Senin, 05 Agustus 2013

IS A FREE WEST PAPUA ON THE HORISON?

Is a Free West Papua on the Horizon?

COPYRIGHT © Raja Ampat, Indonesia: SHUTTERSTOCK. ALL RIGHTS RESERVED
COPYRIGHT © RAJA AMPAT, INDONESIA: SHUTTERSTOCK. ALL RIGHTS RESERVED

Is a Free West Papua on the Horizon?

28 JULY 2013
ANDREW DOWDY
In the eyes of many, West Papua should be a country independent from Indonesia.
Background
While Papua New Guinea is a sovereign nation, few realize that the western half of the world’s second largest island is Indonesian territory. This resource-rich island is one of the least publicized places on earth, a place where the fight between modernity and tradition is still being waged — and with bloody consequences.
Although the island is recognized as Indonesian territory, Papuan natives are ethnically and linguistically distinctive. Native Papuans are recognized as Melanesian. Indonesians native to other islands, such as Sumatra or Java, fall instead within the Austronesian ethno-linguistic family. Despite thousands of years of regional commingling between Melanesians and Austronesians, the majority of Papua remained essentially isolated from any outside influence until the mid 20th century.
Papuan nationalism began to grow during World War II, with Japan’s seizure of the island in 1942 prompting a clash involving over 80,000 allied troops. Despite nearly 300 different languages being spoken amongst West Papuans alone, Papuan tribal society developed into a unified Papuan nationalism under foreign occupations. This resulted in the majority native Papuan “New Guinea Council,” which set forth the goal of Papuan independence in 1970. This was envisioned, at the time, as independence from the Dutch.
In 1945, Indonesia’s first president, Sukarno, declared Indonesian independence from Dutch rule. In seeing that Papua was an extension of the Dutch colony, Sukarno claimed Papua as part of the Indonesian nation. To forgo military engagement, the Dutch signed the New York Agreement of 1962, promising Papuans a fair referendum within six years to vote for either Papuan sovereignty or Indonesian rule.
Papuan aversion to Indonesian rule was clear from the beginning, and in 1965, it manifested itself in revolts known as the “West Papuan Spring” These revolts were short-lived, as they were consistently met with brutal retaliation from the Indonesian military. Nevertheless, the Free Papua Movement was born.
Why is the Free Papua Movement Relevant?
Aside from mass revolt, 1965 also saw Sukarno fall to Suharto, who then viewed the protests and instability as justification to allocate voting power in Papua’s referendum to a mere 1,025 men. Declared the “Act of Free Choice,” military records account that Papuans favored Indonesian citizenship. To this day, many Papuans instead call it the “Act of No Choice” — around 1,000 were hand picked by the military to represent a population of nearly 2 million.
Since the “Act of Free Choice,” the Free Papua Movement has persistently engaged in actions ranging from violent guerrilla operations to peaceful protest, civil disobedience, and flying the Morning Star — the flag symbolizing a Papua free from foreign rule. Having dealt with its fair share of separatist movements, the Indonesian government often labels the Free Papua Movement’s actions as terrorist threats. Thus, action is generally met with violent Indonesian military repercussions. There are, for example, documented cases of individuals receiving ten-year jail sentences for attending a Morning Star raising ceremony.
While Amnesty International, Human Rights Watch, and the United Nations have documented human rights violations in West Papua, the Indonesian government’s legal limitations on travel and persistence that the region’s dangers pose a threat to international journalists and NGOs have kept West Papua’s freedom movement out of the international media spotlight.
The Free West Papua Campaign was launched in Oxford, England, in 2004 and is led by exiled West Papuan independence leader, Benny Wenda. It hopes to bring international attention to human rights violations in Papua through peaceful campaigning. These human rights violations include failures of the Indonesian government on the island to address issues such as poverty, education, health, and development. The movement hopes to one day see the Morning Star flying freely amidst the tree tops of the island. They envision a fair, transparent, and fully representative referendum — one that they believe, if acted upon, would lead to a free and independent Papua.
Many Indonesians see Papua as one of their national strengths, as it legitimizes the national motto, “Unity in Diversity.” Many West Papuans, however, feel they have waited too long for freedom.
Image: Copyright © Shutterstock. All Rights Reserved

