Minggu, 30 Mei 2010

RAKYAT SIPIL DI TINGGINAMBUT BERJATUHAN KORBAN, SEMENTARA SEMUA PIHAK DIAM MEMBISU

“RAKYAT SIPIL DI TINGGINAMBUT BERJATUHAN KORBAN;
SEMENTARA SEMUA PIHAK DIAM MEMBISU”
 
Untuk menyikapi operasi gabungan TNI dan POLRI di Puncak Jaya Distrik Tingginambut yang masih berlanjut, Eksekutif Nasional Front Persatuan Perjuangan Rakyat Papua Barat kembali menggelar Konfrensi Pers pada hari Jumat, tanggal 28 Mei 2010, bertempat di Pendopo Asrama Tunas Harapan, jalan Yakonde Padang Bulan, Port Numbay, Papua pada jam 15.30 s/d 16.00 WPB.
 
Dalam kesempatan Konfrensi Pers, Selpius Bobii selaku Ketua Umum Eksekutif Nasional Front Persatuan Perjuangan Rakyat Papua Barat mengatakan bahwa kejahatan Negara terhadap Rakyat Sipil di Tingginambut, tak dapat dibendung lagi dan semakin meningkat. Rakyat sipil di Distrik Tingginambut berjatuhan korban, sementara pelbagai pihak diam membisu. Kenapa semua pihak diam membisu? Mungkin dilatar-belakangi karena beberapa alasan, antara lain: pertama, konflik bersenjata antara pihak TNP/OPM dan TNI-POLRI, maka semua pihak diam jangan sampai dituduh mendukung Papua merdeka; kedua, diam membisu mungkin karena tak ada data tentang kejahatan Negara terhadap rakyat sipil di Tingginambut; ketiga, diam membisu mungkin karena mendukung operasi militer di Puncak Jaya; keempat, diam membisu mungkin karena takut diteror/ intimidasi; kelima, diam membisu karena takut kehilangan jabatan/kepercayaan dari pemerintah.
 
Bobii menegaskan bahwa apapun bentuk kejahatan kemanusiaan yang dilakukan Negara terhadap rakyat, tak dapat dibenarkan, maka seharusnya semua pihak harus bersatu untuk mendesak presiden RI, dan khususnya pimpinan jajaran TNI dan POLRI menghentikan operasi militer di Puncak Jaya. Tak ada alasan bahwa tak ada data, karena fakta yang sedang terjadi di Tingginambut adalah data otentik. Pembumi-hangusan beberapa kampung di Distrik Tiingginambut oleh TNI dan POLRI adalah data.
 
Lebih jauh Selpius Bobii menegaskan bahwa sikap apatis dan diam membisu dari jajaran pimpinan pemerintah baik legislatif, eksekutif maupun yudikatif adalah merupakan tindakan pembiaraan terhadap kejahatan kemanusiaan yang dilakukan oleh Negara Indonesia; atau melegalkan kejahatan Negara terhadap rakyat sipil Papua. Jika memang semua pihak mendukung praktek kejahatan dan melegalkan kejahatan di Tanah Papua, maka baiklah semua pihak diam membisu terhadap kejahatan Negara terhadap rakyat sipil Papua. Sikap pembiaran terhadap kejahatan kemanusiaan Negara terhadap rakyat sipil adalah pelanggaran HAM, apalagi terjadi operasi militer yang membumihanguskan beberapa kampung di Distrik Tingginambut.
 
Melihat semua pihak diam, maka Selpius Bobii, mengajak semua pihak, terlebih para peduli dan pengiat kemanusiaan, entah secara pribadi maupun lembaga, baiklah merapatkan barisan untuk mendesak pemerintah Indonesia, dalam hal ini PANGDAM dan KAPOLDA, serta presiden sebagai panglima tertinggi untuk menghentikan operasi militer yang terjadi di Tanah Papua, lebih khusus di Puncak Jaya distrik Tingginambut.
 
“Operasi gabungan TNI dan POLRI yang digelar sejak tanggal 11 Mei 2010 adalah merupakan praktek kejahatan Negara terhadap rakyat sipil, karena akibat operasi militer di Puncak Jaya, bukan saja sasaran kepada TPN/OPM, akan tetapi operasi itu juga mengorbankan rakyat sipil yang tak berdosa. Praktek seperti ini dikategorikan ke dalam pelanggaran HAM. Dikatakan pelanggaran HAM karena yang melakukan kejahatan kemanusiaan terhadap rakyat sipil adalah kekuatan Negara, yakni TNI dan POLRI, tegas Selpius.
 
