Kamis, 03 Juni 2010

MASYARAKAT PAPUA MENJADI KORBAN PESTA DEMOKRASI INDONESIA


MASYARAKAT PAPUA MENJADI KORBAN PESTA DEMOKRASI INDONESIA


  
Thursday, 27 August 2009 12:37
Oleh: Yanuarius Dou (*)

JUBI — Pemilihan presiden Repulik Indonesia merupakan sebuah peristiwa yang amat bersejarah dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Setiap warga negara diwajibkan turut terlibat memilih calon kepala negara (presiden) secara LUBER (Langsung, Umum, Bebas dan Rahasia). Proses pemilihan pilpres yang dilangsungkan secara baik tentu memperlihatkan kepada dunia sebagai suatu bangsa yang demokratis dan bermartabat. 

Citra diri bangsa Indonesia menjadi baik ketika demokrasi benar-benar ditegakkan. Namun ironisnya, hal ini tak terjadi. Pasca Pilpres kemarin, secara tak terduga, dua musibah besar terjadi di dua wilayah berbeda. Musibah terjadi di Jakarta dan di seluruh Papua. Kedua wilayah ini ternyata menjadi sasaran diciptakan konflik di Indonesia oleh kelompok berkepentingan. Di Jakarta terjadi pemboman terhadap Hotel Mariot. Pemboman menewaskan 9 orang dan 54 lainnya luka. Peristiwa pasca pilpres ini menuai duka yang mendalam bagi Warga Indonesia.
Kekecewaan karena konflik terus menyelimuti Masyarakat Papua. Tanah Papua yang selalu diperjuangkan sebagai Papua Zona Damai ternyata masih jauh dari harapan. Realitas menunjukkan, Papua bukan Zona Damai tetapi Zona Darurat. Masyarakat sipil Papua selalu berada dalam keadaan yang membahayakan dan karena itu hidup mereka sedang terancam. Masyarakat Papua sedang menuju kepunahan.
Pasca pilpres kemarin, masyarakat Papua benar-benar dijadikan biang keladi bagi kaum penguasa Indonesia dan militer (TNI/POLRI). Kalau di Jakarta terjadi pemboman pada Hotel Mariot yang menewaskan orang dengan pelaku yang tidak jelas identitasnya, lain halnya dengan di Papua. Di Papua terjadi rentetan pembunuhan terhadap warga sipil, terhadap warga asing (Australia), bahkan terjadi penangkapan masyarakat sipil secara sewenang-wenang dengan tuduhan-tuduhan palsu.
Beberapa rentetan peristiwa lainnya juga turut mewarnai gejolak di tanah Papua. Antara lain, pengibaran bintang Kejora yang terjadi di beberapa tempat pada tanggal 1 Juli 2009, yakni di Distrik Arso-Kampung Workwana – Kabupaten Kerom, di Sentani – Kabupaten Jayapura tepatnya dibelakang Asrama Koramil Hawai sentani, di Perumnas III Waena – Kota Madya Jayapura dan di Yapen – Kabupaten Serui. Pengibaran bendera terjadi ketika mati lampu. Ini berarti para pelaku pengibaran bendera memiliki skill melakukan pemadaman terhadap lampu. Oknum-oknum inipun sangat tidak jelas.
Di Timika lain lagi. Pasca Pilpres, penembakan terjadi hingga menewaskan 1 warga Australia. Seorang warga sipil dan 3 Masyarakat Asli Papua ditangkap dan dipenjarakan dengan tuduhan palsu. Pelaku utamanya sampai saat ini tidak terungkap secara jelas. Kapolda Papua, Fransiskus Xaverius Ekodanto, pernah mengungkapkan, pelakunya adalah orang-orang terlatih. Bila kasus ini diselidiki lebih jauh tentu berakar pada perebutan kekuasaan dalam institusi militer, yaitu antara TNI/POLRI. Pelakunya adalah pihak TNI.  Ini juga bagian dari sebuah skenario. Mereka kecewa karena tidak mendapat bantuan dari PT. Freeport Indonesia. Oknum TNI juga kecewa karena dana pengamanan perusahan PTFI senilai 472 milyar hanya diperuntukan bagi pihak kepolisian Indonesia.
Peristiwa Timika terjadi Pasca penembakan seorang warga sipil di Kampung Yeti-Distrik Arso Timur-Kabupaten Kerom. Korbannya Isak Psakor (22 tahun), 22 Juni 2009 pada pukul 02.00 sore. Ia ditembak oknum TNI dengan alasan dirinya (pelaku) menembak anjing tetapi salah sasaran. Psakor kini dirawat di salah satu rumah sakit di Jakarta.
Setelah peristiwa Arso, pada 25 Juni 2009, terjadi lagi kasus serupa yang menimpa 4 warga sipil di Kabupaten Paniai. 2 tewas, Mika Boma (59 th) dan Pendetus Boma serta 2 lainnya, Yan Pigai (37) dan Yul Keiya yang dirawat di RSUD Nabire. Pelakunya oknum Brimob.
Kasus Paniai terjadi bersamaan dengan kontak senjata di wilayah Yapen, Kabupaten Serui. Dengan tuduhan TPN/OPM,  masyarakat menjadi korban. Sebanyak 12 warga sipil ditangkap dan diproses secara hukum. Setelah peristiwa ini, Masyarakat Yapen hingga kini masih dihantui rasa takut. Mereka hidup dalam situasi tidak aman serta tertekan. Tidak hanya masyarakat sipil, seorang anggota Elsham (Sebuah LSM di Papua) juga ditangkap dalam perjalanan melakukan investigasi terhadap kasus tersebut.
