EKSEKUTIF NASIONAL FRONT PERSATUAN PERJUANGAN RAKYAT PAPUA BARAT
(EKNAS FRONT PEPERA PB)
Sekretariat: Dok V Jayapura - Papua
“PENEGAKKAN HUKUM, HAM & DEMOKRASI DI TANAH PAPUA
DALAM PANDANGAN TAPOL NAPOL PAPUA
I. PENGANTAR
Hukum, HAM dan Demokrasi adalah tiga hal mendasar yang mempengaruhi suatu tatanan Negara berdaulat. Hukum dan HAM bagaikan satu mata keping logam yang tidak bisa dipisahkan. Hukum sebagai alat perekat dan juga sebagai fungsi kontrol; pada hukum melekat HAM. Perancangan dan penerapan hukum yang dampaknya melahirkan penderitaan dapat dikategorikan pelanggaran HAM, seperti penerapan hukum makar. Jika hukum dan HAM adalah satu keeping logam yang tidak dapat dipisahkan, maka demokrasi adalah pelengkap hukum dan HAM.
II. HUKUM
Masyarakat pribumi memiliki hak secara kodrati untuk melahirkan suatu Negara. Tujuan didirikannya suatu Negara adalah melindungi dan mensejahterahkan rakyatnya. Rakyat pribumi membesarkan Negara yang didirikannya. Untuk mengatur jalannya suatu Negara, maka masyarakat pribumi memberi kepercayaan kepada orang-orang tertentu. Kepercayaan itu diberikan bukan semata-mata sebagai suatu kesempatan untuk memerintah dengan sewenang-wenang, bukan juga kesempatan untuk mengumpulkan kekayaan sebanyak-banyaknya; dan bukan juga kesempatan untuk mendapatkan kehormatan, akan tetapi kesempatan itu dipercayakan oleh rakyat pribumi untuk mengatur dinamika hidup bermasyarakat, berbangsa dan bernegara.
Untuk mengatur jalannya roda pemerintahan di bawah kendali kepala negara, maka tentu ada hukum sebagai alat perekat dan juga sebagai fungsi kontrol. Salah satu produk hukum terpenting dalam suatu Negara adalah Konstitusi. Suatu Negara berdiri di atas hukum Konstitusi itu. Konstitusi adalah induk dari segala produk hukum yang ditetapkan dan disahkan serta diberlakukan dalam suatu Negara. Tentu hukum itu dilahirkan dan ditetapkan melalui mekanisme yang berlaku dalam suatu Negara. Apapun bentuk hukum yang dilahirkan mesti mempertimbangkan kepentingan rakyat dalam suatu Negara, bukan kepentingan golongan, atau partai tertentu.
Hukum yang dilahirkan mesti mempertimbangkan perlindungan dan kesejahteraan rakyat dalam suatu Negara. Hukum yang dirancang dan ditetapkan tanpa mempertibangkan perlindungan Hak Asasi Manusia, juga kesejahteraan rakyat adalah suatu produk hukum yang tidak efektif untuk diterapkan (diberlakukan). Hukum jenis ini tentu mendatangkan petaka bagi kelangsungan hidup rakyatnya.
Ironisnya, kebanyakan Negara yang dilahirkan dan dibesarkan; bahkan para pemimpinnya diberi kepercayaan oleh rakyat pribumi tidak melaksanakan suatu amanat agung yang dipercayakan oleh rakyat untuk melindungi dan mensejahterakan rakyatnya. Banyak produk hukum dilahirkan tanpa mempertimbangkan secara matang dampak yang akan terjadi setelah hukum itu diberlakukan; bahkan juga ada pemimpin Negara melahirkan dan menetapkan serta memberlakukan hukum hanya untuk melindungi kepentingan pribadi dan golongan tertentu dan mengabaikan kepentingan rakyatnya; juga ada produk hukum dilahirkan dan ditetapkan serta diberlakukan untuk mendatangkan penderitaan bagi rakyatnya. Bahkan dengan terang-terangan Negara melalui kaki tangannya TNI-POLRI melakukan kejahatan kemanusiaan terhadap rakyat.
