Sabtu, 25 Mei 2013

PAPUAN POLITICAL PRISONERS REJECTION OFFER OF INDONESIA GOVERNMENT PRESIDENT SBY FOR GRATING AND AMNESTY

Papuan political prisoners reject offer of Indonesian Government for amnesty


The bid by the Indonesian Government through the Ministry of Law and Human Rights, to grant amnesty for some political prisoners in Papua was rejected by political prisoners at Abepura penitentiary.
  
The Papuan political prisoners’ statement which was signed by 25 political prisoners serving sentences in Abepura prison stated the following: “We reject the plan granting clemency by the President of the Republic of Indonesia.”


This statement, received by Jubi on Friday (24/05) reinforces the position of these political prisoners: they themselves do not need to be released from prison, but they demand the release of the people of West Papua from the colonial occupation by the Indonesian Republic.

A few hours earlier, the Minister of Law and Human Rights, Amir Syamsuddin, had conveyed to journalists at the Parliament Building in Jakarta that amnesty would be granted to political prisoners in Papua.
“We are considering the granting of amnesty for political prisoners, because of the political background, especially the situation in Papua,” said Law Minister Amir Syamsuddin.

The 25 political prisoners who rejected the amnesty offer by the Indonesian Government are:
1. Filep J.S. Karma
2. Victor F Yeimo
3. Selpius Bobii
4. A. Makbrawen Sananay Krasar
5. Dominikus Sarabut
6. Beni Teno
7. Alex Makabori
8. Nico D. Sosomar
9. Petrus Nerotou
10. Denny I Hisage
11. Dago Ronald Gobai
12. Jefry Wandikbo
13. Mathan Klembiab
14. Rendy W. Wetipo
15. Boas Gombo
16. Jhon Pekei
17. Oliken giyai
18. Panus Kogoya
19. Warsel Asso
20. Yunias Itlay
21. Timur Waker
22. Kondison Jikibalom
23. Serko Itlay
24. Japrai Murib
25. Yulianus Wenda

In Papua, until last April, according to the UK-based NGO, Tapol, there are around 40 political prisoners scattered in several prisons in Papua and West Papua. 

Six Political Prisoners in Timika Refuse Plan Clemency for Political Prisoners in Papua 
We the undersigned are six KNPB Timika area activist who is serving a sentence in Timika prison, stated unequivocally that the President of the Republic Indonesia: 
  1.  Firmly reject the Plan Granting Clemency for All Political Prisoners in Papua.   
  2.  Six Prisoners politic in Timika which is serving will not receive a pardon if granted 
  3. We insist that the Papuan People's Immediate Release of Homeland grip. 
Political prisoners attitude thus being detained in prisons class II B, Timika, Papua,  

Timika, May 25, 2013 

Romario Yatipai 
Stevanus Itlay 
Yakonias Womsiwor 
Alfred Marsyom 
Paulus Marsyom  
Yanto Awerkion 

Jumat, 24 Mei 2013

NEW ZELAND PEACE GROUP: QUERIES SUPPORT FOR WELLINGTON'S PAPUA POLICY


New Zealand peace group queries support for Wellington’s Papua policy

Posted at 18:47 on 23 May, 2013 UTC
A member of a New Zealand Peace Group which has met with the Ministry of Foreign Affairs to discuss issues relating to West Papua has questioned this country’s links to Indonesian security forces.
Lower Hutt Waiwhetu Peace Group asked the Ministry about a range of aspects of how New Zealand engages with Jakarta over ongoing human rights abuses in Indonesia’s eastern region.
This comes as the Indonesia section of Amnesty International’s just released annual report includes concerns about impunity for Indonesian security forces for rampant rights violations in Papua.
The group’s Theo Fink says he is unhappy with the direction Wellington has taken, particularly in ongoing training and assistance programmes for Indonesian military personnel and police in West Papua.
“All we’re doing is helping them be more effective in the horrible things that they’re doing. And I don’t believe you could find five percent of New Zealanders who would agree that we should be doing that.”
Theo Fink of the Waiwhetu Peace Group.
News Content © Radio New Zealand International
PO Box 123, Wellington, New Zealand

Kamis, 23 Mei 2013

DESMON TUTU: Pejuang Keadilan di Dunia dapat penghargaan Templeton di London sejak 21 Mey 2013


Archbishop Emeritus Desmond Tutu at the Templeton Prize celebration at St. George’s Cathedral in Cape Town on April 11, 2013.
(Photo credit: Templeton Prize: / Karen Marshall)

DUNIA

Desmond Tutu Pejuang Keadilan

Desmond Tutu mendapat penghargaan Templeton di London Selasa (21/05/13). Warga Afrika Selatan yang berusia 81 tahun itu mendapat penghargaan karena "upaya menyokong kasih dan pengampunan".
Dengan upayanya, Desmond Tutu membantu gerakan pembebasan di seluruh dunia. Demikian alasan pemberian penghargaan tersebut. Tutu terkejut ketika mendengar keputusan yang diambil awal April itu.
Ia memberikan reaksi demikian: "Jika kamu lebih tinggi daripada orang lain, itu biasanya karena orang-orang lain menggendongmu di bahunya."
Uskup, perantara perdamaian dan pejuang keadilan sosial Desmond Tutu sudah memegang berbagai peran dalam hidupnya. Awal tahun 80-an ia terkenal karena melawan rezim Apartheid di Afrika Selatan. Tutu sering mengecam ketidakadilan, tanpa membangkitkan kebencian. Misalnya Februari 1991. Setelah tekanan puluhan tahun atas penduduk berkulit hitam, Presiden de Klerk membebaskan sejumlah tahanan politik, seperti Nelson Mandela, dan mengijinkan berdirinya partai dan organisasi.
Tapi perundingan untuk reformasi demokrasi mandek. Ketika politisi dan pejuang kebebasan Chris Hani dibunuh seorang warga radikal kanan, perang saudara hampir terjadi. Tutu menyerukan "Kita akan bebas! Kita semua - kulit hitam dan putih bersama-sama!" Itu diserukan Desmond Tutu saat pemakaman Chris Hani di depan lebih dari 100.000 orang. Di saat-saat sulit seperti ini, Tutu menunjukkan kekuatannya.
Dari Guru Menjadi Uskup Pertama Berkulit Hitam di Afrika Selatan
Demond Tutu lahir 1931 di Klerksdorp. Dulu ia menjadi guru. Ketika pemerintah memutuskan, murid berkulit putih harus mendapat pendidikan lebih baik daripada yang berkulit putih, Tutu berhenti jadi guru, dan beralih ke dunia teologi. Ia kemudian menjadi uskup gereja Anglikan pertama di Johannesburg yang berkulit hitam, kemudian jadi uskup Cape Town.
Di dunia politik ia selalu memerangi pemisahan berdasarkan ras. Secara terbuka ia bersimpati dengan tujuan yang ingin dicapai partai Nelson Mandela, Kongres Nasional Afrika (ANC).
Archbishop Emeritus Desmond Tutu with members of the Cape Town Opera Voice of the Nation Ensemble, at the Templeton Prize celebration at St. George’s Cathedral in Cape Town on April 11, 2013.
(Photo credit: Templeton Prize: / Ilan Godfrey)Desmond Tutu bersama anggota kelompok musik Cape Town Opera Voice of the Nation Ensemble, dalam acara perayaan setelah ada keputusan ia mendapat penghargaan Templeton, di Katedral St. George di Cape Town (11/04/13)
Perdamaian, Bukan Balas Dendam
Juga setelah Apartheid dihapuskan, Tutu tidak menarik diri dari kancah politik. Presiden Nelson Mandela memintanya untuk memimpin komisi kebenaran dan perdamaian, yang bertugas meneliti kejahatan di masa Apartheid. Tutu dan komisi itu ingin menemukan jalan tengah antara keadilan dan amnesti, serta menuntut perdamaian dan pemberian maaf.
Setelah itu Tutu masih memerangi ketidakadilan di dunia, tanpa mengindahkan penguasa. Ia menuduh Tony Blair dan George W. Bush menggunakan kebohongan untuk memulai perang. Menurutnya, kedua politisi itu harus dihadapkan ke Pengadilan Pidana di Den Haag. Ia kerap menunjuk pada persamaan antara Apartheid di Afrika Selatan dan diskriminasi warga Palestina oleh Israel. Ia juga mengutuk pendudukan wilayah Palestina.
Suara Kuat Menentang Ketidakadilan
Tutu masih tetap menjadi pengamat kritis partai pemerintah, mengamati hubungan dengan rejim otoriter di Zimbabwe, pemberantasan AIDS yang berjalan terseok-seok dan elit politik yang dibayar terlalu tinggi. Memilih ANC, menurut Tutu, bukan sesuatu yang otomatis lagi. Orang mengajukan pertanyaan, dan itu bagus.
Untuk jasanya dalam perjuangan terhadap Apartheid tanpa kekerasan, Desmond Tutu mendapat Hadiah Nobel tahun 1984. Ia juga pernah mendapat penghargaan Martin Luther King, penghargaan perdamaian Gandhi, dan penghargaan lainnya. Penghargaan Templeton diberikan bagi mereka yang dengan cara istimewa memperkuat pentingnya spiritualitas dalam hidup manusia. Penghargaan ini tidak diberikan berdasarkan agama seseorang.

GUBERNUR PROPINSI PAPUA LUKAS ENEMBE BERKATA: Pendulangan Emas Degeuwo Paniai Akan Ditutup sejak 23 May 2013


Pendulangan Emas Deweugo Paniai Akan Ditutup

SEJAK 23 Mei 2013: KBR68H, Jayapura- Pemprov Papua mengklaim akan menutup pendulangan emas di Degeuwo, Kabupaten Paniai. Gubernur Papua, Lukas Enembe mengatakan penutupan tambang dikarenakan transaksi pendulangan emas di sana lebih dominan ditukar dengan seks.

Akibatnya, sebagaian suku Mee yang mendiami daerah pendulangan itu diduga terinfeksi HIV/AIDS. Enembe juga mengklaim beberapa perusahaan yang melakukan pendulangan di sana tidak memiliki izin yang sah dari pemda setempat.

“Harus kita tutup, kalau tidak, aduh kasian rakyat di sana, mereka kegiatannya untuk tukar dengan seks dan ini kerja satu minggu tuh, hasilnya ya bawa tukar hanya tukar untuk itu, barter.  Itu sebabnya orang Mee rata-rata kena penyakit itu. Itulah sebabnya tadi saya sudah bicara keras, memang harus begitu, kalau kita tidak bicara, saya tidak pusing,” katanya.  

Penutupan pendulangan emas Degeuwo tak hanya dari pemda setempat, sejumlah lembaga, instansi, adat dan juga masyarakat setempat meminta daerah pendulangan ini dapat ditutup. Salah satunya karena di daerah itu terus menjamur adanya prostitusi, miras dan kerap terjadi kekerasan antarwarga. Apalagi masyarakat di sana mengklaim perusahaan yang beroperasi tak memberikan kontribusi bagi masyarakat setempat.