EKSEKUTIF NASIONAL FRONT PERSATUAN PERJUANGAN RAKYAT PAPUA BARAT
(EKNAS FRONT PEPERA PAPUA BARAT)
Sekretariat: Dok V Port Numbay, Mobile Phone: 081248723807
PRESS RELEASE
====================
Nomor: 05-SP/Ekns Front PEPERA PB/V/2010
“Bersama Sejarah Sang Bintang Kejora”
“UPAYA PEMBASMIAN ETNIS PAPUA TERUS DIPRAKTEKKAN OLEH KEKUATAN NEGARA INDONESIA”
===========================================
Program pembasmian etnis Papua oleh Negara Indonesia melalui kaki tangannya, seperti TNI dan POLRI terus berlanjut. Mesin-mesin pembantai sudah dan sedang bergerak maju mundur, rudal-rudal pembatai sudah dan sedang diluncurkan disegala pelosok Tanah Papua Barat. Singa mengaung-ngaung mencari mangsa untuk dimangsa; seringala beterbangan kian kemari menghabiskan etnis Papua.
Salah satu upaya pembasmian orang Papua yang sedang dipraktekkan adalah operasi tumpas gabungan TNI dan POLRI yang sedang digencarkan di Distrik Tingginambut. Operasi ini tidak hanya ditujukan kepada pimpinan Panglima Jenderal Goliat Tabuni, tetapi juga terhadap rakyat sipil di Puncak Jaya. Lebih khusus rakyat sipil yang mendiami di wilayah Tingginambut menjadi sasaran operasi gabungan TNI dan POLRI.
Setelah menyapuh rata beberapa kampung di Distrik Tingginambut di Kabupaten Puncak Jaya, Senin tanggal, 17 Mei 2010 operasi tumpas dilakukan di wilayah Yambi. Media massa cetak maupun elektronik melansir bahwa pada pukul 12.30 WPB telah terjadi penembakan terhadap salah seorang warga sipil, yang bernama: Werius Telenggen yang adalah salah seorang DPO pada kasus penembakan terhadap dua orang karyawan PT. Modern oleh orang tidak kenal pada beberapa waktu lalu di jalan menuju Distrik Mewoluk Kabupaten Puncak Jaya. Almarhum ditembak secara tidak bermanusiawi dikediamannya di Kampung Yambi Distrik Tingginambut.,
Pertanyaannya: apakah Werius Telenggen adalah pelaku, maka harus ditembak mati. Apakah yang dikategorikan dalam DPO itu benar-benar pelaku yang menewaskan dua orang karyawan PT. Modern. Pertanyaan lanjutan: hukum manakah yang diterapkan oleh Negara Indonesia? Apakah hukum rimba, apakah hukum kanibal? Apakah hukum diktator?
Tindakan TNI dan POLRI dalam menembak Werius Telenggen adalah menggunakan hukum rimba; menggunakan hukum kanibal; menggunakan hukum diktator. Jika demikian, slogan Negara Indonesia adalah Negara hukum dapat pertanyakan dan slogan itu perlu ditinjau kembali, apakah layak dipertahankan atau tidak. Apakah tindakan represi dan penyerangan (operasi militer) yang dikedepankan selama ini adalah menggunakan pendekatan hukum positif, atau pendekatan hukum negatif; atau pendekatan hukum rimba.
Yang namanya Negara hukum, yang kami ketahui adalah bahwa dalam segala tindakannya mengedepankan upaya hukum, bukan membunuh, bukan menembak, bukan menculik, bukan menyiksa dan bukan meneror. Pembuktian pelanggaran peraturan (hukum) yang dilakukan oleh seseorang, bukan ditentukan oleh polisi, bukan ditentukan oleh juga TNI, bukan ditentukan pula oleh jaksa, akan tetapi pembuktian suatu pelanggaran kejahatan terjadi dalam proses hukum di meja pengadilan. Jika hakim meyakini bahwa yang bersangkutan melakukan pelanggaran terhadap peratutan tertentu, maka hanya hakimlah yang menjatuhkan hukum, bukan main hakim sendiri, apalagi menembak mati seseorang yang belum tentu bersalah.
Dalam pengambilan keputusan hakim pun terkadang menghukum orang yang tak bersalah. Fakta membuktikan bahwa hakim di Indonesia tidak indenpenden. Mereka dapat dikendalikan oleh system Negara; atau dikendalikan oleh uang (KUHP: Kasih Uang Habis Perkara). Dengan demikian, fonis yang dijatuhkan oleh hakim pun dapat dipertanyakan: apakah dapat dibayar, apakah dapat ditekan, apakah divonis dengan kehendak bebas sesuai keyakinannya.
Adalah tidak dapat dibenarkan TNI dan POLRI menembak mati seseorang hanya dengan berasumsi bahwa yang bersangkutanlah adalah pelaku kejahatan. Jika asumsi atau pengandaian, atau prasangka yang dikedepankan dalam menangani kasus tertentu, maka apalah artinya slogan Negara hukum itu; maka apalah artinya adanya polisi, jaksa dan hakim untuk memproses suatu masalah (pelanggaran). Jika tindakan represi dan operasi militer yang dikedepankan dalam menangani kasus tertentu, maka apalah artinya hukum di Indonesia; apalah artinya Kitab Undang-Undang Hukum Pidana, dan hukum lainnya yang berlaku di Indonesia.
Apakah seseorang yang dianggap atau diduga pelaku harus ditembak mati. Misalnya, penembakan terhadap Werius Telenggen, pada beberapa bagian tubuh korban telah dikuliti, diiris, dan ditusuk degan benda tajam keras. Jika dalam penegakkan hukum di Indonesia inilah yang dikedepankan, maka pertantanyaannya adalah: dimanakah rasa kemanusiaan yang adil dan beradab itu, dimanakah keadilan berdasarkan ketuhan yang maha esa itu? Tindakan TNI dan POLRI ini dapat dikategorikan ke dalam Pelanggaran berat HAM.
Terlepas dari semua praduga (prasangka) bahwa: Apakah Werius adalah pelaku penembakan, atau apakah Werius adalah anggota TPN, atau apakah rakyat biasa yang melakukan kriminal; tetapi camkanlah bahwa Werius adalah seorang manusia yang memiliki hak yang tak dapat dicabut oleh siapapun dan oleh kekuatan apapun. Itulah Hak Asasi Manusia. Hak Asasi Manusia adalah hak dasar yang melekat pada setiap manusia sejak lahir yang merupakan pemberian Tuhan yang tak dapat diganggu atau dicabut oleh siapapun dan dengan kekuatan apapun.
Kita bayangkan almarhum yang ditembak mati dengan tidak bermanusiawi itu dijemput di RSUD oleh para Pendeta dan Mahasiswa Sekolah Alkitab, beserta masyarat sipil setempat dengan ratap tangis. Jenasahnya di bawa ke Aula GIDI Mulia dan dimakamkan di Kompleks Aula Gidi pada jam 15.00 WPB pada tanggal 18 Mei 2010. Gereja Papua menangis, Alam Raya Papua meratap, Akar Rumput Papua sangat berduka yang mendalam karena almarhum dibunuh dengan tidak bermanusiawi oleh kaki tangan neo-kolonial Indonesia.
Banyak rakyat sipil dibantai oleh kekuatan Negara di Puncak Jaya, lebih khusus di Tingginambut. Werius Telengen adalah salah satu dari ribuan orang Papua yang dibantai di Puncak Jaya, lebih khsus di Distrik Tingginambut akibat repersi dan operasi militer. TNI dan POLRI hanya mempublikasikan penembakan Werius Telenggen; sementara penembakan terhadap rakyat sipil yang lain tidak dipublikasikan. Kenapa hanya Werius saja dipulikasikan oleh TNI dan POLRI yang dilansir dipelbagai media massa? Jawabannya: karena Werius adalah DPO yang diduga menembak dua karyawan PT. Modern yang menurut prasangka TNI dan POLRI yang dinyatakan oleh Kombes Agus Riyanto (Kabid HUMAS Polda Papua) yang dimuat di cepos, ia adalah komandan regu OPM di wilayah Yambi dan pelaku positif penembakan tiga karyawan yang meninggal dunia. Adakah proses upaya hukum yang ditempulah, akhirnya Werius dinyatakan sebagai salah satu pelaku penembakan, maka ia pantas ditembak mati dengan cara yang tidak bermanusiawi? Inilah hukum rimba diperlakukan, alias hukum kanibal dipraktekkan.
Publikasi besar-besaran yang dilakukan oleh TNI dan POLRI melalui media massa cetak maupun elektronik terkait penembakan Werius hanya untuk mencapai dua kepentingan yakni: pertama, adalah suatu upaya untuk menyembunyikan operasi militer gabungan TNI dan POLRI di Puncak Jaya, lebih khusus Disrik Tingginambut yang menyapuh bersih beberapa kampung, di mana ternak, rumah rumah dan tanaman mereka dibasmi, dibunuh dan dibakar; serta rakyat sipil ditembak mati dan diusir dari kampung halamannya; kedua, adalah cara mereka untuk menyatakan kepada publik bahwa TNI dan POLRI mampu menembak mati DPO dugaan penembakan terhadap dua karyawan PT. Modern yang menurut dugaan TNI-POLRI adalah anggota TPN.
Terkait komentar KABID HUMAS POLDA Papua (Kombes Agus Rianto) yang dilansir beberapa media, seperti Cepos dan Papua Pos tertanggal 19 Maret 2010 bahwa “situasi puncak Jaya kondusif” adalah suatu kebohongan publik. Karena di Puncak Jaya, lebih khusus Distrik Tingginambut berada di bawah tekanan represi militer. Masyarakat Sipil pada umumnya di Puncak Jaya, lebih khusus di Tingginambut sedang berada dalam ancaman dan tekanan, singkatnya rakyat sipil berada dalam keadaan terdesak dan terancam hak-hak dasarnya, terlebih hak hidupnya, maka TNI dan POLRI identik dengan pakar makan tanaman; itu artinya: bukan sebagai pelindung, bukan lagi pengayom, tetapi perusak, peneror, penyiksa, pemerkosa, pembunuh dan pemeras.
Mengingat Puncak Jaya, lebih khusus di Distrik Tingginambut Rakyat Sipil berada dalam bahaya ancaman dan tekanan, terlebih hak hidupnya semakin terancam, maka kami menyatakan dengan tegas bahwa:
- Operasi militer yang mengorbankan rakyat sipil tak dapat dibenarkan, maka segera hentikan operasi militer dan menarik pasukan TNI dan POLRI dari wilayah Distrik Tingginambut
- Mendesak DPRP pada hari Senin, tanggal 24 Mei segera memfasilitasi AUDIENSI dengan KAPOLDA dan PANGDAM XVII Cenderewasih dengan melibatkan MRP, Pemda Puncak Jaya; Pemda Propinsi; Tokoh Agama, LSM, Tokoh Masyarakat, Tokoh Pemuda, Tokoh Mahasiswa, Tokoh Perempuan dan aparat TNI, POLRI, Jaksa, dan intansi lain yang dianggap perlu untuk membahas fenomena tragedy berdarah yang melanda Puncak Jaya, lebih khusus Distrik Tingginambuk.
Demikian pernyatan ini kami buat dengan sesungguhnya, dan harapan kami segera ditanggapi dan direalisasikan oleh pihak-pihak yang bersangkutan.
Port Numbay: Kamis, 20 Mei 2010
“Persatuan Tanpa Batas, Perjuangan Sampai Menang”
Selpius Bobii
(Ketua Umum Eksekutif Nasional Front PEPERA Papua Barat)
EKSEKUTIF NASIONAL FRONT PERSATUAN PERJUANGAN RAKYAT PAPUA BARAT
(EKNAS FRONT PEPERA PAPUA BARAT)
0 komentar:
Posting Komentar