PIMPINAN TNI-POLRI DIMINTA TRANSPARAN SOAL DANA OPERASI TUMPAS LAMBER PEKIKIR PERBATASAN PNG-PAPUA

Pimpinan TNI-Polri Diminta Transparan Soal Dana Operasi Tumpas Lambert Pekikir

Arso, SOMERPost : Pimpinan TNI dan Polri diminta transparan kepada para prajurit soal besarnya biaya operasi yang bersumber dari dana stabilitas milik Pemkab Keerom. Hal ini dikatakan oleh seorang pejabat Kabupaten Keerom, Minggu (15/07) kemarin. Pejabat ini minta namanya dirahasiakan untuk sementara. TNI dan Polri, menurut sumber ini, telah memeras Pemkab Keerom sejak akhir bulan Juni lalu ketika beredar kabar tentang rencana perayaan HUT OPM ke-41 oleh TPN-OPM Pimpinan Lambert Pekikir.
“Dana stabilitas dari Pemkab Keerom telah dikuras dan angkanya sangat besar, mencapai milyaran rupiah, tetapi operasi mereka tidak efektif dan terkesan dijadikan proyek, sementara para prajurit mendapat bagian yang sangat kecil sedangkan jumlah total biaya operasi sangat besar,” ungkap pejabat ini.
Sumber lain di jajaran Pemkab Keerom bahkan meminta pihak berwenang untuk melakukan audit karena operasi militer dengan alasan pertahanan negara selalu membungkus korupsi dan pembantaian orang asli Papua yang sesungguhnya terjadi.
“Perlu ada audit dan tindakan tegas kepada mereka yang menguras dana stabilitas hanya untuk kepentingan para petinggi militer sementara para prajuritnya dipaksa masuk medan yang berat berhadapan langsung dengan kematian dan diarahkan untuk menyerang masyarakat sipil,” tandasnya.
Sumber ini mengatakan, operasi terhadap Lambert Pekikir ternyata tidak dilakukan karena medan yang berat dan kurangnya penguasaan terhadap medan. Sebaliknya, TNI-Polri menjadikan masyarakat asli Papua sebagai sasaran operasi. Operasi juga dilakukan dalam bentuk rekayasa penembakan dan penemuan senjata yang dituduh sebagai milik TPN-OPM.
Tanggal 1 Juli 2012 lalu, bertepatan dengan HUT OPM Ke-41, Pasukan TPN-OPM Pimpinan Lambert Pekikir melakukan penghadangan terhadap konvoi Danyon 431/SSP Kostrad Letkol (Inf) Indarto. Terjadi baku tembak sekitar 30 menit dan Danyon 431/SSP Kostrad Letkol (Inf) Indarto lengkap dengan pasukannya kabur meninggalkan lokasi baku tembak.
Diluar lokasi baku tembak dalam jarak sekitar 150-200 meter, TNI kemudian menembak mati Kepala Kampung Saweyatami, Johanes Yanufrom (30) yang sedang mengendarai sepeda motor. Dia ditembak di pelipis kiri dan lambung kiri sehingga langsung meninggal dunia di tempat kejadian.
Danyon 431 Kostrad Letkol (Inf) Indarto kemudian meminta bantuan TNI di Pos Tribuana Kampung Wembi dan melakukan penyisiran membabi-buta. Masyarakat kampung Saweyatami, Wembi dan Bagia yang ketakutan akibat penyisiran membabi-buta ini langsung kabur mengungsi ke hutan.
“Masyarakat lari sembunyi ke hutan karena takut dijadikan sasaran kejahatan TNI, apalagi kampung-kampung ini semua penduduknya orang asli Keerom, pasti tidak ada ampun,” kata Mery Mekawa.
Pimpinan TNI-Polri kemudian menggunakan berbagai media massa berhaluan rasis di Papua dan Indonesia secara membabi-buta menuduh pasukan Lambert Pekikir sebagai pelaku pembunuhan terhadap Yanufrom dengan maksud mengkriminalisasi perjuangan Papua Merdeka dan mengamankan serta menyembunyikan tindakan kriminal petinggi TNI-Polri terhadap para prajurit dan masyarakat.
Sampai berita ini diturunkan, para petinggi TNI-Polri yang menikmati dana stabilitas masih terus memaksa prajuritnya masuk hutan bermedan berat melakukan penyisiran dan pengejaran terhadap TPN-OPM Pimpinan Lambert Pekikir dengan menjadikan masyarakat asli Keerom sebagai sasaran. Masyarakat yang takut masih mengungsi di hutan. Demikianlah!
!

KOMITE HAM PBB MINTA UU ORMAS DIREVISI INDONESIA

Komite HAM PBB minta UU Ormas direvisi


Komite HAM PBB minta UU Ormas direvisi thumbnail Genewa since 02/08/2013: Lantaran dinilai melanggar Hak Asasi Manusia (HAM), Komite HAM PBB meminta kepada Indonesia untuk segera merevisi Undang-Undang Organisasi Masyarakat (UU Ormas) karena UU Ormas secara nyata bertentangan dengan Kovenan Hak Sipil dan Politik.
Rekomendasi tersebut lahir dari proses sidang Komite HAM dengan Pemerintah Indonesia yang berlangsung dari tanggal 10 hingga 11 juli 2013 di Palais Wilson, Geneva, Swiss.
Sidang tersebut merupakan sidang untuk laporan pertama Pemerintah Indonesia (initial report) dan dialog dengan komite dalam pelaksanaan Kovenan Hak Sipil dan Politik (ICCPR) di Indonesia.
Secara tegas Komite HAM PBB menilai bahwa UU Ormas sarat pelanggaran terhadap pasal 18, 19 dan 22 Kovenan Hak Sipil dan Politik yang berkaitan dengan hak kebebasan beragama atau berkeyakinan, kebebasan berekspresi dan kebebasan berorganisasi.
Berangkat dari penilaian Komite HAM PBB tentang adanya pelanggaran terhadap kovenan hak sipil dan politik yang telah diratifikasi Indonesia tersebut dan rekomendasi untuk merevisinya maka Koaliasi masyarakat sipil yakni Human Rights Working Group(HRWG), Imparsial, YLBHI dan Elsam menyatakan:
“Kami mengapresiasi rekomendasi Komite HAM PBB dan mendesak pemerintah Indonesia untuk membatalkan UU Ormas, seiring dengan melakukan penguatan terhadap UU Yayasan sekaligus menyegerakan pembahasan UU Perkumpulan,” demikian siaran pers koalisi tersebut yang dikeluarkan kemarin (1/8/2013).
“Hentikan segala aturan yang membatasi kebebasan berorganisasi yang merujuk pada UU ormas seperti yang telah dipraktekan di beberapa daerah, misalkan kasus di Lampung dengan peraturan gubernur, kasus sweeping LSM di Karanganyar, ataupun kasus pelarangan organisasi buruh di Aceh Sigli.”
“Menuntut pemerintah dan anggota-anggota DPR-RI menghormati konstitusi serta standar-standar hukum internasional dalam pembentukan dan pelaksanaan peraturan-peraturan serta perundangan di Republik Indonesia.”

Minggu, 04 Agustus 2013

MERENUNGKAN PERDAMAIAN DAN KEADILAN DI PAPUA OLEH PAK MURIDAN S. W!!

Merenungkan Perdamaian dan Keadilan


Pada 2-3 Desember saya menghadiri lokakarya tentang perdamaian dan keadilan yang dibuat oleh International Center for Transitional Justice (ICTJ) di Hotel The LokhaLegian, Bali. Acara ini diikuti oleh 25 aktivis, mantan pejabat dan peneliti. Yang dari Indonesia datang dari Jakarta (Elsam, Komnas HAM, LIPI, ICTJ Jakarta), Aceh (Advisor Forbes dan aktivis Partai Rakyat Aceh), Maluku, dan Papua (Gereja Kingmi dan Dewan Adat Papua). Sedangkan yang dari luar negeri ada dari Timor Leste (Progressio dan Provedoria), Nepal (ICTJ Nepal), Swiss (ICTJ Geneva), dan lain-lain. Yang agak lain, saat itu hadir juga seorang jendral yang dikenal reformis, Agus Widjojo.