Misalnya di Tanah Papua, pelbagai produk hukum yang dilahirkan dan ditetapkan serta diberlakukan di Indonesia, tidak mampu melindungi dan mensejahterakan rakyat pribumi Papua. Malah sebaliknya pelbagai produk hukum Indonesia dijadikan oleh penguasa negeri ini sebagai suatu simbol penindasan yang melegalkan lahirnya pelbagai kejahatan kemanusiaan; lain kata: apa pun tindakan kejahatan kemanusiaan dilakukan oleh Negara melalui kaki tangannya terhadap anak negeri Papua hanya demi kepentingan ekonomi dan politik semata. Pelbagai tindakan kekerasan fisik maupun psikis yang dilakukan oleh alat Negara dapat dilegalkan, walaupun tindakan mereka bertentangan dengan perangkat hukum Internasional.
III. DEMOKRASI
1. Demokrasi Dipancung
Pintu reformasi mulai dibuka sejak digulirkannya presiden Soeharto oleh kekuatan segenap Rakyat Indonesia. Sejak runtuhnya pemerintahan alm. Soeharto, Negara Indonesia memasuki dunia yang baru, sistem pemerintahan yang baru dan tatanan masyarakat yang baru.
Perlu kita kagumi bahwa runtuhnya pemerintan Soeharto memberikan angin segar bagi segenap Rakyat Indonesia untuk mereformasi sistem pemerintahan yang otoriterisme. Secara kasat mata dapat dilihat bahwa dengan bergulirnya reformasi pada tahun 1998, maka ada beberapa perubahan yang terjadi dalam sistem pemerintahan. Salah satunya terbukanya ruang demokrasi.
Perlu kita simak lebih jauh, apakah Negara Indonesia benar-benar menciptakan sistem demokrasi yang utuh dan sejati? Yang terjadi di Indonesia pasca runtuhnya rezim Soeharto dalam bidang demokrasi adalah menerapkan “demokrasi yang sempit”. Dikatakan demikian karena Negara Indonesia masih memakai pola-pola lama yang dipraktekkan oleh pemerintahan Orde Lama dan Orde Baru. Praktek demokrasi di Indonesia masi dilevel kulit. Demokrasi di Indonesia belum memasuki level yang terdalam. Untuk mencapai pada tingkatan level terdalam, mesti membutuhkan perjuangan panjang dan perlu membangun pemahaman yang mendalam tentang demokrasi yang sejati dan utuh pada semua komponen bangsa, terlebih aparat keamanan yang selalu berhadapan langsung dengan masyarakat sipil.
Aparat keamanan seharusnya mendapatkan pendidikan hukum, HAM dan demokrasi. Pendidikan seputar hukum, HAM dan demokrasi sekiranya diprioritaskan oleh otoritas (intansi) yang berwenang pasca perekrutan aparat keamanan. Hal ini penting karena aparat keamanan selalu berhadapan dengan masyarakat. Hampir setiap saat aparat keamanan selalu berbenturan dengan masyarakat karena mereka belum memahami tentang hukum, HAM dan demokrasi.
Media massa cetak maupun elektro setiap saat menyiarkan peristiwa bentrokan antara masyarakat dengan aparat keamanan. Ironisnya massa aksi dibubarkan secara paksa oleh aparat keamanan, walaupun sasaran aksinya bukan ke aparat keamanan. Banyak alasan dibuat untuk membenarkan tindakan pembubaran paksa oleh aparat keamanan. Tindakan aparat keamanan ini justru memperkeruh suasana (tata tertib), mengebiri demokrasi dan menutup ruang demokrasi. Dengan demikian memperkosa perangkat perundangan Indonesia tentang kebebasan berekpresi dan mengemukakan pendapat dimuka umum.
Fakta menunjukkan bahwa demokrasi di Indonesia berada di ujung laras senjata. Melihat kenyataan ini, pelbagai elemen gerakan menyuarakan perlu dibukanya ruang demokrasi yang utuh, akan tetapi pemerintah Indonesia, terlebih aparat keamanan masih menerapkan tindakan represi dalam menghadapi massa aksi yang hendak menyampaikan aspirasinya ke pihak-pihak terkait. Jika demikian, reformasi dibidang demokrasi perlu diberi perhatian khusus dan diperjuangkan oleh semua komponen bangsa dan Negara Indonesia.