Dalam menyikapi tragedy berdarah di Tingginambut, selain Konfrensi Pers, Front PEPERA PB juga telah menempuh bentuk lain untuk mendudukan semua pihak untuk membahas permasalahan di Puncak Jaya. Berikut komentar Selpius: “Untuk menyikapi tragdi berdarah ini, selain Konfrensi Pers yang kami lakukan beberapa kali, pada tanggal 20 Mei 2010, Front PEPERA PB telah mengajukan surat kepada pimpinan DPRP untuk mengadakan Audiensi dengan PANGDAM cenderawasih XVII dan KAPOLDA Papua dengan melibatkan pelbagai komponen, namun surat itu belum ditanggapi. Kami tidak tahu apakah surat itu sampai dimeja pimpinan atau tidak. Kami berharap dalam minggu depan, DPRP sebagai wakil rakyat menghadirkan pihak-pihak yang kami sebutkan tadi untuk membahas tragedy berdarah yang menimpa rakyat sipil di Puncak Jaya.”
 
Pada kesempatan Konfrensi Pers, Selpius Bobii menghimbau kepada Rakyat Sipil yang berdomisili di Tanah Papua untuk tidak terprovakasi atau dimanfaatkan oleh TNI dan POLRI untuk menyembunyikan kejahatan mereka dan diadu-domba antara rakyat sipil. Hal seperti ini ke depan tidak boleh terjadi. Rakyat sipil jangan menjadi alat untuk melegitimasi kejahatan Negara, atau melegalkan kejahatan Negara, atau mendukung kejahatan Negara. Sepatutnya rakyat sipil merapatkan barisan untuk melawan segala bentuk kejahatan Negara yang dilakukan oleh TNI dan POLRi terhadap Rakyat Sipil yang tak berdosa.
 
Dibawah ini materi press release yang disampaikan Selpius Bobii dalam Konfensi Pers yang digelar pada tanggal 28 Mei 2010, bertempat di Pendopo Asrama Tunas Harapan Jalan Yakonde Padang Bulan pada jam 15.30 s/d 16.00 WPB. Silahkan membaca dan mengambil sikap untuk menyelamatkan dan melindungi hak-hak dasar, terlebih hak hidup rakyat sipil Tingginambut Puncak Jaya yang sedang terancam dan terkekang.

 
EKSEKUTIF NASIONAL FRONT PERSATUAN PERJUANGAN RAKYAT PAPUA BARAT
(EKNAS FRONT PEPERA PB)
Sekretariat: Jln. Viva - Port Numbay – Papua Barat
 
“Bersama Sejarah Sang Bintang Kejora”
 
PRESS RELEASE
=====================
Nomor: 001-SP/Eknas Front PEPERA PB/V/2010
 
“Hentikan Pelbagai Taktik TNI dan POLRI Untuk Mengelabui Publik.
Hentikan Operasi Militer di Puncak Jaya yang Mengorbankan Rakyat Sipil”
 
Berdasarkan penelitian beberapa mahasiswa Universitas Yale Amerika Serikat dan beberapa peneliti Australia telah menyimpulkan bahwa di Papua sedang terjadi praktek pemusnahan etnis, yang para aktornya adalah TNI dan POLRI.
 
Upaya pembasmian terhadap etnis bangsa Papua sudah menjadi suatu program jangka panjang sejak proses pencaplokan Bangsa Papua ke dalam NKRI sampai saat ini. Ada dua pendekatan yang dikedepankan neo-kolonial Indonesia dalam pemusnahan etnis Papua, yakni pembasmian secara nyata dan terselubung. Pembasmian secara nyata diterapkan dengan: operasi militer dan penculikan serta pembunuhan; sedangkan pembantaian secara terselubung dikemas dengan rapi dalam pelbagai kebijakan pemerintah dan pelbagai prakatek kejahatan lainnya.
 
Operasi gabungan TNI dan POLRI yang sudah mulai digelar sejak tanggal 11 Mei 2010 di Distrik Tingginambut adalah merupakan salah satu upaya pembasmian etnis Bangsa Papua. Operasi ini tidak hanya bersasaran untuk melumpuhkan TPN pimpinan Goliat Tabuni, tetapi juga mengorbankan rakyat sipil yang berdominsili di Wilayah Distrik Tingginambut. Beberapa Kampung sudah dibumi-hanguskan oleh operasi gabungan TNI dan POLRI. Tanaman, ternak dibasmi, rumah-rumah, termasuk Gereja-Gereja dibakar, masyarakat setempat ditembak mati, diusir dan ada yang melarikan diri ke hutan untuk mencari tempat perlindungan.
 
