Sabtu, 05 Juni 2010

KERUSAKAN HUTAN DAN IMPLIKASINYA BAGI MANUSIA VS CIPTAAN-CIPTAAN LAIN DI MAMA BUMI PAPUA

Kerusakan hutan dn implikasinya bagi manusia dn ciptaan2 lain....

Alam akan membalas...tunggu waktu yg tepat.

Memang alam memiliki logika tersendiri utk memulihkan keadaannya...

Manusia tidak diciptakan utk merusak alam, tpi hdp berdampingan dgn alam.

Alam dn manusia adalah ciptaan Sang Pengada.

Alam sakit manusia akan sakit

hutan rusak, manusia sengsarah bahkn mati.

MAKA: Sudah saatnya komunitas manusia sadar akan kerusakan alam/hutan yg brimplikasi negatif terhadap kehidupn manusia dn alam itu sendiri.

Pemerintah harus menghargai kearifan lokal masyarakat setempat dn masyarakat setempat menjunjung kearifannya; pemerintah peting menciptakn pembangunan yg berwawasan lingkungan /pembangunan yg berkelanjutan. Pembangunan yg tdk memisahkan ekonomi dari ekologi.

Manusia dn alam saling membutuhkan.
Manusia akn mati bila tatanan alam dirusak

perlu pemerintah mempertimbangkan hal2 ini shubungan dgn pemberian izin bgi perusahan-perusahan:

terimalah perusahan yg berwawasan lingkungan. Perusahan yg membwa dampak negatif trhdp lingkungan, ditvtup /jgn diterima.

Jangan perkosa alam kami negeri Papua, krn negeri ini adalah ibu kami, yg diberikan Allah. Tanah Perjanjian.

Lebih baik makan sebuah ubi jalar dan satu mangkok pepeda dgn penuh persaudaraan dan dalam damai sejahtera, daripada hdp dgn makanan instan yg bergudang-gudang dengan suasana penindasan dan di luar keadaan syalom. Terima kasih banyak. Gbu!!!





Penulis


Fr Agus Yerwuan, OFM

Adakah: Semua Orang Asli Papua (Pejabat maupun bukan Pejabat) Keprihatinan akan HUTAN DI PAPUA?

                                                       Hutan Papua Berkurang 3,5 Juta Hektare
                                                                       Minggu, 6 Juni 2010

Timika:  Luas kawasan hutan di Provinsi Papua mengalami pengurangan sekitar 3,5 juta hektar dari sekitar 31,56 juta hektar pada dekade 1960-an hingga menjadi 28 juta hektare saat ini.

Kepala Dinas Kehutanan Provinsi Papua, Ir Marthen Kayoi kepada ANTARA di Timika, Sabtu mengatakan pengurangan luas kawasan hutan Papua itu sebagai dampak dari meningkatnya aktivitas pembangunan serta pengelolaan hutan.

"Pengurangan kawasan hutan di Papua salah satunya akibat pemekaran wilayah kabupaten/kota serta meningkatnya aktivitas pengelolaan hutan," jelas Kayoi.

Ia mengatakan, sekitar tujuh kabupaten yang baru terbentuk di Provinsi Papua yang berada di wilayah pegunungan tengah, wilayah administratifnya seluruhnya berada di dalam kawasan hutan lindung Taman Nasional Lorentz dan Taman Nasional Memberamo.

"Kabupaten Nduga, Memberamo Raya dan Memberamo Tengah itu seluruh wilayahnya berada dalam kawasan Taman Nasional Lorentz dan Taman Nasional Memberamo," jelas Kayoi.

Menurut dia, pembentukan sejumlah kabupaten baru tersebut otomatis akan berdampak terhadap pemanfaatan kawasan hutan untuk pembangunan perkantoran pemerintah dan pemukiman masyarakat.

Meski demikian, Kayoi berharap Pemda di semua kabupaten yang baru dibentuk tersebut dapat membangun infrastruktur umum dengan memperhatikan kelangsungan ekosistem hutan di sekitar agar tidak terjadi kerusakan akibat penebangan yang tidak terkendali.

HPH Masih Beroperasi

Pada bagian lain, Kayoi mengatakan hingga saat ini terdapat 14 dari 25 perusahaan yang mengantongi izin Hak Pengelolaan Hutan (HPH) dari Kementerian Kehutanan masih beroperasi di Papua.

Sesuai surat keputusan bersama Gubernur Papua Barnabas Suebu dan Gubernur Papua Barat Abraham Atururi, semua perusahaan HPH yang beroperasi di Papua dilarang mengekspor kayu dalam bentuk gelondongan ke luar wilayah dua provinsi itu.

Tidak itu saja, perusahaan HPH juga diwajibkan membangun industri pengelolaan kayu seperti industri kayu lapis di Papua.

Menurut Kayoi, implementasi SK bersama dua gubernur itu cukup ampuh memproteksi hutan Papua dari aksi penebangan liar, meskipun dalam praktiknya masih terdapat "pengusaha nakal" yang mengirim kayu gelondongan ke luar Papua secara sembunyi-sembunyi.

"Akses kontrol kita agak lemah, namun dengan Sistem Informasi Penata Usahaan Hasil Hutan (SI-PUHH) yang bersifat On line dapat mengontrol peredaran kayu yang keluar dari hutan Papua," jelas Kayoi.

Ia mengatakan, sesuai mekanisme bagi hasil hutan, Pemprov Papua mendapatkan bagian 16 persen dari setiap retribusi hasil hutan, kabupaten penghasil mendapat bagian 32 persen, kabupaten lain 32 persen dan sisanya masuk ke Pemerintah Pusat melalui Kementerian Kehutanan.

Kamis, 03 Juni 2010

Indonesia: Dimanakah Keprihatinan Pemerintah bagi TAPOL/NAPOL di Papua


DIMANA KEPRIHATINAN PEMERINTAH BAGI TAPOL/NAPOL DI PAPUA?


 
Sunday, 09 May 2010 00:00
 

(Sebuah Refleksi di Bawah Pohon Ketapan Seminari Tinggi-Papua)
Oleh : Santon Tekege*
Semua realitas kehidupan di Tanah Papua dapat dilihat saat ini adalah akibat dari kepentingan Negara Indonesia dan para kapitalis dalam mengeruk kekayaan alam Papua. Nafsu perselingkuhan kepentingan ini selalu terjadi timbal-balik antara keduanya. Akibatnya, banyak korban dan penangkapan sewenang-wenang dan mendapat stigma  makar dan separatis dari pihak aparat saat Rakyat Papua berteriak meminta haknya. Pemerintah Indonesia dan Pemerintah Provinsi Papua menjadi buta dan tidak ada keprihatinan terhadap situasi Masyarakat Papua, lebih  khususnya TAPOL (Tahanan Politik) dan NAPOL (Narapidana Politik) yang selama ini meneriakkan nasib Rakyat Papua. Mereka membiarkan rakyatnya menjadi korban yang seolah-olah tak memiliki ayah dan ibu. Di manakah keprihatinan Pemerintah Indonesia dan Pemerintah Provinsi Papua bagi TAPOL/NAPOL di Papua?
Semangat transformatif yang memungkinan manusia dapat membebaskan diri dari segala macam bentuk penindasan bukanlah sekedar milik Pemerintah Indonesia atau Pemerintah Provinsi Papua sendiri, pejabat tertentu,kalapas dan gereja-gereja (kelompok agama) tetapi milik semua orang yang mendambakan keadilan, perdamaian dan keutuhan ciptaan di bumi ini.
Ada yang beranggapan bahwa TAPOL/NAPOL adalah orang-orang yang pasrah pada nasib, mereka tidak lagi memiliki semangat untuk berjuang, tidak memahami hak dan kewajibannya sebagai tahanan. Mereka dibiarkan, dicaci maki, diludahi bahkan dipukuli hingga ada yang jatuh sakit berbulan-bulan bahkan bertahun-bertahun tanpa pengawasan dan perhatian dari pihak manapun.
Perjuangan para TAPOL/NAPOL tidak berjuang hanya sekedar untuk kepentingan diri atau demi nilai diri sendiri tetapi perjuangan yang mereka lakukan untuk menuntut keadilan dan juga ingin mengakhiri penindasan untuk mencapai suatu pembebasan dari situasi keterpurukan yang dialami dan dirasakan oleh banyak orang dunia khususnya di Papua.
Semuanya selalu berakhir dengan kekalahan di pihak mereka karena mereka tidak memiliki strategi perlawanan yang kuat, pemimpin yang karismatis, organisasi yang dijadikan alat perjuangan serta tidak menguasai kemajuan teknologi. Tetapi tidak demikian halnya dengan pengamalan hidup yang mereka jalani selama berada di dalam tahanan.
Kondisi mereka sangat menyedihkan karena di dalam lembaga pemasyarakatan itu mereka mendapat banyak tekanan, mereka tidak diberi ruang gerak, kebebasan, demokrasi, dukungan untuk berekspresi bahkan ketika jatuh sakit, para TAPOL/NAPOL selalu  dibiarkan seperti seorang anak yang seolah-olah tidak memiliki orang tua.
Kalapas dan Pemerintah Indonesia maupun Pemerintah Provinsi Papua sadarlah dari ketidaksadaran ‘aneh’ yang membiarkan penghuni lapas menderita dan sengsara seperti yang sedang dialami oleh Bapak Filep Karma, Ferdinand Pakage dan Yusak Pakage dan kawan-kawan lain yang ada lembaga pemasyarakatan (lapas) di seluruh Tanah Papua.
Kalau memang demikian, sejauh mana keterlibatan serta partisipasi Pemerintah Indonesia dan Pemerintah Provinsi Papua untuk meringankan tekanan fisik dan mental yang dialami oleh para TAPOL/NAPOL ini? 
Penulis tidak bermaksud agar pemerintah lebih memperhatikan apa yang menjadi keprihatinan dan kepentingan serta pemberdayaan bagi penghuni lembaga pemasyarakatan juga aparatur pemerintah yang bertugas di dalamnya. Tidak demikian halnya dengan pengadaan barang yang dibutuhkan oleh lembaga pemerintahan itu. Juga tidak berniat agar dana Otsus ini diberikan kepada para tahanan dan para petugas tahanan yang ada di Papua. Namun yang diperlukan saat ini adalah eksistensi diri sebagai TAPOL/NAPOL itu sendiri yang sangat didambakan dan perlu untuk diangkat ke public agar mereka merasakan dirinya diperlakukan sebagai manusia. Mereka juga perlunya  diperlakukan sebagai mana adanya. Ingatlah bahwa di dunia manapun hukum dan aturan itu, tidak pernah menjamin keselamatan dan kebebasan bagi eksistensi manusia itu sendiri.
Akibat Hukum dan aturan yang ada di  Indonesia itu, banyak Rakyat Indonesia yang mengalami ketidakadilan, penindasan dan banyak Rakyat Papua diberi stigma sebagai separatis TPN/OPM atau makar seperti yang dialami oleh para TAPOL/NAPOL untuk melanggengkan kekerasan yang telah dilakukan aparat keamanan selama Papua berintegrasi dengan Indonesia. Warga Indonesia selalu mengalami penderitaan.
Wahai, Pemerintah Indonesia di manakah hati nurani dan perasaanmu terhadap rakyatmu, khususnya para TAPOL/NAPOL yang berada dibalik jeruji-jeruji besi di Papua? Di manakah hukum dan aturan yang dapat menyelamatkan manusia, dalam hal ini para TAPOL/NAPOL di seluruh Papua?
Akhirnya penulis berpikir bahwa para TAPOL/NAPOL yang ditangkap oleh aparat keamanan dan diberi stigma TPN/OPM serta dikenai Pasal Makar oleh ahli hukum bahkan hidupnya berakhir dipenjara oleh Pemerintah Indonesia dan Papua hanyalah sebuah proses perselingkuhan yang dilakukan demi kepentingan ekonomi dan politik balik antara elite-elite politik di kedua belah pihak dengan tujuan untuk menjaga keutuhan dan hukum di negara  yang tak manusiawi ini.
Dengan tujuan itu, telah banyak Orang Papua yang jadi menderita dan bahkan menjadi korban di atas tanahnya sendiri.
Dalam kondisi seperti ini, kebanyakan aktivis mahasiswa mulai tergerak hatinya untuk menyuarakan “Wene” yang artinya adalah kabar atau suara dari ufuk timur, cahaya bagi semua orang khususnya bagi kaum lemah dan miskin. Kaum lemah adalah semua orang yang direndahkan yang telah diabaikan harkat dan martabatnya sebagai manusia, semua orang yang tak mampu memancarkan sinar kebenaran, keadilan dan perdamaian bahkan kasih karena berbagai belenggu dan pembatasan oleh karena hukum dan aturan yang tak membawa keselamatan bagi manusia di Indonesia khususnya di Papua.
Hanya karena perjuangan demi kaum lemah dan miskin ini, banyak aktivis Papua terperangkap dalam jerat hukum dan aturan yang jijik dan kurang manusiawi. Hal yang sama juga dialami oleh para TAPOL/NAPOL di Papua. Mereka ditangkap demi kaum lemah dan miskin.
Mereka berjuangan demi nilai bersama yakni kebenaran, keadilan dan perdamaian bahkan kasih itu sendiri. Mereka berjuang demi eksistensi kemanusiaan di Papua. Namun perjuangan itu, selalu diperhadapkan dengan nafsu perselingkuhan kepentingan antara kaum elite politik lokal Papua dengan Jakarta yang hanya ingin mengeruk kekayaan Papua tanpa mengindahkan Masyarakat Adat Papua yang hidup di atasnya. Akibatnya banyak Masyarakat Papua mengalami penderitaan, penindasan dan kekerasan, ketidakadilan, marginalisasi dan pembunuhan yang masih terus berlanjut.
Pembatasan ruang demokrasi dan kebebasan berekpresi serta pemberian stigma TPN/OPM atau dikenai Pasal Makar. Oleh sebab itu, perlunya mencari jalan keluar dan solusi yang baik bagi Masyarakat Papua. Selain itu, perlu adannya keprihatinan dari semua pihak bagi para TAPOL/NAPOL di seluruh Tanah Papua agar mereka dapat memperoleh kembali eksistensinya sebagai manusia di tanahnya sendiri.

*)Penulis adalah Aktivis Papua pada STFT ”Fajar Timur” Abepura-Papua.

MASYARAKAT PAPUA MENJADI KORBAN PESTA DEMOKRASI INDONESIA


MASYARAKAT PAPUA MENJADI KORBAN PESTA DEMOKRASI INDONESIA


  
Thursday, 27 August 2009 12:37
Oleh: Yanuarius Dou (*)

JUBI — Pemilihan presiden Repulik Indonesia merupakan sebuah peristiwa yang amat bersejarah dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Setiap warga negara diwajibkan turut terlibat memilih calon kepala negara (presiden) secara LUBER (Langsung, Umum, Bebas dan Rahasia). Proses pemilihan pilpres yang dilangsungkan secara baik tentu memperlihatkan kepada dunia sebagai suatu bangsa yang demokratis dan bermartabat. 

Citra diri bangsa Indonesia menjadi baik ketika demokrasi benar-benar ditegakkan. Namun ironisnya, hal ini tak terjadi. Pasca Pilpres kemarin, secara tak terduga, dua musibah besar terjadi di dua wilayah berbeda. Musibah terjadi di Jakarta dan di seluruh Papua. Kedua wilayah ini ternyata menjadi sasaran diciptakan konflik di Indonesia oleh kelompok berkepentingan. Di Jakarta terjadi pemboman terhadap Hotel Mariot. Pemboman menewaskan 9 orang dan 54 lainnya luka. Peristiwa pasca pilpres ini menuai duka yang mendalam bagi Warga Indonesia.
Kekecewaan karena konflik terus menyelimuti Masyarakat Papua. Tanah Papua yang selalu diperjuangkan sebagai Papua Zona Damai ternyata masih jauh dari harapan. Realitas menunjukkan, Papua bukan Zona Damai tetapi Zona Darurat. Masyarakat sipil Papua selalu berada dalam keadaan yang membahayakan dan karena itu hidup mereka sedang terancam. Masyarakat Papua sedang menuju kepunahan.
Pasca pilpres kemarin, masyarakat Papua benar-benar dijadikan biang keladi bagi kaum penguasa Indonesia dan militer (TNI/POLRI). Kalau di Jakarta terjadi pemboman pada Hotel Mariot yang menewaskan orang dengan pelaku yang tidak jelas identitasnya, lain halnya dengan di Papua. Di Papua terjadi rentetan pembunuhan terhadap warga sipil, terhadap warga asing (Australia), bahkan terjadi penangkapan masyarakat sipil secara sewenang-wenang dengan tuduhan-tuduhan palsu.
Beberapa rentetan peristiwa lainnya juga turut mewarnai gejolak di tanah Papua. Antara lain, pengibaran bintang Kejora yang terjadi di beberapa tempat pada tanggal 1 Juli 2009, yakni di Distrik Arso-Kampung Workwana – Kabupaten Kerom, di Sentani – Kabupaten Jayapura tepatnya dibelakang Asrama Koramil Hawai sentani, di Perumnas III Waena – Kota Madya Jayapura dan di Yapen – Kabupaten Serui. Pengibaran bendera terjadi ketika mati lampu. Ini berarti para pelaku pengibaran bendera memiliki skill melakukan pemadaman terhadap lampu. Oknum-oknum inipun sangat tidak jelas.
Di Timika lain lagi. Pasca Pilpres, penembakan terjadi hingga menewaskan 1 warga Australia. Seorang warga sipil dan 3 Masyarakat Asli Papua ditangkap dan dipenjarakan dengan tuduhan palsu. Pelaku utamanya sampai saat ini tidak terungkap secara jelas. Kapolda Papua, Fransiskus Xaverius Ekodanto, pernah mengungkapkan, pelakunya adalah orang-orang terlatih. Bila kasus ini diselidiki lebih jauh tentu berakar pada perebutan kekuasaan dalam institusi militer, yaitu antara TNI/POLRI. Pelakunya adalah pihak TNI.  Ini juga bagian dari sebuah skenario. Mereka kecewa karena tidak mendapat bantuan dari PT. Freeport Indonesia. Oknum TNI juga kecewa karena dana pengamanan perusahan PTFI senilai 472 milyar hanya diperuntukan bagi pihak kepolisian Indonesia.
Peristiwa Timika terjadi Pasca penembakan seorang warga sipil di Kampung Yeti-Distrik Arso Timur-Kabupaten Kerom. Korbannya Isak Psakor (22 tahun), 22 Juni 2009 pada pukul 02.00 sore. Ia ditembak oknum TNI dengan alasan dirinya (pelaku) menembak anjing tetapi salah sasaran. Psakor kini dirawat di salah satu rumah sakit di Jakarta.
Setelah peristiwa Arso, pada 25 Juni 2009, terjadi lagi kasus serupa yang menimpa 4 warga sipil di Kabupaten Paniai. 2 tewas, Mika Boma (59 th) dan Pendetus Boma serta 2 lainnya, Yan Pigai (37) dan Yul Keiya yang dirawat di RSUD Nabire. Pelakunya oknum Brimob.
Kasus Paniai terjadi bersamaan dengan kontak senjata di wilayah Yapen, Kabupaten Serui. Dengan tuduhan TPN/OPM,  masyarakat menjadi korban. Sebanyak 12 warga sipil ditangkap dan diproses secara hukum. Setelah peristiwa ini, Masyarakat Yapen hingga kini masih dihantui rasa takut. Mereka hidup dalam situasi tidak aman serta tertekan. Tidak hanya masyarakat sipil, seorang anggota Elsham (Sebuah LSM di Papua) juga ditangkap dalam perjalanan melakukan investigasi terhadap kasus tersebut.
Hari berlalu, namun peristiwa kekerasan di Tanah Papua masih terus berjalan bagaikan jarum jam yang selalu berputar tanpa henti. Di tengah situasi kekerasan ini Masyarakat Papua bertanya, ‘mengapa demokrasi itu dimatikan oleh aparatur negara dengan alat negara?’ adakah ruang dan waktu bagi Masyarakat Asli Papua untuk menikmati demokrasi yang hakiki? Mengapa pesta demokrasi Indonesia di Tanah Papua sebaliknya menuai tetesan darah dan air mata duka?
Masalah di Tanah Papua adalah masalah yang kompleks. Kompleksitas masalah Papua berakar pada haus kekuasaan, kekayaan dan uang. Bagi Masyarakat Indonesia, kedudukan, kekayaan dan uang dipandang dan dijadikan sebagai “dewa penyelamat”. Kepentingan nilai manusia bahkan disepelekan. Manusia Papua menjadi korban kekerasan demi merebut tanah Papua yang berlimpah dengan sumber daya alam.
Kaum migran mulai tumpah ruah di Tanah Papua demi mengejar “madu yang sudah bersarang di Papua”, yaitu OTSUS. Masyarakat Papua dijadikan buah bibir publik warga luar Papua dengan steriotipe orang Papua belum bisa, Orang Papua konsumtif, orang Papua terbelakang, Orang Papua belum sadar, orang Papua SDM lemah, Orang Papua pemabuk, orang Papua primitif dan lain-lain. Steriotipe semacam itu dikondisikan sedemikian rupa untuk mencari dan mendapat posisi aman bagi warga luar di tanah Papua, sehingga mereka memiliki alasan yang meyakinkan bagi pihak lain. Ada warga luar Papua yang benar-benar mengabdi tetapi ada pula banyak warga luar Papua yang mencari keuntungan ekonomi yang berlimpah dengan alasan dirinya atau mereka mengabdi untuk Masyarakat Papua. Kelompok masyarakat demikian dikategorikan pada kelompok “pikir lain, bicara lain dan buat lain”.
Kita semua menghendaki bahwa cita-cita Orang Papua akan kehidupan yang lebih adil, benar dan demokratis perlu dicapai. Pencapaian harapan dan cita-cita ini tidak begitu mudah terjadi. Harapan dan cita-cita ini harus diperjuangkan dengan penuh pengorbanan. Hal ini dikarenakan di Tanah Papua demokrasi telah mati. Masyarakat Papua sudah tidak mampu lagi berbicara tentang hak-hak adat, hak-hak azasi manusia, hak-hak ekonomi, hak-hak politik dan lain-lain. Karena bila masyarakat menuntut hak-hak dasarnya maka selanjutnya tentu pihak aparat negara (TNI/POLRI) akan menuduh masyarakat sebagai TPN/OPM. Ungkapan Sparatis, Makar dan OPM seolah-olah menjadi ungkapan sakral yang harus selalu dilestarikan. Padahal, stigma-stigma ini semakin memperburuk nuansa demokrasi di Tanah Papua. Demokrasi Papua di Indonesia sungguh-sungguh telah diabaikan dengan sadar, tahu dan mau oleh para intelektual sebagai aktornya.
Kondisi keterpurukan ini tidak bisa dibiarkan begitu saja oleh Pemerintah Indonesia dan seluruh Rakyat Papua. Pemerintah dan masyarakat perlu memiliki usaha dan inisiatif bersama mendorong terciptanya ruang demokrasi bagi masyarakat Papua. Pertama-tama perlu didorong dari atas ke bawah, top down. Kemudian dorongan dari bawah ke atas. Gubernur Propinsi Papua, DPRP dan MRP perlu juga duduk bersama mengambil suatu langkah strategis untuk memikirkan, merencanakan dan menentukan suatu ruang demokrasi untuk Masyarakat Papua. Ketiga komponen ini perlu memfasilitasi Masyarakat Papua, LSM, tokoh Agama dan pihak TNI dan POLRI untuk duduk bersama mengklarifikasi stigmatisasi makar dan separatis. Usaha ini penting dan mendesak agar tidak ada lagi sikap saling tuduh menuduh. Bila Pemerintah Propinsi, DPRP dan MRP membiarkan kondisi ini, maka ketiga komponen lembaga ini terus menerus akan dipandang oleh Masyarakat Papua sebagai lembaga representasi institusi negara yang memelihara status penjajahan di atas Tanah Papua.
Akhirnya, tanpa menaruh curiga dan tidak dengan maksud menuduh sesama Orang Papua dan non Papua, selanjutnya kita perlu hidup bersatu dan berjuang bersama dalam payung kesamaan martabat manusia. Berjuang sebagai ciptaan Tuhan guna mengatasi masalah-masalah di Tanah Papua secara menyeluruh dan bukan parsial.

(*) Aktivis Gerakan Pro Demokrasi Papua di Indonesia

PELAPOR

Fr Santon Tekege, Pr
Group Struggle Justice in Papua-Indonesia

PEMBALAKAN HUTAN DAN KEMISKINAN DI TANAH PAPUA


PEMBALAKAN HUTAN DAN KEMISKINAN DI TANAH PAPUA

  
Saturday, 24 April 2010 00:00
 

Oleh: Yanuarius Dou*)
Masyarakat Papua mendambakan kesejahteraan dalam hidup mereka. Kesejahteraan ini bisa dinikmati bila Manusia Papua hidup sepadan dengan alam di sekitarnya. Namun, dalam perkembangan hidup alam Papua yang disanjung-sanjung perlahan-lahan mulai musnah karena kehadiran berbagai perusahan seperti perusahan kelapa sawit, perusahan tambang, perusahan minyak, perusahan kayu dan lain-lain. Masyarakat Papua sungguh merasakan derita yang diakibatkan oleh berbagai perusahan ini. Tidak hanya manusia, pembalakan hutan mengakibatkan debit air perlahan-lahan mulai menipis, tanah mulai gersang, margasatwa mengalami kehilangan tempat tinggal dan lain-lain. Semuanya ini bagian dari perilaku perusahaan yang tidak bersahabat dengan manusia dan alam Papua. Pertanyaannya adalah “mengapa hutan kaya raya tetapi Rakyat Papua miskin?”
Soal pembalakan hutan secara liar yang melibatkan gerombolan mafia kehutanan yang dengan rakus mengeruk hasil kekayaan dari hutan dan menjualnya secara pribadi tanpa memperhatikan manusia yang hidup di sekitarnya semakin marak terjadi di Tanah Papua. Padahal Orang Papua menganggap hutan sebagai sumber kehidupan. Sungai dengan ikannya, hutan dengan tanamannya (kayu, sagu dan segala jenis binatang) adalah penyangga kelangsungan hidup masyarakat setempat. Penduduk Asli Papua bahkan memegang teguh kaidah “hutan adalah mama”. Artinya, mereka yang menebang kayu di hutan apalagi secara liar sama dengan membunuh mama/ibu mereka.
Luas hutan Papua mencapai 41 juta hektar. Namun, setiap tahun dua juta hektar hilang disebabkan karena hadirnya industri pertambangan, perusahan kayu, perkebunan kelapa sawit dan perusahan minyak dan lainnya. Akibatnya hutan menjadi dibagi-bagi para penguasa dan pebisnis/pemodal dan Rakyat Papua menjadi miskin di atas tanahnya sendiri. Kearifan lokal Masyarakat Papua ini merupakan milik nenek moyang yang diwariskan kepada Generasi Papua kini dan ke depan namun cenderung dilupakan oleh para elit penentu kebijakan di puncak kekuasaan.
Dengan melakukan penebangan hutan secara liar menyebabkan juga perubahan iklim dan sekaligus menambah jumlah populasi warga miskin. Rusaknya lingkungan dapat juga menyebabkan disintegrasi sosial. Artinya, Masyarakat Papua yang dekat dengan hutan sebagai ibu merasa ada suatu kehilangan relasi antara orang dengan alam sekitar lingkungannya.
Hal lain adalah timbulnya kelaparan, bencana alam, kehilangan tempat pencarian makan, satwa-satwa liar mulai hilang. Hal yang lebih memprihatinkan adalah pelaku penebangan kayu secara liar ini dibebaskan begitu saja tanpa diproses secara hukum. Kondisi kebal hukum terhadap kasus ini membuat pula Rakyat Papua semakin menderita kerena orang bebas melakukan apa saja, termasuk hutan yang dianggap sebagai sumber kehidupan. Mungkin hal ini dilatarbelakangi oleh pemahaman bahwa penebangan hutan bagi negara merupakan income atau pemasukan bagi kas negara. Negara beruntung karena hasil yang diperoleh dari penjualan hutan.
Pertanyaannya adalah mengapa kita mesti menebang pohon untuk kepentingan sesaat yang semakin menyengsarakan rakyat jika ada pihak-pihak yang bersedia memberi bantuan dana bila kita bersedia menjaga dan memelihara hutan kita? Mengapa Papua yang adalah “paru-paru dunia” atas pemanasan global ini tidak dijaga ketat keutuhannya? Untuk melihat sudut pandang etika terhadap pembalakan hutan kita bisa mendalami lebih jauh dari beberapa teori etika.
Pertama; Teori Deontologi. Teori ini berpandangan bahwa bila seseorang melakukan tindakan kebaikan karena itu sebagai kewajiban yang harus dilaksanakan. Nilai sebagai tujuan yang hendak dicapai. Tindakan yang dilakukan sebenarnya dianggap kurang baik namun wajib untuk dilakukan karena mendatangkan hasil yang sebesar-besarnya. Dalam hal ini kasus pembalakan hutan secara liar walaupun memenuhi kewajiban secara hukum tetapi secara etis tidak dibenarkan karena kerugikan yang diderita lebih banyak dari keuntungan yang diperoleh.
Kedua; Teori hak. Teori hak merupakan salah satu pendekatan yang paling banyak dipakai untuk mengevaluasi baik buruknya suatu tindakan. Teori ini sejalan dengan Teori Deontologi karena hak sejalan dengan kewajiban. Dalam hubungan dengan hak misalnya melakukan suatu tindakan seperti dalam kasus penebangan hutan maka pihak yang melakukan penebangan kayu wajib mensejahterakan masyarakat sekitarnya. Tuntutan ini didasarkan pada argumen bahwa masyarakat pemilik hutan berhak mendapatkan hasil dari kekayaannya. Meskipun demikian, pada kenyataannya masyarakat pemilik hutan tidak mendapatkan hasil sama sekali. Tindakan perusahan yang demikian jelas-jelas merampas hak masyarakat adat di sekitarnya.
Ketiga; Teori Utilitarisme. Menurut teori ini perbuatan adalah baik jika membawa manfaat tetapi manfaat itu harus menyangkut bukan saja satu dua orang melainkan masyarakat sebagai keseluruhan. Dalam kasus pembalakkan hutan di Papua para elit Papua di negeri ini dengan memproduksi hasil hutan maka akan membawa manfaat paling besar bagi umat manusia sebagai keseluruhan, termasuk generasi-generasi yang akan datang. Semua umat manusia tentu bisa meraih banyak manfaat dengan menguras kekayaan hutan melalui teknologi dan industri, hingga sumber daya alam habis sama sekali. Namun, satu hal yang tidak disadari adalah dengan berbuat demikian dapat merugikan anak cucu atau generasi yang akan datang. Kasus kebanjiran, lumpur Lapindo dan tanah longsor yang terjadi banyak tempat di Pulau Jawa merupakan contoh nyata pembalakan hutan dan pengrusakan sumber daya alam dengan alasan pembangunan oleh generasi-generasi masa lalu. Apakah kasus-kasus di Papua ini juga dikehendaki oleh pemerintah dan pebisnis harus terjadi seperti Pulau Jawa? Perbuatan pembalakan kayu bila ditinjau lebih jauh sebenarnya membawa lebih banyak kerugian dari pada manfaat sehingga secara etis pembalakan kayu dinilai buruk. Karena dalam Teori Utilitarisme konsekuensi dari suatu perbuatan lebih dipentingkan.
Keempat; Teori Keadilan. Keadilan didefinisikan sebagai memberikan kepada setiap orang apa yang menjadi haknya. Dalam kasus ini, jelas bahwa masyarakat pemilik hutan mempunyai hak atas hutan. Kenyataan bahwa pemilik hutan tidak menikmati hak mereka secara penuh karena apa yang dimilikinya dinikmati oleh orang lain. Di sinilah para pelaku terbukti terjadi perbuatan ketidakadilan. Padahal bila keadilan ini perlu ditegakkan maka perlu dilihat bahwa keadilan selalu tertuju kepada orang lain. Dalam hal ini antara pemilik hutan dan penebang hutan perlu mencapai suatu kesepakatan dengan mempertimbangkan berbagai akibat buruk dan baik yang akan dialami baik dari pemilik maupun dari penebang kayu. Jadi, di sini keadilan berkaitan dengan hak yang harus dipenuhi. Pihak yang mengambil hak milik masyarakat setempat wajib memberikan jaminan kepada pihak yang menderita karena perbuatannya. Pasalnya hilangnya hutan menjadi perkebunan ibarat mengusir kaum pemburu dan kearifan lokal yang dimiliki masyarakat adat di pinggiran hutan. Hutan bagi mereka adalah gudang makanan dan obat-obatan yang diwariskan dari generasi ke generasi. Kini mereka menerima kenyataan harus dibabat habis demi sebuah investasi yang jelas akan membawa petaka banjir dan kemarau karena sudah tidak menghargai lagi kearifan lokal milik masyarakat adat yang diwariskan nenek moyang mereka.
*)Penulis adalah rohaniawan dan pemerhati masalah-masalah sosial di Papua.

Minggu, 30 Mei 2010

Front PEPERA PAPUA BARAT INDONESIA

EKSEKUTIF NASIONAL FRONT PERSATUAN PERJUANGAN RAKYAT PAPUA BARAT
(EKNAS FRONT PEPERA PAPUA BARAT)
Sekretariat: Dok V Port Numbay, Mobile Phone: 081248723807

PRESS RELEASE
====================
Nomor: 05-SP/Ekns Front PEPERA PB/V/2010

Bersama Sejarah Sang Bintang Kejora”

UPAYA PEMBASMIAN ETNIS PAPUA TERUS DIPRAKTEKKAN OLEH KEKUATAN NEGARA INDONESIA”
===========================================

Program pembasmian etnis Papua oleh Negara Indonesia melalui kaki tangannya, seperti TNI dan POLRI terus berlanjut. Mesin-mesin pembantai sudah dan sedang bergerak maju mundur, rudal-rudal pembatai sudah dan sedang diluncurkan disegala pelosok Tanah Papua Barat. Singa mengaung-ngaung mencari mangsa untuk dimangsa; seringala beterbangan kian kemari menghabiskan etnis Papua.
Salah satu upaya pembasmian orang Papua yang sedang dipraktekkan adalah operasi tumpas gabungan TNI dan POLRI yang sedang digencarkan di Distrik Tingginambut. Operasi ini tidak hanya ditujukan kepada pimpinan Panglima Jenderal Goliat Tabuni, tetapi juga terhadap rakyat sipil di Puncak Jaya. Lebih khusus rakyat sipil yang mendiami di wilayah Tingginambut menjadi sasaran operasi gabungan TNI dan POLRI.
Setelah menyapuh rata beberapa kampung di Distrik Tingginambut di Kabupaten Puncak Jaya, Senin tanggal, 17 Mei 2010 operasi tumpas dilakukan di wilayah Yambi. Media massa cetak maupun elektronik melansir bahwa pada pukul 12.30 WPB telah terjadi penembakan terhadap salah seorang warga sipil, yang bernama: Werius Telenggen yang adalah salah seorang DPO pada kasus penembakan terhadap dua orang karyawan PT. Modern oleh orang tidak kenal pada beberapa waktu lalu di jalan menuju Distrik Mewoluk Kabupaten Puncak Jaya. Almarhum ditembak secara tidak bermanusiawi dikediamannya di Kampung Yambi Distrik Tingginambut.,
Pertanyaannya: apakah Werius Telenggen adalah pelaku, maka harus ditembak mati. Apakah yang dikategorikan dalam DPO itu benar-benar pelaku yang menewaskan dua orang karyawan PT. Modern. Pertanyaan lanjutan: hukum manakah yang diterapkan oleh Negara Indonesia? Apakah hukum rimba, apakah hukum kanibal? Apakah hukum diktator?
Tindakan TNI dan POLRI dalam menembak Werius Telenggen adalah menggunakan hukum rimba; menggunakan hukum kanibal; menggunakan hukum diktator. Jika demikian, slogan Negara Indonesia adalah Negara hukum dapat pertanyakan dan slogan itu perlu ditinjau kembali, apakah layak dipertahankan atau tidak. Apakah tindakan represi dan penyerangan (operasi militer) yang dikedepankan selama ini adalah menggunakan pendekatan hukum positif, atau pendekatan hukum negatif; atau pendekatan hukum rimba.
Yang namanya Negara hukum, yang kami ketahui adalah bahwa dalam segala tindakannya mengedepankan upaya hukum, bukan membunuh, bukan menembak, bukan menculik, bukan menyiksa dan bukan meneror. Pembuktian pelanggaran peraturan (hukum) yang dilakukan oleh seseorang, bukan ditentukan oleh polisi, bukan ditentukan oleh juga TNI, bukan ditentukan pula oleh jaksa, akan tetapi pembuktian suatu pelanggaran kejahatan terjadi dalam proses hukum di meja pengadilan. Jika hakim meyakini bahwa yang bersangkutan melakukan pelanggaran terhadap peratutan tertentu, maka hanya hakimlah yang menjatuhkan hukum, bukan main hakim sendiri, apalagi menembak mati seseorang yang belum tentu bersalah.
Dalam pengambilan keputusan hakim pun terkadang menghukum orang yang tak bersalah. Fakta membuktikan bahwa hakim di Indonesia tidak indenpenden. Mereka dapat dikendalikan oleh system Negara; atau dikendalikan oleh uang (KUHP: Kasih Uang Habis Perkara). Dengan demikian, fonis yang dijatuhkan oleh hakim pun dapat dipertanyakan: apakah dapat dibayar, apakah dapat ditekan, apakah divonis dengan kehendak bebas sesuai keyakinannya.
Adalah tidak dapat dibenarkan TNI dan POLRI menembak mati seseorang hanya dengan berasumsi bahwa yang bersangkutanlah adalah pelaku kejahatan. Jika asumsi atau pengandaian, atau prasangka yang dikedepankan dalam menangani kasus tertentu, maka apalah artinya slogan Negara hukum itu; maka apalah artinya adanya polisi, jaksa dan hakim untuk memproses suatu masalah (pelanggaran). Jika tindakan represi dan operasi militer yang dikedepankan dalam menangani kasus tertentu, maka apalah artinya hukum di Indonesia; apalah artinya Kitab Undang-Undang Hukum Pidana, dan hukum lainnya yang berlaku di Indonesia.
Apakah seseorang yang dianggap atau diduga pelaku harus ditembak mati. Misalnya, penembakan terhadap Werius Telenggen, pada beberapa bagian tubuh korban telah dikuliti, diiris, dan ditusuk degan benda tajam keras. Jika dalam penegakkan hukum di Indonesia inilah yang dikedepankan, maka pertantanyaannya adalah: dimanakah rasa kemanusiaan yang adil dan beradab itu, dimanakah keadilan berdasarkan ketuhan yang maha esa itu? Tindakan TNI dan POLRI ini dapat dikategorikan ke dalam Pelanggaran berat HAM.
Terlepas dari semua praduga (prasangka) bahwa: Apakah Werius adalah pelaku penembakan, atau apakah Werius adalah anggota TPN, atau apakah rakyat biasa yang melakukan kriminal; tetapi camkanlah bahwa Werius adalah seorang manusia yang memiliki hak yang tak dapat dicabut oleh siapapun dan oleh kekuatan apapun. Itulah Hak Asasi Manusia. Hak Asasi Manusia adalah hak dasar yang melekat pada setiap manusia sejak lahir yang merupakan pemberian Tuhan yang tak dapat diganggu atau dicabut oleh siapapun dan dengan kekuatan apapun.
Kita bayangkan almarhum yang ditembak mati dengan tidak bermanusiawi itu dijemput di RSUD oleh para Pendeta dan Mahasiswa Sekolah Alkitab, beserta masyarat sipil setempat dengan ratap tangis. Jenasahnya di bawa ke Aula GIDI Mulia dan dimakamkan di Kompleks Aula Gidi pada jam 15.00 WPB pada tanggal 18 Mei 2010. Gereja Papua menangis, Alam Raya Papua meratap, Akar Rumput Papua sangat berduka yang mendalam karena almarhum dibunuh dengan tidak bermanusiawi oleh kaki tangan neo-kolonial Indonesia.
Banyak rakyat sipil dibantai oleh kekuatan Negara di Puncak Jaya, lebih khusus di Tingginambut. Werius Telengen adalah salah satu dari ribuan orang Papua yang dibantai di Puncak Jaya, lebih khsus di Distrik Tingginambut akibat repersi dan operasi militer. TNI dan POLRI hanya mempublikasikan penembakan Werius Telenggen; sementara penembakan terhadap rakyat sipil yang lain tidak dipublikasikan. Kenapa hanya Werius saja dipulikasikan oleh TNI dan POLRI yang dilansir dipelbagai media massa? Jawabannya: karena Werius adalah DPO yang diduga menembak dua karyawan PT. Modern yang menurut prasangka TNI dan POLRI yang dinyatakan oleh Kombes Agus Riyanto (Kabid HUMAS Polda Papua) yang dimuat di cepos, ia adalah komandan regu OPM di wilayah Yambi dan pelaku positif penembakan tiga karyawan yang meninggal dunia. Adakah proses upaya hukum yang ditempulah, akhirnya Werius dinyatakan sebagai salah satu pelaku penembakan, maka ia pantas ditembak mati dengan cara yang tidak bermanusiawi? Inilah hukum rimba diperlakukan, alias hukum kanibal dipraktekkan.
Publikasi besar-besaran yang dilakukan oleh TNI dan POLRI melalui media massa cetak maupun elektronik terkait penembakan Werius hanya untuk mencapai dua kepentingan yakni: pertama, adalah suatu upaya untuk menyembunyikan operasi militer gabungan TNI dan POLRI di Puncak Jaya, lebih khusus Disrik Tingginambut yang menyapuh bersih beberapa kampung, di mana ternak, rumah rumah dan tanaman mereka dibasmi, dibunuh dan dibakar; serta rakyat sipil ditembak mati dan diusir dari kampung halamannya; kedua, adalah cara mereka untuk menyatakan kepada publik bahwa TNI dan POLRI mampu menembak mati DPO dugaan penembakan terhadap dua karyawan PT. Modern yang menurut dugaan TNI-POLRI adalah anggota TPN.
Terkait komentar KABID HUMAS POLDA Papua (Kombes Agus Rianto) yang dilansir beberapa media, seperti Cepos dan Papua Pos tertanggal 19 Maret 2010 bahwa “situasi puncak Jaya kondusif” adalah suatu kebohongan publik. Karena di Puncak Jaya, lebih khusus Distrik Tingginambut berada di bawah tekanan represi militer. Masyarakat Sipil pada umumnya di Puncak Jaya, lebih khusus di Tingginambut sedang berada dalam ancaman dan tekanan, singkatnya rakyat sipil berada dalam keadaan terdesak dan terancam hak-hak dasarnya, terlebih hak hidupnya, maka TNI dan POLRI identik dengan pakar makan tanaman; itu artinya: bukan sebagai pelindung, bukan lagi pengayom, tetapi perusak, peneror, penyiksa, pemerkosa, pembunuh dan pemeras.
Mengingat Puncak Jaya, lebih khusus di Distrik Tingginambut Rakyat Sipil berada dalam bahaya ancaman dan tekanan, terlebih hak hidupnya semakin terancam, maka kami menyatakan dengan tegas bahwa:
  1. Operasi militer yang mengorbankan rakyat sipil tak dapat dibenarkan, maka segera hentikan operasi militer dan menarik pasukan TNI dan POLRI dari wilayah Distrik Tingginambut
  2. Mendesak DPRP pada hari Senin, tanggal 24 Mei segera memfasilitasi AUDIENSI dengan KAPOLDA dan PANGDAM XVII Cenderewasih dengan melibatkan MRP, Pemda Puncak Jaya; Pemda Propinsi; Tokoh Agama, LSM, Tokoh Masyarakat, Tokoh Pemuda, Tokoh Mahasiswa, Tokoh Perempuan dan aparat TNI, POLRI, Jaksa, dan intansi lain yang dianggap perlu untuk membahas fenomena tragedy berdarah yang melanda Puncak Jaya, lebih khusus Distrik Tingginambuk.

Demikian pernyatan ini kami buat dengan sesungguhnya, dan harapan kami segera ditanggapi dan direalisasikan oleh pihak-pihak yang bersangkutan.
Port Numbay: Kamis, 20 Mei 2010
Persatuan Tanpa Batas, Perjuangan Sampai Menang”

Selpius Bobii
(Ketua Umum Eksekutif Nasional Front PEPERA Papua Barat)
EKSEKUTIF NASIONAL FRONT PERSATUAN PERJUANGAN RAKYAT PAPUA BARAT
(EKNAS FRONT PEPERA PAPUA BARAT)

RAKYAT SIPIL DI TINGGINAMBUT BERJATUHAN KORBAN, SEMENTARA SEMUA PIHAK DIAM MEMBISU

“RAKYAT SIPIL DI TINGGINAMBUT BERJATUHAN KORBAN;
SEMENTARA SEMUA PIHAK DIAM MEMBISU”
 
Untuk menyikapi operasi gabungan TNI dan POLRI di Puncak Jaya Distrik Tingginambut yang masih berlanjut, Eksekutif Nasional Front Persatuan Perjuangan Rakyat Papua Barat kembali menggelar Konfrensi Pers pada hari Jumat, tanggal 28 Mei 2010, bertempat di Pendopo Asrama Tunas Harapan, jalan Yakonde Padang Bulan, Port Numbay, Papua pada jam 15.30 s/d 16.00 WPB.
 
Dalam kesempatan Konfrensi Pers, Selpius Bobii selaku Ketua Umum Eksekutif Nasional Front Persatuan Perjuangan Rakyat Papua Barat mengatakan bahwa kejahatan Negara terhadap Rakyat Sipil di Tingginambut, tak dapat dibendung lagi dan semakin meningkat. Rakyat sipil di Distrik Tingginambut berjatuhan korban, sementara pelbagai pihak diam membisu. Kenapa semua pihak diam membisu? Mungkin dilatar-belakangi karena beberapa alasan, antara lain: pertama, konflik bersenjata antara pihak TNP/OPM dan TNI-POLRI, maka semua pihak diam jangan sampai dituduh mendukung Papua merdeka; kedua, diam membisu mungkin karena tak ada data tentang kejahatan Negara terhadap rakyat sipil di Tingginambut; ketiga, diam membisu mungkin karena mendukung operasi militer di Puncak Jaya; keempat, diam membisu mungkin karena takut diteror/ intimidasi; kelima, diam membisu karena takut kehilangan jabatan/kepercayaan dari pemerintah.
 
Bobii menegaskan bahwa apapun bentuk kejahatan kemanusiaan yang dilakukan Negara terhadap rakyat, tak dapat dibenarkan, maka seharusnya semua pihak harus bersatu untuk mendesak presiden RI, dan khususnya pimpinan jajaran TNI dan POLRI menghentikan operasi militer di Puncak Jaya. Tak ada alasan bahwa tak ada data, karena fakta yang sedang terjadi di Tingginambut adalah data otentik. Pembumi-hangusan beberapa kampung di Distrik Tiingginambut oleh TNI dan POLRI adalah data.
 
Lebih jauh Selpius Bobii menegaskan bahwa sikap apatis dan diam membisu dari jajaran pimpinan pemerintah baik legislatif, eksekutif maupun yudikatif adalah merupakan tindakan pembiaraan terhadap kejahatan kemanusiaan yang dilakukan oleh Negara Indonesia; atau melegalkan kejahatan Negara terhadap rakyat sipil Papua. Jika memang semua pihak mendukung praktek kejahatan dan melegalkan kejahatan di Tanah Papua, maka baiklah semua pihak diam membisu terhadap kejahatan Negara terhadap rakyat sipil Papua. Sikap pembiaran terhadap kejahatan kemanusiaan Negara terhadap rakyat sipil adalah pelanggaran HAM, apalagi terjadi operasi militer yang membumihanguskan beberapa kampung di Distrik Tingginambut.
 
Melihat semua pihak diam, maka Selpius Bobii, mengajak semua pihak, terlebih para peduli dan pengiat kemanusiaan, entah secara pribadi maupun lembaga, baiklah merapatkan barisan untuk mendesak pemerintah Indonesia, dalam hal ini PANGDAM dan KAPOLDA, serta presiden sebagai panglima tertinggi untuk menghentikan operasi militer yang terjadi di Tanah Papua, lebih khusus di Puncak Jaya distrik Tingginambut.
 
“Operasi gabungan TNI dan POLRI yang digelar sejak tanggal 11 Mei 2010 adalah merupakan praktek kejahatan Negara terhadap rakyat sipil, karena akibat operasi militer di Puncak Jaya, bukan saja sasaran kepada TPN/OPM, akan tetapi operasi itu juga mengorbankan rakyat sipil yang tak berdosa. Praktek seperti ini dikategorikan ke dalam pelanggaran HAM. Dikatakan pelanggaran HAM karena yang melakukan kejahatan kemanusiaan terhadap rakyat sipil adalah kekuatan Negara, yakni TNI dan POLRI, tegas Selpius.
 
Dalam menyikapi tragedy berdarah di Tingginambut, selain Konfrensi Pers, Front PEPERA PB juga telah menempuh bentuk lain untuk mendudukan semua pihak untuk membahas permasalahan di Puncak Jaya. Berikut komentar Selpius: “Untuk menyikapi tragdi berdarah ini, selain Konfrensi Pers yang kami lakukan beberapa kali, pada tanggal 20 Mei 2010, Front PEPERA PB telah mengajukan surat kepada pimpinan DPRP untuk mengadakan Audiensi dengan PANGDAM cenderawasih XVII dan KAPOLDA Papua dengan melibatkan pelbagai komponen, namun surat itu belum ditanggapi. Kami tidak tahu apakah surat itu sampai dimeja pimpinan atau tidak. Kami berharap dalam minggu depan, DPRP sebagai wakil rakyat menghadirkan pihak-pihak yang kami sebutkan tadi untuk membahas tragedy berdarah yang menimpa rakyat sipil di Puncak Jaya.”
 
Pada kesempatan Konfrensi Pers, Selpius Bobii menghimbau kepada Rakyat Sipil yang berdomisili di Tanah Papua untuk tidak terprovakasi atau dimanfaatkan oleh TNI dan POLRI untuk menyembunyikan kejahatan mereka dan diadu-domba antara rakyat sipil. Hal seperti ini ke depan tidak boleh terjadi. Rakyat sipil jangan menjadi alat untuk melegitimasi kejahatan Negara, atau melegalkan kejahatan Negara, atau mendukung kejahatan Negara. Sepatutnya rakyat sipil merapatkan barisan untuk melawan segala bentuk kejahatan Negara yang dilakukan oleh TNI dan POLRi terhadap Rakyat Sipil yang tak berdosa.
 
Dibawah ini materi press release yang disampaikan Selpius Bobii dalam Konfensi Pers yang digelar pada tanggal 28 Mei 2010, bertempat di Pendopo Asrama Tunas Harapan Jalan Yakonde Padang Bulan pada jam 15.30 s/d 16.00 WPB. Silahkan membaca dan mengambil sikap untuk menyelamatkan dan melindungi hak-hak dasar, terlebih hak hidup rakyat sipil Tingginambut Puncak Jaya yang sedang terancam dan terkekang.

 
EKSEKUTIF NASIONAL FRONT PERSATUAN PERJUANGAN RAKYAT PAPUA BARAT
(EKNAS FRONT PEPERA PB)
Sekretariat: Jln. Viva - Port Numbay – Papua Barat
 
“Bersama Sejarah Sang Bintang Kejora”
 
PRESS RELEASE
=====================
Nomor: 001-SP/Eknas Front PEPERA PB/V/2010
 
“Hentikan Pelbagai Taktik TNI dan POLRI Untuk Mengelabui Publik.
Hentikan Operasi Militer di Puncak Jaya yang Mengorbankan Rakyat Sipil”
 
Berdasarkan penelitian beberapa mahasiswa Universitas Yale Amerika Serikat dan beberapa peneliti Australia telah menyimpulkan bahwa di Papua sedang terjadi praktek pemusnahan etnis, yang para aktornya adalah TNI dan POLRI.
 
Upaya pembasmian terhadap etnis bangsa Papua sudah menjadi suatu program jangka panjang sejak proses pencaplokan Bangsa Papua ke dalam NKRI sampai saat ini. Ada dua pendekatan yang dikedepankan neo-kolonial Indonesia dalam pemusnahan etnis Papua, yakni pembasmian secara nyata dan terselubung. Pembasmian secara nyata diterapkan dengan: operasi militer dan penculikan serta pembunuhan; sedangkan pembantaian secara terselubung dikemas dengan rapi dalam pelbagai kebijakan pemerintah dan pelbagai prakatek kejahatan lainnya.
 
Operasi gabungan TNI dan POLRI yang sudah mulai digelar sejak tanggal 11 Mei 2010 di Distrik Tingginambut adalah merupakan salah satu upaya pembasmian etnis Bangsa Papua. Operasi ini tidak hanya bersasaran untuk melumpuhkan TPN pimpinan Goliat Tabuni, tetapi juga mengorbankan rakyat sipil yang berdominsili di Wilayah Distrik Tingginambut. Beberapa Kampung sudah dibumi-hanguskan oleh operasi gabungan TNI dan POLRI. Tanaman, ternak dibasmi, rumah-rumah, termasuk Gereja-Gereja dibakar, masyarakat setempat ditembak mati, diusir dan ada yang melarikan diri ke hutan untuk mencari tempat perlindungan.
 
TNI dan POLRI tak dapat menyangkal diri dengan pelbagai argumen atau dengan pelbagai taktik untuk mengelabui publik untuk menyembunyikan kejahatan Negara terhadap rakyat sipil di Distrik Tingginambut. Kehadiran TNI dan POLRI di Tanah Papua khususnya di Distrik Tingginambut hanya memperkeruh suasana. Kehadiran TNI dan POLRI di Tanah Papua, bukan untuk melindungi dan mengayomi, serta menciptakan ketertiban umum, akan tetapi kehadiran TNI dan POLRI di Tanah Papua hanyalah membawa keresahan, kekacauan, pemerasan, penyiksaan, penculikan, pemerkosaan, teror, intimidasi, perampasan, penipuan, dan pembasmian etnis bangsa Papua.
 
Sebelum Negara Indonesia mencaplok bangsa Papua ke dalam NKRI, bangsa Papua hidup dalam suasana kedamaian dan ketenangan. Kalaupun ada perang suku, tetapi perang suku itu ada aturan main yang harus dipatuhi oleh kedua pihak, tidak seperti yang dilakukan oleh TNI dan POLRI. Ironis memang, orang yang tidak bersalah, baik tua, muda, besar, kecil, wanita, laki-laki dibantai TNI dan POLRI tanpa adanya rasa kemanusiaan. Rakyat sipil yang tak bersenjata api dihadapi dengan kekuatan alat Negara. Operasi militer terjadi kapan dan di mana saja di seluruh pelosok Tanah Papua. Itulah metode operasi militer yang diterapkan Negara Indonesia di Tanah Papua yang tujuannya memusnahkan etnis Papua.
 
Tragedy berdarah yang menimpa di Distrik Tingginambut adalah suatu kejahatan Negara yang dikategorikan ke dalam pelanggaran berat HAM. Dikatakan pelanggaran berat HAM karena tindakan kejahatan itu dilakukan oleh kekuatan Negara dilengkapi peralatan perang untuk membasmi rakyat sipil yang tak berdosa. Operasi gabungan TNI dan POLRI di Distrik Tingginambut yang menimpa rakyat sipil di Puncak Jaya harus dipertanggungjawabkan oleh Negara Indonesia, terlebih presiden sebagai panglima tertinggi.
 
Adalah tidak dapat dibenarkan untuk memanfaatkan rakyat sipil untuk mengelabui publik atau mengalihkan tanggung jawab tentang kejahatan kemanusiaan yang dilakukan oleh Negara. Camkanlah bahwa TNI dan POLRI yang tewas bukan semata-mata karena inisiatif sendiri, akan tetapi mereka menghadapi TPN atas perintah pimpinan TNI/POLRI. Jika anggota TNI dan POLRI tidak diperintah oleh pimpinan mereka, maka tentunya mereka tidak korban/ tertembak.
 
Tanah Papua memang dijadikan oleh kaki tangan Negara Indonesia sebagai daerah konflik. Konflik itu sengaja diciptakan oleh kaki tangan Negara hanya untuk mencapai dua kepentingan, yakni untuk kepentingan politik dan ekonomi semata yang berakibat pada pembasmian etnis Papua. Anak buahnya dikorbankan untuk menaikan pangkatnya, atau jabatannya. Selain itu mendapatkan dana, karena dalam operasi militer tentu ditopang dengan finansial yang jumlahnya besar. Dengan demikian, Operasi Militer yang dilakukan di Tanah Papua mengandung dua kepentingan, yakni kepentingan ekonomi dan politik semata.
 
Masyarakat Sipil, khususnya keluarga korban dari setiap anggota TNI dan POLRI yang tertembak mati,  seharusnya keluarga korban menuntut kepada Negara Indonesia, terlebih kepada pimpinan TNI dan POLRI yang memerintah mereka untuk menghadapi TPN. Jika pimpinan TNI dan POLRI tidak memerintah anggotanya menghadapi TPN, maka tentunya mereka tidak korban atau tewas. Maka tidak dapat dibenarkan jika keluarga korban meminta pertanggung jawaban kepada TPN untuk mempertanggung jawabkan kematian mereka ketika menghadapi TPN. Juga tidak dapat dibenarkan meminta pertanggung jawaban kepada pihak lain, seperti pihak sipil seperti kami yang menyuarakan suara kaum tak bersuara yang terkekang dalam tekanan Negara melalui TNI dan POLRI yang diback up oleh BIN, BAIS dan BAKIN.
 
Masyarakat Internasional sudah mengetahui dengan pasti segala kejahatan kemanusiaan yang dilakukan oleh Negara melalui kaki tangan NKRI, yakni TNI dan POLRI yang diback up oleh BIN, BAIS, BAKIN, dan lain sebagainya. Taktik TNI dan POLRI untuk mengelabui kejahatan kemanusiaan di Dipuncak Jaya, khususnya di Distrik Tingginambut tak mampu meredam kami untuk mengungkapkan dan menyuarakan suatu kebenaran.
 
Kejahatan Negara Indonesia terhadap Bangsa Papua, termasuk pencaplokan bangsa Papua ke dalam NKRI, dan lebih khusus lagi kejahatan Negara terhadap rakyat sipil di Distrik Tingginambut adalah Fakta; Fakta adalah data; Data adalah kebenaran; kebenaran adalah kekuatan; maka kebenaran itulah yang akan mengalahkan orang-orang fasik yang melakukan kebohongan publik; kebenaran itulah yang akan menaklukkan orang bebal yang melakukan pemutarbalikkan fakta; kebenaran itulah yang akan mematahkan rezim diktor yang mengedepankan kekerasan fisik.
 
Menyikapi taktik TNI dan POLRI yang mengelabui publik dan mengalihkan tanggung jawab dibalik kejahatan Negara terhadap rakyat sipil di Puncak Jaya, lebih khusus operasi gabungan TNI dan POLRI di Distrik Tingginambut yang mengorbankan rakyat sipil, maka kami menyatakan dan menyeruhkan dengan tegas bahwa:
1)     Presiden Republik Indonesia segera menghentikan Operasi Militer di Puncak Jaya yang secara de facto digelar pada tanggal 11 Mei 2010, dan secara de jure digelar mulai tanggal 28 Juni 2010, khususnya di Distrik Tingginambut yang tujuannya hanya mengorbankan rakyat sipil yang berdosa.
2)     Pangdam dan KAPOLDA Papua segera menghentikan pelbagai taktik yang tujuannya mengelabui publik seolah-olah TNI dan POLRI di Tanah Papua tidak melakukan kejahatan kemanusiaan;
3)     Pangdam dan KAPOLDA Papua segera hentikan pelbagai taktik yang tujuannnya mengadu-domba antara rakyat sipil Papua dan Papua serat Papua dan Pendatang untuk menyembunyikan kejahatan Negara terhadap rakyat sipil di Puncak Jaya, lebih khusus di Distrik Tingginambut.
4)     Mendesak DPRP segera memfasilitasi AUDIENSI menghadirkan Pangdam dan KAPOLDA Papua serta melibatkan MRP, LMS, Tokoh Agama, Tokoh Pemuda, Tokoh Masyarakat, Tokoh Perempuan, Tokoh Mahasiswa, anggota TNI dan POLRI, serta instansi terkait lainnya.
5)     Masyarakat Internasional yang peduli kemanusiaan, dan Perserikatann Bangsa-Bangsa segera menekan Presiden Indonesia untuk menghentikan Operasi Gabungan TNI dan POLRI di Puncak Jaya, lebih khusus di Distrik Puncak Jaya yang mengorbankan rakyat sipil.
6)     Presiden Indonesia segera bertanggung jawab atas segala kerugian yang dialami oleh masyarakat sipil di Distrik Tingginambut.
7)     Mendesak Perserikatan Bangsa-Bangsa segera menghentikan kejahatan kemanusiaan yang dilakukan oleh Negara Indonesia terhadap orang Papua yang berujung pada pemusnahan etnis Papua dengan cara melakukan intervensi kemanusiaan.
 
Demikian Konfrensi Pers ini kami buat; harapan kami dapat diperhatikan dan ditindak lanjuti oleh pihak-pihak terkait demi melindungi dan menyelamtkan hak-hak dasar, terlebih hak hidup masyarakat sipil di Distrik Tingginambut yang sedang terancam dan terabaikan.
 
Port Numbay, Jumat, 28 Mei 2010
 
 
“Persatuan Tanpa Batas, Perjuangan Sampai Menang”
 
                 
                                    (Ketua Umum Font PEPERA PAPUA BARAT)




                                                       PELAPOR
                                                     Fr. Santon Tekege, Pr
                                           Group Struggle Justice in Papua.