Secara kasat mata dapat kita lihat bahwa demokrasi itu hanya terjadi pada saat PEMILU (Pemilihan Umum), baik calon legislatif, calon presiden-calon wakil presiden, PILKADA (Demilihan Kepala Daerah) Gubernur-Wakil Gubernur, Bupati-Wakil bupati. Negara bersama alat-alat politiknya memaksakan rakyatnya secara halus melalui kompanye, baik melalui media massa cetak maupun elektronik; dan juga melalui kompanye terbuka. Pikiran rakyat Indonesia diarahkan oleh Negara melalui mesin-mesin politiknya melalui media massa untuk memilih siapa kandidat yang layak dipilih dengan memancangkan sebuah slogan: LUBER (Langsung, Umum, Bebas dan Rahasia).
Melalui slogan ini dapat kita tahu bahwa sebenarnya terdapat kata “bebas”. Kebebasan ini bukan semata-mata terjadi, tetapi karena pikiran dan perasaan rakyat Indonesia diarahkan sedemikian rupa melalui berbagai cara, maka setiap rakyat Indonesia menyatakan dan menentukan pilihannya kepada siapa suara mereka diberikan; walaupun dalam pemberian suara banyak kepentingan bermain, termasuk “many politic” (politik uang).
Slogan” kebebasan” semestinya dipahami secara luas; bukan disempitkan hanya pada pemberian suara kepada salah satu kandidat calon legislatif atau calon kepala pemerintahan pusat, propinsi dan kabupaten, wali kota atau kepala desa.
2. Demokrasi Adalah Kebebasan
Kebebasan terikat erat dengan demokrasi, maka semestinya ruang demokrasi dibuka secara utuh dan menyeluruh. Demokrasi sejati adalah demokrasi yang menghargai nilai-nilai kebenaran, keadilan dan hak asasi manusia karena demokrasi itu pada hakekatnya melekat pada martabat kemanusiaan.
Penyempitan penerapan demokrasi yang sudah, sedang dan akan diterapkan oleh Negara Indonesia dalam kehidupan berbangsa dan bernegara adalah merupakan kejahatan kemanusian Negara terhadap rakyatnya; karena demokrasi itu melekat pada hakekat kemanusiaan; maka ketika terjadi pengekangan kebebasan berekspresi dan berpendapat di muka umum oleh Negara melalui kaki tangannya aparat keamanan, maka terjadilah pelanggaran terhadapap kemanusiaan.
Selain itu, ketika pemerintah tidak membuka ruang demokrasi bagi rakyatnya, maka ketika itu pula terjadi pengkhianatan terhadap Negara karena kedaulatan ada di tangan rakyat. Ketika ruang demokrasi disumbat oleh Negara melalui aparat keamanan, ketika itu pula kebebasan rakyat dikekang, dengan demikian kedaulatan rakyat dipancung. Jika inilah yang terjadi, maka konsekwensi logisnya adalah Negara sendirilah yang merong-rong kedaulatan rakyat. Negara sendirilah yang melanggar konstitusi berdiri sebuah Negara.
Apakah rakyatnya yang menyampaikan pendapat dimuka umum dengan cara yang bermartabat, termasuk penyampaian aspirasi penentuan nasib sendiri itu dapat dikatakan perong-rongan terhadap suatu Negara berdaulat? Jika pemerintah katakan penyempaian aspirasi untuk penentuan nasib sendiri adalah perong-rongan, maka apakah Negara sadar diri bahwa kedaulatan ada ditangan rakyat? Ataukah Negara mengklaim bahwa dirinya memiliki kekuasaan, maka dapat menumpas atau mengekang rakyatnya? Tapi apakah negara sadar bahwa kekuasaan yang dimilikinya itu diberikan dan dipercayakan oleh siapa? bukankah dari akar rumput (rakyat), ataukah diberikan oleh para dewa atau makhluk halus?
Perlu adanya kesadaran nasional, terlebih negara bersama perangkat pemerintahannya untuk memahami hal ikhwal tentang suatu kedaulatan Negara. Negara itu ada karena ada rakyat. Kekuasaan itu ada karena diberikan dan dipercayakan oleh rakyat melalui sebuah mekanisme demokrasi. Demikian pula demokrasi ada hanya karena ada rakyat. Rakyat itu adalah pribadi-pribadi (individu), maka demokrasi itu melekat pada pribadi-pribadi itu.
Demokrasi adalah kebebasan; maka kebebasan adalah hak asasi yang melekat pada individu. Ketika pengekangan atau penyumbatan demokrasi diterapkan Negara, maka terjadilah pembatasan terhadap sebuah kebebasan yang melekat pada individu. jika pengekangan itu terjadi, maka terjadilah pelanggaran kejahatan kemanusiaan oleh Negara.
IV. HAM
HAM adalah hak dasar yang melekat pada setiap manusia yang merupakan anugerah Tuhan yang tak dapat dicabut oleh siapa pun dan dengan cara apa pun. Artinya tak ada kekuatan apa pun yang dapat mencabut nyawa manusia, kecuali Tuhan. Untuk melindungi hak-hak dasar yang melekat pada setiap manusia, Negara memiliki tugas dan tanggung jawab untuk melindungi setiap warga Negara. Untuk menjaga tata tertib, dan juga melindungi hak-hak dasar, terlebih hak hidup maka Negara merancang dan menetapkan serta menerapkan pelbagai produk hukum. Hukum menjadi alat kontrol tindakan manusia, dan jika melakukan pelanggaran terhadap hukum, tentu mendapat ganjaran atau sanksi. Misalnya sanksi berupa pembayaran materi, kurungan badan alias penjara, sanksi disiplin, dan lain sebagainya.
Praktek hukum di Indonesia sangat jauh dari harapan masyarakat. Justru Negara pembuat hukum sendirilah yang melanggar hukum. Hukum Indonesia seolah-olah dibuat, dietapkan dan diberlakukan khusus bagi rakyat jelata. penerapan hukum yang sewenang-wenang melahirkan penderitaan bagi kebanyakan masyarakat sipil.
Tak terhitung banyaknya rakyat Indonesia, lebih khusus orang Papua mengalami teror, intimidasi, penyiksaan, pelecehan, diskriminasi, penangkapan, pemenjaraan, bahkan jutaan jiwa anak negeri telah tiada hanya karena penerapan Hukum, HAM dan Demokrasi yang jauh dari harapan masyarakat, lebih khusus harapan masyarakat pribumi Papua.
Tak terhitung banyaknya rakyat pribumi Papua mengalami penderitaan karena Pemerintah tak mampu mensejahterakan rakyat pribumi Papua. Walaupun OTSUS dipaksakan diterapkan dan diberlakukan di Papua sejak tahun 2001, namun implementasi UU OTSUS tidak membawa perubahan bagi keberlansungan hidup rakyat pribumi Papua. Justru di era OTSUS penderitaan rakyat pribumi semakin meningkat; maka itu OTSUS sudah gagal total. Justru OTSUS menjadi lambang kejahatan kemanusiaan di Tanah Papua.
Saluran Demokrasi di tanah Papua disumbat dengan tangan besi; kebebasan rakyat Papua dikekang; kebebasan menyampaikan pendapat dimuka umum dihadapkan dengan moncong senjata. Penegakkan Hukum, HAM dan Demokrasi di Tanah Papua berada di Ujung Laras Senjata kaki tangan Negara Indonesia.
Semua kejahatan kemanusiaan yang terjadi di atas Tanah Papua, sangat bertentangan dengan nilai-nilai yang terkandung dalam Pancasila, Konstitusi NKRI, dan produk hukum lain yang berlaku di Indonesia, bahkan praktek kejahatan Negara ini bertentangan dengan nilai-nilai Universal yang ditetapkan dan diberlakukan oleh Perserikatan Bangsa-Bangsa.
V. KESIMPULAN
Penegakkan Hukum, HAM dan Demokrasi di Indonesia, khususnya di Tanah Papua semakin memprihatinkan. Negara Indonesia mengakui dirinya sebagai Negara hukum dan demokrasi, namum dalam penerapannya jauh dari apa yang tertuang dalam konstitusi NKRI. Hukum dibuat hanya untuk kepentingan tertentu. Fakta membuktikan bahwa “wong cilik” yang mencuri sepotong pisang dapat diproses hukum sampai masuk penjara, sementara “wong gede” yang mencuri uang rakyat yang bermilyaran bahkan bertriliyunan rupiah dilindungi oleh alat Negara. Sementara itu pelanggaran HAM yang para aktornya TNI dan POLRI semakin meningkat. Impunity berlaku bagi para pelanggar HAM. Hal ini diperparah dengan praktek demokrasi di Indonesia pasca reformasi hanyalah menjadi isapan jempol belaka. Ruang Demokrasi di Indonesia, lebih khusus di Tanah Papua dikekang, disumbat dan dapat dikatakan demokrasi di Tanah Papua berada di ujung laras senjata.
Singkatnya Negara Indonesia tak mampu melindungi dan mensejahterakan ranyat pribumi Papua. Justru Negara Indonesia melakukan kejahatan kemanusiaan terhadap orang Papua, justru Negara menciptakan diskriminasi, ketidak-adilan dan kemiskinan bagi rakyat pribumi Papua. Di mata Indonesia rakyat pribumi Papua adalah manusia kelas dua, alias manusia tak mampu, kotor, jijik, manusia kera, dan lain sebagainya. Manusia Papua di mata Indonesia tak ada nilainya, maka atas nama Negara melakukan pelbagai kejahatan kemanusiaan, antara lain: memperkosa, mengintimidasi, menyiksa, menagkap, memenjara, menculik dan membunuh, menguasai tanah dan kekayaan alam Papua, melecehkan, bahkan orang Papua dibantai bagai binatang buas.
Fakta membuktikan bahwa apa pun produk hukum yang dilahirkan oleh Negara Indonesia, tak mampu melindungi dan mensejahterkan orang Papua. Ini bukan kekilafan, ini bukan kelalaian, akan tetapi ini merupakan suatu upaya sistematis dan terencana yang dikemas dengan rapi oleh Negara Indonesia melalui kaki tangannya untuk memusnahkan orang Papua dari pangkuan planet bumi ini. Kita harus akhiri penindasan ini.
VI. REKOMENDASI
1) Penegakkan Hukum, HAM dan Demokrasi harus menjadi tugas mendesak yang harus diperjuangkan oleh semua komponen Negara Indonesia, termasuk rakyatnya, terlebih penegak hukum.
2) Negara Indonesia harus konsisten melaksanakan slogan RI: “Negara Indonesia adalah Negara Hukum dan Demokrasi”
3) Segera membuka ruang demokrasi di Indonesia, lebih khusus di Tanah Papua sebagai konsekwensi Negara demokrasi.
4) Hentikan pengekangan, penangkapan dan pemenjaraan sewenang-wenang terhadap rakyat sipil yang memperjuangkan kebenaran dan keadilan.
5) Segera membebaskan para TAPOL NAPOL Papua tanpa syarat.
6) Harus ada produk hukum khusus untuk Papua yang menjamin bahwa terbukanya ruang demokrasi bagi rakyat sipil Papua, produk hukumnya berupa MoU, atau perda atau PP.
7) Hentikan Kejahatan Negara, baik nyata maupun terselubung terhadap rakyat pribumi Papua.
8) Jalan kekekarasan tak akan menyelesaikan masalah, maka Negara Indonesia harus membuka diri dan duduk di bawah satu atap yang difasilitisi pihak ketiga yang indenpenden untuk membahas dan menyelesaikan pelbagai kompleksitas masalah Papua.
9) Kita harus akhiri penindasan ini, maka mari kita bersatu untuk memutuskan mata rantai penindasan neo-kolonial Indonesia.
***
Oleh: Selpius Bobii
(KETUA UMUM EKKSEKUTIF NASIONAL FRONT PEPERA WEST PAPUA)
PELAPOR
Fr. Santon Tekege, Rr
Group Truggle Justice in Papua
Jl. Yakonde No. 9-12 Padangbulan Abepura-Papua-Indonesia