ICTJ mengajak kita merenungkan hubungan antara perdamaian dan keadilan. Keduanya dinilai sebagai tonggak penting dalam konteks paska konflik. Dalam praktiknya, keduanya seringkali dianggap bertentangan. Demi perdamaian, katanya, keadilan bisa ditunda atau bahkan diabaikan. Yang lain mengatakan, keadilan harus ditegakkan dulu baru perdamaian yang sejati bisa tercipta. Ada juga ketakutan, jika keadilan terlalu didorong, suasana perdamaian bisa terganggu. Pada kasus perdamaian Aceh, representasi politik yang lebih dulu dipecahkan daripada isu keadilan seperti pengadilan HAM dan rekonsiliasi. Pada kasus Papua keadilan sulit ditegakkan karena perdamaian belum terjadi. Papua masih terjebak di dalam ruang konflik.

Apakah perdamaian dan keadilan memang saling menegasikan? Pada saat pembukaan, Priscilla Hayner (ICTJ Geneva), menunjukkan kompleksitas hubungan keduanya. Setiap perdamaian di tingkat lokal, nasional, maupun internasional memiliki kekhasannya sendiri. Priscilla mengajak peserta belajar dari Nigeria, Sierra Leone, Nepal, dan lain-lain. Ternyata tidak ada model baku untuk keduanya. Theo van den Broek menegaskan bahwa di dalam setiap perdamaian itu sendiri terdapat unsur keadilan. Tidak bisa sekaligus ditegakkan, tetapi bertahap. Perjuangan keadilan harus diarahkan pada pencapaian full justice. Saya sendiri menambahkan bahwa hubungan perdamaian dan keadilan sangat bergantung pada hubungan kuasa yang ada. Pembuat perdamaian biasanya adalah pihak-pihak yang memiliki kuasa. Sedangkan korban biasanya tidak memilikinya.

Pandangan aktivis Maluku Anthony Hatane sangat menarik. Dibandingkan dengan Aceh dan Papua, mereka merasa tidak mendapatkan keadilan sama sekali. Perdamaian yang sudah terjadi tidak diikuti dengan penegakan keadilan melainkan dengan stigma separatis. Sejak perdamaian Malino II, tidak ada tindak lanjut sama sekali di sana. Aceh dan Papua lebih diistimewakan. Di Aceh ada konsesi politik yang luar biasa terhadap rakyat Aceh dengan UU 11/2006. Bahkan Hasan di Tiro pulang ke Aceh disambut dengan penuh hormat. Di Papua rakyatnya menikmati UU 21/2001 tentang otonomi khusus yang dananya sangat besar. Menurut saya, seringkali kita terpaku pada apa yang kurang dan lupa melihat pencapaian yang sudah diperjuangkan. Ini penting untuk menjaga agar semangat berjuang tetap terjaga.

Lalu, bagaimana dengan Papua? Apakah di Papua sudah ada perdamaian dan keadilan? Menurut saya, belum ada tanda signifikan bahwa keduanya sudah ada di Papua. Konflik politik masih berlangsung antara Jakarta dan Papua. Stigma dan permusuhan masih kuat. UU Otsus meskipun substansinya bagus tidak mendapatkan legitimasi dari kedua pihak yang berkonflik. Dua-duanya sama-sama curiga dan sama-sama tidak percaya. Yang satu bilang Otsus itu agenda tersembunyi separatis. Yang lain bilang, Otsus itu gula-gula tipu dari Jakarta. Pada tataran obyektif, kita tahu bahwa orang asli Papua masih termarjinalisasi, pembangunan gagal, penegakan HAM tidak juga dimulai, dan sumber konflik tentang sejarah tidak juga disentuh.

Pada kesempatan lokakarya itu, saya mengatakan bahwa konflik Papua harus diakhiri dengan suatu pakta perdamaian, entah melalui dialog atau musyawarah, agar kita semua keluar dari tahapan konflik dan masuk pada tahapan paska konflik. Kesepakatan baru bisa dibuat untuk menuju Papua Baru. Dengan itu, UU 21/2001 bisa direvisi berdasarkan kesepakatan para pihak. Stigma separatis bisa dihapus. Operasi militer dan intelijen yang mengganggu rasa aman penduduk di Papua segera diakhiri. Dalam suasana seperti itu kita bisa menjalankan Papua Road Map seperti yang sudah diterbitkan oleh LIPI. Jakarta dan Papua bisa memulai hubungan politik baru yang lebih konstruktif dan bersama-sama menyejahterakan penduduk di Papua.
(Photo: Priscilla Hayner dan saya sedang diskusi, oleh Edisius Riyadi, 2008)