Hari berlalu, namun peristiwa kekerasan di Tanah Papua masih terus berjalan bagaikan jarum jam yang selalu berputar tanpa henti. Di tengah situasi kekerasan ini Masyarakat Papua bertanya, ‘mengapa demokrasi itu dimatikan oleh aparatur negara dengan alat negara?’ adakah ruang dan waktu bagi Masyarakat Asli Papua untuk menikmati demokrasi yang hakiki? Mengapa pesta demokrasi Indonesia di Tanah Papua sebaliknya menuai tetesan darah dan air mata duka?
Masalah di Tanah Papua adalah masalah yang kompleks. Kompleksitas masalah Papua berakar pada haus kekuasaan, kekayaan dan uang. Bagi Masyarakat Indonesia, kedudukan, kekayaan dan uang dipandang dan dijadikan sebagai “dewa penyelamat”. Kepentingan nilai manusia bahkan disepelekan. Manusia Papua menjadi korban kekerasan demi merebut tanah Papua yang berlimpah dengan sumber daya alam.
Kaum migran mulai tumpah ruah di Tanah Papua demi mengejar “madu yang sudah bersarang di Papua”, yaitu OTSUS. Masyarakat Papua dijadikan buah bibir publik warga luar Papua dengan steriotipe orang Papua belum bisa, Orang Papua konsumtif, orang Papua terbelakang, Orang Papua belum sadar, orang Papua SDM lemah, Orang Papua pemabuk, orang Papua primitif dan lain-lain. Steriotipe semacam itu dikondisikan sedemikian rupa untuk mencari dan mendapat posisi aman bagi warga luar di tanah Papua, sehingga mereka memiliki alasan yang meyakinkan bagi pihak lain. Ada warga luar Papua yang benar-benar mengabdi tetapi ada pula banyak warga luar Papua yang mencari keuntungan ekonomi yang berlimpah dengan alasan dirinya atau mereka mengabdi untuk Masyarakat Papua. Kelompok masyarakat demikian dikategorikan pada kelompok “pikir lain, bicara lain dan buat lain”.
Kita semua menghendaki bahwa cita-cita Orang Papua akan kehidupan yang lebih adil, benar dan demokratis perlu dicapai. Pencapaian harapan dan cita-cita ini tidak begitu mudah terjadi. Harapan dan cita-cita ini harus diperjuangkan dengan penuh pengorbanan. Hal ini dikarenakan di Tanah Papua demokrasi telah mati. Masyarakat Papua sudah tidak mampu lagi berbicara tentang hak-hak adat, hak-hak azasi manusia, hak-hak ekonomi, hak-hak politik dan lain-lain. Karena bila masyarakat menuntut hak-hak dasarnya maka selanjutnya tentu pihak aparat negara (TNI/POLRI) akan menuduh masyarakat sebagai TPN/OPM. Ungkapan Sparatis, Makar dan OPM seolah-olah menjadi ungkapan sakral yang harus selalu dilestarikan. Padahal, stigma-stigma ini semakin memperburuk nuansa demokrasi di Tanah Papua. Demokrasi Papua di Indonesia sungguh-sungguh telah diabaikan dengan sadar, tahu dan mau oleh para intelektual sebagai aktornya.
Kondisi keterpurukan ini tidak bisa dibiarkan begitu saja oleh Pemerintah Indonesia dan seluruh Rakyat Papua. Pemerintah dan masyarakat perlu memiliki usaha dan inisiatif bersama mendorong terciptanya ruang demokrasi bagi masyarakat Papua. Pertama-tama perlu didorong dari atas ke bawah, top down. Kemudian dorongan dari bawah ke atas. Gubernur Propinsi Papua, DPRP dan MRP perlu juga duduk bersama mengambil suatu langkah strategis untuk memikirkan, merencanakan dan menentukan suatu ruang demokrasi untuk Masyarakat Papua. Ketiga komponen ini perlu memfasilitasi Masyarakat Papua, LSM, tokoh Agama dan pihak TNI dan POLRI untuk duduk bersama mengklarifikasi stigmatisasi makar dan separatis. Usaha ini penting dan mendesak agar tidak ada lagi sikap saling tuduh menuduh. Bila Pemerintah Propinsi, DPRP dan MRP membiarkan kondisi ini, maka ketiga komponen lembaga ini terus menerus akan dipandang oleh Masyarakat Papua sebagai lembaga representasi institusi negara yang memelihara status penjajahan di atas Tanah Papua.
Akhirnya, tanpa menaruh curiga dan tidak dengan maksud menuduh sesama Orang Papua dan non Papua, selanjutnya kita perlu hidup bersatu dan berjuang bersama dalam payung kesamaan martabat manusia. Berjuang sebagai ciptaan Tuhan guna mengatasi masalah-masalah di Tanah Papua secara menyeluruh dan bukan parsial.

(*) Aktivis Gerakan Pro Demokrasi Papua di Indonesia

PELAPOR

Fr Santon Tekege, Pr
Group Struggle Justice in Papua-Indonesia

0 komentar: