EKSEKUTIF NASIONAL FRONT PEPERA PAPUA BARAT
Sekretariat: Dok V Port Numbay Jayapura- PAPUA BARAT
--------------------------------------------------------------------------
“MAKAR”
‘Suatu Ungkapan Kontraversi’
(Pandangan Berbagai Pihak tentang “MAKAR”)
DI TANAH PAPUA
PRAKATA
Pertama-tama kami menaikan puji dan syukur kepada Allah kami moyang Papua yang senantiasa mencurahkan rahmat dan bimbingan-Nya, terlebih nafas hidup yang diberikan-Nya dengan cuma-cuma. Atas pencurahan rahmat dan bimbingan-Nya pula buku ini dapat terampung sesuai rencana.
Buku ini berisi pandangan kontraversi atas ungkapan makar yang disampaikan oleh beberapa kalangan dari latar belakang ilmu dan profesi pada kesempatan Seminar Nasional tentang “Makar” yang digelar pada tanggal 27 Pebruari 2010; bertempat di Aula ST. Yosef STFT Fajar Timur yang diselenggarakan oleh Wirewit Study Centre (WSC).
Pandangan yang disampaikan oleh para pembicara serta tanggapan dari peserta dapat kami merampung dan mengolahnya sedemikian rupa; akhirnya dikembangkan menjadi sebuah buku yang dapat memberikan pemahaman yang berarti dan berguna bagi semua pihak dalam rangka membangun persepsi bersama demi meninjau kembali layak tidaknya pemberlakuan hukum makar dalam kehidupan bermayarakat, berbangsa dan bernegara.
Kami mengucapkan terima kasih kepada semua pihak yang terlibat secara penuh maupun secara tidak langsung, baik berupa dukungan moriil maupun materiil dalam penyelenggaraan Seminar Nasional tentang “Makar”. Kami juga mengucapkan terima kasih kepada semua pihak yang membantu proses perampungan dan percetakan, akhirnya buku ini dapat diluncurkan pada waktunya.
Tak ada gading yang tak retak, demikian pula perampungan pandangan kontraversi makar dari pelbagai kalangan, maka kami mengharapkan kritikan dan masukan Anda yang sangat konstruktif demi penyempurnaan buah karya ini.
Akhirnya buku yang berisi pandangan kontraversi atas perberlakuan hukum makar, kami hadirkan ke publik sebagai salah satu tugas dan tanggung jawab kami sebagai aktifi HAM dan demokrasi dalam memperjuangkan penegakkan kebenaran dan keadilan untuk semua. Semoga buku ini dapat bermanfaat bagi Anda dan saya dalam rangka perlindungan, pemajuan dan penegakkan martabat manusia di atas segala kepentingan.
Editor
ttd
(Selpius Bobii)
Motto:
Keselamatan Jiwa-Jiwa dan Raga-Raga
yang terbelenggu tirani penindasan adalah
hukum tertinggi
Persembahan:
“Buku ini ku persembahkan kepada Ibunda pendiam, setia, tulus, peramah dan penyayang yang masih berziarah; Ayahnda yang visioner, tegas dan pemberani yang telah tiada akibat diracuni oleh kaki tangan penguasa bumi Indonesia karena menyatakan kebenaran; juga ku persembahkan kepada rakyat pribumi di planet bumi ini, yang masih bergulat dalam memperjuangkan hak-hak dasarnya, termasuk penentuan nasib sendiri, lebih khusus lagi bagi rakyat pribumi yang gugur di medan perjuangan hanya karena memperjuangkan kebenaran dan keadilan.”
DAFTAR ISI
Prakata ………………………………………………………………………………………
Lembaran Motto dan Persembahan …………………………………………………………
Pengantar……………………………………………………………………………………
Daftar Isi ……………………………………………………………………………………
Pendahuluan ………………………………………………………………………………..
Bab I. Makar Dalam Pandangan Aparat Keamanan ………………………………………..
Bab II. Makar Dalam Pandangan DEPHUKHAM RI ……………………………………..
Bab III. Makar Dalam Pandangan Akademisi ……………………………………………...
Bab IV. Makar Dalam Pandangan Tapol Napol ……………………………………………
Bab V. Makar Dalam Pandangan Aktifis HAM dan Praktisi ………………………………
Bab VI. Makar Dalam Pandangan Gereja ………………………………………………….
Bab VII. Makar Dalam Pandangan Masyarakat Adat ……………………………………..
Bab VIII. Makar Dalam Pandangan Faksi Politik Papua Barat ……………………………
Penutup……………………………………………………………………………………..
PENDAHULUAN
“MAKAR” menjadi suatu ungkapan yang menakutkan kebanyakan umat manusia di planet bumi ini, lebih khusus di Indonesia. Ungkapan “MAKAR” memang sengaja diciptakan dan dipertahankan oleh penguasa negeri dari zaman ke zaman hanya demi kepentingan ekonomi dan politik semata. Untuk mengikat Warga Negara, penguasa melahirkan produk hukum Supersive (hukum makar). Hukum ini menjadi alat legitimasi bagi penguasa untuk melakukan apa saja yang dikehendakinya terhadap rakyat yang diduga melakukan tindakan makar. Hukum buatan manusia itu terus membelenggu jiwa-jiwa umat manusia yang tidak berdosa. Hukum Supersive (hukum makar) bagaikan seekor makhluk buas alias “seringala”.
Hukum Supersive (makar) alias “Seringala Buatan Manusia” ini tidak memiliki hati nurani dan tidak ada kebijaksanaan yang terkandung di dalamnya, maka ia terus-menerus beraksi melakukan berbagai manufer, antara lain: meneror, menyiksa, melecehkan, mengintimidasi, memperkosa, menangkap, memenjara, bahkan membunuh (memangsa) umat manusia yang tidak berdosa.
Ironisnya seringala buatan manusia itu terus-menerus dipelihara dan dipertahankan serta diterapkan oleh penguasa pada jaman ini, walaupun seringala buatan manusia itu bertentangan dengan perangkat-perangkat hukum internasional yang ditetapkan oleh Perserikatan Bangsa-Bangsa.
Misalnya di Tanah Papua, hukum supersive (makar) dijadikan oleh penguasa negeri ini sebagai suatu simbol penindasan yang melegalkan lahirnya pelbagai kejahatan kemanusiaan; lain kata: apa pun tindakan kejahatan kemanusiaan dilakukan oleh Negara melalui kaki tangannya terhadap anak negeri Papua hanya demi kepentingan ekonomi dan politik semata. Pelbagai tindakan kekerasan fisik maupun psikis yang dilakukan oleh alat Negara dapat dilegalkan, walaupun tindakan mereka bertentangan dengan perangkat hukum Internasional.
Pengalaman yang sama pula dialami oleh rakyat pribumi di Aceh, Maluku, dan beberapa tempat di Indonesia. Juga dialami oleh rakyat pribumi di manca Negara yang memperjuangkan hak-hak dasarnya, termasuk hak penentuan nasib sendiri. Tak terhitung banyaknya rakyat pribumi di planet bumi ini, khususnya di Indonesia; dan lebih khusus lagi rakyat pribumi Papua mengalami teror, intimidasi, penyiksaan, pelecehan, diskriminasi, penangkapan sewenang-wenang, pemenjaraan, bahkan jutaan jiwa anak negeri telah tiada hanya karena penerapan hukum “makar” alias “seringala buatan manusia” terus beraksi memangsa kaum pribumi.
Adalah tidak dapat dibenarkan jika seringala buatan manusia itu terus-menerus membelenggu nurani umat manusia, bahkan menelan korban jutaan jiwa umat manusia yang tidak berdosa. Penderitaan kebanyakan umat manusia yang diakibatkan oleh seringala buatan manusia alias “Makar” itu, harus dikaji secara lebih kritis dan mendalam, serta diberi makna sesuai perkembangan jaman.
Adalah lebih bijaksana dan bermanusiawi, jika semua pihak memandang ungkapan “makar” dengan memakai kaca matanya sesuai dengan bidang yang ditekuninya. Penyatuan persepsi atas ungkapan “makar” adalah menjadi tugas kita bersama dalam upaya peninjauan kembali layak tidaknya penerapan hukum supersif, khususnya hukum makar di Indonesia.
Singkatnya tujuan dan maksud dari penyelenggaraan Seminar Nasional, bertempat di Aula ST. Yosef Sekolah Tinggi Filsafat Teologi “Fajar Timur”, pada tanggal 27 Pebruari 2010, antara lain: 1) Agar menyatukan persepsi tentang “Makar”; 2) Agar mengkaji secara kritis perlu tidaknya penerapan hukum Supersive, khususnya hukum makar di dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.
Melalui Seminar Nasional tentang “Makar” Suatu Ungkapan Kontraversi, melahirkan suatu pemikiran yang original dalam memberi makna terhadap kata “makar”; lain kata penyatuan persepsi terhadap kata “makar”.
Penyatuan persepsi tentang “makar” dalam seminar sehari ini juga dapat memberikan konstribusi yang berguna bagi semua pihak, terlebih pemerintah dalam upaya meninjau kembali penerapan hukum supersive, khusunya hukum makar yang tidak relevan lagi untuk diterapkan dalam Negara Indonesia yang berlandaskan demokrasi, dan lebih dari itu bertentangan dengan nilai-nilai universal yang ditetapkan dan dikeluarkan oleh Perserikatan Bangsa-Bangsa.
Dalam rangka membangun pemahaman bersama atas kata “makar” pada semua tingkatan masyarakat dan juga demi penegakkan nilai-nilai luhur, yakni keadilan, demokrasi, kebenaran, kejujuran, Hak Asasi Manusia, dan perdamaian di Indonesia, khususnya di Tanah Papua, maka Wirewit Study Centre (WSC) berusaha merampung semua pemaparan materi dari pembicara dan tanggapan peserta, serta rekomendasi dan berusaha menerbitkan menjadi sebuah buku.
Pandangan berbagai pihak dari latar belakang ilmu dan profesi mewarnai dalam buku ini. Dalam bab pertama pemakalah mengantar kita untuk memahami “hukum makar” dari sudut pandang aparat keamanan. Pemakalah dari perwakilan Departemen Hukum dan HAM Propinsi Papua, dalam bab kedua mengantar kita untuk memahami hukum dan HAM dalam arti yang luas. Pada bab ketiga, pemakalah mengantar para pembaca untuk memahami hukum makar dari sudat pandang akademisi. Pemakalah dari korban makar dalam bab keempat mengantar kita untuk memahami pandangan tentang perberlakuan hukum makar. Pada bab kelima kita diantar oleh pemakalah untuk memahami penerapan makar dan pengalamannya dalam mendampingan para korban makar. Dalam bab keenam kita juga akan memahami pandangan makar menurut Gereja. Pemakalah berikutnya, dalam bab ketujuh kita diantar untuk memahami pandangan makar dalam perfektif Masyarakat Adat. Dalam bab kedelapan, penulis makalah mengantar kita untuk memahami makar dalam pandangan faksi politik Papua Barat. Buku ini ditutup dengan kesimpulan dan rekomendasi yang sangat berguna dalam rangka perlindungan, pemajuan dan penegakkan harkat dan martabat manusia di atas segala kepentingan.
Dikala HUT IV Tragedi Berdarah 16 Maret 2006
Port Numbay, 16 Maret 2010
Ttd
Selpius Bobii
BAB I
MAKAR DALAM PANDANGAN
APARAT KEAMANAN
KEJAHATAN TERHADAP KEAMANAN NEGARA2
(OLEH : KOMBES POL. Drs PETRUS WAINE.SH. M,Hum)
1.Latar Belakang
Jika orang membuat suatu perbandingan antara jenis-jenis kejahatan yang ditujukan terhadap kepentingan umum lainnya dengan jenis kejahatan yang ditujukan terhadap negara, maka jenis kejahatan yang disebutkan terakhir itu sangat lambat memperoleh bentuknya yang pasti, jenis kejahatan yang ditunjukan kepada negara, baru memperoleh bentuknya pada abad ke-19, disebabkan oleh beberapa pernyataan antara lain karena sangat lambatnya pertumbuhan hukum politik dan tidak adanya kepastian dan sifatnya umum mengenai batas-batas tentang jenis kejahatan mana yang dapat digolongkan sebagai kejahatan yang ditunjukkan terhadap negara dan tentang unsur-unsur dari kejahatan itu.
Menurut Prof. SIMON kejahatan-kejahatan tersebut bukanlah merupakan satu-satunya jenis kejahatan yang dapat dipandang sebagai kejahatan yang ditunjukkan terhadap kepentingan-kepentingan hukum dari Negara, karena disamping kejahatan-kejahatan tersebut masih terhadap kejahatan lain yang dapat dimasukan ke dalam pengertiannya, kejahatan itu adalah antara lain:
a.Kejahatan yang ditujukan terhadap pegawai negeri dalam melaksanakan tugas jabatan mereka yang sah.
b.Kejahatan yang ditujukan terhadap lembaga-lembaga yang secara langsung ada hubungannya dengan pelaksanaan tugas-tugas kenegaraan.
c.Kejahatan yang ditujukan terhadap pelaksanaan tugas peradilan.
d.Kejahatan yang dilakukan oleh pegawai negeri dalam jabatan.
Pada pasal 87 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana menyebut bahwa makar (aanslag) suatu perbuatan dianggap ada, apa bila niat si pembuat kejahatan sudah ternyata dengan dimulainya melakukan perbuatan itu, di dalam Pasal 104 KUHP mengancam hukum kepada orang yang melakukan aanslag (makar) atau penyerangan dengan niat hendak membunuh, merampas kemerdekaan dan menjadi tidak cakap memerintah Presiden dan wakil Presiden.
Makar (aanslag) yang dilakukan dengan niat hendak menaklukkan daerah negara sama sekali atau sebagai ke bawah pemerintah asing atau dengan maksud hendak memisahkan sebagian dari daerah itu, objek dalam penyerangan ini adalah kedaulatan atas daerah negara asing yang berarti menyerahkan daerah itu, objek dalam penyerangan ini adalah kedaulatan atas daerah negara, kedaulatan dapat dirusak dengan dua macam cara yaitu:
a.Menaklukkan daerah negara seluruhnya atau sehingga kebawah pemerintahan negara asing yang berarti menyerahkan daerah itu (seluruhnya) atau sebagian kepada kekuasaan negara asing misalnya daerah Indonesia (seluruhnya) atau daerah Kalimantan (sebagian) diserahkan kepada pemerintah asing.
b.Memaksakan sebagian dari daerah negara itu yang berarti membuat bagian daerah itu menjadi satu negara yang berdaulat sendiri, misalnya memisahkan daerah Aceh atau Maluku dari daerah Republik Indonesia untuk dijadikan negara yang berdiri sendiri, materi atau unsur tersebut termuat pada pasal 106 KUHP
Makar (aaslag) yang dilakukan dengan niat mengulingkan pemerintahan (omwenteling) dan terhadap pemimpin dan atau penggerak makar dapat dihukum Seumur hidup, maksud dari adanya penyerangan ini adalah mengulingkan (omwenteling) pemerintah yaitu merusak atau mengganti dengan cara tidak sah susunan pemerintah yang berdasarkan pada Undang-Undang Dasar di Negara Republik Indonesia
Perlu dicatat bahwa disyaratkannya keharusan tentang adanya permulaan pelaksanaan pada tidak pidana makar seperti yang telah dibicarakan atas itu hanya perlu mendapat perhatian yakni dalam hal orang bermaksud mempermasalahkan orang lain telah melakukan pelanggaran terhadap larangan-larangan yang diatur dalam pasal 106, 107 dan pasal 108 KUHP, orang tersebut ternyata telah dapat dianut dan dipidana dengan pidana yang sama seperti yang diancamkan terhadap tindak pidana yang dimaksudkan dalam pasal 104, 106, 107 dan pasal 108 KUHP yakni segera setelah orang tersebut bersama dengan orang lain mencapai kecepatan untuk melakukan tindak pidana seperti yang diatur dalam pasal-pasal tersebut di atas, kenyataan bahwa beberapa orang yang telah mencapai kesepakatan untuk melakukan tindak pidana itu sudah jelas belum merupakan suatu permulaan pelaksanaan dari tindak pidana yang mereka akan melakukan dan secara maksimal baru dapat dipandang sebagai tindakan persiapan, sungguh-sungguh demikian pembentukan Undang-Undang merasa perlu untuk melarang dan mengancam dengan pidana yang sama beratnya dengan tindak pidana yang diatur dalam tindak pidana makar yang selesai dilakukan yakni jika tindakan persiapan tersebut merupakan satu kemufakatan untuk melakukan salah satu tindak pidana yang diatur dalam pasal 104, 106, 107 dan pasal 108 KUHP karena sifatnya yang membahayakan kepentingan hukum dan negara.
Sedangkan obyek dari perbuatan makar itu sendiri sebenarnya merupakan jenis-jenis tindak pidana yang berbeda yakni bahwa tindak pidana yang disebutkan pertama itu merupakan suatu tindak pidana material, yang biasanya baru dianggap sebagai telah selesai dilakukan oleh pelakunya, jika akibat perbuatannya yang tidak dikehendaki oleh Undang-Undang itu timbul.
Tentang bila mana suatu percobaan yang dapat dipidana itu telah dapat dianggap sebagai terjadi pada delik-delik formal atau pada delik-delik material sebagai mana yang disampaikan professor SIMOM.
Bahwa pada delik-delik formal atau delik-delik yang dirumuskan secara formal itu, percobaan yang dapat dipidana untuk melakukan delik-delik seperti itu sebagai telah terjadi, yakni segera telah melakukannya yang dilarang oleh Undang-Undang.
Bahwa pada delik-delik material atau pada delik-delik yang dirumuskan secara material itu percobaan yang dapat dipidana untuk melakukan delik-delik seperti itu dianggap sebagai baru terjadi yakni segera telah tindakan dari pelaku menurut sifatnya secara langsung dapat menimbulkan akibat yang tidak dikehendaki oleh Undang-undang tanpa pelakunya itu harus melakukan sesuatu tindakan yang lain.
