terjadi di Tanah Papua?  Adakah dialog yang bermartabat, adil, jujur dan demokratis akan tercipta? Adakah proses dialog Jakarta – Papua akan berjalan dengan baik sebagaimana yang diharapkan bersama?
Adalah lebih bijaksana dan bermanusiawi, jika pihak Indonesia membuka diri untuk duduk bersama dan bicara bersama tentang semua konflik di Papua sebagai konsekwensi Negara demokrasi yang Pancasila’is dan keadilan maupun Negara hukum.

Banyak pihak sedang memandang kepada Indonesia, apakah Negara Indonesia akan membuka diri untuk berdialog dengan Papua. Penantian semua pihak akan sebuah dialog kemanusiaan yang tulus antara Jakarta-Papua yang dimediasi pihak ketiga yang indenpenden adalah merupakan kerinduan terdalam yang tak ternilai harganya dan tak bayar milyaran rupiah atau dollar.  

Doa-puasa sudah, sedang dan akan menggema di seantero Jagad Raya menantikan keterbukaan Negara Indonesia untuk membicarakan martabat orang Papua yang sedang menuju ke ambang kehancuran. Doa-puasa jutaan jiwa yang resah sedang mengetuk pintu hatimu Jakarta. Bukalah pintu hatimu menyimak suara akar rumput yang berdentang bagai lonceng Gereja; Bukalah jendela jiwamu memandang jutaan jiwa yang meratap tangis; Bukalah telingamu mendengar desahan-tangisan yang menggema di Lorong Negeri; Bukalah akal budimu, pahamilah suara Akar Rumput yang kian berdentang.

Akar Rumput tak akan pernah menyerah; jutaan Jiwa yang resah tak akan pernah putus asah; Anak Negeri tak akan pernah berdiam diri; kaum Papa tak akan pernah menarik diri; para arwah tak akan pernah tidur terlelap; Allah Moyang Pupua pun tak akan pernah diam membisu. Semua makhluk di Angkasa Raya sedang menantikan keterbukaanmu untuk Dialog Jakarta-Papua yang tulus dan adil. Walau badai menerpa bumi Cenderawasih, namun bangkitlah wahai manusia Papua melalui  semangat perjuangan ketiga Tokoh Pembawa Injil di tanah Papua demi mewujudkan dialog Jakarta-Papua yang sedang nantikan katerbukaan hatimu Jakarta. Demikianlah sebuah refleksi iman akan kebenaran dan keadilan melalui jalan DIALOG di Tanah Papua demi KESELAMATAN MANUSIA JIWA-JIWA DAN RAGA-RAGA ORANG ASLI DI TANAH PAPUA.

Rabu, 10 Maret 2010

Otsus: Kegelapan bagi Papua

OTSUS: KEGELAPAN PAPUA


Pengantar
Otonomi Khusus (Otsus) Papua lahir dari “konflik” yang dialami oleh seluruh rakyat Papua. Kekerasan dan pelanggaran HAM, ketidakadilan, tidak adanya kesejahteraan dan berbagai persoalan di tanah Papua. Pemberian otsus dilihat sebagai salah satu alternatif dan jalan tengah pemerintah pusat untuk merespon tuntutan rakyat Papua untuk merdeka, lepas dari Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Ada berbagai perjuangan yang dilakukan oleh orang Papua di dalam negeri ini untuk menuntut hak-hak hidup mereka.
Semangat otsus mengamanatkan pemerintah daerah untuk menyelenggarakan tata pemerintahan yang demokratis, transparan dan bertanggung jawab dalam kerangka peningkatan kesejahteraan masyarakat Papua melalui pengambilan hak-hak dasar orang Papua. Hal tersebut terjadi tidak hanya dari sisi ekonomi saja, seperti peningkatan kesejahteraan, tetapi juga penigkatan kehidupan sosial, pengakuan hak-hak masyarakat, perlidungan dan penegakan HAM, adanya rasa keadilan bagi para korban pelanggaran HAM, mutu pelayanan politik yang baik dan efektif.
Namun, semua visi yang dibangun hanyalah tinggal ide. Peraturan daerah provinsi (Perdasi) dan peraturan daerah khusus (Perdasus) yang dibuat oleh pemerintah belum nampak ke permukaan. Masyarakat masih saja tetap miskin. Pelanggaran HAM terjadi di mana-mana. Tidak ada demokrasi yang dapat digunakan untuk berdialog di antara pemerintah dan masyarakat.
Dunia semakin berkembang, wilayah Papua dimekarkan menjadi provinsi, kabupaten dan distrik-distrik. Banyak orang berdatangan mencari hidup di bumi Papua. Dampaknya orang Papua sendiri semakin mengalami degradasi di berbagai bidang kehidupan. Karenanya, “otonomi khusus dikatakan sebagai bencana bagi orang Papua”.

Apa itu Otonomi ?
Otonomi berasal ari kata auto, artinya sendiri dan nomy yang artinya kelihatan, secara etimologis berhubungan dengan ekonomi. Dari asal kata tersebut dapat kita pahami bahwa autonomy artinya menjalankan kegiatan ekonomi sendiri. Jika dipandang dari realitas  definisi ini agak masuk akal karena apa yang terjadi dalam otonomi adalah mengatur perekonomian (peri kehidupan) sendiri.[1] Dalam bahasa birokrasi  atau administrasi pemerintahan, otonomi sering diasosiasikan dengan desentralisasi yaitu kebijakan administrasi dan manajemen negara yang terpusat dibagikan dengan daerah.
Otonomi dilihat sebagai sentralisasi kekuasaan pemerintah pusat terhadap orang Papua. Konsep mandiri tadi memainkan peranan besar. Artinya bahwa masyarakat dapat mandiri secara ekonomi, sosial budaya, politik dan hukum. Namun, realitas yang terjadi, kewenangan yang diberikan selama ini terbatas, karena semua keputusan diatur dan dikendalikan secara sistematis dari pusat, Jakarta.
Akibat dari model kebijakan seperti itu, telah membawa konsekuensi yakni ketergantungan daerah pada pemerintah pusat dan pemerataan pembangunan yang tidak adil. Berdasarkan pengertian di atas maka melalui Undang-Undang Otonomi Khusus No 21 Tahun 2001 memberikan kewenangan yang luas dan spesifik bagi orang Papua untuk mengatur rumah tangganya.

Permasalahan yang Timbul[2]
Jika kita mengamati pembangunan yang berlangsung di Papua ini memiliki dampak yang kuat terhadap kehidupan masyarakat dalam menciptakan kesejahteraan hidup. Dalam menjalankan kebijakan, pemerintah terkesan belum berubah karena mereka masih berpegang teguh pada pola-pola lama yang tidak sesuai lagi dengan tuntutan dan perubahan masyarakat.
Syarat dari suatu pemerintahan yang baik adalah adanya transparansi, partisipasi rakyat, demokrasi dan akuntabilitas kepada masyarakat terhadap program pemerintah yang dilakukan serta hasil pembangunan yang dicapai. Hal tersebut merupakan harapan dan kerinduan dari masyarakat. Kesulitan memperoleh informasi pembangunan dan tidak adanya transparansi membuat masyarakat apatis dan tidak peduli lagi dengan berbagai upaya pembangunan.
Di satu sisi kondisi demikian tidak dapat dibiarkan begitu saja. Masyarakat harus didorong dan difasilitasi untuk melakukan kontrol sosial terhadap hak-hak politik mereka untuk mendapatkan sebuah pelayanan yang baik. Belum ada perubahan yang signifikan dalam struktur dan kultur pemerintah, menyebabkan masyarakat tidak menikmati pelayanan dan hasil-hasil secara optimal. Keputusan proyek-proyek pembangunan cenderung menjadi kepentingan pemerintah daripada masyarakat, partisipasi masyarakat dalam proses pengambilan keputusan terkesan rendah. Dan semuannya ditentukan dari atas, pemegang kekuasaan.
Kondisi ini menyebabkan masyarakat hanya menjadi penonton dan penerimah hasil pembangunan, tanpa adanya partisipasi yang memadai, sehingga tidak ada rasa memiliki. Selebihnya kehidupan ekonomi, sosial, pendidikan bagi masyarakat bawah tidak mengalami peningkatan. Dari tahun ke tahun kehidupan mereka tidak meningkat bahkan semakin sulit dalam memenuhi kebutuhan hidup, karena harga barang semakin mahal di pasar.
Masyarakat yang tinggal jauh di kampung-kampung masih hidup dalam keadaan yang serba terbatas karena kurangnya sentuhan pembangunan. Keterbatasan yang dimaksud adalah keterbatasan dalam bidang pendidikan, dan hak-hak di bidang kesehatan. Belum lagi, pada erah otsus ini penyelesaian masalah pelanggaran HAM masih mengalami pasang-surut, sehingga masyarakat asli Papua tidak puas. oleh karena itu, otsus tidak silihat sebagai sesuatu yang membawa perubahan, melainkan membawa bencana bagi seluruh rakyat Papua.

