Kamis, 30 April 2015

Protestors demand end to isolation of West Papua 29 April 2015

Protestors demand end to isolation of West Papua 29 April 2015

Dozens of protestors gathered outside the Indonesian embassy in London today to demand free and open access to West Papua.
Dozens of protestors gathered outside the Indonesian embassy in London today to demand free and open access to West Papua.
© Camila Almeida/Survival
Dozens of demonstrators gathered outside Indonesian embassies in London, Paris and other cities today to call for an end to West Papua’s 50 years of isolation.
Supporters of TapolAmnesty InternationalFree West Papua Campaign and Survival International, the global movement for tribal peoples’ rights, wore black to protest the media black-out in Papua, and carried placards brandishing slogans such as “Stop the killings, open Papua”.
Further protests were held around the world, including in West Papua, Australia, the U.S., Spain and Italy.
Papuan tribal people have suffered killings, arrest and torture by the Indonesian military, who act with impunity. In December 2014, four Papuan teenagers were shot dead by security forces during a protest, but no-one has yet been held accountable.
Human rights organizations, international journalists and humanitarian agencies have been blocked from operating in West Papua despite pre-election promises by President Jokowi to open the province up – allowing the brutal oppression to continue. More than 100,000 Papuans are believed to have been killed since the beginning of the occupation in 1963.
Papuan activist Benny Wenda joined protestors outside the Indonesian embassy in London to call for an open and free West Papua.
Papuan activist Benny Wenda joined protestors outside the Indonesian embassy in London to call for an open and free West Papua.
© Camila Almeida/Survival
During similar international protests last year, protestors in West Papua were dispersed by police, and two students were arrested and severely beaten.
Survival’s Director Stephen Corry said today, “Indonesia has fought long and hard to suppress freedom of speech in West Papua. It’s not surprising when it has so much to hide. The authorities don’t want Papuans speaking about extrajudicial killings, arbitrary arrests, rape or torture. And as long West Papua is kept closed by Indonesia, the reign of terror continues.”
Read the letter to the Indonesian President
- Download high-res photos of the protest here:
Dozens of protestors gathered outside the Indonesian embassy in London today to demand free and open access to West Papua.Dozens of protestors gathered outside the Indonesian embassy in London today to demand free and open access to West Papua.
Download hi-res image

Credit: © Camila Almeida/Survival
 
Papuan activist Benny Wenda joined protestors outside the Indonesian embassy in London to call for an open and free West Papua.Papuan activist Benny Wenda joined protestors outside the Indonesian embassy in London to call for an open and free West Papua.
Download hi-res image

Credit: © Camila Almeida/Survival
 
Human rights activist Peter Tatchell joined demonstrators outside the Indonesian embassy in London to call for an end to 50 year of isolation.Human rights activist Peter Tatchell joined demonstrators outside the Indonesian embassy in London to call for an end to 50 year of isolation.
Download hi-res image

Credit: © Camila Almeida/Survival
 
Protestors outside the Indonesian embassy in London demanded "Stop the arrests" and "Stop the killings"Protestors outside the Indonesian embassy in London demanded "Stop the arrests" and "Stop the killings"
Download hi-res image

Credit: © Camila Almeida/Survival
 
Protestors in Spain demanded Indonesia 'Stop the torture' and 'Stop the arrests' of Papuans.Protestors in Spain demanded Indonesia 'Stop the torture' and 'Stop the arrests' of Papuans.
Download hi-res image

Credit: © Victoria Herranz/Survival
 
Protesters in Paris called for an end to torture and arrests in West Papua. Protesters in Paris called for an end to torture and arrests in West Papua.
Download hi-res image

Credit: © Survival International
 
 

Share this news story

KEKERASAN APARAT KEAMANAN KERAP DIPICU OLEH APARAT KEAMANAN INDONESIA DI TANAH PAPUA


Kekerasan Aparat Keamanan kerap picu kekerasan di Papua.

Ketua Dewan Adat Daerah Paniai Jhon NR Gobay, Kamis (9/4) mengatakan bahwa kekerasan di Provinsi Papua umumnya bermula dari tindakan represif oknum aparat keamanan TNI dan Polri dalam menangani suatu persoalan. Kekerasan dari oknum aparat itu, seperti yang terjadi di Enarotali, Kabupaten Paniai pada 8 Desember 2014. Lalu, di Intan Jaya, Deyai, Puncak, Puncak Jaya, Nduga dan Wamena, Kabupaten Jayawijaya. “Kalau di daerah perkotaan, seperti Kota Jayapura, kekerasan itu cepat terungkap, terkekspos dengan baik. Sehingga aparat juga kelihatannya hati-hati dalam bertindak, meskipun ada juga terjadiAda tindakan yang berlebihan dan arogan oleh oknum aparat keamanan (TNI dan Polri) di daerah-daerah yang tidak terjangkau oleh media, sehingga kekerasan-kekerasan yang terjadi tidak terekspos dengan baik,” kata Jhon NR Gobay di Kota Jayapura, Papua, Kamis. Ia menyarankan pimpinan aparat keamanan seperti Kapolda dan Pangdam di Papua atau pimpinan tingkat pusat, yaitu Kapolri dan Panglima TNI memberikan pengetahuan HAM kepada bawahannya untuk bagaimana memahami dan menangani masalah di lapangan terutama menangani persoalan di Papua.
“Orang Papua dengan caranya, dengan ekspresinya menyampaikan pendapat, menyatakan keinginanannya, masih asli dalam budaya kita (gaya Papua), cara waita (demo sambil berlari dan bernyanyi), dengan tari-tarian. Ini sebenarnya ada hal yang mau disampaikan,” katanya. Seperti contoh kasus Enarotali, Paniai pada 8 Desember 2014, ada ekspresi yang mau disampaikan untuk menyelesaikan masalah, tetapi aparat yang bertugas kurang memahami budaya setempat, aparat tidak memahami psikologi dari massa, akhirnya terjadi tindakan represif terjadi. “Pendekatan-pendekatan aparat keamanan di Papua perlu dievaluasi secara menyekluruh. Dan, kesatuan-kesatuan yang tidak semestinya ada, itu ada baiknya ditarik kel uar Papua, karena semakin banyak aparat, dengan senjata di tengah masyarakat Papua yang sudah berkurang populasinya bisa menimbulkan situasi yang kurang bagus,” katanya. Pada Selasa (7/4), ratusan mahasiswa dari berbagai kampus di Kota Jayapura yang tergabung dalam Forum Independen Mahasiswa (FIM) didampingi Dewan Adat Daerah Paniai, berdemo dihalaman kantor Perwakilan Komnas HAM Papua guna mendesak dibentuk KPP HAM terhadap kasus Paniai 8 Desember 2014. http://indonesia.ucanews.com/…/kekerasan-aparat-kerap-picu…/

https://www.youtube.com/watch?t=182&v=1T0PYuwFG-E



SIARAN PERS: PARA DEMONSTRAN DI LONDON INDGGRIS MEMIMPIN PROTES SERENTAK MELAWAN BLOKADE MEDIA DI PAPUA

Siaran pers
Para Demonstran di London memimpin protes serentak melawan blokade media di Papua
Hari Aksi Serentak untuk Akses ke Papua dilakukan di 20 kota
London, 29 April 2014 – Hari ini puluhan demonstran berbaju hitam melakukan aksi di depan Kedutaan Besar Indonesia untuk memimpin aksi global menentang isolasi panjang di Papua selama 50 tahun. Demonstrasi ini diorganisir oleh TAPOL dan Survival Internasional dan didukung oleh Amnesty Internasional Inggris serta Free West Papua Campaign. Aksi ini diikuti oleh 22 aksi serupa di dunia untuk meminta kebebasan dan keterbukaan akses untuk wilayah yang paling disembunyikan di Indonesia ini. Sejak aneksasi di Papua pada tahun 1963, Indonesia telah memberlakukan blokade media pada wilayah kaya sumber daya alam yang diperebutkan, yang memungkinan pelaku pelanggaran hak asasi manusia bertindak dengan mendapatkan impunitas total. Papua adalah salah satu wilayah konflik yang terisolasi di Papua. Selama beberapa tahun, aparat keamanan di Indonesia secara brutal telah menindas gerakan pro kemerdekaan di Papua.
Hari Aksi Serentak untuk Kebebasan dan Keterbukaan Akses untuk Papua dilakukan di Papua, Indonesia, Australia, New Zealand, the Solomon Islands, Scotland, Germany, France, Italy dan Spain. Aksi di Los Angeles, New York dan San Francisco direncanakan dilaksanakan hari ini. Aksi ini adalah upaya koordinasi global, yang pertama dari jenisnya, menunjukkan bahwa solidaritas di seluruh dunia untuk Papua telah mencapai situasi yang belum pernah terjadi sebelumnya.
Esther Cann dari TAPOL, sebuah organisasi HAM di London yang mengkoordinir aksi ini menyatakan: “Dunia belum pernah tampak melakukan dukungan serupa ini untuk Papua. LSMs, anggota parlemen dan kelompok solidaritas diseluruh dunia memberitahu Indonesia bahwa pelanggaran hak asasi manusia di Papua tidak bisa lagi diabaikan. Suara orang Papua harus didengar. Dalam era informasi ini, sangat mengejutkan bahwa ada daerah tertutup seperti Papua."
Dari Pulau Solomon sampai Scotlandia sampai San Fransisco, ratusan demonstran dari 22 kota di 10 negara berbeda bersatu untuk meminta kebebasan dan keterbukaan di Papua. Demonstran menggunakan baju hitam, menunjukkan ketertutupan media di Papua. Mereka bersatu untuk meminta Presiden Joko Widodo memenuhi janji pada masa pemilihan presiden untuk membuka akses bagi jurnalis internasional, kelompok kemanuisaan dan organisasi HAM. Aksi diam 3 menit dilakukan untuk menjadi simbol pembungkaman media di Papua.
Presiden Jokowi sendiri menyatakan bahwa tidak ada yang disembunyikan di Papua. Lalu mengapa hampir tidak mungkin wartawan dan organisasi HAM melaporkan situasi di Papua? Kita tahu bahwa pelanggaran HAM berat yang terjadi di Papua, tapi kami masih tidak tahu skala pembunuhan dan penyiksaan yang terjadi selama 50 tahun terakhir, " kata Cann.
"Hari aksi global ini adalah upaya kami untuk mengatakan kepada pemerintah Indonesia bahwa dunia sedang memperhatikan. Meskipun mereka terus mengisolasi Papua selama 50 tahun, dunia tidak melupakannya. Kebenaran harus terungkap dan harus disampaikan,"kata aktivis hak asasi manusia Peter Tatchell, yang turut serta dalam aksi tersebut.
Di akhir aksi, sebuah surat kepada Presiden Jokowi yang ditandangani oleh 51 orang dan organisasi dari Papua, Indonesia dan kelompok internasional serta anggota parlemen diserahkan langsung kepada Kedutaan Besar Indonesia di London. Surat tersebut menunjukkan bahwa “blokade media di Papua telah memberangus hak orang-orang Papua untuk didengar suaranya dan membuka ruang pelanggaran HAM seperti pembunuhan, penyiksaan dan penangkapan sewenang-wenang berlangsung tanpa tindakan penghukuman/impunitas... Secara de-fakto, pelarangan jurnalis internasional, LSM dan organisasi kemanusiaan berkontribusi terhadap isolasi kepada jurnalis di Papua dan menyebabkan investigasi independen dan pembuktian hampir tidak mungkin dilakukan. Sebuah petisi Avaaz meminta kebebasan media di Papua telah diinisiasi oleh Free West Papua Campaign dan ditandatangani oleh lebih dari 47,000 dan disampaikan kepada Presiden Jokowi oleh mahasiswa Papua di Jakarta hari ini.
Reporters without Brothers, salah satu penanda tangan surat bersama, mengkritik kebebasan media yang semakin terbatas. Benjamin Ismail, Kepala Desk Asia-Pasifik di Reporters without Borders mengatakan, "peringkat Indonesia dalam Indeks Kebebasan Pers Dunia telah memburuk secara dramatis dalam empat tahun terakhir. Pada tahun 2015, Indonesia berada pada peringkat 138 dari 180 negara. Posisi tahun ini terutama adalah hasil dari blokade media di Papua Barat yang dibatasi oleh otoritas negara. "
Akses untuk pemantau HAM telah ditutup dalam 8 tahun. Beberapa tahun terakhir, kelompok kemanusiaan dan organisasi HAM internasional telah dipaksa unatuk menutup kantor mereka dan meninggalkan Papua. Jurnalis dan lembaga swadaya masyarakat internasional yang bermaksud untuk mengunjungi Papua saat ini disyaratkan untuk menjalani proses visa ketat yang melibatkan persetujuan dari 18 instansi pemerintah yang berbeda-beda yang dikenal dengan Komite Clearing House.
Pada Oktober tahun lalu, dua orang jurnalis Prancis telah dihukum 11 minggu dalam tahanan atas dakwaaan pelanggaran imigrasi. Pada sidang Dewan HAM bulan lalu, Valentine Bourrat, salah satu dari dua orang jurnalis Prancis yang ditangkap menyatakan: .. menetapkan Papua tertutup bagi jurnalis menunjukkan bahwa pemerintah Indonesia menyembunyikan pelanggaran HAM. Sebagai jurnalis kami tidak bisa membiarkan pembunuh menang dalam keheningan.”
Laporan independen yang dilakukan oleh jurnalis lokal dan nasional berada dalam kondisi berbahaya dan beresiko terhadap kematian. Berdasarkan AJI Papua, pada tahun 2014 telah terjadi 20 orang peristiwa kekerasan dan intimidasi yang terjadi kepada jurnalis di Papua.
"Jurnalis di Papua harus bisa bekerja tanpa intimidasi, teror, dan ancaman dari pihak pemerintah melalui aparat keamanan. Kita harus bisa melaporkan secara independen tanpa takut akan pembatasan, Mengapa hal ini tidak dijamin untuk wartawan di Papua? Kalau dianggap warga negara, mengapa hak-hak kami tidak dihargai?" kata Oktovianus Pogau, wartawan Suara Papua.
Selama kampanye presiden, Presiden Jokowi secara terbuka menyatakan bahwa tidak ada yang harus disembunyikan di Papua dan berjanji untuk membuka wilayah ini. Sekarang, 6 bulan pada masa pemerintahannya, Papua masih tertutup dari komunitas internasional. Ketika Presiden Jokowi berjanji dalam komitmennya untuk menyelesaikan kasus-kasus pelanggaran HAM masa lalu, penghukuman terhadap 8 terpidana yang diduga melakukan perdagangan narkoba justru terjadi kurang dari 24 jam yang lalu meragukan arah masa depan HAM di Indonesia.