Kebebasan menyampaikan pendapatan di muka umum merupakan salah satu hak asasi manusia yang dijamin dalam pasal 28 Undang-undang dasar pasal 1945 yang berbunyi “kemerdekaan berserikat dan berkumpul mengeluarkan pikiran dengan lisan dan tulisan dan sebagainya ditetapkan dalam Undang-undang“ kemerdekaan menyampaikan pendapat tersebut sejalan dengan pasal 19 Deklarasi Universal Hak-hak Asasi Manusia yang berbunyi setiap orang berhak atas kebebasan mempunyai dan mengeluarkan pendapat, dalam hal ini termasuk kebebasan mempunyai pendapat dengan tidak mendapat gangguan dan untuk mencari, menerima dan menyampaikan keterangan dan pendapat dengan cara apapun juga dengan tidak memandang batas-batas .
Bahwa keamanan dalam negeri merupakan syarat utama mendukung terwujudnya masyarakat madani yang adil, makmur dan beradap berdasarkan Pancasila dan Undang-undang dasar negara Republik Indonesia tahun 1945 pemeliharaan keamanan dalam negeri melalui upaya penyelenggaraan fungsi Kepolisian yang meliputi pemeliharaan keamanan dan ketertiban masyarakat, penegakan hukum, perlindungan hukum, pengayoman dan pelayanan kepada masyarakat dilakukan oleh Kepolisian negara Republik Indonesia selaku alat negara yang dibantu oleh masyarakat dengan menjunjung tinggi Hak Asasi Manusia.
2.Kemerdekaan Menyampaikan Pendapat di Muka Umum
Hak dan kewajiban
Bahwa kemerdekaan menyampaikan pendapat di muka umum adalah hak asasi manusia yang dijamin oleh Undang-undang Dasar 1945 dan deklarasi Universitas Hak Asasi Manusia, kemerdekaan setiap warga negara untuk menyampaikan pendapat di muka umum merupakan perwujudan demokrasi dalam tatanan kehidupan bermasyarakat, bangsa dan bernegara, bahwa untuk membangun negara demokrasi yang menyelenggarakan keadilan sosial dan menjamin hak asasi manusia diperlukan adanya suasana yang aman, tertip dan damai, untuk melaksanakan pendapat di muka umum dilaksanakan secara bertanggung jawab sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Warga negara yang menyampaikan pendapat di muka umum berhak untuk mengeluarkan pikiran secara bebas dan memperoleh perlindungan hukum, di dalam penyampaian tersebut berkewajiban antara lain:
1.menghormati hak-hak dan kebebasan orang lain
2.menghormati aturan-aturan moral yang diakui umum
3.menepati hukum dan ketentuan peraturan undang-undang yang berlaku
4.menjaga dan menghormati keamanan dan ketertiban umum dan
5.menjaga keutuhan persatuan dan kesatuan bangsa
Di dalam pelaksanaan penyampaian pendapat di muka umum oleh warga Negara, aparatur pemerintah Berkewajiban dan bertanggung jawab untuk melindungi hak asasi manusia, menghargai asas legalitas, menghargai prinsip praduga tidak bersalah serta menyelenggarakan pengamanannya.
Dalam penyampaian pendapat di muka umum, masyarakat berhak berperan-serta secara bertanggung jawab untuk berupaya agar menyampaikan pendapat di muka umum dapat berlangsung secara aman , tertib dan damai.
Bentuk Penyampaian
Penyampaian pendapat di muka umum dapat dilaksanakan dalam bentuk.
a.Unjuk rasa atau demonstrasi
b.Pawai
c.Rapat umum dan atau
d.Mimbar bebas
3.Kepolisian Negara Republik Indonesia
Bahwa keamanan dalam negeri merupakan syarat utama mendukung terwujudnya masyarakat madani yang adil, makmur dan beradab berdasarkan Pancasila dan undang-undang dasar Negara Republik Indonesia tahun 1945, bahwa pemeliharaan keamanan dalam negeri melalui upaya penyelenggaraan fungsi Kepolisian yang meliputi pemeliharaan keamanan dan ketertiban masyarakat, menegakkan hukum, perlindungan, pengayoman dan pelayanan kepada masyarakat dilakukan oleh Kepolisian Negara Republik Indonesia selaku alat negara yang dibantu oleh masyarakat dengan menjunjung tinggi hak asasi manusia, dimana telah terjadi perubahan paradigma dalam sistem ketatanegaraan yang menegaskan pemisahan kelembagaan Tentara Nasional Indonesia selalu dengan peran dan fungsi masing-masing.
a.Tugas dan tanggung jawab
Sesuai dengan dasar hukum Kepolisian republik Indonesia yang diamanatkan dalam Undang-undang No. 2 Tahun 2002 pada pasal 13 dijelaskan bahwa tugas pokok Kepolisian Negara Republik Indonesia yaitu memelihara keamanan dan ketertiban masyarakat, menegakkan hukum dan memberikan perlindungan, pengayoman dan pelayanan kepada masyarakat.
Di dalam tulisan ini, mencoba mengupas proses penyidikan terhadap dugaan perbuatan makar sebagai mana dimaksud dalam pasal 106 KUHP dengan acara pidana sebagai diatur dalam Undang-undang No. 8 Tahun 1982 tentang Hukum Acara Pidana.
1)Penyidikan
Dalam rangka penegakan hukum, POLRI melakukan tugas-tugas penyidikan tindak pidana yang diemban oleh penyidik-penyidik pembantu baik oleh fungsi operasional POLRI lainnya dan diberikan wewenang untuk melakukan penyidikan, dan di dalam pelaksanaannya harus dapat dilaksanakan secara professional. Penyedikan tindakan pidana pada hakekatnya merupakan wujud penegakan hukum yang diatur dalam perundang-undangan mengingat tugas-tugas penyidikan tindak pidana banyak berkaitan dengan hal-hal yang menyangkut hak-hak asasi manusia.
Pada awal suatu proses penyedikan dugaan tindak pidana lainnya yaitu memperhatikan beberapa aspek antara lain bukti permulaan yang cukup dengan adanya bukti tersebut penyidik melakukan upaya memenuhi unsur formal dan materi atas dugaan perbuatan tersangka. Pelaksanaan proses penyedikan mengacu kepada Undang-Undang No. 8 Tahun 1981 tentang kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana.
2)Kejahatan terhadap keamanan negara ( crime of the of the state)
Makar atau penyerangan (aanslag) adalah suatu perbuatan yang dilakukan dengan sasaran kedaulatan Negara atau pimpinan Negara, perbuatan untuk merusak kedaulatan ada dua yaitu:
a.Menaklukan daerah seluruhnya atau sebagian ke dalam wilayah asing yang berarti menyerahkan daerah itu seluruhnya atau sebagian kepada kekuasaan negara asing.
b.Memisahkan sebagian dari daerah negara itu yang berarti membuat bagian daerah itu menjadi negara yang berdaulat sendiri.
Penyerangan sendiri berarti menggulingkan (conwenteling) pemerintah, sedangkan menggulingkan pemerintahan yaitu merusak atau mengganti atau mengubah dengan cara tidak sah terhadap susunan pemerintah yang sah, makar dalam KUHP diatur dalam pasal 104 – pasal 129 KUHP.
Materi pasal 106 KUHP tentang makar yaitu dengan maksud upaya memisahkan seluruh atau sebagian dari Wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia, dari materi tersebut biasanya diawali dengan perencanaan dalam rangka melakukan dilengkapi dengan pernyataan-pernyataan yang diwujudkan dalam bentuk tulisan atau pun gambar guna di ketahui oleh orang lain atau kelompok lain.
4.Penutup
Demikian penulisan makalah ini di buat sebagai gambaran tentang Makar dan kewenangan POLRI serta proses penegak hukum atas dugaan delik makar, atas partisipasi saudara mengundang kami dalam Acara Seminar Sehari diucapkan terima kasih.
Jayapura, 27 Februari 2010
BAB II
MAKAR DALAM PANDANGAN
DEPARTEMEN HUKUM DAN HAM
(Oleh: Bindu Tagor Naibaho3)
Bagian I. HUKUM
Apakah hukum itu?
Kebiasaan?
Adat?
Moral?
Etika?
Aturan?
Perjanjian?
HUKUM adalah suatu ketentuan yang mengatur kehidupan manusia, yang apabila dilangggar akan memperoleh sanksi.
Barang siapa melakukan perbuatan yang melanggar hukum, dapat dipidana dan atau didenda. Misalnya, jika ada warga negera Indonesia yang diduga melakukan tindakan “makar”, maka tentu akan diproses melalui hukum yang berlaku di Indonesia.
Hukum dibagi kedalam dua kategori, yakni hukum tertulis dan hukum tidak tertulis.
a.Hukum Tidak Tertulis
Hukum tidak tertulis adalah hukum yang berlaku dimasyarakat; terjadi karena Kebiasaan dan dipatuhi secara turun temurun. Sanksi tidak nyata tapi berupa sanksi moral;
b.Hukum Tertulis
Hukum tertulis adalah hukum yang berlaku dimasyarakat. Hukum ini dibuat oleh Pemerintah dan DPR. Hukum ini dapat berubah apabila diperlukan. Sanksinya nyata berupa pidana maupun denda pembayaran uang.
Bagian II. HAK ASASI MANUSIA
Hak Asasi Manusia adalah hak yang melekat pada keberadaan manusia sebagai mahluk Tuhan Yang Maha Esa dan merupakan anugrah-Nya yang wajib dihormati, dijunjung tinggi & dilindungi oleh Negara, Hukum, Pemerintah, dan setiap orang demi kehormatan serta perlindungan harkat dan martabat manusia.
A.PELANGGARAN HAK ASASI MANUSIA
Setiap perbuatan seseorang, atau oleh kelompok orang, atau oleh aparatur Negara, entah sengaja atau pun tidak sengaja (kelalaian) melawan hukum; mengurangi; menghalangi; membatasi; mencabut HAM seseorang/kelompok orang yang dijamin UU ini.
Setiap pelanggaran HAM diproses sesuai hukum yang berlaku. Jika tidak memperoleh penyelesaian hukum yang adil dan benar, berdasarkan mekanisme hukum yang berlaku; maka dapat ditempuh jalur hukum lain.
B.10 KELOMPOK HAK DASAR HAM UU 39/1999
Dalam Undang-Undang No. 39 Thn 1999 mengetengahkan sepuluh Hak Dasar Hak Asasi Manusia yakni: 1). Hak untuk hidup; 2) Hak berkeluarga & melanjutkan keturunan; 3) Hak mengembangkan diri; 4) Hak memperoleh keadilan; 5) Hak atas kebebasan pribadi; 6) Hak atas rasa aman; 7) Hak atas kesejahteraan; 8) Hak turut serta dalam pemerintahan; 9) Hak wanita; 10) Hak anak.
1. Hak Untuk Hidup
Setiap Warga Negara Indonesia berhak untuk hidup, mempertahankan, meningkatkan taraf kehidupannya, hidup tenteram, aman, damai, bahagia, sejahtera lahir dan batin serta memperoleh lingkungan yang baik dan sehat.
2. Hak Berkeluarga dan Melanjutkan Keturunan.
Setiap Warga Negara Indonesia berhak untuk membentuk keluarga dan melanjutkan keturunan melalui perkawinan yang sah atas kehendak yang bebas;
3. Hak Mengembangkan Diri
Setiap Warga Negara Indonesia berhak untuk memperjuangkan hak pengembangan dirinya, baik secara pribadi maupun kolektif, untuk membangun masyarakat, bangsa dan Negara.
4. Hak Memperoleh Keadilan
Setiap Warga Negara Indonesia tanpa diskriminasi, berhak untuk memproleh keadilan dengan mengajukan permohonan, pengaduan, dan gugatan, baik dalam perkara pidana, perdata, maupun administrasi serta diadili melalui proses peradilan yang bebas dan tidak memihak, sesuai dengan hukum acara yang menjamin pemeriksaan secara objektif oleh hakim yang jujur dan adil untuk memperoleh putusan adil dan benar.
5. Hak Atas Kebebasan Pribadi
Setiap Warga Negara Indonesia bebas untuk memilih dan mempunyai keyakinan politik, mengeluarkan pendapat di muka umum, memeluk agama masing-masing, tidak boleh diperbudak, memilih kewenangan tanpa diskriminasi, bebas bergerak, berpindah dan bertempat tinggal di wilayah Republik Indonesia.
6. Hak Atas Rasa Aman
Setiap Warga Negara Indonesia berhak atas perlindungan diri pribadi, keluarga, kehormatan, martabat, hak milik, rasa aman dan tenteram serta perlindungan terhadap ancaman ketakutan untuk berbuat atau tidak berbuat sesuatu;
7. Hak Atas Kesejahteraan
Setiap Warga Negara Indonesia berhak mempunyai milik, baik sendiri maupun bersama-sama dengan orang lain demi pengembangan dirinya, bangsa dan masyarakat dengan cara tidak melanggar hukum serta mendapat jaminan sosial yang dibutuhkan, berhak atas pekerjaan, bertempat tinggal serta berkehidupan yang layak dan berhak mendirikan serikat pekerja demi melindungi dan memperjuangkan kehidupannya.
8. Hak Turut Serta Dalam Pemerintahan
Setiap Warga Negara Indonesia berhak turut serta dalam pemerintahan dengan langsung, atau perantara wakil yang dipilih secara bebas dan dapat diangkat dalam setiap jabatan pemerintahan.
9. Hak Wanita
Setiap Warga Negara Indonesia berhak untuk memilih, dipilih, diangkat dalam jabatan, profesi dan pendidikan sesuai dengan persyaratan dan peraturan perundang-undangan; disamping itu berhak mendapatkan perlindungan khusus dalam pelaksanaan pekerjaan atau profesinya terhadap hal-hal yang dapat mengancam keselamatan atau kesehatan.
10. Hak Anak
Setiap Anak Warga Negara Indonesia berhak atas perlindungan oleh orang tua, keluarga, masyarakat dan negara serta memperoleh pendidikan, pengajaran dalam rangka pengembangan diri dan tidak dirampas kebebasannya secara melawan hukum.
***
BAB III
MAKAR DALAM PANDANGAN AKADEMISI
TINDAK PIDANA SUBVERSI4
DAN KEDAULATAN NEGARA
(Oleh : M. Ferry Kareth)
Pengertian Tindak Pidana atau Perbuatan Pidana (Straafbaarfeit) itu adalah tindakan atau perbuatan melawan hukum atau perbuatan yang melanggar kepentingan Negara sehingga pelakunya dapat dijatuhi sanksi pidana.
Arti kata Subversi adalah gerakan atau usaha atau rencana menjatuhkan kekuasaan yang sah dengan menggunakan cara di luar Undang-undang.
Makar adalah perbuatan atau usaha menjatuhkan pemerintah yang sah.
Mengapa Negara menjatuhkan pidana kepada pelaku tindak pidana yang terbutkti melakukan perbuatan atau tindakan subversi atau makar terhadap kekuasaan yang sah atau pemerintah yang sah ?
Karena Negaralah yang berhak membuat dan menetapkan hukum atau undang-undang yang berlaku dalam suatu Negara.
Pertanyaan lebih lanjut adalah mengapa Negara yang berhak membuat hukum atau undang-undang?
Karena Negara merupakan organisasi kekuasaan sosial yang hidup dan bergerak, sehingga Negara memiliki kemauan (The will of state), namun kemauan itu masih bersifat abstrak.
Dengan demikian maka Hukum atau Undang-undang adalah merupakan Kemauan Negara dalam bentuk yang konkrit atau nyata.
Ketika seseorang terbukti melakukan tindak pidana termasuk subversi atau makar, itu berarti kepentingan Negara itu dilanggar, sehingga negaralah yang berhak menjatuhkan sanksi pidana melalui aparat Negara kepada pelaku.
Prinsip Negara dalam mempertahankan kedaulatan dan keutuhan wilayah Negara :
Negara tidak boleh terpecah-pecah / terpecah belah.
Negara Republik Indonesia (NKRI) harga mati.
Silahkan meminta apa saja akan diberikan, asal saja jangan minta “Merdeka” atau keluar dari NKRI.
Sejengkal tanahpun dari wilayah NKRI tidak akan terlepas.
Barangsiapa yang mencoba mengganggu keutuhan wilayah NKRI, maka taruhannya adalah “Nyawa”.
Undang-undang Subversi sangat membahayakan bila dipelajari dan diamati dalam penerapannya, maka Undang-undang subversi rumusan dan unsur-unsurnya sangat membahayakan terhadap warga negara yang oleh Negara dituduh melakukan tindak pidana subversi atau kejahatan terhadap Negara.
Undang-undang Subversi diibaratkan seperti :
Jalan raya yang berlubang besar, sehingga setiap saat dapat membahayakan
pengguna jalan sehingga ia atau mereka akan terperosok ke dalamnya, atau
Macan yang mengaum dan sewaktu-waktu dapat menerkam siapa saja yang
kurang hati-hati dan ditemuinya.
UNDANG-UNDANG No. 11/Pnps/1963
KEGIATAN SUBVERSI
Pasal 1 (1) Dipersalahkan melakukan tindak pidana Subversi :
1.Barangsiapa melakukan suatu perbuatan dengan maksud atau nyata-nyata dengan
maksud atau yang diketahuinya atau patut diketahuinya dapat :
a.memutar balikkan, merongrong atau menyelewengkan ideologi Negara
Pancasila atau haluan Negara, atau
b.menggulingkan, merusak atau merongrong kekuasaan Negara atau
kewibawaan Pemerintah yang sah atau Apartur Negara, atau
c.menyebarkan rasa permusuhan atau menimbulkan permusuhan, perpecahan, pertentangan, kekacauan, kegoncangan atau kegelisahan diantara kalangan penduduk atau masyarakat yang bersifat luas atau diantara NKRI dengan suatu Negara sahabat, atau
d.mengganggu, menghambat atau mengacaukan bagi industri, produksi, distribusi, perdagangan, koperasi atau pengangkutan yang diselenggarakan oleh Pemerintah, atau yang mempunyai pengaruh luas terhadap hajat hidup rakyat.
2.Barangsiapa melakukan sesuatu perbuatan atau kegiatan yang menyatakan simpati bagi musuh NKRI atau Negara yang sedang tidak bersahabat dengan NKRI.
3.Barangsiapa melakukan pengrusakkan atau penghancuran bangunan yang mempunyai fungsi untuk kepentingan umum atau milik perseorangan atau badan yang dilakukan secara luas.
4.Barangsiapa melakukan kegiatan mata-mata.
5.Barangsiapa melakukan sabotase, dst …......
Pasal 13 Ancaman Pidana
Ayat (1) Barangsiapa melakukan tindak pidana subversi yang dimaksudkan dalam
pasal 1 (1), angka 1, 2, 3, 4, dan ayat (2) di pidana dengan :
1.Pidana Mati;
2.Pidana Penjara Seumur Hidup;
3.Pidana Penjara Selama-lamanya 20 tahun.
Ayat (2) Barangsiapa melakukan tindak pidana subversi yang dimaksudkan dalam
pasal 1 (1), angka 5 di pidana dengan :
1.Pidana Mati;
2.Pidana Seumur hidup, dan
3.Pidana Penjara Selama-lamanya 20 tahun.
KETENTUAN-KETENTUAN MENGENAI HAK-HAK ASASI MANUSIA (HAM)
SEPERTI DITETAPKAN DALAM DEKLARASI UNIVERSAL HAM PBB,
10 DESEMBER 1948 DAN INSTRUMEN TERKAIT
Bab 1. Martabat Manusia.
2. Larangan Diskriminasi.
3. Hak atas Penghidupan, Kemerdekaan dan Keselamatan :
3.1. Hak atas Penghidupan;
3.2. Larangan Pemusnahan Suatu Golongan Bangsa dengan Sengaja (Genocide)
4. Larangan Perbudakkan.
5. Larangan Penganiayaan.
6. Hak atas Pengakuan sebagai Manusia Pribadi di Muka Hukum.
7. Persamaan di Muka Hukum.
8. Hak atas Ganti Rugi (Remedy) yang Efektif karena Pelanggaran HAM.
9. Hak atas Kemerdekaan Seseorang.
10. Hak atas Pemeriksaan Pengadilan yang Tidak Memihak dalam Penentuan
Hak-hak dan Kewajiban-kewajiban Sipil dan Tuntutan Pidana.
11. Hak atas Dianggap Tak Bersalah dan Larangan Undang - undang Pidana
Retroaktif :
11.1 Hak untuk Dianggap Tak Bersalah;
11.2 Larangan Undang-undang Pidana Retroaktif.
12. Hak atas Kebebasan Pribadi.
13. Hak atas Kebebasan Bergerak dan Berdiam.
14. Hak untuk Mencari Suaka.
15. Hak atas Kewarganegaraan.
16. Hak untuk Kawin dan Membentuk Keluarga.
17. Hak atas Harta Milik Sendiri.
18. Hak atas Kebebasan Pikiran, Hati Nurani dan Agama.
19. Hak atas Kebebasan Mengeluarkan Pendapat.
20. Hak untuk Berkumpul dan Berapat.
S A R A N
1.Bahwa perlu diadakan peninjauan dan pengaturan kembali terhadap Undang-undang Subversi atau Makar sejalan dengan bergulirnya Reformasi.
2.Bahwa perlu diadakan pendidikan, pelatihan dan sosialisasi tentang pentingnya HAM dan berbagai macam ketentuan Nasional dan Internasional tentang HAM kepada Aparat Penegak Hukum secara rutin dan teratur.
3.Bahwa Negara dalam menangani kasuss Subversi harus mengedepankan dan tetap menghormati asas praduga tak bersalah serta menghormati dan menjunjung tinggi harkat dan martabat manusia sebagai Ciptaan Tuhan.
4.Bahwa Negara membuka diri dan menyediakan kesempatan untuk mengadakan DIALOG dan bersedia mendengar berbagai pendapat atau aspirasi dari komponen masyarakat.
BAB IV
MAKAR DALAM PANDANGAN
TAPOL NAPOL
(Oleh: Yance Mote, SE)
A.PENDAHULUAN
Pertama-tama atas nama Tuhan yang telah menciptakan Negeri Papua dengan segala isinya dan menempatkan bangsa Papua yang berdomisili dan mendiami pulau New Guinea bagian Barat; atas nama Tanah Papua Barat; atas nama Rakyat semesta bangsa Papua Barat, dengan rendah hati Kami Aktifis Ham Independent Papua menyerahkan perkara ini kepada Tuhan segala sumber Pengetahuan dan memohon hikmat dan bimbingan dalam menyelesaikan perkara ini agar terlaksana sesuai tujuan hukum dengan seadil-adilnya.
Saya mengajak semua peserta seminar untuk merefleksikan Firman Tuhan yang terdapat dalam kitab IMAMAT pasal 19 ayat 15 yang berbunyi "Janganlah kamu berbuat curang dalam peradilan, janganlah engkau membela orang kecil dengan tidak sewajarnya dan janganlah engkau terpengaruh oleh orang-orang besar, tetapi engkau harus mengadili orang sesamamu dengan kebenaran". Nats firman ini mengingatkan Kepada penegak hukum agar tidak berbuat curang dalam penegakkan supermasi hukum oleh atasannya dan juga jangan terpengaruh oleh intervensi-intervensi dari oknum-oknum pelanggar Hak-Hak Asasi Manusia.
Adalah tidak dibenarkan jika pasal Makar di atas tanah Papua ini terus menerus membelenggu nurani umat manusia, bahkan menelan korban jutaan jiwa umat manusia yang tidak berdosa. Penderitaan kebanyakan umat manusia yang diakibatkan oleh “MAKAR” itu ironisnya dapat terjadi juga setelah Amandemen pertama, kedua, ketiga dan keempat, Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
Perubahan pertama disahkan 19 Oktober 1999
Perubahan kedua disahkan 18 Agustus 2000
Perubahan ketiga disahkan 10 November 2001
Perubahan keempat disahkan 10 Agustus 2002
Guna menghargai dan menjujung tinggi nilai-nilai kemanusiaan, maka Indonesia juga telah meradifikasi deklarasi PBB tentang Hak Asasi Manusia kedalam undang-undang No 39/1999. Pasal 4 dalam undang-undang No 39 /1999 memberikan gambaran, untuk memberikan jaminan atas Hak setiap orang yang bebas dari segala bentuk pemukulan dan penyiksaan .
Kami Aktivis Ham Independent mengkaji secara kritis dan mendalam sesuai perkembangan zaman. Undang –undang dasar 1945 alinea pertama dan BAB X tentang warga Negara dan penduduk yang dijelaskan pada pasal 28, memberikan jaminan penuh kepada setiap warga Negara untuk dihargai dan dihormati atas hak kebebasannya dalam segala hal.
Namun undang –undang tertinggi Negara Kesatuan Republik Indonesia yang sangat luar biasa yang mana menempatkan penghargaan derajat kemanusiaan dan Hak-hak Asasi Manusia, tetapi semuanya telah dihina oleh undang-undang No. 8 Tahun 1981 (HUHAP) Primer pasal 106 jo pasal 110 sub, pasal 160 KUHAP dan atau pasal 212 dan atau pasal 216 KUHP yang biasanya didakwakan. Dengan demikian maka kami aktivis Ham Independent Papua dengan rendah hati menolak pasal-pasal yang telah didakwakan oleh pihak kepolisian Negara Republik Indonesia, misalanya penangkapan sewenang-wenang yang dilakukan POLDA Papua dan diproses menjadi tersangka kasus makar dan tanpa perikemanusiaan menjadikan putusan terhadap para pejuang HAM, Keadilan, Domokrasi dan Kebenaran. Dakwaan pasal–pasal ini tidak sesuai dengan prinsip dasar hukum Hak-hak Asasi Manusia Internasional, dan juga tidak sesuai dengan perbuatan di lapangan.
B. DASAR EXPRESSI ACTIVIST HAM INDEPENDEN (PAPUA PRO DEMOKRASI tentang “ MAKAR”)
Dasar Expresi Activist HAM Papua Independen pro Demokrasi tentang “MAKAR”:
1. Kovenan Internasional
Yang lengkapnya sebagai berikut:
INTERNATIONAL COVENANT ON CIVIL AND POLITICAL RIGHTS
The States Parties to the Present Covenant, considering that, in accondance with the prinsiple proclaimed in the charter of the United Nations, recognition of the interen dignity and of the equal and inalienable rights of all members of the human family is the foundation of the human person.
Part I
Article 1
1. All people have the rights of Self-Determination. By virtue of that right they freely determine their political status and freely pursue their economic, social and cultural development.
2. All people may, their own ends, freely dispose of their natural wealht and resourses without prejudice to any obiligation arising out of International economic co-coperation, based upon the prinsiple of mutual benefit, and International law.
3. The States parties to the present covenant, including those having responsibility for the administration of Non-Self-Determination Trust Territories, shall promote the realization of the right of Self-Determination, and shall respect that right, in conformity with provission of the charter of the United Nations.
KOVENAN INTERNASIONAL HAK-HAK SIPIL DAN POLITIK
Ditetapkan oleh Resolusi Majelis Umum PBB Nomor: 2200 A (XXII) Tertanggal 16 Desember 1966, Terbuka untuk Penandatangan, Ratifikasi dan Aksesi
MUKADIMAH
Negara-Negara Pihak pada kovenan ini,
Menimbang, bahwa sesuai dengan prinsip-prinsip yang diproklamirkan dalam Piagam Perserikatan Bangsa-Bangsa, pengakuan atas harkat dan martabat serta hak-hak yang sama dan tak terpisahkan dari seluruh anggota umat manusia merupakan landasan dari kebebasan, keadilan dan perdamaian dunia.
Mengakui, bahwa hak-hak ini berasal dari harkat dan martabat yang melekat pada setiap manusia.
Mengakui, bahwa sesuai dengan Deklarasi Universal Hak-Hak Asasi Manusia, cita-cita manusia yang bebas untuk menikmati kebebasan sipil dan politik dan kebebasan dari ketakutan dan kemiskinan, hanya dapat dicapai apabila diciptakan kondisi dimana setiap orang dapat menikmati hak-hak sipil dan politik dan juga hak-hak ekonomi, sosial dan budaya.
Menimbang, bahwa berdasarkan Piagama Perserikatan Bangsa-Bangsa, negara-negara wajib memajukan penghormatan universal dan pentaatan atas hak asasi dan kebebasan manusia.
Menyadari, bahwa setiap manusia yang mempunyai kewajiban pada manusia lainnya dan terhadap masyarakat dimana dia menjadi bagian, bertanggungjawab untuk memajukan dan mematuhi hak-hak yang diakui dalam kovenan ini.
Menyepakati pasal-pasal berikut ini:
BAGIAN I
Pasal 1
(1). Semua bangsa berhak untuk menentukan nasib sendiri. Berdasarkan hak tersebut mereka bebas untuk menentukan status politik mereka dan bebas untuk mengejar kemajuan ekonomi, sosial dan budaya mereka.
(2). Semua bangsa, untuk tujuan-tujuan mereka sendiri dapat mengelola kekayaan dan sumber daya alam mereka tanpa mengurangi kewajiban-kewajiban yang timbul dari kerja sama ekonomi Internasional, berdasarkan prinsip saling menguntungkan dan hukum international. Dalam hal apapunn tidak dibenarkan untuk merampas hak-hak suatu bangsa atas sumber-sumber kehidupannya sendiri.
(3). Negara pihak pada Kovenan ini, termasuk mereka yang bertanggungjawab atas penyelenggaraan wilayah tanpa Pemerintahan Sendiri dan wilayah Perwalian, harus memajukan Perwujudan Hak Untuk Menentukan Nasib Sendiri, dan harus menghormati hak tersebut sesuai dengan ketentuan dalam Piagam Perserikatan Bangsa-Bangsa".
BAGIAN II
Pasal 5
(1). Tidak satupun dalam kovenan ini yang dapat ditafsirkan sebagai memberi hak pada suatu Negara, kelompok perorangan untuk melakukan kegiatan yang ditujukan untuk menghancurkan hak-hak dan kebebasan-kebebasan yang diakui dalam kovenan ini, atau untuk membatasinya lebih daripada yang telah ditetapkan dalam kovenan ini.
(2) Tidak diperkenankan adanya suatu pembatasan atau pengurangan hak-hak asasi manusia yang mendasar diakui atau yang ada di suatu Negara yang menjadi pihak dalam kovenan ini menurut hukum, konvensi, peraturan atau kebiasaan, dengan alasan bahwa kovenan ini tidak mengakui hak-hak tersebut, atau mengakuinya sebagai hak yang lebih rendah sifatnya.
Bahasa yang sederhana adalah jangan membatasi atau mengurangi Hak-Hak Asasi Manusia ini dengan alasan apapun, dengan hukum yang dibuat-buat tanpa memperhitungkan hak-hak asasi manusia yang telah ditetapkan pada Kovenan Internasional yang telah disahkan oleh Majelis Umum PBB pada tanggaal 16 Desember 1966.
Berdasarkan Perjanjian Tentang Hak Civil dan Politik diatas , maka bangsa Belanda telah merancang dan mempersiapkan Negara "West New Guinea Nederland". Berikut Sejarah deklarasi pembentukan Negara Bangsa Papua Barat (West New Guinea Netherland) pada 1 Desember 1961, lengkap dengan atribut negara serta susunan Kabinet Pemerintahan yang sesuai prosedur dan standar Internasional (Parliament of New Guinea Raad-1962).
Atas Permintaan Internasional, maka Indonesia telah Meratifikasi perjanjian ini kedalam Undang-Undang No. 9 Tahun 1998 Tentang Kebebasan menyampaikan Pendapat yang sesuai dengan article 19.2 dan Undang-Undang No.33 Tahun 1999 Tentang Hak-Hak Asasi Manusia.
Dalam bahasa Aslinya: "the International Covenant on Civil and Political Rights dan option protocolnya" telah diterima dan disahkan dalam sidang Majelis Umum PBB pada tanggal 16 Desember 1966 serta "the Universal Declaration of Human Rights" yang telah diterima dan disahkan dalam Sidang Majelis Umum PBB pada tanggal 10 Desember 1948 Dan juga Undang-Undang No.12 Tahun 2005 Tentang Pengesahan Kovenan Internasional Pada tanggal 28 Oktober 2005.
BAGIAN III
Pasal 6
(1). Setiap manusia berhak atas hak untuk hidup yang melekat pada dirinya. Hak ini wajib dilindungi oleh hukum, tidak seorangpun dapat merampas hak hidupnya secara sewenang-wenang.
(3). Apabila suatu perampasan kehidupan merupakan kejahatan GENOCIDE, harus dipahami, bahwa tidak satupun dalam pasal ini yang memberikan kewenangan pada Negara yang menjadi pihak pada Kovenan ini, untuk mengurangi kewajiban apapun yang telah dibebankan oleh ketentuan dalam Kovenan tentang pencegahan dan hukuman bagi kejahatan Genocide.
Bahasa yang sederhana adalah:
Dilarang melakukan Genocide terhadap suatu bangsa Minioritas dalam Negara, dimana hak bangsa Minioritas harus dilindungi. Jika suatu Negara melakukan praktek-praktek Genocide, maka Negara bersangkutan harus dihukum atau diadili di Mahkamah Internasional. Karena Negara bersangkutan melakukan Genocide yang melanggar Perjanjian/Kovenan Internasional yang dimaksud.
Pasal 7
Tak seorangpun dapat dikenakan penyiksaan atau perlakuan dan atau hukuman lain yang geji, tidak manusiawi atau merendahkan martabat pada khusunya, tidak seorangpun dapat dijadikan obyek eksperimen medis atau ilmiah tanpa persetujuan yang diberikan secara bebas.
Pasal 9
(1). Setiap orang berhak atas kebebasan dan keamanan pribadi. Tidak seorangpun dapat ditangkap atau ditahan secara sewenang-wenang. Tidak seorangpun dapat dirampas kebebasannya, kecuali berdasarkan alasan-alasan yang sah sesuai dengan prosedur yang ditetapkan oleh hukum.
(3). Setiap orang yang ditahan atau ditahan berdasarkan tuduhan pidana, wajib segera dihadapkan ke pengadilan atau pejabat lain yang diberikan kewenangan oleh hukum untuk menjalankan kekuasaan peradilan, dan berhak untuk diadili dalam jangka waktu yang wajar, atau dibebaskan. Bukan merupakan suatu ketentuan umum, bahwa orang yang menunggu diadili harus ditahan, tetapi pembebasan dapat diberikan atas dasar jaminan untuk hadir pada waktu sidang, pada setiap pengadilan dan pada pelaksanaan putusan, apabila diputuskan demikian.
(4). Siapapun yang dirampas kebebasannya dengan cara penangkapan atau penahanan, berhak untuk disidangkan didepan pengadilan, yang bertujuan agar pengadilan tanpa menunda-nunda dapat menentukan keabsahan penangkapannya, dan memerintahkan pembebasannya apabila penahanan tidak sah secara hukum.
(5). Setiap orang yang telah menjadi korban penangkapan atau penahanan yang tidak sah, berhak untuk mendapat ganti kerugian yang harus dilaksanakan.
Pasal 10
(1). Setiap orang dirampas kebebasannya wajib diperlakukan secara manusiawi dan dengan menghormati martabat yang melekat pada diri manusia.
Pasal 19
(1). Setiap orang berhak untuk berpendapat tanpa campaur tangan. Hal ini termasuk intervensi Represif kekuasaan diktaktor, dari setiap negara anggota dalam kovenan ini.