Analisa Terhadap Aspek-Aspek Kehidupan
1.Pendidikan[3]
Pendidikan merupan sektor penting dalam membangun manusia Papua yang cerdas dan berkualitas. Pendidikan merupakan bidang strategis yang perlu mendapat perhatian yang sunguh-sugguh dari pemerintah. Pendidikan yang dimaksud di sini tidak terbatas pada intelektualitas dengan prestasi akademis, tetapi lebih jauh harus  menciptakan manusia yang cerdas dan berbudi pekerti yang baik. Dalam tataran dan konsep seperti itu, maka pendidikan tidak hanya semata-mata dilihat dalam paradigma pendidikan yang sempit, tetapi memperhatikan juga struktur sosial dan budaya masyarakat dalam keterkaitannya dengan nilai-nilai kearifan lokal yang hidup dalam masyarakat Papua.
Jika paradigma pendidikan yang disebutkan di atas dikaitkan dengan sejumlah program pendidikan yang ada di Papua, maka masih ada banyak masalah yang perlu diperbaiki. Permasalahan pendidikan yang terjadi sampai saat ini adalah masalah putus sekolah. Ada banyak contoh yang bisa ditemukan misalnya kasus anak SD putus sekolah di Asmat dan masih banyak lagi.[4] Sistem pendidikan di daerah-daerah pedalaman kurang mendapat perhatian yang memadai, khususnya tenaga pengajar, sarana dan prasarana maupun administrasi sekolah yang buruk. Selain itu sebagian masyarakat terisolir dan belum bisa membaca.
Dalam sebuah penelitian yang dilakukan oleh mahasiswa Universitas Cendrawasih membuktikan bahwa angka partisispasi murid SD di Papua hanya 86% di bawah persentase nasional 96%. Selain itu, berbagai kebijakan dan pelayanan pemerintah di bidang pendidikan belum memadai, seperti pembayaran guru yang tidak merata, guru yang berkualitas tidak berminat untuk bekerja di daerah pedalaman, kurang penghargaan terhadapa profesi guru, fasilitas perumahan guru di kampung yang kurang dan sarana prasarana operasional terbatas.
Ada berbagai masalah yang terjadi, khususnya dalam bidang pendidikan, tetapi pemerintah menutup mata terhadap berbagai ralitas yang kini terjadi di depan mata. Bagaimana dengan otsus bagi Papua? Orang semakin mempertanyakan keberadaannya. Apakah OTSUS hadir sebagai solusi untuk menyelamatkan masyarakat Papua dari bahaya? Otsus justru membawa  bencana yang mematikan rakyat Papua.

2.Kesehatan
Pelayanan dalam bidang kesehatan pun mengalami nasib sama, terutama pelayanan dasar bagi masyarakat Papua. Jika kita baca di berbagai media atau mengalaminya secara langsung sebagian besar dari masyarakat Papua ketika sakit pergi berobat di rumah sakit terdekat, karena mudah dijangkau dan biaya relatif agak rendah. Itu adalah pilihan utama karena terbatasnya rumah sakit dan tenaga dokter. Permasalahan yang menonjol dalam sistem pelayanan kesehatan sejak Undang-Undang No 32 Tahun 2004 tentang sistem pemerintahan, khusus untuk kabupaten dan kota di Papua mempunyai kewenangan sendiri dalam mengatur struktur dan penempatan pejabat pada instansinya maupun tenaga medis.[5] Sebagai akibat dari kewenangan ini, terdapat kepala dinas di kabupaten yang sama sekali bukan dari latar belakang pendidikan kesehatan. Dengan demikian manajemen kesehatan dan kebijakan yang diambil tidak banyak memberikan kontribusi bagi penyelesaian berbagai masalah kesehatan yang ada di daerahnya. Sebagai contoh, di dalam APBD tidak dianggarkan dana untuk distribusi obat sehingga obat yang disalurkan oleh provinsi pada akhirnya tidak dapat disalurkan ke puskesma-puskesmas. Sehinga ketika ada pasien yang terkena penyakit yang mematikan pergi ke rumah sakit tidak ada penyediaan obat sehingga orang tersebut akhirnya meninggal.
Kita bisa melihat contoh kasus wabah muntaber di Lembah Kamu, Kabupaten Dogiyai yang menelan korban 125 orang.[6] Fakta tersebut dapat menjadi contoh bahwa penyaluran obat-obatan di sejumlah tempat belum terealisir dengan baik. Dalam  UU No  21 Tahun 2001 pasal 59 ayat menegaskan bahwa (1) pemerintah provinsi, kabupaten dan kota menetapkan standar mutu pelayanan kesehatan penduduk, (2)  pemerintah provinsi, kabupaten dan kota berkewajiban mencega dan menanggulangi penyakit-penyakit endemis yang membahayakan kelangsungan hidup penduduk dan (3) setiap penduduk Papua berhak memperoleh pelayanan kesehatan sebagaimana dimaksud pada ayat 1 dengan beban masyarakat serendah-rendahnya.
Virus HIV/AIDS menyerang banyak penduduk asli Papua. Bagaimana perealisasian kebijakan otsus terhadap permasalahan tersebut? Kasus HIV/AIDS yang terjadi kita tidak dapat mempersalahkan siapa-siapa. Pemerintah harus menyediakan sarana dan prasaran untuk membina pasien-pasian tersebut baik secara jasmani, psikis, rohani. Berkaitan dengan virus tersebut dikatakan dalam wikimu, 2007 epidemi HIV/AIDS di Papua sudah berada pada taraf yang mengkhawatirkan. Hingga Juni 2006, prevalensi kasus HIV/AIDS mencapai 2.703 kasus tertinggi di Indonesia saat itu. Dua tahun setelahnya, pada triwulan II, Juni 2008 jumlah kasus  HIV/AIDS menanjak jauh menjadi 4.114.  Sesuai data yang dihimpun Dinas Kesehatan Provinsi Papua hingga triwulan III atau per September 2008 telah meningkat menjadi 4.305 dan pada 2009 terus meningkat jauh.[7] Berdasarkan data ini dapat diperkirakan bahwa penduduk Papua pada 2020 akan mengalami kepunahan. Hal ini merupakan bencana terbesar. Menjadi pertanyaan sekarang bagaimana dengan kebijakan otsus dalam bidang kesehatan? Apakah otsus membawa perubahan atau bencana bagi rakyat Papua?

3. Ekonomi
Inti dari aspek ekonomi adalah setiap orang Papua bisa makan dan minum. Namun, apakah hal itu terealisasi dengan adanya otsus? Menarik, salah satu ungkapan suku Mee yakni Mobu, yang diterjemahkan secara harafia berarti kenyang atau puas. Artinya berkecukupan baik secara jasmani maupun rohani, di mana tidak ada warga yang makmur sementara ada warga yang lain berteriak kelaparan dan ditimpah kematian karena berbagai penyakit. Situasi ini menunjukkan ada sekelompok kecil masyarakat yang memiliki banyak sedangkan sebagian masyarakat hidup dalam kekurangan. Masih banyak orang Papua yang satu hari makan satu kali, tempat tinggalnya hanya menumpang, air untuk kebutuhan sehari-hari hanya diminta dari tetangga. Sering sakit-sakitan dan lain sebagainya.
Fakta lain yang mengenaskan ialah di pasar-pasar perkotaan, pedagang lokal berjualan di lantai atau tanah, sedangkan pedagang lain mendapat meja dan tempat jualan yang lebih baik. Jelas bahwa hal ini sangat menguntungkan bagi mereka yang mendapatkan meja dan tempat yang strategis untuk berjualan sehingga pendapatan ekonominya relatif terjamin. Belum lagi tempat jualan mama-mama asli Papua digusur oleh pemerintah. Lalu, mereka ini mau  dikemanakan?[8] Sementara di kalangan pemerintahan terjadi korupsi secara besar-besaran. Masyarakat Papua pun mempertanyakan kedatangan investor-investor nasional maupun internasional yang ada di Papua. Ada PT Freeport, namun kemiskinan masih saja melanda masyarakat asli Papua. Tambang emas yang dihasilkan beribu-ribu ton per hari dikemanakan? Penduduk Papua sama sekali tidak merasakan kesejahteraanya. Dengan kemiskinan, banyak mengakibatkan penyakit di antaranya gizi buruk pada ibu dan anak, busung lapar dan lain sebagainya. Contoh kasus gizi buruk ialah seperti yang terjadi di Yahukimo.

4.Hak Asasi Manusia (HAM)
Jika kita membeca dari berbagai media cetak yang ada di kota Jayapura ini ataupun kita sendiri mengamati langsung di lapangan masih terjadi pelanggaran HAM terhadap manusia Papua. Bahkan menjadi masalah yang sangat akrab dengan manusia Papua. Ada banyak masalah yang terjadi di tanah ini dan meninggalkan sejarah yang menyakitkan hati orang Papua bila di tengok kembali ke belakang. Kasus pelanggaran HAM seperti kasus Biak Berdarah (1998), kasus Abepura (2000), kasus Wamena (2000), kasus Merauke berdarah (2000), kasus pembunuhan Theys (2001), kasus Wasior (2001), kasus Wasior (2003), kasus Wamena (2003), kasus Abepura berdara (Maret 2006) dan lain sebagainya. Terjadi penyisiran dan penangkapan tanpa sebab di Asrama-asrama mahasiswa Papua di antaranya asrama NINMIN, IMI dan YAWA milik mahasiswa pegunungan tengah.
Berbagai kasus pelanggaran HAM ini membuat masyarakat tidak dapat berbuat apa-apa karena takut. Masyarakat Papua tidak bebas dan “merdeka” karena jika menyuarakan kebenaran dan keadilan selalu dinilai separatis (OPM). Ada berbagai stigma yang diberikan kepada orang Papua seperti “kamu orang hitam, rambut keriting tidak laku”. Hal-hal ini membuat orang pribumi Papua selalu merasa was-was hidup di tanah ini karena selalu dihantui oleh rasa takut.
Kasus-kasus pelanggaran HAM yang terjadi di Papua ini berlalu begitu saja, tanpa ada kepastian hukum. Penegak hukum di Papua sangat lemah dalam menangani kasus-kasus pelanggaran HAM. Buktinya kasus yang sebenarnya bisa mendapat penanganan dengan cepat namun dibuat berbelit-belit. Terkesan bahwa masalah kemanusiaan orang Papua dilihat oleh Indonesia seperti persoalan terhadap seekor binatang. Lahirnya otonomi khusus juga tidak memberikan satu sumbangsi yang baik bagi anak bangsa.
Sementara itu tejadi di sana-sini pelanggaran hak-hak tanah adat orang Papua. terjadi illegal logging di berbagai tempat di Papua, pengelolaan dan pemanfaatan hutan oleh investor asing maupun dalam daerah yang kurang memperhatikan aspek-aspek kehidupan anak Papua terutama nilai-nilai budaya. Pemerintah tidak memperhatikan dampak dari masuknya investor-investor terhadap kehidupan orang Papua.
Semangat otsus melahirkan melahirkan Majelis Rakyat Papua (MRP) sebagai honainya orang Papua. Di mana MRP dapat melindungi hak seluruh orang Papua mulai dari Sorong-Merauke. Namun, harapan itu mejadi semu. MPR gagal menangani permasalahan anak Papua. Lalu, orang Papua akan mengadu di mana? Kepada siapa? Pelanggaran HAM pun terus bergulir, korban pun terus berjatuhan. Orang Papua masih terus menangis.

Di mana Letak Kesejahteraan bagi Orang Papua?
Kesejahteraan di sini memiliki pengertian luas. Kesejahteraan diartikan sebagai suatu situasi telah terpenuhinya seluruh kebutuhan hidup manusia. Baik dari aspek ekonomi, pendidikan yang dapat berjalan dengan baik tanpa adanya kendala, kesehatan yang dapat ditangani dengan baik dan keamanan, sehingga orang bisa hidup dalam situasi yang aman dan damai. Dengan terwujudnya semua sendi-sendi kehidupan tersebut, maka akan melahirkan kehidupan yang harmonis, dengan diri sendiri, sesama dan dengan alam. Ukuran kesejahteraan dapat dilihat dari situasi tersebut.
Situasi di atas merupakan harapan dan cita-cita yang selalu didambahkan oleh setiap orang Papua, namun harapan itu menjadi semu karena setiap anak Papua tidak dapat menggapai semuanya itu. Dari dulu hingga sekarang, situasi sulit dan menyakitkan selalu membayangi hidup orang Papua. Berbagai persoalan di atas selalu dialami oleh orang Papua. Hal ini bukan mau mendeskripsikan bahwa orang Papua ingin lari dari persoalan, tetapi masalah yang dihadapi orang Papua ini sudah terlalu berat. Oleh karena itu, orang Papua mendambakan adanya situasi harmoni, damai di atas tanah Papua.

Penutup
Uraian di atas menjelaskan bahwa dalam bidang pendidikan masih terdapat berbagai persoalan dan otonomi khusus tidak dapat menyelesaikan persolan tersebut. Demikian pula dalam bidang ekonomi dapat disimpukan pula bahwa masyarakat mengalami “krisis” dan dari bidang kesehatan dan HAM terjadi hal serupa. Peran otonomi khusus di satu sisi memberi dampak posistif yakni terjadi perkembangan kota, namun di satu sisi merupakan momok yang membawa bencana bagi orang Papua. Orang kecil semakin menderita, sedangkan kaum elit semakin bahagia.
Otonomi khusus lahir dari masalah yang dihadapi oleh orang Papua. Otonomi dilihat sebagai suatu strategi yang dapat mengantar orang Papua keluar dari masalah yang dihadapinya. Namun, tidaklah demikian. Otonomi khusus justru membuat orang Papua semakin menderita. Oleh karena itu, dikatakan bahwa otonomi khusus membawa bencana bagi rakyat Papua.
















Kepustakaan

Boek, Theo van den dkk. Memoria Passionis di Papua: Kondisi Sosial Politik dan Hak Asasi Manusia 2002-2003. Jayapura: Sekretariat Keadilan dan Perdamaian (SKP). 2004.
Boek, Theo van den dan Rudolf Kambayong. Membangun Budaya Damai dan Rekonsiliasi. Jayapura: Sekretariat Keadilan dan Perdamaian (SKP). 2006.
Kambai, Yafet. Perlawanan Kaki Telanjang di Papua: 25 tahun Gerakan Masyarakat Sipil di Papau. Jayapura-Papua: Foker LSM Papua. 2007.
Karobaba, Sem. Dkk. Papua Menggugat. Yogyakarta: Galang Offset. 2004.
Mansai, Abner dkk. MRP Kitong Pu Honai. Jayapura: Foker LSM Papua. 2008.
Tim Redaksi Nuansa Aulia. Himpunan Perundang-Undangan Republik Indonesia Tentang Otonomi Daerah: Perimbangan Keuangan Antara Pusat dan Daerah. Bandung: Nuansa Aulia. 2006.
Tabloid JUBI. Wabah Muntaber di Lembah Kamuu Masih Berlanjut. Rabu 27 Agustus-9 September 2009.
--------------. Anak Putus Sekolah karena Biaya Pendidikan. Rabu 27 Agustus-9 September 2008.
-------------. AIDS dan Ancamannya  untuk Orang Papua. Kamis 7- 20 Mei 2009

-------------. Jatuh Bangung Mencari Pasar Sendiri. Kamis, 22 Oktober-4 November 2009.


Ponsianus Kupun
Mahasiswa STFT Fajar Timur Abepura, Semester V
asal Keuskupan Agung Merauke



[1]Sem Karobaba, dkk. Papua Menggugat. Yogyakarta: Galang Offset. 2004. hal. 7-8.
[2]Yafet Kambai. Perlawanan Kaki Telanjang di Papau: 25 tahun Gerakan Masyarakat Sipil di Papua. Jayapura-Papua: Foker LSM Papua. 2007. hal. 147-148.
[3]Ibid. hal. 50.
[4]Anak Putus Sekolah karena Biaya Pendidikan. Dalam Tabloid JUBI. Edisi. Rabu, 27 Agustus-9 September 2008. hal. 6.
[5]Tim Redaksi Nuansa Aulia. Himpunan Perundang-undangan Republik Indonesia Tentang Otonomi Daaerah: Pertimbangan Keuangan Antara Pusat dan Daerah. Bandung: Nuansa Aulia. 2006. hal. 306-310.
[6]Wabah Muntaber di Lembah Kamuu Masih Berlanjut. Tabloid JUBI. Rabu 27 Agustus-9 September 2009. hal. 8.
[7]AIDS dan Ancamannya  untuk Orang Papua.Tabloid JUBI. Kamis, 7- 20 Mei 2009.  hal. 8.
[8]Jatuh Bangun Mencari Pasar Sendiri. Tabloid JUBI. Kamis, 22 Oktober-4 November 2009. hal. 6.

Selasa, 09 Maret 2010

OTSUS GAGAL, PAPUA PERLU MERDEKA


OTSUS GAGAL, PAPUA PERLU MERDEKA (?)



Undang-Undang No 21 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus bagi Provinsi Papua  diberikan sebagai jawaban pemerintah Indonesia terhadap maraknya tuntutan kemerdekaan yang ditandai dengan pengibaran bendera Bintang Kejora di beberapa kabupaten di Papua sejak 1998. Alasan tuntutan tersebut, menurut Pemerintah, disebabkan oleh kegagalan kebijakan pembangunan (Theo van den Broek, dkk.: 2003: 164), sehingga Otsus diberikan sebagai jawaban untuk menyelesaikan konflik Papua. Namun, benarkah penilaian pemerintah itu?
Dalam tulisan ini hendak diuraikan sejauh mana persoalan di Papua disebabkan oleh kegagalan pembangunan? Mungkinkah ada persoalan lain yang lebih mendasar daripada kegagalan pembangunan? Apakah Otsus menjawab persoalan Papua atau sebaliknya? Bagaimana solusi yang perlu diambil dalam menyelesaikan konflik Papua? Pertanyaan-pertanyaan inilah yang akan menjadi fokus perhatian dalam tulisan ini.

Otsus Gagal, Kekerasan Terus Terjadi di Papua
”Inti tawaran Otsus bagi Provinsi Papua”, tulis Theo dkk, ”tercipta dari pandangan resmi yang berkembang dan disosialisasikan oleh kalangan pejabat Pemerintah bahwa persoalan di Papua berakar dari gagalnya kebijakan pembangunan di wilayah tersebut” (ibid. 164). Selain itu, Otsus juga diberikan sebagai tanggapan atas munculnya unjuk rasa dan pengibaran bendera Bintang Kejora di berbagai kabupaten di Papua selama 1998. Tawaran Otsus bagi Provinsi Papua juga didasarkan pada pandangan pemerintah yang tidak boleh diganggu gugat, bahwa Papua merupakan bagian integral dari Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Inspirasi lain dari tawaran Otsus merupakan kebijakan nasional yang harus berlaku bagi semua Provinsi di Indonesia. Semua ini merupakan gagasan dasar dari pemberian Otsus bagi Provinsi Papua.
Niat baik pemerintah memberikan Otsus bagi Provinsi Papua merupakan hal yang sangat positif. Namun, adalah keliru jika Otsus diberikan hanya untuk menyelesaikan konflik Papua yang diredusir sebagai kegagalan pembangunan. Pemerintah menilai bahwa konflik yang timbul di Papua berasal dari kegagalan pembangunan. Dengan demikian logikanya adalah karena kegagalan pembangunan, orang asli Papua menuntut kemerdekaan, yang ditandai dengan pengibaran bendera Bintang Kejora? Penilaian pemerintah ini tampak dengan amat jelas ketika UU Otsus diimplementasikan di Papua.
UU Otsus diidentikan dengan uang. Otsus adalah uang, sehingga hampir setiap tahun dana triliunan rupiah dikucurkan ke Papua. Masyarakat selalu antusias menerima pencairan dana Otsus. Dana Otsus yang diberikan itu jumlahnya tidak sedikit.  Misalnya, anggaran dana Otsus dari tahun 2002 sejak 2007 masing-masing adalah; 1,2 triliun (2000), 1,3 triliun (2003), 1,4 triliun (2004), 1,5 triliun (2005), 1,7 triliun (2006), dan 3,2 triliun (2007). Jadi jumlah total anggaran dana Otsus untuk Papua sejak tahun 2000 hingga 2007 sebanyak 10,3 triliun. (sumber data: Buletin Keuskupan Manokwari-Sorong No 33/September 2007, hal 42; lihat juga catatan kaki dari tulisan Bisei: 2007: 18-19). Dana yang begitu banyak ini belum terhitung dengan anggaran dana Otsus 2008 dan 2009. Banyaknya dana yang diberikan bagi Provinsi Papua dan Papua Barat tersebut dipandang sebagai upaya untuk menyejahterakan orang asli Papua. Singkatnya karena kegagalan pembangunan, dana Otsus harus lebih banyak diberikan untuk menyejahterakan orang asli Papua. 
Meskipun persoalan di Papua disebabkan oleh kegagalan pembangunan, Otsus sendiri tidak berhasil menyejahterakan orang asli Papua. Nyatanya sejak Otsus diberlakukan, pertumbuhan ekonomi masyarakat justru menurun drastis bila dibandingkan dengan pertumbuhan ekonomi sebelum Otsus. Menurut LIPI pertumbuhan ekonomi tahun 1995, 1996, 1997, 1998 mencapai 20,18%, 13,87%, 7,42%, dan 12,72%; sedangkan pertumbuhan ekonomi sesudah Otsus diimplementasikan pada tahun 2002, 2003, 2004, hanya mencapai 8,7%, 2,96%, dan 0,53%. (Widjojo, 2009: 14)
Padahal dana Otsus yang dikucurkan ke Papua sangat tinggi belum terhitung uang yang dikelola lembaga-lembaga non-pemerintah dan perusahan-perusahan besar. Tetapi, nyatanya kemiskinan sangat tinggi di Papua. Tingkat kemiskinan yang amat tinggi ini oleh Bisei disebut sebagai kemiskinan absolut dan ekstrim. Bersifat absolut karena hal-hal pokok (basic needs) yang dibutuhkan untuk kelangsungan hidup nyaris tak terpenuhi. Contohnya terjadi bencana kelaparan di beberapa kabupaten di Papua seperti Tolikara, Yahukimo, Jayawijya, Puncak Jaya dan Paniai. Buruknya kesehatan yang menimbulkan berbagai penyakit yang diderita rakyat dan angka kematian cukup tinggi. Kemiskinan bersifat ekstrim karena keterbelakangan rakyat Papua dalam hal pengolaan teknologi akibat pengetahuan yang rendah, tingginya angka buta huruf, keterampilan yang terbatas dan keahlian yang minim. Untuk mengolah sumber daya alam, rakyat hanya menggunakan tenaga otot dan pengetahuan seadanya yang sudah diwariskan kepada mereka (Bisei: 2007: 18). Karena itu, kemiskinan di Papua yang bersifat absolut dan ekstrim ini merupakan suatu bentuk penindasan yang mengekang rakyat Papua untuk keluar dari kondisi hidup yang terpuruk dan karenanya menurunkan derajat dan martabat rakyat Papua ke titik yang tidak manusiawi (ibid).
Jadi kalau konflik di Papua hanya direduksi ke dalam kegagalan pembangunan, maka Otsus jelas-jelas gagal menyejahterakan orang asli Papua. Bila Otsus gagal menyejahterakan orang asli Papua, maka tuntutan kemerdekaan tidak pernah selesai, sebab mereka belum sejahtera. Akibatnya konflik pun tidak akan pernah selesai. Tuntutan kemerdekaan dan pengibaran bendera Bintang Kejora pun tidak akan berhenti.
Konflik di Papua bukan hanya dikarenakan oleh kegagalan pembangunan saja. Konflik di Papua lebih pada persoalan sejarah dan identitas bangsa Papua. Persoalan sejarah integrasi dan identitas bangsa merupakan persoalan dasar yang mendorong timbulnya upaya untuk merdeka. Jadi apabila pemerintah pusat dapat menyelesaikan persoalan sejarah integrasi dan identitas bangsa Papua, maka tuntutan kemerdekaan Papua bisa dikurangi bahkan tidak lagi terjadi. Para perumus UU Otsus tidak memperhatikan persoalan fundamental ini. Mereka mengira bahwa konflik di Papua diakibatkan oleh kegagalan pembangunan dan mengabaikan sisi fundamental dari konflik Papua.
Hal ini terbukti bahwa dalam masa pelaksanaan UU Otsus pun, kekerasan terhadap rakyat Papua terjadi. Kekerasan Wasior 2003 yang mengorbankan 4 orang dan kasus Wamena 2005 yang menewaskan 9 orang merupakan bukti kuat akar konflik di Papua. Selain itu hampir setiap saat kita mendengar, melihat dan membaca pada media massa baik elektronik maupun surat kabar bahwa terjadi tindakan kekerasan yang dilakukan oleh pihak keamanan negara kepada orang asli Papua.
Kekerasan yang dialami oleh rakyat Papua sejak Papua berintegrasi dengan NKRI 1 Mei 1963 juga merupakan bentuk lain potensi konflik di Papua. Operasi militer dari tahun 1965-1969; 1969,1977; 1981-1985; dan dilanjutkan pada 2003-2005 (bdk. Neles Tebay: 2008; 133) Semua ini sebetulnya menunjukkan tentang akar persoalan di Papua. Kekerasan akibat politik negara terhadap rakyat Papua menyebabkan terus adanya tuntutan untuk merdeka dan pengibaran bendera Bintang Kejora.
Bukan hanya kekerasan akibat politik negara, melainkan juga kurangnya penghargaan atas martabat orang asli Papua melalui ekspresi budaya mereka. Faktor kultural sangat menjiwai kehidupan orang asli Papua. Melarang mereka untuk tidak mempertunjukkan simbol-simbol kedaerahan mereka, berarti tidak menghargai mereka. Seorang aktivis damai di Papua dalam sebuah diskusi tentang HAM berkomentar ”pemerintah Indonesia tidak mau memperhatikan Mas-Mas Papua tetapi Emas Papua”. Artinya keinginan untuk memberdayakan orang Papua kurang dipedulikan oleh pemerintah Indonesia, tapi yang diperlukan dari Papua adalah emas atau harta kekayaan. Singkatnya martabat orang Papua sebagai manusia yang berbudaya tidak dipedulikan oleh pemerintah, yang penting bagi Pemerintah adalah emas dan kekayaan alamnya.
Kurangnya penghargaan terhadap martabat orang asli Papua terlihat jelas dengan adanya larangan untuk tidak menggunakan lambang-lambang, simbol-simbol kedaerahan yang mengarah pada ancaman keutuhan NKRI.  Lambang bendera Bintang Kejora pada tas-tas (noken), pakaian, topi, merupakan salah satu contoh isu yang dinilai mengancam keutuhan NKRI. Selain itu hampir di semua kantor pemerintahan dan perusahan-perusahan swasta didominasi oleh orang non-Papua. Warga asli Papua hanya berdiri sebagai penonton karena mereka tidak mampu bersaing dengan warga pendatang. Di bidang ekonomi, warga pendatang lebih unggul ketimbang warga asli Papua. Salah satu contoh konkret terlihat di Pasar Youtefa di mana hampir semua kios dan tempat jualan diduduki oleh warga pendatang. Sementara Mama-Mama Papua hanya berjualan di atas tanah. Mereka juga banyak berjualan di emperan toko atau ruko-ruko. Kenyataan ini menunjukkan adanya sikap marginalisasi terhadap orang asli Papua.
Sikap marginalisasi ini didukung oleh pemerintah Indonesia melalui program transmigrasi yang mendatangkan banyak orang dari luar Papua. (bdk Bless: 2001: 40). Kedatangan kaum pendatang menyebabkan adanya sikap minder dari orang asli Papua, sehingga mereka akan tergeser ke pinggiran kota. Jadi, inti persoalan di Papua bukan hanya terletak pada kegagalan pembangunan, melainkan juga sejarah integrasi dan identitas bangsa serta marginalisasi orang asli Papua. Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa Otsus gagal menyelesaikan konflik Papua. Kegagalan Otsus dalam menyelesaikan konflik Papua, bagi saya, menjadi bukti nyata bahwa Papua perlu merdeka. 

Papua Perlu Merdeka (?)
Maksud Papua perlu merdeka bukan berarti terlepas dari Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Papua perlu merdeka karena otsus telah diberikan seluas-luasnya bagi Provinsi Papua, namun persoalan di Papua masih terus terjadi. Persoalan yang terus terjadi menunjukkan adanya `ketidakberesan` dalam pelaksanaan UU Otsus sehingga Otsus disebut gagal. `Ketidakberesan` pelaksanaan Otsus diakibatkan oleh belum adanya kesamaan persepsi antara pemerintah Indonesia dan orang asli Papua dalam menyelesaikan konflik Papua dan kurangnya penghormatan terhadap martabat kemanusian orang Papua. Dua hal dasariah ini belum diperhatikan dengan sungguh sehingga Otsus diberikan, tetapi tidak menyelesaikan persoalan.
Pertama, belum adanya kesamaan persepsi antara pemerintah Indonesia dan orang asli Papua dalam menyelesaikan konflik Papua. Pemerintah Indonesia mengira bahwa konflik di Papua dapat diatasi melalui pendekatan keamanan. Karena itu, selama Papua berintegrasi dengan NKRI terjadi operasi militer besar-besaran di Papua. Sedikitnya terdapat dua belas operasi militer di Papua sejak 1 Mei 1963 hingga kini.
Operasi Sadar merupakan operasi pertama yang dimulai tahun 1965 dan berakhir dua tahun kemudian. Operasi kedua disebut Operasi Brathayuda tahun 1967 dan menelan korban sekitar 3.500 orang. Operasi ketiga disebut Operasi Wibawa yang dilakukan sejak tahun 1969 dan menelan korban jiwa sekitar 30.000 jiwa antara tahun 1963-1969.
Operasi keempat dilaksanakan di Kabupaten Jayawijaya tahun 1977dan mengakibatkan 12.397 warga Papua meninggal dunia. Operasi kelima dikenal sebagai Operasi Sapu Bersih I dan II tahun 1981, yang menelan korban jiwa sedikitnya 1.000 orang di Kabupaten Jayapura dan 2.500 orang di Kabupaten Paniai. Tahun 1982, terjadi operasi keenam yang dikenal Operasi Galang I dan II, yang menyebabkan terbunuhnya ribuan jiwa. Operasi Tumpas merupakan operasi ketujuh dan berlangsung antara tahun 1983-1984.
Tahun 1985 terjadi lagi operasi Sapu Bersih yang dikenal sebagai operasi kedelapan. Dalam operasi kedelapan sedikitnya 517 jiwa dibunuh oleh TNI dan membumihanguskan sekitar 200 rumah. Operasi kesembilan dilakukan di Mapenduma tahun 1996, yang menyebabkan 35 orang Papua meninggal dunia, 14 perempuan diperkosa, 13 gereja dirusak dan 166 rumah dibumihanguskan, sementara 123 warga sipil meninggal akibat penyakit dan kelaparan setelah menyelamatkan diri ke dalam hutan.
Pada 1998 status Papua sebagai Daerah Operasi Militer (DOM) dicabut oleh Indonesia, tetapi pengejaran terhadap orang Papua tetap berlanjut. Karena itu, operasi kesepuluh dilakukan tahun 2001 di Kabupaten Manokwari dan menyebabkan 4 orang dibunuh, 6 orang mengalami penyiksaan, 1 perempuan diperkosa dan 5 orang hilang.
Antara April sampai November 2003 terjadi lagi operasi di Wamena. Operasi di Wamena ini merupakan operasi kesebelas. Pada saat itu tentara menguasai seluruh kawasan, menghambat akses kelompok Gereja dan pekerja kemanusiaan untuk memberikan bantuan selama berlangsungnya operasi. Akibatnya 9 orang meninggal dunia, 38 orang mengalami penyiksaan dan 15 orang ditangkap tanpa alasan yang jelas.
Pada 2004 terjadi operasi kedua belas di Kabupaten Puncak Jaya yang menyebabkan 6.000 dari 27 desa menyelamatkan diri ke hutan, dan 35 diantaranya termasuk 13 anak-anak meninggal di kamp pengungsian yang dibangun di sana. Seluruh daerah tertutup untuk para pekerja kemanusiaan (Tebay, 2005: 5-6).
Di sini tampak dengan jelas bahwa penyelesaian konflik Papua melalui pendekatan militer tidak pernah menyelesaikan konflik, sebaliknya menambah persoalan. Namun, pandangan pemerintah Indonesia bahwa konflik di Papua akan aman bila kaum separatis telah dihabiskan. Karena itu, tujuan operasi militer yang dilakukan adalah memberantas orang asli Papua yang dianggap separatis oleh pemerintah Indonesia (ibid. 6).
Persepsi semacam ini tidak pernah mendatangkan kedamaian bagi orang asli Papua. Masyarakat akan tetap memandang pemerintah sebagai penjajah dan pembunuh. Ada ketakutan warga asli untuk mendekatkan diri dengan pemerintah yang termanifestasi melalui militer. Akibatnya niat baik pemerintah untuk memberdayakan orang asli Papua tidak direspon positif. Warga asli memandang niat baik pemerintah sebagai upaya untuk menghabiskan mereka. Salah satu contoh konkret adalah Otonomi Khusus. Sejak Otsus diberikan bagi Provinsi Papua, terjadi pro-dan kontra antara warga asli Papua sendiri. Kebanyakan dari warga asli tidak menyetujui `niat baik pemerintah itu`. Bagi warga, Otsus hanya ”gula-gula politik” pemerintah Indonesia untuk menjauhkan warga dari persoalan dasar di Papua.
Dari pihak warga asli, ada ketidakpercayaan terhadap pemerintah. Ketika pemerintah berupaya untuk menyejahterakan warga, warga memandang `niat baik pemerintah itu` sebagai upaya menjauhkan mereka dari berbagai ingatan penderitaan di masa lalu. Warga selalu berpandangan negatif terhadap pemerintah dikala pemerintah mau menolong mereka. Pikiran negatif masyarakat bermula dari pengalaman akan penderitaan yang mereka alami selama bertahun-tahun. Karena itu tidak heran bila warga sepakat untuk mengembalikan Otsus kepada pemerintah Indonesia.
Untuk menyelesaikan berbagai persoalan ini, maka harus ada kesamaan persepsi antara pemerintah Indonesia dan warga asli Papua. Salah satu bentuk konkret untuk membangun persamaan persepsi yakni melalui dialog. Buku karangan Dr Neles Tebay ”Dialog Jakarta-Papua: Sebuah Perspektif Papua” merupakan salah satu solusi ke arah itu. Harus ada dialog Jakarta dan Papua supaya pemerintah pusat mengetahui dengan pasti apa persoalan dasariah yang terjadi di Papua. Dengan demikian, persoalan di Papua akan terselesaikan dengan baik, adil, demokratis dan bermartabat.
 Kedua, kalau dialog sudah dimulai, maka harus ada penghormatan terhadap martabat kemanusiaan orang Papua. Martabat kemanusiaan orang Papua selama bertahun-tahun diinjak-injak dengan adanya operasi militer. Menyadari hal ini, pemerintah menawarkan Otonomi Khusus bagi Papua untuk menghormati harkat dan martabat mereka. Tetapi, selama UU Otsus dilaksanakan, kekerasan terhadap warga asli Papua pun tak kunjung henti. UU Otsus dilaksanakan secara sah pada 2002, namun pada 2003 terjadi kekerasan di Wasior dan pada 2005 di Wamena. Kasus Wasior 2003 menewaskan 4 orang dan kasus Wamena 2005 menewaskan 9 orang. Kenyataan ini diperkuat lagi dengan adanya pelbagai macam kekerasan, intimindasi, peneroran yang terjadi selama tahun-tahun pelaksaanaan UU Otsus.
Sikap seperti ini memperlihatkan adanya ketidakhormatan terhadap martabat manusia. Harkat dan martabat manusia karena alasan politik dapat diperlakukan dengan tidak adil dan manusiawi. Pihak yang berkuasa dapat melakukan tindakan semena-mena terhadap pihak yang lemah. Karena itu, sikap menghormati dan menghargai martabat kemanusiaan orang lain perlu dijunjung tinggi.
Sikap menghormati dan menghargai bukan hanya kepada manusia semata, melainkan juga budaya mereka. Persoalan yang muncul kerapkali diakibatkan oleh kurangnya penghargaan atas nilai budaya mereka. Nilai adat yang dulunya mengatur kehidupan bersama, sehingga segala sesuatu dapat berjalan lancar dan kelestarian hidup baik perorangan maupun kelompok terjamin (Broek, 2006: 8). Namun, kini semuanya telah berubah. Nilai budaya masyarakat telah digantikan dengan kehendak nasionalisme pemerintah. Misalnya, perjuangan Majelis Rakyat Papua (MRP) untuk menjadikan bendera Bintang Kejora dan simbol Burung Mambruk menjadi bendera dan simbol budaya orang Papua ditanggapi oleh PP No 77/2007 yang melarang penggunaan simbol-simbol separatis sebagai simbol-simbol budaya dan daerah (Widjojo, 2009:32).
Dengan demikian, bila ada kesamaan persepsi antara pemerintah Indonesia dan warga asli Papua melalui suatu dialog damai dan penghormatan, penghargaan, terhadap manusia dan budaya mereka, persoalan di Papua dapat terselesaikan dengan baik, adil, demokratis dan bermartabat.

Penutup
UU Otonomi Khusus bagi Provinsi Papua telah diberikan. Salah satu alasan pemberian Otsus tersebut dikarenakan oleh kegagalan kebijakan pembangunan. Kerena alasan kegagalan pembangunan, dana Otsus diberikan bertriliun-triliun namun kenyataannya Otsus gagal menyejahterakan orang asli Papua. Sementara itu konflik di Papua terus terjadi. Kenyataan ini memperlihatkan bahwa masalah di Papua bukan hanya kerena faktor kegagalan pembangunan, melainkan sejarah integrasi dan identitas bangsa, kekerasan politik negara, dan marginalisasi orang asli Papua. Dengan demikian, Papua perlu merdeka. Kemerdekaan Papua adalah bukan terlepas dari NKRI melainkan merdeka dalam arti adanya kesamaan persepsi antara pemerintah dan masyarakat asli Papua dan adanya penghargaan terhadap martabat orang asli Papua sebagai manusia berbudaya.



Kepustakaan
Bisei, Abdon. ”Penderitaan Rakyat Papua Sengsara Yesus Masa Kini: Refleksi Soteriologi atas Penderitaan Rakyat Papua” dalam Limen, Th. 4, No 1 Oktober 2007.
Broek, Theo van den, dkk. Memoria Passionis di Papua: Kondisi Sosial Politik dan Hak Asasi Manusia 2001. Jayapura. SKP Jayapura dan LSPP Jakarta. 2003
-----------------., Membangun Budaya Damai dan Rekonsiliasi: Dasar Menangani Konflik di Papua. Jayapura. SKP Jayapura. 2006
Buletin Keuskupan Manokwari-Sorong No 33/September 2007.
Tebay, Neles., Interfaith Endeavours for Peace in West Papua, London: CIIR (Catholic Institute for Internasional Relations). 2005.
-----------------.,Papua: Its Problems and Possibilities for a Peaceful Solution, Jayapura: SKP Jayapura. 2008.
-----------------., Dialog Jakarta-Papua: Sebuah Perspektif Papua, Jayapura: SKP Jayapura, 2009.
Widjojo, Muridan S., (ed) Papua Road Map: Negotiating the Past, Improving the Present and Securing the Future, Jakarta: Obor, LIPI, TiFA. 2009.

Fenomena Otsus: Solusi yang Bermasalah

FENOMENA OTSUS: SOLUSI YANG BERMASALAH


Pengantar
            Setiap 21 November, otsus merayakan ulang tahunnya. Kita pun turut memperingatinya. Namun dalam kekalutan, kemarahan yang tertahan bahkan tanda tanya; kapan otsus dewasa? Kedewasaan otsus tidak dapat terlepas dari pengarahan dan pengembangan orang tuanya. Ketidakseriusan orang tua dalam hal ini pemerintah terlihat dari kurangnya komitmen, cinta, keseriusan dalam mengasuh otsus. 
            Padahal kita semua tahu, otsus merupakan buah cinta pemerintah pusat dan daerah. Menilik tingkah laku otsus bisa ditebak ‘cinta’ mereka adalah cinta eros. Nafsu untuk memiliki dan mempertahankan status quo di bawah payung NKRI. Untuk itu mereka lebih suka menutupi kekurangannya itu dengan menyempitkan otsus semata-mata pada uang tanpa manajemenen keuangan yang baik. Lantas yang tampak adalah rakyat Papua yang kekanak-kanakan; tergantung pada pendatang, merengek-rengek sampai dapat apa yang diinginkan(biasanya uang, jabatan) baru diam. Yang jelas semuanya mengarah pada menjadi budak di negeri sendiri.
            Berkaca pada kenyataan di atas, tulisan ini hendak membedah dengan pisau analisa sejauh mana fenomena otsus sebagai sebuah solusi tampak sebagai solusi yang bermasalah. Fenomena itulah yang akan dikaji untuk mengupas siung-siung kebutaan dan pembodohan terhadap masyarakat Papua. Tentu untuk sampai pada inti persoalan mengapa otsus dipandang sebagai solusi yang bermasalah. Dengan demikian, tulisan ini tidak hendak menjawab pertanyaan OTSUS: SOLUSI ATAU MASALAH? tetapi hendak mencuatkan solusi alternatif agar otsus tidak lagi dipandang sebagai solusi yang bermasalah dan permasalahan-permasalahan di Papua dapat memperoleh titik terang.

I.  Fenomena Otsus: Solusi Yang Bermasalah
            Fenomena diartikan sebagai hal-hal yang dapat disaksikan dengan pancaindera dan dapat diterangkan dan dinilai secara ilmiah. Selain itu juga menunjuk pada benda, kejadian yang menarik perhatian atau luar biasa sifatnya.[1] Kedua arti fenomena ini akan digunakan sebagai bingkai untuk menjelaskan fenomena otsus itu sendiri.
Otsus sebagai kejadian yang menarik perhatian atau luar biasa sifatnya tidak dapat disangkal. Sejak dipikirkan, direncanakan, didiskusikann, ditetapkan, dan diimpelementasikan di Tanah Papua, otsus telah menarik perhatian banyak pihak. Tidak hanya perhatian masyarakat Papua, Pemerintah Indonesia akan tetapi juga perhatian dunia.[2]  Magnet otsus begitu besar karena hemat penulis otsus lahir sebagai solusi atas masalah-masalah di Tanah Papua yang belum dan tidak tuntas. Bertolak dari kenyataan ini tidaklah keliru jika otsus dikatakan sebagai solusi yang bermasalah.
Fenomena otsus yang dapat diterangkan dan dinilai secara ilmiah mungkin jika “that statements about fenomena must be limited to statements about intentional acts.”[3] Oleh karena itu kita akan mengkaji fenomena otsus sebagai “intentional acts” (tindakan yang disengaja) dengan “intentionality” tidak mengacu pada “sesuatu” tetapi pada negara sebagai entitas, dalam hal ini Pemerintah Indonesia. Kesengajaan itu nampak dalam tiga persoalan penting yakni Distorsi Sejarah, Pelanggaran HAM, dan Pembangunan yang pincang. Pembangunan yang pincang inilah yang melahirkan otsus.

1.1 Distorsi Sejarah
            “Jangan Melupakan Sejarah,” demikian salah satu pernyataan Presiden Soekarno yang terkenal yang juga merupakan salah satu tokoh penting dalam PEPERA tahun 1969 di Papua. Pernyataan Soekarno sejalan dengan ingatan rakyat Papua akan pengalaman masa lalu mereka terutama pengalaman akan penderitaan atau akan mereka yang menderita (memoria passionis) akibat berbagai distorsi yang terjadi dalam sejarah orang Papua.
            Distorsi sejarah yang paling mendasar ialah distorsi PEPERA. Pada 5 April 1961,  Pemerintah Belanda melantik dan mengukuhkan Dewan Papua Barat bagi tugas-tugas perwakilan serta legislatif. Lantas pada 18 November menetapkan  atribut Negara Papua yakni lagu kebangsaan “Hai Tanahku Papua”, bendera Bintang Kejora, Papua Barat sebagai Wilyah negara serta mata uang dolar New Guinea sebagai mata uang resmi.[4]  Artinya secara de facto Papua telah merdeka. Sementara pengakuan de jure baru akan diberikan pada tahun 1970.
Dalam kurun waktu itulah, distorsi sejarah integrasi Papua ke dalam NKRI terjadi. Terutama pada tahun 1969 ketika terjadi PEPERA. Pernyimpangan nampak dalam pemilihan ‘wakil’ rakyat Papua yang hanya 1.206[5] dari 800.000 rakyat Papua serta fakta bahwa semuanya dipilih atau ditunjuk oleh Pemerintah Indonesia. Belum lagi intimidasi yang dilakukan saat pemilihan memojokkan para ‘wakil’ sehingga tidak ada pilihan lain selain memilih bergabung dengan NKRI. Hal ini merupakan kebenaran yang tidak dapat disangkal dan dibungkam. “the truth can never be defeated: sufficient proofs indicate west papua’s integration into indonesia as morally, legally & democratically fraud & unjustifiable, background and progress report: on the campaign for ‘a un internal review of its conduct’ in the act of free choice 1969 in west papua, the west papuan peoples’ representative office (wppro), port vila, the republic of vanuatu, december 2004.”[6]
            Distorsi sejarah dan memoria akannya penting bagi pembangunan ke depan. Ia menjadi pelecut karena lahir dari pengalaman real kerinduan akan pembebasan dari keterbelungguan dan keterpasungan. Dengan demikian masa kini dan masa yang akan datang dipahami sebagai pembebasan untuk lebih baik, dalam kategori ini ialah terciptanya “Papua Tanah Damai”.

1.2  Pelanggaran HAM
            Pelanggaran HAM di Papua lahir dari adanya beragam bentrokan kepentingan serta potensi konflik yang bervariasi. Bentrokan kepentingan terutama antara pemerintah Indonesia dan Masyarakat Papua yang dicap separatis atau simpatisannya.[7] Yang satu demi NKRI, yang lain demi kemerdekaan. Akibatnya muncul berbagai pelanggaran HAM terutama terhadap masyarakat sipil oleh TNI. Berbagai pelanggaran merebak di seluruh Papua dengan intensitas yang tinggi.[8] Kebanyakan pelanggaran menjadi masalah karena dilakukan tanpa adanya dakwaan, tanpa kompensasi, serta tindakan aparat yang tidak berperikemanusian.[9]Selain itu, semua bentuk kekerasan HAM terlaksana secara sistematis sejak 1 Mei 1963. Banyak orang Papua yang dibunuh, ditangkap, disiksa, dan bentuk-bentuk ketidakadilan lainnya yang mengarah pada genocide.[10]
Berdasarkan fakta-fakta tersebut tak dapat dipungkiri bahwa potensi pelanggaran HAM di Tanah Papua masih tinggi. Hal ini dimungkinkan oleh potensi konflik itu sendiri yakni: “1) Differing political aspirations, 2) Misuse of Official Position and authority, 3) confusing governance, 4)suspicion between ethnic and tribal groups, 5) suspicion between different religious groups, 6) socio-ekonomic disparity, 7) loss of common spiritual basis, 8) Draining of natural resources.”[11] Untuk itu amatlah penting kedua belah pihak, dalam hal ini Pemerintah Indonesia dan Rakyat Papua atau wakilnya duduk bersama berdialog. Pokok Pembicaraan pertama-tama ialah rekonsiliasi masa lalu menuju penyembuhan luka-luka batin memoria passionis.

1.3 Pembangunan Yang Pincang
            Kepincangan pembangunan nampak dari adanya gap antara kekayaan Papua serta kondisi Papua saat ini. Papua yang oleh Anttonio Figafetta disebut Islade Oro atau Pulau Emas dengan menjadi penyumbang terbesar terhadap pendapatan negara terutama lewat PT.Freeport Indonesia. Belum terhitung kekayaan alam lainnya. Namun hingga kiniPapua merupakan provinsi termiskin kedua di Indonesia. Banyak anak Papua yang tidak bersekolah dan terutama kesenjangan dalam berbagai bidang kehidupan.
            Keadaan ini oleh Pemerintah Indonesia disiasati dengan diberikannya Otonomi Khusus bagi Provinsi Papua berdasarkan UU No 21 Tahun 2001. Sayangnya ada kesan bahwa otsus berarti uang. Maka mengalirlah uang-uang ke kantong-kantong penduduk Papua. Namun karena tidak dibekali dengan manajemen keuangan yang baik, semua uang itu menggepul entah ke mana. Lantas orang Papua tampil kembali secara asli; miskin dan terlantar di tanah sendiri. Lantas kita bertanya; salah siapa? Atau pertanyaan yang lebih positif; tugas siapakah ini? Jawabannya ialah MRP. Namun sayang rencana kerja MRP hingga kini masih belum tepat guna. Untuk itu sebagai lembaga representasi kultural orang Papua, MRP tidak hanya menjadi honai[12], tempat orang aspirasi orang Papua didengar dan ditindaklanjuti tetapi juga menjadi yang terdepan dalam memperjuangkan hak-hak dasar orang asli Papua.

II.  Solusi Alternatif
Pada prinsipnya, otsus merupakan solusi, namun solusi yang bermalah. Agar kembali pada hakikatnya sebagai solusi, maka masalah yang ada perlu diselesaikan terlebih dahulu. Solusi alternatif dipikirkan dalam kerangka otsus. Otsus sebagai buah cinta pemerintah Indonesia dan pemerintah daerah perlu memperhatikan tujuannya yakni Orang Asli Papua.
Kemendesakan perhatian semua pihak terutama kedua pihak tersebut membuat persoalan otsus perlu diperbaharui today dalam konteks TODAY[13]; Trust (Kepercayaan) membuat kedua belah pihak mampu untuk bekerja sama. Ketakpercayaan orang Papua akan kinerja otsuslah yang membuat otsus dikembalikan lewat DAP (Dewan Adat Papua) pada 12 Agustus 2005. Kepercayaan melahirkan Openess (keterbukaan), kemampuan untuk membuka diri, mengangkat ke permukaan persoalan-persoalan yang ada di Papua untuk dibicarakan. Darinya Dialogue (dialog), yang di dalamnya ada sikap mendengarkan dan menghargai satu sama lain serta menanggalkan kepentingan-kepentingan egoistik. Buku Membangun Dialog Jakarta-Papua[14]memberikan gambaran yang jelas dalam konteks ini. Dialog yang demikian memunculkan sikap Acceptance (penerimaan) dalam sikap saling menghormati apa yang menjadi Hak dan kewajiban masing-masing. Penerimaan mendasar ialah pengakuan akan kesalahan di masa lalu yang mengoreskan memoria passionis dalam ingatan kolektif orang Papua sehingga terjalin rekonsiliasi yang ikhlas. Akhirnya terciptalah Yearn (rindu, harapan) yang mendambakan peningkatan kepercayaan sehingga keterbukaan makin besar, dialog makin mendalam dan penerimaan satu sama lain lebih ikhlas menuju Papua Tanah Damai.

Penutup
            Tiga persoalan mendasar di atas memungkinkan kita melihat sejauh mana otsus menjadi solusi yang bermasalah di Tanah Papua sekaligus ruang untuk menempatkan kembali otsus sebagai solusi itu sendiri. Otsus hanyalah salah satu hal yang mewarnai berbagai persoalan di Tanah Papua. Namun, ia mempunyai pengaruh yang amat vital karena menyangkut keberlangsungan hidup orang asli Papua di Bumi Cenderawasih ini.
“Stupid pastor, useless to call the name of God.” Kalimat ini ditujukan kepada Pendeta Kias Komba oleh tentara yang berjumlah sepuluh orang di Desa Parabaga di Piramid-Wamena sebagai salah satu dari sekian banyak kekerasan di Papua selama periode 1998-2007. Jika dipelintir sedikit pernyataan tersebut dapat berbunyi; “Stupid writer, useless to write about Papua’s problems.” Betapapun tak bergunanya, tentang kebenaran, keadilan dan perjuangan akan kesejahteraan harus tetap digemakan. Maksudnya jelas agar voice of the voiceless menjadi voice of us.



Daftar Bacaan

Conoras, Yusman (ed.).  2008. MRP, Kitong Pu Honai.  Fokes LSM Papua: Jayapura.
Edwards, Paul (Ed.). 1967. The Encyclopedia of Philosophy, vol. 5. Collier Macmillan  Publishers: London.
Hernawan, Budi. 2005. Papua Land of Peace: Addressing Conflict Building Peace in West Papua. SKP Jayapura: Jayapura.
--------------------. 2008. The Practice of Torture in Aceh and Papua 1998-2007, with an annex on the situation of human rights in Timor Leste. SKP Jayapura: Jayapura.
Poerwadarminta, W.J.S. 2002.  Kamus Umum Bahasa Indonesia. Balai Pustaka: Jakarta.
Tebay, Neles.  2009. Membangun Dialog Jakarta-Papua. SKP Jayapura: Jayapura.
----------------. 2008. Papua: Its Problems and Possibilities for a Peaceful Solution. SKPJayapura: Jayapura.
Wonda,  Sendius. 2009. Jeritan Bangsa, Rakyat Papua Barat Mencari Keadilan. Galang Press: Yokyakarta.
Yoman, Socratez Sofya. 2005. Orang Papua Bukan Separatis, Makar dan OPM. Lerhamkot: Papua Barat.


Alexandro F. Rangga OFM






[1]W.J.S.Poerwadarminta, Kamus Umum Bahasa Indonesia. Bdk. Paul Edwards (Ed.), The Encyclopedia of Philosophy, vol. 5, hal. 139-146. “there are three conditions defening phenomena; 1) Phenomena are essences, 2) Intuited, 3) revealed by bracketing existence. The criterion of completness used earlier was that a definition of “phenomenon” is completed only if it is consisten with the first of the three requrements for phenomenological statements-that they are nonempirical.
[2]Keprihatinan dunia tampak dari adanya pernyataan ini: The biggest mistake a person ever made is not only doing something against humanity, but worse for doing nothing for crime against humanity and the nature. Letting things happen is the worst thing we one ever done!” Selengkapnya kunjungi website www.westpapua.net
[3]Paul Edwards (ed.)., Ibid.
[4]Sendius Wonda, Jeritan Bangsa, Rakyat Papua Barat Mencari Keadilan, hal. 41. Bdk. Neles Tebay, Papua: Its Problems and Possibilities for a Peaceful Solution, hal. 2.
[5]Sumber lain menyebutkan wakil Papua sebanyak 1.022. bdk. Budi Hernawan, Papua Land of Peace: Addressing Conflict Building Peace in West Papua, hal. 52.
[7]Socratez Sofya Yoman secara tegas menolak anggapan tersebut dalam bukunya yang lugas, Orang Papua Bukan Separatis, Makar dan OPM, (Papua Barat: Lerhamkot, 2005)
[8]Bdk. Budi Hernawan, The Practice of Torture in Aceh and Papua 1998-2007, wiyh an annex on the situation of human rights in Timor Leste, hal. 140-172.
[9]Budi Hernawan, Ibid.,  hal. 173-174.
[10]Neles Tebay, Op.Cit., hal. 78-79.
[11]Selengkapnya lih. Budi Hernawan, Op.Cit., hal. 4-7.
[12]Menarik menyimak kumpulan tulisan yang mencoba meningkatkan kinerja kerja MRP dalam Yusman Conoras (ed.), MRP, Kitong Pu Honai,  (Jayapura: Fokes LSM Papua, 2008)
[13]Jose Salutan, OFM dalam SAAO Fransiskan.
[14]Neles Tebay, Membangun Dialog Jakarta-Papua, (Jayapura: SKP Jayapura, 2009).