TNI dan POLRI tak dapat menyangkal diri dengan pelbagai argumen atau dengan pelbagai taktik untuk mengelabui publik untuk menyembunyikan kejahatan Negara terhadap rakyat sipil di Distrik Tingginambut. Kehadiran TNI dan POLRI di Tanah Papua khususnya di Distrik Tingginambut hanya memperkeruh suasana. Kehadiran TNI dan POLRI di Tanah Papua, bukan untuk melindungi dan mengayomi, serta menciptakan ketertiban umum, akan tetapi kehadiran TNI dan POLRI di Tanah Papua hanyalah membawa keresahan, kekacauan, pemerasan, penyiksaan, penculikan, pemerkosaan, teror, intimidasi, perampasan, penipuan, dan pembasmian etnis bangsa Papua.
 
Sebelum Negara Indonesia mencaplok bangsa Papua ke dalam NKRI, bangsa Papua hidup dalam suasana kedamaian dan ketenangan. Kalaupun ada perang suku, tetapi perang suku itu ada aturan main yang harus dipatuhi oleh kedua pihak, tidak seperti yang dilakukan oleh TNI dan POLRI. Ironis memang, orang yang tidak bersalah, baik tua, muda, besar, kecil, wanita, laki-laki dibantai TNI dan POLRI tanpa adanya rasa kemanusiaan. Rakyat sipil yang tak bersenjata api dihadapi dengan kekuatan alat Negara. Operasi militer terjadi kapan dan di mana saja di seluruh pelosok Tanah Papua. Itulah metode operasi militer yang diterapkan Negara Indonesia di Tanah Papua yang tujuannya memusnahkan etnis Papua.
 
Tragedy berdarah yang menimpa di Distrik Tingginambut adalah suatu kejahatan Negara yang dikategorikan ke dalam pelanggaran berat HAM. Dikatakan pelanggaran berat HAM karena tindakan kejahatan itu dilakukan oleh kekuatan Negara dilengkapi peralatan perang untuk membasmi rakyat sipil yang tak berdosa. Operasi gabungan TNI dan POLRI di Distrik Tingginambut yang menimpa rakyat sipil di Puncak Jaya harus dipertanggungjawabkan oleh Negara Indonesia, terlebih presiden sebagai panglima tertinggi.
 
Adalah tidak dapat dibenarkan untuk memanfaatkan rakyat sipil untuk mengelabui publik atau mengalihkan tanggung jawab tentang kejahatan kemanusiaan yang dilakukan oleh Negara. Camkanlah bahwa TNI dan POLRI yang tewas bukan semata-mata karena inisiatif sendiri, akan tetapi mereka menghadapi TPN atas perintah pimpinan TNI/POLRI. Jika anggota TNI dan POLRI tidak diperintah oleh pimpinan mereka, maka tentunya mereka tidak korban/ tertembak.
 
Tanah Papua memang dijadikan oleh kaki tangan Negara Indonesia sebagai daerah konflik. Konflik itu sengaja diciptakan oleh kaki tangan Negara hanya untuk mencapai dua kepentingan, yakni untuk kepentingan politik dan ekonomi semata yang berakibat pada pembasmian etnis Papua. Anak buahnya dikorbankan untuk menaikan pangkatnya, atau jabatannya. Selain itu mendapatkan dana, karena dalam operasi militer tentu ditopang dengan finansial yang jumlahnya besar. Dengan demikian, Operasi Militer yang dilakukan di Tanah Papua mengandung dua kepentingan, yakni kepentingan ekonomi dan politik semata.
 
Masyarakat Sipil, khususnya keluarga korban dari setiap anggota TNI dan POLRI yang tertembak mati,  seharusnya keluarga korban menuntut kepada Negara Indonesia, terlebih kepada pimpinan TNI dan POLRI yang memerintah mereka untuk menghadapi TPN. Jika pimpinan TNI dan POLRI tidak memerintah anggotanya menghadapi TPN, maka tentunya mereka tidak korban atau tewas. Maka tidak dapat dibenarkan jika keluarga korban meminta pertanggung jawaban kepada TPN untuk mempertanggung jawabkan kematian mereka ketika menghadapi TPN. Juga tidak dapat dibenarkan meminta pertanggung jawaban kepada pihak lain, seperti pihak sipil seperti kami yang menyuarakan suara kaum tak bersuara yang terkekang dalam tekanan Negara melalui TNI dan POLRI yang diback up oleh BIN, BAIS dan BAKIN.
 
Masyarakat Internasional sudah mengetahui dengan pasti segala kejahatan kemanusiaan yang dilakukan oleh Negara melalui kaki tangan NKRI, yakni TNI dan POLRI yang diback up oleh BIN, BAIS, BAKIN, dan lain sebagainya. Taktik TNI dan POLRI untuk mengelabui kejahatan kemanusiaan di Dipuncak Jaya, khususnya di Distrik Tingginambut tak mampu meredam kami untuk mengungkapkan dan menyuarakan suatu kebenaran.
 
Kejahatan Negara Indonesia terhadap Bangsa Papua, termasuk pencaplokan bangsa Papua ke dalam NKRI, dan lebih khusus lagi kejahatan Negara terhadap rakyat sipil di Distrik Tingginambut adalah Fakta; Fakta adalah data; Data adalah kebenaran; kebenaran adalah kekuatan; maka kebenaran itulah yang akan mengalahkan orang-orang fasik yang melakukan kebohongan publik; kebenaran itulah yang akan menaklukkan orang bebal yang melakukan pemutarbalikkan fakta; kebenaran itulah yang akan mematahkan rezim diktor yang mengedepankan kekerasan fisik.
 
Menyikapi taktik TNI dan POLRI yang mengelabui publik dan mengalihkan tanggung jawab dibalik kejahatan Negara terhadap rakyat sipil di Puncak Jaya, lebih khusus operasi gabungan TNI dan POLRI di Distrik Tingginambut yang mengorbankan rakyat sipil, maka kami menyatakan dan menyeruhkan dengan tegas bahwa:
1)     Presiden Republik Indonesia segera menghentikan Operasi Militer di Puncak Jaya yang secara de facto digelar pada tanggal 11 Mei 2010, dan secara de jure digelar mulai tanggal 28 Juni 2010, khususnya di Distrik Tingginambut yang tujuannya hanya mengorbankan rakyat sipil yang berdosa.
2)     Pangdam dan KAPOLDA Papua segera menghentikan pelbagai taktik yang tujuannya mengelabui publik seolah-olah TNI dan POLRI di Tanah Papua tidak melakukan kejahatan kemanusiaan;
3)     Pangdam dan KAPOLDA Papua segera hentikan pelbagai taktik yang tujuannnya mengadu-domba antara rakyat sipil Papua dan Papua serat Papua dan Pendatang untuk menyembunyikan kejahatan Negara terhadap rakyat sipil di Puncak Jaya, lebih khusus di Distrik Tingginambut.
4)     Mendesak DPRP segera memfasilitasi AUDIENSI menghadirkan Pangdam dan KAPOLDA Papua serta melibatkan MRP, LMS, Tokoh Agama, Tokoh Pemuda, Tokoh Masyarakat, Tokoh Perempuan, Tokoh Mahasiswa, anggota TNI dan POLRI, serta instansi terkait lainnya.
5)     Masyarakat Internasional yang peduli kemanusiaan, dan Perserikatann Bangsa-Bangsa segera menekan Presiden Indonesia untuk menghentikan Operasi Gabungan TNI dan POLRI di Puncak Jaya, lebih khusus di Distrik Puncak Jaya yang mengorbankan rakyat sipil.
6)     Presiden Indonesia segera bertanggung jawab atas segala kerugian yang dialami oleh masyarakat sipil di Distrik Tingginambut.
7)     Mendesak Perserikatan Bangsa-Bangsa segera menghentikan kejahatan kemanusiaan yang dilakukan oleh Negara Indonesia terhadap orang Papua yang berujung pada pemusnahan etnis Papua dengan cara melakukan intervensi kemanusiaan.
 
Demikian Konfrensi Pers ini kami buat; harapan kami dapat diperhatikan dan ditindak lanjuti oleh pihak-pihak terkait demi melindungi dan menyelamtkan hak-hak dasar, terlebih hak hidup masyarakat sipil di Distrik Tingginambut yang sedang terancam dan terabaikan.
 
Port Numbay, Jumat, 28 Mei 2010
 
 
“Persatuan Tanpa Batas, Perjuangan Sampai Menang”
 
                 
                                    (Ketua Umum Font PEPERA PAPUA BARAT)




                                                       PELAPOR
                                                     Fr. Santon Tekege, Pr
                                           Group Struggle Justice in Papua.

0 komentar: