PEMBALAKAN HUTAN DAN KEMISKINAN DI TANAH PAPUA |
Saturday, 24 April 2010 00:00 |
Oleh: Yanuarius Dou*) Masyarakat Papua mendambakan kesejahteraan dalam hidup mereka. Kesejahteraan ini bisa dinikmati bila Manusia Papua hidup sepadan dengan alam di sekitarnya. Namun, dalam perkembangan hidup alam Papua yang disanjung-sanjung perlahan-lahan mulai musnah karena kehadiran berbagai perusahan seperti perusahan kelapa sawit, perusahan tambang, perusahan minyak, perusahan kayu dan lain-lain. Masyarakat Papua sungguh merasakan derita yang diakibatkan oleh berbagai perusahan ini. Tidak hanya manusia, pembalakan hutan mengakibatkan debit air perlahan-lahan mulai menipis, tanah mulai gersang, margasatwa mengalami kehilangan tempat tinggal dan lain-lain. Semuanya ini bagian dari perilaku perusahaan yang tidak bersahabat dengan manusia dan alam Papua. Pertanyaannya adalah “mengapa hutan kaya raya tetapi Rakyat Papua miskin?” Soal pembalakan hutan secara liar yang melibatkan gerombolan mafia kehutanan yang dengan rakus mengeruk hasil kekayaan dari hutan dan menjualnya secara pribadi tanpa memperhatikan manusia yang hidup di sekitarnya semakin marak terjadi di Tanah Papua. Padahal Orang Papua menganggap hutan sebagai sumber kehidupan. Sungai dengan ikannya, hutan dengan tanamannya (kayu, sagu dan segala jenis binatang) adalah penyangga kelangsungan hidup masyarakat setempat. Penduduk Asli Papua bahkan memegang teguh kaidah “hutan adalah mama”. Artinya, mereka yang menebang kayu di hutan apalagi secara liar sama dengan membunuh mama/ibu mereka. Luas hutan Papua mencapai 41 juta hektar. Namun, setiap tahun dua juta hektar hilang disebabkan karena hadirnya industri pertambangan, perusahan kayu, perkebunan kelapa sawit dan perusahan minyak dan lainnya. Akibatnya hutan menjadi dibagi-bagi para penguasa dan pebisnis/pemodal dan Rakyat Papua menjadi miskin di atas tanahnya sendiri. Kearifan lokal Masyarakat Papua ini merupakan milik nenek moyang yang diwariskan kepada Generasi Papua kini dan ke depan namun cenderung dilupakan oleh para elit penentu kebijakan di puncak kekuasaan. Dengan melakukan penebangan hutan secara liar menyebabkan juga perubahan iklim dan sekaligus menambah jumlah populasi warga miskin. Rusaknya lingkungan dapat juga menyebabkan disintegrasi sosial. Artinya, Masyarakat Papua yang dekat dengan hutan sebagai ibu merasa ada suatu kehilangan relasi antara orang dengan alam sekitar lingkungannya. Hal lain adalah timbulnya kelaparan, bencana alam, kehilangan tempat pencarian makan, satwa-satwa liar mulai hilang. Hal yang lebih memprihatinkan adalah pelaku penebangan kayu secara liar ini dibebaskan begitu saja tanpa diproses secara hukum. Kondisi kebal hukum terhadap kasus ini membuat pula Rakyat Papua semakin menderita kerena orang bebas melakukan apa saja, termasuk hutan yang dianggap sebagai sumber kehidupan. Mungkin hal ini dilatarbelakangi oleh pemahaman bahwa penebangan hutan bagi negara merupakan income atau pemasukan bagi kas negara. Negara beruntung karena hasil yang diperoleh dari penjualan hutan. Pertanyaannya adalah mengapa kita mesti menebang pohon untuk kepentingan sesaat yang semakin menyengsarakan rakyat jika ada pihak-pihak yang bersedia memberi bantuan dana bila kita bersedia menjaga dan memelihara hutan kita? Mengapa Papua yang adalah “paru-paru dunia” atas pemanasan global ini tidak dijaga ketat keutuhannya? Untuk melihat sudut pandang etika terhadap pembalakan hutan kita bisa mendalami lebih jauh dari beberapa teori etika. Pertama; Teori Deontologi. Teori ini berpandangan bahwa bila seseorang melakukan tindakan kebaikan karena itu sebagai kewajiban yang harus dilaksanakan. Nilai sebagai tujuan yang hendak dicapai. Tindakan yang dilakukan sebenarnya dianggap kurang baik namun wajib untuk dilakukan karena mendatangkan hasil yang sebesar-besarnya. Dalam hal ini kasus pembalakan hutan secara liar walaupun memenuhi kewajiban secara hukum tetapi secara etis tidak dibenarkan karena kerugikan yang diderita lebih banyak dari keuntungan yang diperoleh. Kedua; Teori hak. Teori hak merupakan salah satu pendekatan yang paling banyak dipakai untuk mengevaluasi baik buruknya suatu tindakan. Teori ini sejalan dengan Teori Deontologi karena hak sejalan dengan kewajiban. Dalam hubungan dengan hak misalnya melakukan suatu tindakan seperti dalam kasus penebangan hutan maka pihak yang melakukan penebangan kayu wajib mensejahterakan masyarakat sekitarnya. Tuntutan ini didasarkan pada argumen bahwa masyarakat pemilik hutan berhak mendapatkan hasil dari kekayaannya. Meskipun demikian, pada kenyataannya masyarakat pemilik hutan tidak mendapatkan hasil sama sekali. Tindakan perusahan yang demikian jelas-jelas merampas hak masyarakat adat di sekitarnya. Ketiga; Teori Utilitarisme. Menurut teori ini perbuatan adalah baik jika membawa manfaat tetapi manfaat itu harus menyangkut bukan saja satu dua orang melainkan masyarakat sebagai keseluruhan. Dalam kasus pembalakkan hutan di Papua para elit Papua di negeri ini dengan memproduksi hasil hutan maka akan membawa manfaat paling besar bagi umat manusia sebagai keseluruhan, termasuk generasi-generasi yang akan datang. Semua umat manusia tentu bisa meraih banyak manfaat dengan menguras kekayaan hutan melalui teknologi dan industri, hingga sumber daya alam habis sama sekali. Namun, satu hal yang tidak disadari adalah dengan berbuat demikian dapat merugikan anak cucu atau generasi yang akan datang. Kasus kebanjiran, lumpur Lapindo dan tanah longsor yang terjadi banyak tempat di Pulau Jawa merupakan contoh nyata pembalakan hutan dan pengrusakan sumber daya alam dengan alasan pembangunan oleh generasi-generasi masa lalu. Apakah kasus-kasus di Papua ini juga dikehendaki oleh pemerintah dan pebisnis harus terjadi seperti Pulau Jawa? Perbuatan pembalakan kayu bila ditinjau lebih jauh sebenarnya membawa lebih banyak kerugian dari pada manfaat sehingga secara etis pembalakan kayu dinilai buruk. Karena dalam Teori Utilitarisme konsekuensi dari suatu perbuatan lebih dipentingkan. Keempat; Teori Keadilan. Keadilan didefinisikan sebagai memberikan kepada setiap orang apa yang menjadi haknya. Dalam kasus ini, jelas bahwa masyarakat pemilik hutan mempunyai hak atas hutan. Kenyataan bahwa pemilik hutan tidak menikmati hak mereka secara penuh karena apa yang dimilikinya dinikmati oleh orang lain. Di sinilah para pelaku terbukti terjadi perbuatan ketidakadilan. Padahal bila keadilan ini perlu ditegakkan maka perlu dilihat bahwa keadilan selalu tertuju kepada orang lain. Dalam hal ini antara pemilik hutan dan penebang hutan perlu mencapai suatu kesepakatan dengan mempertimbangkan berbagai akibat buruk dan baik yang akan dialami baik dari pemilik maupun dari penebang kayu. Jadi, di sini keadilan berkaitan dengan hak yang harus dipenuhi. Pihak yang mengambil hak milik masyarakat setempat wajib memberikan jaminan kepada pihak yang menderita karena perbuatannya. Pasalnya hilangnya hutan menjadi perkebunan ibarat mengusir kaum pemburu dan kearifan lokal yang dimiliki masyarakat adat di pinggiran hutan. Hutan bagi mereka adalah gudang makanan dan obat-obatan yang diwariskan dari generasi ke generasi. Kini mereka menerima kenyataan harus dibabat habis demi sebuah investasi yang jelas akan membawa petaka banjir dan kemarau karena sudah tidak menghargai lagi kearifan lokal milik masyarakat adat yang diwariskan nenek moyang mereka. *)Penulis adalah rohaniawan dan pemerhati masalah-masalah sosial di Papua. |
0 komentar:
Posting Komentar