(2). Setiap orang berhak atas kebebasan untuk menyampaikan pendapat, hak ini termasuk untuk mencari, menerima dan memberikan informasi dan pemikiran apapun, terlepas dari pembatasan secara lisan, tertulis atau dalam bentuk cetakan, dalam bentuk seni atau melalui media lain sesuai dengan pilihaannya.
Bahasa Aslinya: Article 19 of the International Covenant on Civil and Political Rights also state that:
(1). Everyone shall have the right to hold opinion without interference.
(2). Everyone shall have the right to freedom of expression; this right shall include freedom to seek, receive and impart information and ideas of all kinds, regardless of frontiers, eithher orally, in writing or in print, in the form of art, or through any other media of his choice.
Pasal 26
Semua orang berkedudukan sama dihadapan hukum dan berhak atas perlindungan hukum yang sama tanpa diskriminasi apapun. Dalam hal ini hukum harus melarang diskriminasi apapun, dan menjamin perlindungan yang sama dan efektif bagi semua orang terhadap diskriminasi atas dasar apapun seperti Ras, warna, jenis kelamin, bahasa, agama, politik atau pendapat lain, asal-usul kebangsaan atau sosial, kekayaan, kelahiran atau status lain.
Pasal 27
Di negara-negara yang memiliki kelopmpok minioritas berdasarkan suku bangsa, agama atau bahasa, orang-orang yang tergolong dalam kelompok minioritas tersebut tidak boleh diinkari haknya dalam masyarakat, bersama-sama anggota kelompoknya yang lain, untuk menikmati budaya mereka sendiri, untuk mennjalankan dan mengamankan agamanya sendiri, atau menggunakan bahasa mereka sendiri.
Berdasarkan Perjanjian Internasional diatas, maka Pemerintah Indonesia baru memasukan dan mengesahkan Perjanjian ini dalam Undang-Undang No. 12 Tahun 2005, yang mana telah disetujui dan disahkan dalam Sidang Paripurna DPR/MPR RI pada tanggal 28 Oktober 2005.
Pengesahan aslinya boleh mengikuti kutipan asli dalam scanan dibawah ini:
Sampul depan dan sampul belakang Pengesahan Covenant Internasional, kedalam Undang-Undang Pemerintah Republik Indonesia
Sejumlah alasan dasar pernyataan keberatan sebagai berikut:
Bahwa,
1). UUD 1945 dalam Pembukaan pada alinea pertama mengatakan “Bahwa sesungguhnya kemerdekaan itu ialah hak segala bangsa dan oleh sebab itu maka penjajahan di atas dunia harus dihapuskan, karena tidak sesuai dengan prikemanusiaan dan prikeadilan”.
2). UUD 1945 BAB X WARGA NEGARA DAN PENDUDUK
Pasal 28
Tentang Kemerdekaan Berserikat dan berkumpul, mengeluarkan pikiran dengan lisan dan tulisan dan sebagainya ditetapkan dengan undang-undang.
3). UU No. 9 Tahun 1998 “Tentang Kebebasan Menyampaikan Pendapat di Muka Umum”.
4). Pemerintah Republik Indonesia telah meratifikasi UU No.9 Tahun 1998 dari dan atas permintaan dunia Internasional sesuai Perjanjian internasional yaitu “The International Covenant on Civil and Political Rights” serta “ Option Protocolnya” yang diterima dan disahkan dalam Sidang Umum PBB pada tanggal 16 Desember 1966 yang dapat digunakan untuk mengukur nilai Hukum Acara Pidana Baru sebagaimana yang terdapat pada Article 19.2: “Everyone shall have the rights to freedom of expression; this rights shall include freedom to seek, receive and impart information and ideas of all kinds, regardless of frontiers, either orally, in writing or in print, in the form of art or through any other media of his/her choice. The application of article 106 and 160 represent a violation of these rights”.
5). UUD 1945 Bab X A HAK ASASI MANUSIA
Pasal 28 A
''Setiap orang berhak untuk hidup serta berhak mempertahankaan hidup dan kehidupan''.
Pasal 28 D
''Setiap orang berhak atas pengakuan , jaminan, perlindungan dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama dihadapan hukum''.
Pasal 28 E
''Setiap orang berhak atas kebebasan berserikat, berkumpul dan mengeluarkan pendapat''.
Pasal 28 F
''Setiap orang berhak untuk berkomunikasi dan memperoleh informasi untuk mengembangkan pribadi dan lingkungan sosialnya serta berhak untuk mencari, memperoleh, memiliki, menyimpan, mengolah dan menyampaikan informasi dengan menggunakan segala jenis saluran yang tersedia''.
Pasal 28 G
''Setiap orang berhak atas perlindungan diri pribadi, keluarga, kehormatan, martabat dan harta benda dibawah kekuasaannya serta berhak atas rasa aman dan perlindungan dari ancaman ketakutan untuk berbuat atau tidak berbuat sesuatu yang merupakan Hak Asasi''.
(1)''Setiap orang berhak mempunyai hak milik pribadi dan hak milik tersebut tidak boleh diambilalih secara sewenang - wenang oleh siapapun''.
Pasal 28 I
(1)''Hak untuk hidup, hak untuk tidak disiksa, hak kemerdekaan pikiran dan hati nurani, hak beragama, hak untuk tidak diperbudak, hak untuk diakui sebagai pribadi di hadapan hukum dan hak untuk tidak dituntut atas dasr hukum yang berlaku surat adalah hak asasi manusia yang tidak dapat dikurangi dalam keadaan apapun''.
(4) ''Perlindungan, pemajuan dan penegakan Hak Asasi manusia adalah tanggungjawab Negara terutama Pemerintah''.
(5) ''Untuk menegakan dan melindungi Hak Asasi sesuai dengan prinsip Negara Hukum yang Demokratis, maka pelaaksanaan Hak Asasi manusia dijamin, diatur, dan dituangkan dalam peraturan perundang - undangan. Menyangkut ayat 5 ini dapat diperjelas dalam undang - undang No. 39 Tahun 1999 Tentang HAM dan UU No. 26 Tahun 2000 '' tentang PENGADILAN HAM''.
6. THE UNIVERSAL DECLARATION OF HUMAN RIGHTS yang diterima dan disahkan dalam Sidang Umum PBB pada tanggal 10 Desember 1948; khususnya pada Pasal 28 j UUD 1945s: “Setiap orang wajib menghormati hak asasi manusia orang lain dalam tertib kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara”.
C.DASAR HUKUM
Udang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945
Pembukaan (preambule)- Alinea Pertama
Bahwa sesungguhnya kemerdekaan itu ialah hak segala bangsa dan oleh sebab itu, maka penjajahan di atas dunia harus dihapuskan, karena tidak sesuai dengan prikemanusiaan dan prikeadilan .
BAB X Warga Negara dan Penduduk
Pasal 28 Kemerdekaan berserikat dan berkumpul, mengeluarkan pikiran dengan lisan tulisan dan sebagainya di tetapkan dengan undang-undang. Menyambung dengan pasal ini, maka penjabaranya telah di muat dalam undang -undang No. 9 Tahun 1998 Tentang menyampaikan pendapat di muka umum-(freedom expression in public ).
BAB X A Hak Asasi Manusia
Pasal 28 A Setiap orang berhak untuk hidup serta berhak mempertahankan hidup dan kehidupanya.
Pasal 28 E (3) Setiap orang berhak atas kebebasan perserikat, berkumpul, dan mengeluarkan pendapat.
Pasal 28 F Setiap orang berhak untuk berkomunikasi dan memperoleh informasi untuk mengembangkan pribadi dan lingkungan sosialnya, serta berhak untuk mencari, memperoleh, memiliki, menjimpan, mengolah, dan menyampaikan informasi dengan mengunakan segala jenis saluran yang tersedia.
Pasal 28 G (1) Setiap orang berhak atas perlindungan diri pribadi, keluarga, kehormatan, martabat, dan harta benda yang dibawah kekuasaannya, serta berhak berbuat atau tidak berbuat sesuatu yang merupakan Hak Asasi .
(2) Setiap orang berhak untuk bebas dari penyiksaan atau perlakuan yang merendahkan derajat martabat manusia dan berhak memperoleh suaka politik dari Negara lain.
Pasal 28 H
(1) Setiap orang berhak untuk hidup sejahtera lahir dan batin, bertempat tinggal dan mendapatkan lingkungan hidup yang baik dan sehat serta berhak memperoleh pelayanan kesehatan .
(2) Setiap orang berhak mendapat kemudahan dan perlakuan khusus untuk memperoleh kesempatan dan manfaat yang sama guna mencapai persamaan dan keadilan.
(3) Setiap orang berhak atas jaminan sosial yang memungkinkan perkembangan dirinya secera utuh sebagai manusia yang bermartabat.
(4) Setiap orang berhak mempunyai hak milik pribadi dan hak milik tersebut tidak boleh di ambil alih secara sewenang- wenang oleh siapapun.
Pasal 28 I (1) Hak untuk hidup, hak untuk tidak di siksa, hak kemerdekaan pikiran dan hati nurani, hak beragama, hak untuk tidak di perbudak, hak untuk di akui sebagai pribadi di hadapan hukum, dan hak untuk tidak di tuntut atas dasar hukum yang berlaku surut adalah hak asasi manusia yang tidak dapat di kurangi dalam keadaan apapun.
(2) Setiap orang berhak bebas atas perlakuan yang bersifat diskriminatif atas dasar apapun dan berhak mendapatkan perlindungan terhadap perlakuan bersifat diskriminatif itu.
(3) Indentitas budaya dan hak masyarakat tradisional di hormati selaras dengan perkembangan zaman dan peradaban.
(4) Perlindungan, pemajuan, penekanan dan pemenuhan Hak Asasi Manusia adalah tanggun jawab Negara, terutama pemerintah.
(5) Untuk menegakan dan melindungi hak asasi manusia sesuai prinsip Negara hukum yang demokratis , maka pelaksaan Hak Asasi Manusia di jamin, diatur dan dituangkan dalam peraturan perudang-undangan.
Dapat diperjelas dalam undang-undang No. 39 /1999 on Human Rights and laws No . 26 of 2000
on Human Rights courts.
Pasal 28 J
(1) Setiap orang wajib menghormati Hak Asasi Manusia orang lain dalam tertib kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara.
(2) Dalam menjalankan Hak dan kebebasanya, setiap orang wajib tunduk kepada pembatasan yang ditetapkan dengan undang-undang. Dengan maksud semata-mata untuk menjamin pengakuan serta penghormatan atas Hak kebebasan orang lain dan untuk memenuhi tuntutan yang adil dan sesuai dengan pertimbangan moral, nilai-nilai agama, keamanan dan ketertiban umum dalam suatu masyarakat demokratis.
Pasal 28 J ayat (1) , ayat (2), untuk memperjelas
Setelah Amandemen pertama, kedua, ketiga dan keempat, Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
Perubahan pertama disahkan 19 Oktober 1999
Perubahan kedua disahkan 18 Agustus 2000
Perubahan ketiga disahkan 10 November 2001
Perubahan keempat disahkan 10 Agustus 2002
Guna menghargai dan menjujung tinggi nilai-nilai kemanusiaan, maka Indonesia juga telah meratifikasi deklarasi PBB tentang Hak Asasi Manusia kedalam undang-undang No 39/1999. Pasal 4 dalam undang-undang No 39 /1999 memberikan gambaran, untuk memberikan jaminan atas Hak setiap orang yang bebas dari segala bentuk pemukulan dan penyiksaan .
(29) freedom from any forms of torture is one of Human Rights, which cannot be reduced or revoked under any circumstance or by anyone (non-derogable ringts), as stipulated in article 40 of law No .39/1999 on Human Rights.
KONTROVERSI :
Undang –undang dasar 1945 alinea pertama dan BAB X tentang warga Negara dan penduduk yang di jelaskan pada pasal 28, memberikan jaminan penuh kepada setiap warga Negara dalam hak-hak bebas dan hak penghargaan martabat manusia untuk di hargai dan di hormati atas hak kebebasan, dalam segala hal.
Namun undang –undang tertinggi Negara Kesatuan Republik Indonesia, yang sangat luar biasanya memberikan derajat kemanusiaan dan Hak-hak Asasi Manusia lebih di hargai tetapi semuanya telah dihina oleh undang-undang No. 8 Tahun 1981 (HUHAP) Primer pasal 106 jo pasal 110 sub, pasal 160 KUHAP dan atau pasal 212 dan atau pasal 216 KUHPs yang didakwakan.
Dengan demikian maka kami aktivis Ham Independent Papua dengan rendah hati menolak pasal-pasal yang telah didakwakan oleh pihak kepolisian Negara Republik Indonesia (Polda Papua) sebagai tersangka kasus makar. Sebab dakwaan pasal – pasal ini tidak sesuai dengan prinsip dasar hukum Hak-hak Asasi manusia Internasional, dan juga tidak sesuai dengan perbuatan di lapangan.
Berhubung rentetan kegiatan tidak ada unsur criminal , justru aparat yang memancing situasi telah menjadi tegang . Namun kami berusaha mengendalikan massa agar tidak terjadi conflik yang berujungnya ada anarkis dan kriminal.
Semestinya kita mensyukuri bersama–sama, karena situasi yang tegang tetapi kita semua bisa kendalikan sehingga aman .
Kami aktivis Ham Independent Papua menolak karena hukum nasional dan internasional menjamin hak-hak Warga Negara dan penduduk sesuai penjelasan terdahulu dalam penyampaian saya, berdasakan Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
Karena kata makar salah terjemahkan dalam praktek hukum Indonesia, berhubung dakwaan dengan kata makar terhadap warga Negara yang melakukan demo damai adalah tidak tepat.
Oleh karana itu Kami aktivis Ham Independent Papua perlu memberikan masukan kepada aparat penegak hukum, dalam terjemahan yang sesungguhnya dengan penjelasan sebagai berikut.
1 . Indonesia “ MAKAR” adalah tipu muslihat, akal busuk, perbuatan atau usaha untuk menjatukan pemerintahan yang sah. Arti yang telah di terjemakan ini tidak sesuai demgan arti bagian bawah dalam bahasa Inggris, yang tidak memasukan kata pemerintahan yang sah. Yang di maksud adalah dalam bahasa Internasional tidak terdapat pemerintahan yang sah. Namun dalam bahasa Indonesia ada penambahan kata pemerintahan yang sah, hal ini tidak menyambung dan membinggungkan.
2 . Internasional,
Trick = akal, muslihat, memperdayakan
Tactic = taktik, siasat
Attack = menyerang
Assaul = serbuan serangan
Sesuai dengan penjelasan tentang pasal Makar di atas, maka Kami aktivis Ham Independent Papua juga menunjukan contoh tanggapan komisi HAM PBB Asia yang telah di muat dalam bentuk release pada program ungen di bawah ini :
TANGGAPAN KOMISI HAM PBB ASIA
Urgent Appeal Programme Release for Buchtar and Sebby
Urgen Appeal, Case : AHRC-UAC-262 -2008
10 Desember 2008
..........................................................................................................................................
Indonesi : Human Rights Activist Buchtar Tabuni and Sebby Sambom Have to arrested after peaceful protests
Issues : Freedom of Expression, Illegal arrest, armed forces right to self-determination
..........................................................................................................................................
BACKGROUND INFORMATION
In the past, many human rights activists in Papua have been threatened, arrested, detained and even murdered by various sections of the Indonesian security forces. On October 17, 2008, the human rights activist Yosias Syet was found murdered in his home in the village of Waibron, Jayapura Regency, Papua. The perpetrators have yet to be identified in this case, but there are indicators suggesting that he was murdered for political reasons by Indonesian security forces. See AHRC-UAC-261-2008 for more information.
In many past cases of detention of human rights activists in Papua, torture has been the preferred modus operandi during interrogations and detention. There is reason to assume that Mr. Tabuni and Mr Sebby is suffering from the same treatment during his current detention.
Mr Tabuni and Mr Sebby is charged with the treason under several articles. The two most frequently used articles against human rights defenders in Papua include Art. 106 and Art. 160. These readas follows:
Art. 106: "The attempt to bring the territory of the state wholly or partially under foreign domination or to separate part thereof shall be punished by life imprisonment or a maximum imprisonment of twenty years."
Art. 160: "Any person who orally or in writing incites in public to commit a punishable act, a violent action against the public authority or any other disobedience, either to a statutory provision or to an official order issued under a statutory provision, shall be punished by a maximum imprisonment of six years."
SAMPLE LETTER:
In August 2008 eight members of the staff of the Aceh Legal Aid Institute were sentenced to imprisonment under charges of article 160 after having distributed pamphlets that explained government involvement in land expropriations. See AHRC-UAC-197-2008 for more information on the case.
Indonesia is state party to and thus bound by the International Covenant on Civil and Political Rights which requires in its article 19.2 that "everyone shall have the right to freedom of expression; this right shall include freedom to seek, receive and impart information and ideas of all kinds, regardless of frontiers, either orally, in writing or in print, in the form of art, or through any other media of his choice." The application of articles 106 and 160 represent a violation of these rights.
Article 106 is typically not applied with caution and prohibits through its content the full exercise of freedom of expression and related to this the inalienable right to self-determination. Article 160 is worded in vague language, which makes it susceptible to selective implementation. This is often the case in Papua, where these articles are frequently used against rights activists. This then blocks peace-building activities in the two Papuan provinces which remain under the strong grip of armed security forces.
Dalam hal ini tanggapan dari komisi HAM PBB di Asia, yang berkantor di Hongkong memberikan gambaran atau pandangan yang Sangat jelas, yang dimaksud adalah apa yang telah tulis official dari kantor “The Asian Human Rights Commission (AHRC), dalam laporan urgent appeals programme” pada alinea ke delapan paragraph 3.
Official kantor HAM PBB Asia menyatakan bahwa kata makar dalam article 160 adalah “kata yang tidak jelas Dalam bahasa.
Alasan penolakan aktivis Ham Independent Papua telah jelas bahwa yang bisa kena hukum makar adalah bagi mereka yang melakukan penyerangan atau penyerbuan, dengan peralatan perang.
Kami adalah Human Rights Defender, yang mana telah menyampaikan pendapat rakyat kepada Pemerintah secara demokratis, yang bertujuan agar perlu ada perhatian oleh Pemerintah. Lagi pula sikap kita telah jelas, bahwa perlu ada Dialog yang bermartabat dan demokratis .
Kami harap agar jangan membungkap saluran Demokrasi, di Papua dan di Indonesia pada umumnya, karena semua Negara di dunia yang paham demokrasi nya tinggi selalu menghargai nilai-nilai Demokrasi dan Hak-Hak Asasi Manusia. Dan juga masalah politik jangan bawa ke masalah hukum, karena hal-hal semacam inilah yang merugikan rakyat dan melanggar Hak-hak Asasi Manusia.
KESIMPULAN
Eksepsi aktivis Ham Independent Papua terhadap MAKAR menunjukan bahwa dakwaan telah kabur, dan justru bertentangan dengan peraturan perundang - undangan yang berlaku di Negara Republik Indonesia. Dakwaan juga melanggar perjanjian Internasional yang mana Indonesia pun ikut serta dalam penandatanganan dalam sidang umum Perserikatan Bangsa Bangsa. Dakwaan tidak cermat secara yuridis dan tidak akurat secara bukti dan fakta di lapangan Kepolisian ( Polda Papua ) dan jaksa penuntut umum. Kejaksaan Tinggi Papua telah dan sedang melanggar peraturan Hukum dan juga melanggar Hak - Hak Asasi Manusia orang asli Papua. Hal ini terbukti dari penangkapan, penahanan sampai proses sidang terhadap aktivis Ham Independent Papua dengan serta merta dan penuh rekayasa. Dakwaan terhadap aktifis Ham Papua adalah simbol pelanggaran ham dan konspirasi politik alla kolonial dan kapitalis kuno yang arogan dan diktator, yang haus darah rakyat dan hidup dengan ketegantungan darah rakyat yang tak berdosa.
Cara ini tidak akan menyelesaikan masalah status politik Papua Barat, karena rakyat Papua Barat juga masyarakat internasional telah dan sedang bertanya terus tentang keabsahan PEPERA Tahun 1969 di Tanah Papua Barat. Oleh karena itu, perlu ada dialog Internasional yang di mediasikan dari pihak ketiga yang netral.
Dialog dan perundingan adalah solusi penyelesaian status politik Papua Barat, yang akan membawa perdamaian Dunia dan Indonesia. Penangkapan, penahanan, persidangan dan pemenjarahan terhadap aktivis HAM Papua, tidak akan menyelesaikan masalah Papua tetapi justru menambah masalah dan memberi dendam yang sangat mendalam pada jiwa sanubari Rakyat Bangsa Papua. "PERLU DIALOG DAN PERUNDINGAN!"
Komentar Kakanwin Hukum dan HAM Provinsi Papua
pada tanggal 12 Juni 2009, pada media cetak lokal Pasific Post
(Headline News)
MOHON PERHATIAN
Activist Hak-Hak Asasi Manusia Papua mohon kepada Amnesty International, UN High Commission on Human Rights, International Human Rights Working Groups, International Advocacy Team, International Instituet and Advocacy for West Papua; IPWP, ILWP, agar menegaskan kepada Pemerintah Indonesia untuk melaksanakan Penegakan Hukum, HAM, dan Keadilan serta Demokrasi di Tanah Papua
Lampiran ini untuk menjadi bahan Perbandingan Komentar di Media Lokal
Dari Pdt.Sofian Yoman
BAB V
MAKAR DALAM PANDANGAN
AKTIFIS HAM DAN PRAKTISI
(Oleh: Harry Maturbongs, SH)
1. MAKAR
Dalam proses pendampingan kami sebagai Advokat, kasus Makar sering menjadi sebuah kasus yang menarik dilihat dan dikaji dari sisi hukum positif. Di dalam penjelasan KUHP tidak memberikan pengertian tentang MAKAR. Namun dalam kamus hukum karangan Yan Pramadya Puspa, pengertian MAKAR/ANSLAG adalah setiap perbuatan yang bersifat menyerang yang ditujukan kepada presiden atau wakilnya dengan maksud hendak merampas kemerdekaan atau menjadikan mereka tidak berdaya atau tidak cakap memerintah. Sehingga untuk memenuhi unsur ini harus ada tindakan fisik berupa serangan terhadap pemerintah yang berkuasa dalam mewujudkan unsur supaya wilayah negara seluruhnya atau sebagian jatuh ke tangan musuh atau dengan maksud untuk memisahkan sebagaian wilayah negara dari yang lain.
Pasal yang biasanya digunakan adalah Pasal 106, 107, 108, dan 110 KUHP. Pasal-pasal inilah yang pernah dipakai untuk menjerat Filep Karma, Yusak Pakage, Yance Hembring, dan kini giliran Buctar Tabuni Cs. Untuk melapisi pasal-pasal makar tersebut, penuntut umum biasanya menambah pasal 160, 169 KUHP yang mengarah pada perkumpulan yang bertujuan melakukan kejahatan dan pelanggaran serta Penghasutan. Tidak ketinggalan pasal deelneming (penyertaan dalam tindak pidana) di pasal 55 KUHP.
a. Bedah Pasal
Unsur-unsur yang terpenting dari isi pasal makar adalah sebagai berikut:
Unsur Barang Siapa adalah setiap orang sebagai subjek hukum yang dapat dipertanggung-jawabkan terhadap suatu delik. Oleh karena itu untuk mendapat suatu perbuatan dipertanggung-jawabkan, masih diperlukan dan tergantung pada pembuktian unsur-unsur lain dari pada pasal yang didakwakan.
Unsur mengadakan permufakatan untuk melakukan Makar adalah unsur yang lebih mengarah pada kegiatan-kegiatan mengorganisir kelompok, rapat-rapat dengan tujuan melakukan makar.
b. Bentuk Makar
Menurut R. Susilo, Makar diterjemahkan sebagai penyerangan, biasanya dilakukan dengan perbuatan kekerasan, dengan objeknya adalah kedaulatan negara atau daerah negara yang dapat dirusak dengan dua cara yakni:
(a) Menaklukan daerah seluruhnya/sebagian ke bawah pemerintah asing;
(b) Memisahkan sebagian dari daerah negara itu menjadi satu negara berdaulat sendiri.
“Dengan maksud supaya seluruh atau sebagian wilayah negara jatuh ke tangan musuh atau memisahkan sebagian dari wilayah negara” dapat dijelaskan sebagai berikut:
“Unsur dengan maksud” berarti bahwa yang dimaksudkan dengan unsur ini oleh Pembuat Undang-undang (dalam Memori Van Tolicting) adalah sebagai indikator apakah tindakan tersebut ada unsur kesengajaan (opset) atau tidak. Masih menurut Memori van Tolicting, unsur kesengajaan terbukti apabila perbuatan makar tersebut dikehendaki dan dimengerti akibatnya. Artinya suatu perbuatan dapat dikategorikan sebagai makar apabila perbuatan itu memenuhi unsur-unsur tentang makar.
“Supaya wilayah negara seluruhnya atau sebagian jatuh ke tanggan musuh atau dengan maksud memisahkan sebagian wilayah negara dari yang lain” mengandung arti adanya tindakan untuk memisahkan sebagian wilayah negara atau seluruhnya jatuh ke tangan musuh atau kekuasaan asing atau dengan maksud untuk memisahkan sebagian wilayah negara dari yang lain.
c. Kasus Makar di Papua (2008-2010)
No
Kasus dengan Tuduhan Makar
Proses
01
Jayapura
Buktar Tabuni
Mahkamah Agung
Sebby Sambom
Mahkamah Agung
Yance Mote Cs
Mahkamah Agung
Sem Yaru, Cs
Kepolisian
Viktor Yeimo
Kejaksaan
02
Nabire
Yohanes Agapa Cs (terdakwa berjumlah 15 org)
Pengadilan Negeri Nabire bebas
Jaksa Kasasi
03
Manokwari
……….
Pengadilan Tinggi
04
Fak-fak
Fiktor Tuturop Cs
Pengadilan Negeri Fak-fak
05
Lapter Kapeso (Mamberamo)
Nataniel Rungganusi Cs
Pengadilan Negeri Jayapura Tahapan Pemeriksaan Saksi dan Keterangan Ahli
06
Biak
Bpk. …Rumere
Pengadilan Negeri Biak
07
Wamena
Kasus Pengibaran bendera saat memperingati hari Pribumi
Kepolisian
d. Latar Belakang
Adapun hal-hal yang sangat urgent untuk diklasifikasikan serta menjadi penyebab timbulnya pergolakan politik di Tanah Papua menurut kami :
1.Bahwa sampai saat ini sebagian besar masyarakat Papua membenarkan bahwa Papua pernah berdaulat sejak tanggal 01 Desember 1961. Subtansinya jelas butuh klarifikasi, sebab soal ini ada relevansinya dengan salah satu butir isi Tri Komando Rakyat (TRIKORA) yang menyatakan : “Bubarkan Negara Boneka Papua terhadap buatan Belanda”.
2.Bahwa lahirnya New York Agreement (Perjanjian New York) tanggal 15 Agustus 1962 oleh Mayoritas Rakyat Papua dipertanyakan dasar hukumnya, karena rakyat Papua menganggap itu sebagai pelecehan terhadap integritasnya, karena sebagai anak negeri yang hidup di atas tanah ini tidak pernah diikut-sertakan dalam perundingan-perundingan antara Indonesia, Belanda dengan fasilitator Mr. Elswort Bunker sebagai wakil Perserikatan Bangsa-Bangsa padahal sangat disadari bahwa konsep Elwort Bunker itulah cikal bakal isi Perjanjian New York 1962 yang menentukan masa depan bangsa dan tanah ini.
3.Penyerahan Kedaulatan dari Belanda ke UNTEA dan UNTEA ke Indonesia menurut Perjanjian New York dilakukan dengan dua tahap dengan mekanisme tahap pertama Belanda menyerahkan kedaulatan tanah ini ke UNTEA dan tahap kedua UNTEA akan menyerahkan kepada Indonesia dengan syarat setelah diserahkan kepada Indonesia akan dilakukan self determination, plebisit atau lebih dikenal dengan PEPERA ( Penentuan Pendapat Rakyat ) dengan batas waktu akhir tahun 1969.
4.Rezim Orde Baru telah mengingkari perjanjian New York 1962 yang pada dasarnya menyatakan bahwa dalam semangat Perjanjian New York 1962 dan Statuta Roma 20-21 Mei 1969 dilakukan untuk kepentingan dan kesejahteraan rakyat Papua namun kenyataan yang diterima oleh masyarakat Papua sejak Penentuan Pendapat Rakyat sampai adanya Kabinet Pembangunan dibawah rezim Suharto justru tidak menunjukan realisasi semangat tersebut.
5.Pemberlakuan otonomi khusus yang oleh Pemerintah dianggap sebagai solusi terbaik dalam implementasinya ternyata masih jauh dari harapan masyarakat Papua, hal ini disebabkan oleh Kebijakan Pemerintah yang sangat tidak konsisten memberlakukan Undang-Undang tersebut misalnya soal lambang daerah sampai saat ini masih menjadi perdebatan karena yang dianggap sebagai simbol dan lambang daerah oleh masyarakat Papua yang diamanatkan oleh Undang – Undang Otonomi tersebut oleh Pemerintah dianggap sebagai simbol-simbol separatis kemudian dianulir dengan hadirnya PP 77 Tahun 2007 tentang Pelarangan simbol dan lambang daerah termasuk keberadaan bendera Bintang Kejora,
6.Menyelesaikan persoalan sejarah masa lalu dan Pelanggaran Ham telah diamanatkan oleh Undang-Undang Otonomi Khusus soal hadirnya Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi dan Pengadilan Ham untuk Propinsi Papua, hingga kini kehadiran kedua lembaga belum diseriusi oleh Pemerintah sendiri. Hal ini ditambah dengan belum adanya keseriusan Pemerintah menyelesaikan produk-produk pelaksanaan dari Undang-Undang Otonomi Khusus yang tujuannya memproteksi penduduk asli Papua, ada 23 (Dua puluh tiga) Peraturan Daerah Propinsi (Perdasi) dan Peraturan Daerah Khusus (Perdasus) yang sampai saat ini belum di selesaikan pembahasan drafnya oleh Pemerintah, apa yang dilakukan diatas merupakan upaya pembiaran atau kesengajaan yang menggunakan hukum sebagai alat untuk mempertahankan kekuasaan dan menekan eksistensi penduduk asli di Tanah Papua ini guna melegitimasi berbagai ketidak adilan.
2. PELANGGARAN TERHADAP KITAB UNDANG-UNDANG HUKUM ACARA PIDANA
a.Proses Penangkapan dan Penahanan
b.Tersangka tidak dapat berbahasa Indonesia Tetapi Tidak ditunjuk Penerjemah saat proses pemeriksaan di tingkat penyidikan.
c.Pemeriksan Para Terdakwa (Tersangka saat di Kepolisian) tanpa didampingi penasehat hukum
d.Para Terdakwa/Penasehat Hukum tidak diberikan Berkas Perkara
e.Hak-hak Tersangka di Rutan (Kepolisian, Kejaksaan, Pengadilan dan Lapas)
Hal-hal yang masih perlu diperdebatkan soal penggunaan Pasal makar dalam KUHP:
a.Makar versus UU No 8 tahun 1998 tentang penyampaian Pendapat di depan Umum
b.KUHPid kita merupakan peninggalan Kolonial Belanda
c.Sanksi Pidana yang cukup tinggi
Hal-hal Maju yang muncul dalam perkembangan penanganan kasus Makar
a.Ada temuan dan solusi menyangkut Temuan LIPPI
b.Hakim mulai berani untuk memutuskan Kasus-kasus Makar diPapua dengan Bijaksana
c.Ada usulan Permohonan dari berbagai pihak soal Revisi KUHPid
BAB VI
MAKAR DALAM PANDANGAN GEREJA
BAGIAN I
GEREJA TIDAK MENGABDI KEPADA NEGARA7
(Oleh: Pdt. Zokrates S. Yoman, STh. M.A)
Selama ini saya sudah lupa sila-sila yang terdapat dalam pancasila, karena nilai-nilai yang terdapat dalam pancasila terpampang di atas kertas saja. Saya memiliki prinsip bahwa saya berpegang pada nilai keyakinan apabila terdapat dalam Alkitab dan tradisi (nenek moyang). Saya tidak mau dipaksakan oleh orang lain demi melaksanakan kepentingan orang lain, terlebih kepentingan penguasa yang menindas umat Allah.
Menurut pendapat Gereja, RI katakan makar itu tidak benar. Pendekatan kekuasaan dengan mengedepankan kekerasan harus dirubah, diganti dengan pendekatan kemanusiaan. Bila perlu pasal-pasal supersif itu ditiadakan. Kita juga perlu ketahui bahwa Kitab Undang-Undang Hukum Pidana yang dipakai oleh Indonesia itu milik nenek moyang penjajah, yakni Belanda. Indonesia tidak mampu merumuskan KUHP yang baru, maka mereka menggunakan perangkat hukum itu untuk menindas umat Tuhan.
Untuk memahami berbagai taktik Indonesia, termasuk mengetahui warisan nenek moyang penjajah Indonesia, maka kedepan perlu meningkat kegiatan-kegiatan yang bersifat ilmiah. Melalui kegiatan seperti ini, kita juga dapat memahami berbagai kekerasan kemanusiaan yang dilakukan negara terhadap umat Tuhan.
Perlu kita sadari bahwa Papua berada dalam situasi dan kondisi penindasan yang dikemas secara sistematis dan struktural. Banyak cara RI terapkan untuk membumihanguskan orang Papua. Ada tindakan-tindakan pemaksaan dilakukan Indonesia terhadap orang Papua agar setia kepada NKRI. Penindasan seperti ini menuntut kita untuk melakukan perlawanan melalui cara-cara yang tepat.
Suatu saat saya ikut sebuah pertemuan, di cela-cela pertemuan itu ada yang mendekati saya, ternyata orang itu wartawan. Ia meminta saya untuk wawancara dalam kerangka NKRI. Ketika itu saya kaget, dan balik bertanya: “saya ada di sini untuk bukan berbicara dalam kerangka NKRI, akan tetapi berbicara dan perjuangkan jeritan umat Tuhan di Tanah Papua”.
Cerita singkat ini telah menunjukkan bahwa Indonesia mengalami krisis multi dimensi, termasuk di dalamnya krisis Indentitas negara, krisis kepercayaan oleh rakyatnya terhadap Negara. Banyak cara yang ditempuh untuk mengemis tetap dalam bingkai NKRI; dengan pelbagai cara minta kepada orang Papua, bahkan masyarakat Internasional untuk meminta legitimasi atas keutuhan NKRI. Ketika mereka mengemis minta legitimasi, kita harus tingkatkan perjuangan kalau kita yakini bahwa apa yang kita perjuangkan itu adalah sebuah kebenaran dan keadilan.
Ketika saya di luar negeri, ada orang mendekati saya dan ia bertanya. “Nanti kembali ke mana”. Secara spontan, saya katakan: “saya akan kembali ke Papua”. Mendengar ungkapan saya, orang itu kaget. “Kamu ‘kan orang Indonesia, malah kembali ke Papua?” katanya. Saya mengatakan: “saya bukan orang Indonesia, tapi saya orang Papua, suku lani, maka saya akan kembali ke tanah leluhurku Tanah Papua”.
Prinsipku adalah saya orang pertama yang akan memperjuangkan NKRI, kalau sebuah negara yang namanya NKRI itu ada dalam Alkitab, tetapi kalau tidak ada, saya akan suarakan apa yang ada dalam Alkitab.
Identitas orang Papua sedang berombang-ambing. Salah satunya adalah kebanyakan orang Papua tidak tahu bahasa daerah (bahasa ibu). Bahasa adalah pencerminan identitas jati diri suatu bangsa. Kita harus menggali apa yang ada pada identitas dalam suku dan bangsa Papua. Kita harus tumbuhkan sikap percaya diri, percaya pada pikiran sendiri; boleh percaya pendapat dan pikiran orang lain, tetapi kalau kita mau berkembang dan maju, maka manfaatkan kemampuan yang ada pada diri kita sendiri.
Perlu saya sampaikan bahwa pendidikan yang ada di Indonesia adalah sistem pendidikan yang merusak. Pendidikan yang diterapkan di Indonesia adalah pendidikan yang membelenggu umat Tuhan, bukan pendidikan yang membebaskan. Dalam pendidikan Indonesia, sejarah suku bangsa yang ada di Indonesia, termasuk di Papua dibengkokkan. Maka ada orang Papua percaya bahwa NKRI adalah negara yang tiada duanya di dunia, maka ada orang Papua katakan bahwa NKRI harga mati. Saya heran mendengar pernyataan ini, karena orang-orang Jawa yang hidup di bawah kolong jembatan yang mendirikan NKRI saja mereka tidak katakan NKRI harga mati.
Adalah menjadi tugas kita untuk menyadarkan orang Papua yang mengatakan NKRI harga mati. Orang-orang menelanjangi jati diri dengan pernyataan-pernyataan yang sangat memalukan. Identitas kepapuan sudah terkikis dengan pelbagai pandangan Indonesia yang sebenarnya sangat keliru jika kita selidiki.
Salah satu kenyataan yang terjadi bahwa pada pendeta-pendeta dan pastor Papua selalu mendoakan NKRI (pemerintah) agar dengan bijaksana menjalankan pemerintahannya; sementara orang Papua yang sedang berjuang tidak didoakan. Seringkali saya bertanya: “mengapa para pendeta ini tidak mendoakan para pejuang yang berjuang sebuah kebenaran dan keadilan; mungkin takut dicap pendeta separatis, OPM atau makar; atau mungkin mereka menjadi mitra kerja pemerintah untuk melaksankan berbagai kebijakan yang dikemas dengan rapi untuk membunuh umat Tuhan di Tanah Papua”.
Suara hati setiap saat selalu bergema: “pendeta Zofyan tugasmu bukan untuk urus NKRI, bukan setia pada UUD 1945, tugasmu adalah urus jemaat-umat Tuhan yang menderita karena penindasan”. Saya dari sejak kecil tahu bahwa saya bukan orang Indonesia. Saya adalah orang Papua yang diberi tugas untuk mengembalakan domba-domba-umat Tuhan; bukan urus NKRI yang membunuh umat Tuhan. Singkatnya tugas saya adalah urus manusia.
Kadang saya bertanya; ada pendeta yang katakan: “jangan melawan Pemerintah, karena pemerintah itu adalah wakil Allah”. Pernyataan ini keluar dari pendeta yang tidak memahami apa yang tersirat dalam firman Tuhan ini. Dikatakan wakil Tuhan apabila, pemerintah itu mensejahterakan dan melindungi rakyatnya, tetapi tidak sebaliknya seperti yang terjadi di Tanah Papua. Pemerintah yang bunuh umat Tuhan itu siapa? Itu wakil Tuhan atau wakil iblis di dunia.
Umat Tuhan di Tanah Papua setiap tanggal 5 Pebruari mempringati injil masuk di Tanah Papua. Mengapa pada saat itu para pemimpin gereja di Tanah Papua menyatakan bebaskan TAPOL-NAPOL Papua dan RI membuka dialog dengan orang Papua. Kenapa Gereja diam membisu.
Saya sering dijuluki sebagai seorang pemimpin Gereja yang mengurusi politik; tetapi umat Tuhan yang menderita ini kita harus biarkan? Apakah umat yang dipenjara karena sebuah kebenaran dan keadilan itu kita harus biarkan? Apakah kita membela mereka yang mengalami penindasan itu politik? Itu manusia penjajah yang bilang; Tuhan tidak mengatakan demikian.
Saya akan tunduk dan taat, apabila Tuhan katakan bahwa itu urusan politik jadi diam. Karena saya hanya percaya kepada Alkitab dan saya melakukan semuanya itu sesuai dengan nilai-nilai yang ada dalam Alkitab; salah satunya dahulu Yesus memihak pada mereka yang lemah, maka jaman sekarang juga Gereja harus memihak kepada mereka yang tertindas, yang tidak memiliki kesempatan dan peluang untuk berkembang; kalau memang Gereja penerus visi-misi Yesus Kristus.
Secara pribadi, saya mengakui Gereja Katolik, karena soal keadilan dan kebenaran Gereja Katolik tidak kompromi. Untuk menghapus separatis dan makar; Gereja harus bicara. Gereja tidak dibatasi oleh batas teritorial negara. Gereja tidak tunduk kepada Negara. Gereja di Papua harus belajar pada uskup Desmontutu, uskup Belo, Marthen Luterking yang dengan gigih memperjuangkan kebabasan umat Tuhan.
TNI, POLRI dan Pemerintah selalu mencap pimpinan Gereja dengan cap makar, separatis dan OPM. Ini sengaja dilakukan untuk membungkam suara Gereja, berusaha membunuh karakter pempinan Gereja. Saya tidak mengakui pemerintah, karena pemerintah inilah yang membunuh umat Tuhan. Saya juga mengatakan bahwa Gereja tidak bisa diatur oleh siapapun karena Gereja itu tidak dibatasi oleh teritorial negara, atau tembok apa pun.
Gereja tidak didirikan oleh Pemerintah; yang mendirikan Gereja adalah Tuhan. Kami ini bekerja kemanusiaan, pejuang keadilan dan kebenaran, jika ada yang bermain, silahkan. Tapi perlu diingat bahwa Gereja itu melindungi umat Tuhan. Jika TNI itu adalah benteng terakhir untuk mempertahankan integritas NKRI, maka saya mengatakan bahwa Gereja adalah benteng terakhir untuk mempertahankan integritas manusia.
Jemaat Tuhan di Tanah Papua camkanlah bahwa jika ada orang katakan kamu lakukan “makar”, katakanlah bahwa umat Tuhan tidak menghamba kepada dua Tuhan. Apa yang kita lakukan itu adalah benar, maka perjuangkan itu; karena apa yang benar dimata penjajah, adalah tidak benar dimata umat tertindas; apa yang benar dimata umat tertindas, di mata penjajah tidak benar.
Suatu saat uskup Belo diajak jalan-jalan bersama Soeharto. Mereka terbang mengelilingi pulau Timur Timur. Setelah mendarat, ada wartawan bertanya kepada uskup Belo: “apakah bersuka-cita dengan Soeharto?” Jawab uskup: “pertama, saya berputar-putar di Udara bersama dengan Yesus; kedua, saya tidak suka dengan orang yang setelah bunuh orang datang menari-nari di atas penderitaan umat Tuhan”.
Saya secara pribadi memberikan apresiasi kepada uskup Belo; juga kepada Nelson Mandela, dll. Mereka inilah adalah pejuang keadilan, kebenaran. Bagaimana dengan pendeta-pendeta, pastor-pator dan uskup-uskup di Papua. Banyak Gereja yang dikendalikan oleh pemerintah. Maka itu banyak Gereja di Papua menjagi “Gereja Semut”. Di mana ada gula, di situ ada semut. Maka kebanyakan Gereja Semut berlomba-lomba merebut pelbagai gula yang disiapkan pemerintah. Karena keenakan dengan gula itu, maka Gereja menutup diri dengan realita umat Tuhan.
Gereja harus bekerja keras untuk membangun penyadaran kepada NKRI bahwa makar itu tidak layak diterapkan pada umat Tuhan. Untuk menyadarkan Gereja dan pemerintah, bahkan ada orang Papua yang tidak mengerti, maka kita harus menulis buku sebanyak mungkin. Kegiatan seminar seperti yang diselenggarakan ini juga perlu kita tingkatkan untuk membangun pemahaman bersama atas semua bentuk ketidak-adilan dan kekerasan yang terjadi di Tanah Papua.
Melalui pelbagai kesempatan kita harus kompanye bahwa orang Papua jangan menjual tanah (hutan); ketika kita jual tanah, maka ketika itu juga kita jual jati diri kita, kita jual tulang-belulang nenek moyang kita, kita jual masa depan anak cucu kita dan kita jual ibu bumi yang selalu menyiapkan kebutuhan hidup bagi manusia. Camkanlah bahwa tanah adalah investasi hidup masa depan.
Adalah menjadi kenyataan bahwa orang Papua, misalnya penduduk asli Jayapura setelah jual tanah kepada orang pendatang, kemudian mereka dirikan kost di atas tanah yang mereka beli. Ironisnya pemilik hak ulayat tadi, kembali kost di atas tanah yang dijualnya. Ini memang aneh, tapi ini realitas yang sedang terjadi.
Selain kita kompanyekan pelarangan penjualan tanah, kita juga mengkompanyekan lewat berbagai kesempatan dan media, misalnya lewat buku ilmiah. Kita harus beri pemahaman kepada Indonesia bahwa orang Papua tidak melakukan makar, separatis. Saya telah menulis berbagai buku, salah satunya, berjudul: “orang Papua bukan makar, separatis dan OPM”. Apa yang saya lakukan bukan bertanggung jawab kepada NKRI, tetapi kepada Tuhan yang membentuk dan mengutus saya untuk berkarya di ladang Tuhan menjadi seorang gembala yang dengan setia menjaga kewananan dombanya yang adalah umat Tuhan yang ada di Tanah Papua.
Lewat berbagai kesempatan dan media yang ada kita juga menyadarkan segelintir orang Papua yang membela NKRI. Kita sadarkan mereka karena mereka tidak sadar. Tidak sadar akan identitas mereka sebagai orang Papua ras Melanesia, tidak sadar bahwa dirinya beserta sanak-saudara yang mengalami penindasan. Sadarkan mereka bahwa apa pun tindakan yang mereka lakukan sia-sia.
Orang Papua yang mengataskan NKRI harga mati itu harus belajar pada orang Timur-Timur pendukung NKRI yang sampai saat ini tidak mendapat tempat yang istimewa setelah Timur Timor lepas dari NKRI sejak tahun 1999. Kebanyakan pro NKRI masi berada di bawah kamp-kamp penampungan di Frlores Timur. Ironisnya Pemerintah Indonesia tidak memberikan penghargaan kepada orang-orang Timor-Timur yang pro NKRI, bahkan tidak mendapatkan sehektar tanah untuk hidup dan berkembang.
Belajar dari pengalaman orang-orang Timor Timur pro NKRI yang tidak mendapa tempat di Indonesia, maka lebih baik orang Papua yan pro NKRI saya sarankan bersatu dalam barisan perjuangan untuk memperjuangkan keadilan dan kebenaran yang memerdekakan orang Papua dari pelbagai penindasan, dari pada mengabdi kepada Pemerintah yang dapat menelantarkan masa depan hidup dan anak-cucunya.
Kita harus berjuang dengan kekuatan dan kemampuan yang ada pada diri kita. Mentalitas pengemis kita buang jauh-jauh, orang tua kita, moyang kita tidak pernah mengemis. Jangan kita mewarisi mentalitas pengemis yang diwariskan oleh Pemerintah Indonesia. Itu bukan budaya orang Papua, tetapi budaya orang Jawa. Kita memiliki tanah Papua yang penuh dengan susu dan madu. Kita harus memanfaatkan ini demi kemajuan dan perkembangan hidup kita. Jangan kita tinggalkan nilai-nilai budaya yang memberi penguatan, memperkaya wawasan dan meneguhkan jati diri kita sebagai orang Papua.
Saya terinspirasi dengan seniman-antroplog-budayawan Arnold Ap dan Nelson Mandela, maka saya memberi nama kepada kedua anak saya menggunakan nama dari kedua tokoh ini; hal serupa dilakukan juga oleh tuan Benny Wenda. Pemberian nama anak kita sesuai dengan nama-nama legendaris, akan memberi inspirasi dan memotivasi anak-anak kita untuk menjadi manusia yang berbobot.
Gereja tidak setuju dengan stigma: Makar, OPM, separatis, dll. Stigma ini digunakan negara untuk menindas umat Tuhan. Untuk menghadapi ini, kita harus lawan secara rasional. Ketika kita melakukan perlawanan dengan rasional yang dapat dipertanggung jawabkan, maka banyak orang yang peduli kemanusiaan mendukung perjuangan kita.
Saya datang ke sini setelah saya menghadiri diskusi publik yang bertemakan :”Dialog Jakarta Papua Pasca OTSUS”. Dalam kesempatan itu saya mengatakan bahwa: “yang berjuang Papua merdeka saya mendukung; saya juga mendukung mereka yang perjuangkan OTSUS, karena semua ini umat Tuhan. Saya sebagai hamba Tuhan, menghargai dan menghormati setiap aspirasi dari umat Tuhan. Tetapi saya tahu persis kepada siapa saya harus memberikan dukungan yang penuh; saya tahu suara hati dari umat Tuhan; suara hati saya selalu menggema kepada siapa saya harus memihak. Dalam Alkitab yang saya yakini mengajarkan tentang itu; yang Gereja memihak adalah kepada orang yang lemah, miskin, termarginalisasi dan tertindas. Dengan kelompok yang menderita. Gereja harus berjuang untuk membebaskan mereka dari penindasan.
Pemerintah jangan terus menerus menindas orang Papua, Pemerintah jangan terus menerapkan pasal makar kepada orang Papua, akan tetapi tanyalah kepada orang Papua. Kongkritnya adakanlah dialog antara Jakarta dan Papua untuk bahas pelbagai kompleksitas masalah Papua. Bagi yang menolak dialog, perlu dipaham bahwa dialog adalah instrumen yang berlaku secara global untuk menangani masalah-masalah yang terjadi baik dalam negeri maupun antar negara.
BAGIAN II
MAKAR DALAM PANDANGAN
AJARAN SOSIAL GEREJA KATOLIK
(Oleh: Yanuarius Dou, S.Si)
A.Pengantar
Orang Papua identik dengan pelaku-pelaku kasus makar. Hal ini dengan nyata dapat kita lihat dan tahu tidak hanya melalui stigma makar, separatis dan OPM yang dikenakan, tetapi juga melalui kasus-kasus makar yang dikenakan pada orang Papua selama ini. Stigmatisasi serta kasus makar, separatis, dan OPM ini perlu dikaji kebenarannya dari berbagai sudut pandang ilmu. Saya sebagai terpelajar lulusan teologi dan filsafat terasa penting dan mendesak mengkaji stigmatisasi makar, separatis dan OPM ini dari sudut pandang teologi.
Dalam tulisan ini, secara khusus saya menyoroti stigmatisasi makar secara ilmiah dengan bertolak dari realitas kasus-kasus yang dituduhkan pada beberapa orang Papua sebagai kasus makar. Pokok-pokok yang perlu saya uraikan adalah: 1) pengertian kata makar, 2) isi undang-undang Makar Republik Indonesia, 3) Realitas Kasus Makar di Tanah Papua, 4) analisa terhadap makar dari sudut pandang teologi, dan 5) rekomentasi terhadap kasus makar. Selanjutnya, kita perlu secara bersama memahami pokok-pokok tersebut!
B.Pengertian Kata Makar
Istilah makar menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, Edisi Kedua, mengartikannya sebagai: 1) akal busuk, tipu muslihat; 2) pebuatan (usaha) dengan maksud hendak menyerang atau membunuh orang, dsb; 3) perbuatan (usaha) menjatuhakan pemerintah yang sah9.
Bila arti kata makar ini diuraikan secara lebih luas tentunya akan mengandung pengertian sebagai berikut: Pertama; orang yang memiliki akal yang busuk dan tipu muslihat. Ini berarti bahwa kasus yang dituduhkan sebagai makar adalah suatu kasus yang jauh dari kebenaran objektif. Orang dengan kepandaian akalnya memanipulasi suatu data atau informasi demi suatu kepentingan pribadi atau golongan. Kedua; usaha menyerang atau membunuh orang lain. Hal ini mengandung pengertian bahwa orang yang dituduhkan makar memiliki niat jahat yang muncul dari kondisi batin yang diliputi kebencian terdalam, sehingga ia mempunyai rencana ataupun skenario khusus untuk menyerang atau membunuh orang lain. Singkatnya, ia memiliki niat jahat yang dengan sengaja direncanakan untuk menghabisi hak hidup orang lain. Ketiga; menyangkut usaha menjatuhkan pemerintahan yang sah. Pokok ini mengandung pengertian bahwa orang yang dituduh makar memiliki tujuan untuk menjatuhkan pemerintahan yang sah, yang secara nyata penyelenggaraan pemerintahannya dijalankan secara adil dan bermartabat berdasarkan pancasila dan undang-undang dasar negara Republik Indonesia (RI) yang dijiwai oleh nilai-nilai luhur universal yang termaktub dalam Deklarasi Umum Hak Azasi Manusia (HAM) yang berlaku di dunia. Pokok ketiga ini mengandaikan bahwa negara tidak pernah melakukan suatu kesalahan dasariah terhadap hak-hak dasar masyarakat sipil dalam berbagai aspek kehidupan. Negara dalam kenyataannya memiliki komitmen yang kuat untuk menjunjung tinggi harkat dan martabat manusia.
Dengan demikian, bila kita mencermati lebih jauh pengertian makar maka di situ mau ditunjukkan dua belah pihak yang bertikai, masing-masing yang satu pihak benar yang sengaja dipersalahkan oleh pihak yang salah dan yang lain bahwa pihak yang salah hendak membenarkan diri demi mencapai kepentingannya. Di sinilah kita akan memahami siapa pelaku makar sebenarnya.
C.Isi Undang-undang Makar di Republik Indonesia
Pasal-pasal tentang makar diatur dalam Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP) pasal 106, 110, 160, dan 21210. Isi masing-masing pasal ini sebagai berikut:
“Pasal 106 berbunyi makar dengan maksud supaya seluruh atau sebagian wilayah negara jatuh ke tangan musuh atau memisahkan sebagian wilayah negara dari yang lain, diancam dengan pidana penjarah seumur hidup atau pidana penjara selama waktu tertentu paling lama dua puluh tahun.
Pasal 110 singkatnya berbunyi ancaman bidana penjarah bagi yang menggerakan orang lain dengan berbagai cara untuk melakukan kejahatan baik dalam bentuk rencana, perkataan maupun dalam bentuk tindakan nyata. Selain itu, termasuk juga dengan mereka yang memperlancar merubah ketatanegaraan dalam arti umum, dan lain-lain.
Pasal 160 berbunyi barang siapa dengan lisan ataupun tulisan menghasut di muka umum supaya orang melakukan perbuatan pidana, melakukak kekerasan terhadap penguasa umum atau tidak menuruti baik ketentuan undang-undang maupun perintah jabatan yang diberikan berdasarkan ketentuan undang-undang diancam dengan pidana penjarah paling lama enam tahun atau pidana paling banyak empat ribu lima ratus rupiah.
Pasal 212 berbunyi barang siapa dengan kekerasan atau dengan ancaman kekerasan melawan seorang pejabat yang sedang melakukan tugas yang sah, ,,,,diancam dengan pidana satu tahun empat bulan atau pidana denda paling banyak empat ribu lima ratus.
Isi makar ini hanyalah diangkat beberapa secara singkat mengenai gambaran keseluruhan dari ayat-ayat yang disampaikan secara detail.
D.Realitas Kasus Makar dan Tanggapan Masyarakat Papua
1.Realitas-realitas Kasus
Dari sekian banyak kasus makar yang dikenakan pada orang Papua sehingga ada yang mati terbunu, disiksa, dipenjarakan dan ada pula dihilangkan secara paksan, penulis ingin mengangkat beberapa kasus tuduhan makar saja.
Kematian Dr. Thomas Wanggai di LP Cipinan Jakarta. Kematiannya dianggap sebagai tindakan pembunuhan dengan sengaja dilakukan oleh penguasa negara. Ia dituduh makar karena menaikan bendera Bintang Kejora di Lapangan Mandala Jayapura pada tahun 1989.
Pembunuhan terhadap Arnoldus App, seorang Sarjana Antropologi tamatan Universitas Cenderawasih Jayapura yang mengangkat Identitas kultur masyarakat Papua melalu lagu-lagu daerah khas Papua, seperti Mambesak dan Black Blothers.
Penculikan, pembunuhan dan penghilangan secara paksa oleh Kopasus Tribuana kepada Pemimpin Besar Rakyat Papua, Theys Hiyo Eluay dan sopirnya, Aristoteles Masoka di Skow Jayapura, pada tahun 2001.
Pemenjarahan terhadap Yusak Pakage dan Philipus Karma pada tahun 2004 karena memimpin menaikan Bendera Bintang Kejora di Lapangan Trikora Abepura.
Penangkapan dan pemenjarahan terhadap Buktar Tabuni yang dituduh makar karena memimpin Demontrasi Damai dalam rangka mendukung IPWP (International Parliament West Papua) di Londong Inggris pada bulan Oktober 2008 di Ekspo Waena.
Penangkapan dan pemenjaraan terhadap Selpius Bobi dan kawan-kawannya yang dituduh makar dalam kasus 16 Maret 2006 di depan Kampus Universitas Cendrawasih Jayapura. Mereka ditangkap dalam kegiatan demontrasi damai menuntut penutupan PT. Freeport Indonesia.
Ada banyak litani panjang yang terdaftar sepanjang sejarah hidup orang Papua bersama Indonesia mengenai tuduhan-tuduhan makar yang bermuara pada terganggunya eksistensi hidup masyarakat Papua.
2.Tanggapan Masyarakat Papua terhadap Peraturan Makar
Pasal-pasal makar dalam KUHP tersebut bukan merupakan sesuatu yang asing bagi masyarakat Papua. Masyarakat Papua menilai pasal-pasal makar sebagai senjata pamungkas yang selalu dipakai oleh penguasa NKRI guna mematahkan setiap gerakan yang bernuansa serta bernafaskan demokrasi, Hak Asasi Manusia (HAM) dan perjuangan menegahkan kebenaran dan keadilan di Tanah Papua. Pasal-pasal makar menjadi instrumen hukum yang selalu dipakai untuk menyelamatkan sistem pemerintahan yang menindas masyarakat Papua11. Kesan dan penilaian masyarakat Papua ini bertolak dari kisah nyata orang Papua yang dituduhkan makar lalu dibunuh, dipenjarahkan, dihilangkan secara paksa, disiksan dan dianiaya hingga kini sudah menjadi karakter bangsa Indonesia.
Apakah yang terjadi pada manusia Papua berkenaan dengan peraturan makar yang telah mengikat orang Papua ini? Hal yang terjadi adalah peraturan makar telah melangkahi kodrat manusia. Peraturan makar dijunjung tinggi melebihi nilai manusia. Ironisnya, peraturan ini dijunjung tinggi tanpa memiliki alasan mendasar baik secara substansial yuridis maupun secara faktual. Karena itu, tidaklah heran bila peraturan makar ini telah “memakan habis” sekian banyak orang Papua. Penerapan peraturan ini menunjukkan ciri dan corak khas identitas dan eksistensi para pengendali hukum yang degil, jahat dan kekanak-kanakan. Bukankah perilaku para pengendali hukum yang demikian amat memalukan diri sendiri, kelompok, institusi negara serta bangsa kita Indonesia yang kita cintai ini? Tidak adakah suatu peraturan yang lebih memanusiawikan manusia Papua sederajat dengan manusia-manusia lain di bumi Indonesia ini?
Pertanyaan-pertanyaan tersebut perlu direnungkan bersama terutama para pemegang dan pemelihara aturan makar. Kerana bila kita lihat subtansi permasalahannya peraturan yang diterapkan ini sangat tidak sesuai antara persoalan orang Papua. Sikap dan perilaku penguasa demikian tentu bahwa peraturan makar ini telah mencoreng nama baik negara Indonesia di mata dunia internasional. Dunia internasional mengetawai bangsa Indonesia yang mengabadikan peraturan yang menyepelekan harkat dan martabat manusia. Sebab ketika orang Papua menuntut dan mengekspresikan hak-hak dasariahnya demi pemenuhan hak-hak tersebut dalam bidang hukum, politik, sosial-ekonomi dan budaya selalu saja ditekan oleh penguasa Indonesia. Tekanan ini secara konkret selalu dinyatakan baik dalam bentuk kebijakan maupun dalam bentuk kekuasaan hukum.
Peraturan MAKAR menjadi salah satu senjata yang selalu dipakai oleh penguasa NKRI untuk mematahkan setiap gerakan bernuansa demokrasi, HAM, dan perjuangan mencari keadilan dan kebenaran di Tanah Papua. Rakyat Papua mengalami jalan buntuh ketika akhir dari seluruh perjuangan kemanusiaannya diperhadapkan dengan pasal MAKAR. Apakah peraturan pasal MAKAR tersebut di atas amat beralasan secara substansi yuridis? Apakah perkara MAKAR ini didasarkan pada martabat manusia, nilai-nilai Demokrasi, Pancasil dan HAM? Bukankah di satu sisi penguasa Indonesia menuntut pelaksanaan Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945 secara murni dan konsekwen dan di lain sisi memelihara “firus” yang mencederai nilai-nilai pancasila dan UUD 1945 ini. Sebagai sebuah negara mestinya konsisten dengan filosofi dasar ini.
Dari sisi substansi hukum, HAM, demokrasi dan pancasila perkara MAKAR dipandang sebagai suatu peraturan yang amat mengorbankan martabat manusia. Mengapa? Persoalan yang dialami dan dituntut rakyat Papua adalah bukan perkara tindakan kejahatan terhadap negara atau pun pejabat negara. Persoalan masyarakat Papua adalah FAKTA HISTORIS. Yaitu Penyimpangan Sejarah (PEPERA 1969), sederetan panjang pelanggaran HAM, pembangunan Indonesia di tanah Papua yang semakin memarginalisasi orang Papua dengan maksud terjadinya kepunahan orang Papua di atas tanahnya sendiri12. Ketiga masalah ini adalah akar persoalan di Tanah Papua. Masyarakat Papua selalu diarahkan pada perkara MAKAR kalau menuntut pemenuhan terhadap hak-hak dasarnya dalam ketiga akar persoalan itu. Ironisnya, para penguasa mencampur adukan antara kasus makar (tindakan kejahatan terhadap negara) dengan aksi damai masyarakat menuntut hak-hak dasar politik, HAM dan pembangunan. Masalah Papua bukan masalah hukum melainkan masalah politik, HAM dan Pembangunan. Bila penguasa lebih arif dan bijaksana tentu bahwa masalah hukum bisa diselesaikan dengan pendekatan hukum dan demikian pula masalah politik, masalah HAM serta masalah pembangunan. Hal ini selalu disuarakan juga oleh LSM-LSM tetapi juga tak pernah digubris, dan malahan balik menuduh separatis, seperti halnya dikatakan Piter Ell, SH, Ketua Tim Penegak Hukum Kasus Makar Buktar Tabuni Cs13. Bukankah kita semua merasa malu kalau kita memelihara “firus” yang mengorbankan nilai-nilai Pancasila, hukum dan moral, serta nilai demokrasi ini?
Secara faktual, tuntutan pemenuhan hak-hak dasar masyarakat Papua tidak didasarkan pada tipu muslihat, akal yang busuk, niat hati yang jahat seperti yang termaktub dalam pengertian istilah makar itu sendiri. Apalagi masyarakat Papua mengancam atau menghabisi penguasa negara, ataupun merongrong keutuhan negara dengan suatu tindakan yang anarkis. Persoalan masyarakat Papua di luar dari tuduhan MAKAR. Apakah tuntutan rakyat Papua untuk me-Review ulang PEPERA 1969 yang dinilai cacat hukum, moral dan HAM disebut tindakan kejahatan terhadap negara? Apakah tuntutan ber-DIALOG Nasional dan Internasional tentang konflik multidimensi di Tanah Papua adalah menggangu keutuhan NKRI? Apakah menolak kebijakan pemerintah yang tidak berpihak kepada rakyat adalah melawan pejabat negara? Apakah rakyat Papua menaikan bendera Bintang Kejora secara damai sebagai ekspresi psikologis atas kebungkaman penguasa NKRI terhadap suara nurani rakyat Papua dibenarkan sebagai suatu tindakan kejahatan terhadap negara? Mengapa dalam semua gerakan menuntut pemenuhan akan hak-hak dasar ini selalu diperhadapkan oleh penguasa dengan suatu tindakan pidana MAKAR?
Berbagai persoalan di Tanah Papua mudah di atasi hanya kalau pemerintah Indonesia membuka hati dan budi terhadap berbagai jeritan dan tangisan rakyat Papua. Kondisi ini akan tetap berlanjut ketika pemerintah Indonesia masih bungkam terhadap segala suara, tuntutan dan jeritan masyarakat Papua. Karena itu, kalau Pemerintah Indonesia merasa memiliki Tanah Papua sebagai wilayah NKRI hendaknya melangsungkan proses pembangunan didasarkan pada CINTA KASIH dan KEADILAN, yang merupakan satu kesatuan yang tak dapat dipisahkan. Hendaknya perlu kita pahami bersama bahwa mencintai sesama merupakan tuntutan mutlak dari keadilan, karena cinta kasih menyatakan dirinya dalam tindakan-tindakan nyata dan dalam tatanan struktural masyarakat yang menghormati martabat manusia, melindungi hak-hak azasi dan mempermuda jalan bagi perkembangan manusia. Menegahkan keadilan berarti merombak struktur-struktur yang menghambat perwujudan cinta kasih.
Pernyataan tersebut di atas ternyata terarah pada tujuan bangsa Indonesia, yaitu mewujudkan kesejahteraan umum dan mencerdaskan kehidupan bangsa. Kesejahteraan umum ini adalah suatu kondisi kehidupan sosial dari aspek ekonomi, politik maupun kebudayaan yang memungkinkan setiap orang mencapai kesempurnaan kemanusiaannya.
Demi mewujudkan kesejahteraan umum dan mencapai kesempurnaan umat manusia dalam konteks Indonesia di Tanah Papua, tuntutan orang Papua untuk mengklarifikasi stigmatisasi MAKAR dan SEPARATIS dari aspek substansi hukum, historis, Pancasila, HAM dan Demokrasi hendaknya segera dilaksanakan. Ini adalah tanggung jawab semua pihak yang berkehendak baik untuk mendorong dan mengimplementasikannya. Penerapan prinsip solidaritas masyarakat Indonesia hendaknya menjadi kebutuhan untuk diterapkan bersama dalam rangka mengatasi masalah-masalah sosial, politik, ekonomi dan budaya yang diciptakan oleh struktur pemerintahan yang semakin tidak adil ini. Iman kita kepada Allah akan menjadi nyata kalau diwujudkannya dalam mengatasi masalah-masalah aktual ini. Namun, bila kita semua bungkam maka masyarakat Papua yang menuntut pemenuhan hak-hak dasarnya satu demi satu ditangkap, diadili, dipenjarahkan, disiksa dan bahkan dibunuh hingga kepuhan sebagaimana telah terbudaya di Tanah Papua selama ini.
E.Analisa Terhadap Makar dalam Sudut Pandang Teologi
1.Makar dalam Dimensi Ajaran Sosial Gereja
Gereja memahami makar sebagai sebuah peraturan negara yang ditetapkan oleh penguasa Republik Indonesia sesuai dengan otoritas yang dimilikinya demi memajukan kesejahteraan umum dan keadilan bagi seluruh rakyat Indonesia. Gereja menyadari bahwa apapun peraturan negara ia selalu bernafaskan pada pancasila sebagai “jiwa bangsa” dan UUD 1945 sebagai fondasi bangsa. Untuk itu, makar tidak boleh mengorbankan martabat dasariah manusia. Makar sebagai salah satu peraturan yang termaktub dalam perundang-undangan Republik Indonesia, khususnya KUHP dan KUHAP Gereja mengharapkan ia bisa berfungsi secara baik demi menjamin kehidupan bangsa dan negara. Hal ini secara implisit terungkap dalam pernyataan umum Pimpinan Gereja Katolik Indonesia yang dihasilkan melalui MAWI (Majelis Waligereja Indonesia), 1979, melalui evaluasi tentang Keterlibatan Gereja terhadap Kehidupan Bernegara dengan tema: “Partisipasi Gereja Indonesia dalam REPELITA II”.
Evaluasi ini menghasilkan suatu pergeseran dari “kerja keras” pada “tanggung jawab untuk semua.” Hal ini ditegaskan dalam pernyataan berikut ini:
“Sekalipun diakui bahwa usaha-usaha kita dihalangi oleh egoisme perorangan dan kolektif,….kita wajib mengusahakan kesejahteraan dan keadilan sosial bagi semua orang, semua golongan, dan semua daerah. Kewajiban itu bisa menjadi tugas kenabian minoritas Kristen dengan membela hak-hak asasi semua orang, dengan memperjuangkan pembagian yang adil dan lebih merata dari kelimpahan negara dan kekayaan bumi, dengan memikul secara konsekuen bersama dengan golongan lain, tanggung jawab terhadap keadaan umum sosial maupun kultur, politik dan ekonomi, dengan menganjurkan perbaikan struktur-struktur dan mencela struktur dan pembuatan yang tidak baik, dengan ikut serta menciptakan kesempatan kerja bagi para penganggur dan meringankan penderitaan rakyat yang melarat14.
Perhatian sosial beralih dari “perkembangan” pada “keadilan” dan “partisipasi”. Tiga tahun sebelum itu, Sinode Uskup-unskup Sedunia merumuskan dalam “Iustitia in mundo”: “Bagi kami, keterlibatan demi keadilan dan partisipasi dalam perubahan dunia merupakan unsur konstitutif dari pewartaan kabar gembira….untuk penebusan umat manusia dan untuk pembebasannya dari segala keadaan penindasan.” “Iustitia in mundo” dan dokumen post-sinode tahun 1974, Evangelinya dalam Tanggapan MAWI terhadap perkembangan negara dan masyarakat, tahun 1977: “Strategi dan pendekatan masalah-masalah pembangunan itu hendaknya ditingkatkan menjadi trilogi: Keamanan, Kemakmuran dan Kemanusiaan, dengan tekanan dan titik sentral pada manusianya…. Orientasi dan pendekatan kemanusiaan berarti menuju perwujudan nilai-nilai manusiawi seperti tanggung jawab sosial, kebebasan, demokrasi, dan keadilan sosial, yang diwasa ini didambakan oleh masyarakat kita.”15
Dengan bertolak dari pernyataan para pimpinan Gereja tersebut kita bisa bercermin bagaimana seharusnya undang-undang makar tersebut. Ajaran sosial Gereja tersebut di atas menegaskan bahwa peraturan perundang-undangan yang tidak adil yang bermuara pada korbannya perwujudan nilai-nilai manusiawi perlu menjadi bagian dari perbaikan struktur-struktur. Perbaikan struktur tersebut menyangkut system kerja, manajemen, isi peraturan, pola pendekatan dan lain-lain. Makar di Tanah Papua telah menjadi salah satu peraturan yang dihasilkan dan dipelihara oleh struktur-struktur pemerintahan yang bertendensi ketidakadilan. Ini berarti jelas bahwa peraturan makar perlu dievaluasi.
Gereja memandang ada beberapa kecenderungan negatif dalam penerapan perundang-undangan secara umum dan lebih khusus peraturan makar. Kecenderungan tersebut meliputi:
Pertama: Penerapan peraturan negara cenderung berlaku tidak adil bagi semua warga negara. Ini berarti terjadi disposisi terhadap status negara Indonesia sebagai negara hukum. Setiap warga negara selayaknya mendapat perlakuan yang sama dihadapan hukum.
Kedua: substansi dasar dari peraturan perundang-undangan hendaknya bernafaskan pada harkat dan martabat manusia sebagai segambar dengan Allah. Ini berarti peraturan apapun selalu memperhitungkan terpenuhinya hak-hak dasar segenap warga negara.
Ketiga: Peraturan perundang-undangan negara harus perlu terbebas dari segala bentuk monopoli dan manipulasi dalam rangka memenuhi kepentingan pribadi ataupun golongan.
Keempat: peraturan perundang-undangan selayaknya dapat dipakai dalam rangka mencapai masyarakat yang adil dan makmur sesuai dengan cita-cita bangsa.
Kelima: Peraturan perundang-undangan tidak bisa dijadikan sebagai tamen politik guna melindungi diri bagi yang berkuasa dan menjadikan sebuah instrument penguasa untuk menekan yang lemah. Karena pada dasarnya, sebuah peraturan negara dikeluarkan dalam rangka mengatur suatu struktur pemerintahan yang adil.
Keenam; Setiap peraturan selayaknya harus memperhitungkan tanggung jawab sosial, kebebasan, demokrasi, keadilan sosial dan Hak Asasi manusia. Aspek-aspek ini diperhitungkan dalam rangka membentuk moralitas publik dan kedewasaan bangsa sebagai sebuah negara.
Dengan demikian, masalah apapun yang terjadi dalam negara merupakan tanggung jawab sosial bangsa. Ini perlu di pahami baik oleh setiap warga negara Indonesia. Agar masalah Papua tidak bisa dilihat sepeleh tetapi malahan ditangani secara serius sebagai sebuah tugas dan tanggung jawab negara. Tujuannya dalam rangka menciptakan kemakmuran, keamanan dan kemanusiaan. Untuk itu, Gereja menganjurkan kepada pemerintah dan segenap warga masyarakat melihat akar persoalan yang ada di Tanah Papua. Akar persoalan ini perlu diselesaikan secara bersama secara adil dan bermartabat serta penuh rasa tanggung jawab. Semua pihak duduk bersama melalui sebuah dialog guna menyelesaikan masalah-masalah mendasar yang ada. Sikap yang diharapkan adalah semua pihak terbuka mengakui dan menerima kesalahan dan memiliki harapan yang sama untuk menciptakan kehidupan yang damai. Diharapkan bahwa setiap masalah yang terdapat dalam setiap aspek dalam penyelesaiannya pun menggunakan metode sesuai dengan aspek masing-masing. Usaha demikian merupakan gambaran dari sebuah bangsa yang bertanggung jawab terhadap persoalan warganya.
2.Makar dalam Dimensi Moral
Dalam perspektif moral berbicara menyangkut tanggung jawab manusia yang dapat menjamin kondisi hidup dalam kebersamaan16. Di dalam kebersamaan ini teologi dalam sumber Kitab Suci mendapat tempat di dalamnya, agar teologi, yang dapat menjelaskan dan menggairakan iman secara eksistensial dan historis17. Tujuannya supaya manusia menanggapi panggilan dan usaha Allah dalam Yesus Kristus. Di sini iman juga bermain peran dalam membangun moralitas bangsa. Dengan kaca mata iman orang akan melihat keterlibatan “aktif” pada Allah yang berkarya dalam sejarah. Sedangkan moral pada awalnya dapat dipandang dari keterlibatan dan praktis hidup. Gaya moral Pasca-Vatikan II dicirikan18 sebagai berikut:
Pertama; Legitimasi tidak berlaku lagi. Artinya perhatian pertama tidak lagi pada aturan, dengan bertanya apa yang wajib aku lakukan? Melainkan pertanyaan moral adalah, “apakah usahaku senyatanya membuat hidup makin manusiawi?
Kedua; Pragmatisme tidak berlaku lagi. Ertinya moral bertumbuh dari dalam hati, sebab usaha kita tidak hanya mencakup perbuatan lahiriah yang entah tepat, entah salah. Dengan daya cipta hatinya manusia mampu membuat sesuatu yang baru dan baik. Dengan usaha lahiriah, orang membangun pribadinya dan menentukan suatu arah dasar (optio fundamentalis) bagi hidupnya. Pertanyaan dasariahnya adalah apakah usahaku mengarahkan kerinduan hidupku pada Dia yang menjadi kepenuhan hidup?
Ketiga; Individualisme tidak berlaku lagi. Artinya moral bukan untuk memelihara hidupnya sendiri dan bukan untuk menghias diri dengan berbagai kebajikan. Orang yang ingin menyelamatkan nyawanya akan kehilangan nyawanya! Kalau bermoral orang menjadi terlibat pada penderitaan orang demi kepentingan bersama. Perhatian moral adalah keprihatinan sosial. Ketiga sikap tersebut di atas menggariskan suatu perubahan mendalam (pertobatan). Dalam sikap-sikap itu dikenal kembali arus dasar Injil, yaitu pertobatan dan kabar gembira. Kabar gembira memanggil setiap orang secara pribadi untuk ikut dalam suatu usaha penebusan melawan penindasan dan supaya orang menjawab panggilan itu dengan sepenuh hati!
Keempat; Moralitas harus berpikir “antroposentris”. Artinya penalaran moral sebenarnya mempermasalahakan manakah makna hidup dan martabat pribadi manusia yang sewajarnya yang dapat menjadi ukuran bagi tindakan baik dan jahat. Pada masalah-masalah keluaga, keadilan sosial, medis, seksualitas, sosial politik, moral pertama-tama harus melindungi pribadi manusia terhadap pemerkosaan atau pemusnahan dan memajukan tanggung jawab dari semua orang yang bersangkutan.
Kelima; Moral harus berpikir “histories”. Artinya penalaran moral bukan semacam permainan pikiran para pakar. Dalam moral orang memeras otak bagaimana melindungi manusia dan memajukan kemanusiaan? Memang tidak ada moral, kalau orang tidak yakin akan prinsip-prinsip dan aturan-aturan moral yang tepat dan pantas dibela. Maka relativisme moral harus ditolak. Perbedaan pendapat dan keyakinan orang yang berbeda adalah wajar dan perlu saling diuji dalam perdebatan.
Pertanyaannya adalah apakah kasus aturan dan kasus makar di Tanah Papua itu secara moral berpatokan pada kelima kriteriat moral tersebut di atas? Ataukah malahan melanggar kelima kriteria moral ini? Saya akan menguraikan sejauh manakah kasus dan aturan makar tersebut memenuhi kelima criteria moralitas Kristen.
Pertama; Bertolak dari kriteria moral yang pertama ini, secara moral kristiani dapat dikatakan bahwa kasus yang dikenakan pada orang Papua dengan alasan makar tidak berlaku lagi. Alasannya terdapat pada: 1) subtansi kasus tidak bertendensi kasus makar, dan 2) aturan makar cenderung manipulatif sehingga menimbulkan kehidupan orang Papua mengalami perlakuan yang semakin tidak manusiawi. Dengan alasan ini menjadi jelas bahwa aturan makar yang diterapkan di Tanah Papua tidak relevan dan jauh dari kebenaran obyektif.
Kedua; Berkaca dari kriteria kedua ini ternyata menjadi jelas bahwa Kasus makar yang dikenakan selama ini pada orang Papua terlalu prakmatis. Tuntutan penegahkan kebenaran dan keadilan di Tanah Papua sesungguhnya suatu moralitas yang tumbuh dari hati nurani manusia. Tindakan moralitas orang Papua ini tidak pernah menemukan arah dasar yang pasti bagi kehidupan orang Papua oleh karena selalu diperhadapkan dengan aturan makar yang lebih bersifat prakmatis. Hal seperti inilah yang sebenarnya ditolak oleh moralitas publik.
Ketiga; Patokan moral yang ketiga ini menunjukkan bahwa ternyata setiap aksi damai mayarakat Papua dalam rangka menegahkan demokrasi dan Hak Asasi Manusia (HAM) dengan berbagai cara sebagai sebuah uangkapan keprihatinana sosial, namun pada akhirnya dibatasi oleh pihak penegak hukum dengan aturan makar sebenarnya mencederai nilai, rasa dan citra manusia sebagai makluk sosial. Sebab kasus makar yang dituduhkan ini bukan dalam rangka memperjuangkan kepentingan pribadi atau golongan melainkan dalam rangka menciptakan keadaban manusia yang manusiawi. Aturan makar ternyata hadir semacam “firus” yang merusak tatanan hidup manusia. Itulah sebabnya, kasus-kasus makar yang dituduhkan sebenarnya tidak berpatokan pada nilai sosial.
Keempat; Kriteria ke empat ini menunjukkan bahwa ternyata kasus-kasus makar yang dikenakan pada orang Papua membuktikan bahwa kehidapan manusia Papua yang lebih baik dan penegahkan martabat manusia Papua tidak pernah menjadi ukuran dalam menentukan baik-buruknya perbuatan tersebut. Misalnya, hanya karena orang menaikan bendera Bintang Kejora langsung dipenjarahkan. Pada hal orang tidak menyelidiki secara moral apa penyimpangan nilai moral sehingga adanya tuntutan Papua Merdeka dengan menaikan bendera Bintang Kejora itu.
Kelima; Patokan moralitas yang kelima amat jelas bahwa tuntutan rakyat Papua untuk dialog, merdeka, referendum, dan lain-lain ini mengandung nilai kebenaran historis yang tidak perlu dipersoalkan secara moralitas Kristen. Karena itu, perlu ada keterbukaan dari semua pihak untuk mendialogkan secara bermartabat sejauh mana kebenarannya. Sebab ketika orang atau suatu institusi tidak melihat tuntutan masyarakat dari kebenaran histories maka di sanalah ada peluang besar terjadi penyimpangan moral. Penyimpangan yang dilakukan atas nama sebuah institusi akan menjadi sebuh institusi yang amoral. Dan hal ini akan berdampak menurunkan wibawah sebuah bangsa yang manusiawi.
Akhirnya, apa yang dikemukakan tersebut di atas merupakan patokan-patokan dasar untuk melihat bagaiman sebuah perbuatan atau tindakan itu dikatakan bermoral atau tidak bermoral. Dengan berkaca dari lima kriteria moralitas kristiani Pasca Konsili Vatikan II di Indonesia ternyata bahwa peraturan makar dan kasusus makar yang dikenakan pada orang Papua kebenarannya dapat diragukan karena itu perlu ditinjauh kembali. Peninjauan ini penting agar masyarakat kecil yang menuntut hak-hak dasar mereka pada akhirnya tidak dijerat dengan suatu peraturan yang ambigu dan problematik.
3.Makar dalam Di mensi Kitab Suci
Memahami peraturan makar dalam dimensi Kitab Suci tentu akan dilihat dari sudut pandang iman. Dari sudut pandang Iman kita akan diperhadapkan dengan sebuah pertanyaan: sejauh manakah kebenaran peraturan-peratuan makar dan kasus-kasus makar itu berdasarkan ajaran Kitab Suci? Secara khusus istilah makar itu sendiri tidak diungkapkan secara eksplisit di dalam Kitab Suci. Dalam Kitab Suci terungkap aturan-aturan, larangan-larangan, perintah-perintah, nasehat-nasehat dan wahyu-wahyu yang mengatur tentang mana yang boleh dan mana yang tidak boleh, mana yang pantas dan mana yang tidak pantas, manakah yang penting dan mana yang tidak penting, mana yang utama dan manakah yang sampingan tentang kehidupan yang harus dijalani oleh manusia berdasarkan rencana, kehendak, jalan dan pikiran Allah sebagai Sumber Kehidupan selagi manusia masih berziarah di dunia fanah ini. Dalam Kitab Suci kita akan menemukan aturan-aturan yang serupa dengan makar dan kasus makar.
Bertolak dari arti kata makar, yaitu: 1) akal busuk, tipu muslihat; 2) pebuatan (usaha) dengan maksud hendak menyerang atau membunuh orang, dsb; 3) perbuatan (usaha) menjatuhakan pemerintah yang sah; ditemukan juga dalam Kitab Suci. Kitab Suci menasehatkan: “Jangan mengucapkan saksi dusta tentang sesamamu (Kel.20:16); Janganlah kamu mencuri, janganlah kamu berbohong dan janganlah kamu berdusta seorang kepada sesamanya (Im 19:11)”. “Jangan membunuh (Kel.20:13)”; dan “tiap-tiap orang harus takluk kepada pemerintah yang di atasnya, sebab tidak ada pemerintah, yang tidak berasal dari Allah; dan pemerintah-pemerintah yang ada ditetapkan oleh Allah. Sebab itu barang siapa melawan pemerintah, ia melawan ketetapan Allah dan siapa yang melakukannya, akan mendatangkan hukuman atas dirinya….Karena pemerintah adalah hamba Allah untuk kebaikanmu…(Rm 13:1-7). Dengan demikian, ada kesamaan arti antara arti kata makar yang dipakai oleh pemerintah Indonesia dan larangan dan ajaran dalam Kitab Suci. Pertanyaannya adalah apakah stigmatisasi makar dan kasus makar yang dikenakan pada orang Papua itu sungguh-sungguh merupakan sesuatu yang makar? Dimanakah batasan yang jelas sehingga sesuatu perbuatan itu dikatakan makar? Bukankah pembunuhan, pemenjarahan, penyiksaan, penghilangan secara paksa dan penganiayaan karena alasan makar bagi orang Papua merupakan intervensi pemerintah Indonesia terhadap hak mutlak Allah atas kehidupan dan keselamatan manusia? Siapakah yang dapat disebut makar antara pemerintah Indonesia dan masyarakat Papua?
Menjawab pertanyaan tersebut di atas harus bertolak dari realitas masalah. Akar masalah di Tanah Papua sudah jelas, yaitu empat masalah pokok, antara lain: 1) masalah marginalisasi dan diskriminasi terhadap orang Papua, 2) kegagalan pembangungan dalam bidang pendidikan, kesehatan dan ekonomi rakyat, 3) masalah kontradiksi sejarah dan kontruksi identitas politik antara Papua dan Jakarta, dan 4) kekerasan negara terhadap masyarakat Papua melalui Pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM)19. Empat akar persoalan ini mendasari orang Papua menuntut aspirasi Papua Merdeka, lepas dari NKRI. Maka orang Papua juga menuntut Penentuan Nasib Sendiri melalui Referendum agar pemerintah Indonesia tahu pihak manakah suara terbanyak. Selain itu, masyarakat Papua juga menuntut Dialog Nasional dan Internasional agar masalah Papua dapat diselesaikan secara adil dan bermartabat. Tuntutan ini disampaikan dari tahun ke tahun, namun tidak pernah ditanggapi secara positif oleh pemerintah. Pemerintah Indonesia membungkam semua aspirasi tersebut. Bahkan masyarakat yang menuntut Papua Merdeka dengan cara mengibarkan bendera Bintang Kejora, orasi politik, mengangkat lagi-lagu daerah, demontrasi damai dengan mengkritik sistem pemerintahan yang buruk, dan lain-lain selalu disebut makar. Pada hal apa yang dibuat oleh masyarakat Papua adalah kenyataan dan kebenaran historis dengan maksud kebenaran dan keadilan, demokrasi serta Hak Asasi Manusia (HAM) dapat ditegahkannya. Persoalannya adalah dimanakah letak kesalahan makarnya berdasarkan tuntutan Kitab Suci?
Pertama: Tuduhan kasus makar yang berkaitan dengan tipu muslihat. Menurut kaca mata Kitab Suci, orang Papua dikatakan makar apabila tidak mempunyai kebenaran historis, sehingga tuntutan-tuntutan kepada pemerintah Indonesia untuk menjawab hak-hak politik, ekonomi, budaya dan kemanusiaan itu hanya bersifat manipulatif dan hasil dari tipu muslihat. Namun, sebaliknya orang Papua memiliki kebenaran sejarah atas tuntutan-tuntutan mereka tetapi pemerintahlah yang meniadakan kebenaran sejarah itu lalu membenarkan diri dengan bersembunyi dibalik hukum makar maka pemerintah sendirilah yang malahan bisa menjadi pelaku kasus makar. Jangan sampai terjadi seperti apa yang dikatakan Kitab Suci: “mereka menjanjikan kemerdekaan kepada orang lain, pada hal mereka sendiri adalah hamba-hamba kebinasaan,…(2Ptr 2:3)”. Karena itu, kalau kebenaran di pihak orang Papua maka pemerintah Indonesia bertanggung jawab atas semua orang Papua yang korban akibat tuduhan makar. Sebaliknya bahwa kalau tuduhan pemerintah itu secara hukum, historis, etika dan moral serta kemanusiaan dapat beralasan dan dibenarkannya maka rakyat Papua sendiri bertanggung jawab atas semua orang yang korban akibat kasus makar. Jadi, sebenarnya siapa yang berbicara benar dan siapa yang tidak benar perlu dibicarakan melalui suatu dialog yang bermartabat. Yesus bersabda kepada kita: “Jikalau kamu tetap dalam firman-Ku, kamu benar-benar adalah murid-Ku, dan kamu akan mengetahui kebenaran, dan kebenaran itu akan memerdekakan kamu.” (Yoh 8:31-32).
Kedua; Tuduhan kasus makar yang berkaitan dengan perbuatan dengan maksud hendak menyerang atau membunuh orang. Menurut ajaran Kitab Suci sangat dilarang membunuh orang. Manusia tidak punya hak untuk membunuh hak hidup orang lain, karena yang empunya hak atas hidup dan matinya manusia adalah otoritas mutlak Allah. Manusia sama sekali tidak punya wewenang untuk mengintervensi hak mutlah Allah dengan menghabisi nyawa orang ataupun membatasi hak hidup orang dengan suatu tekanan yang berat. Bertolak dari pemahaman ini apabila terbukti bahwa orang Papua yang korban dalam makar tidak perna mempunyai rencana ataupun membunuh penguasa/pemerintah yang sah, maka korban mereka adalah korban ketidakadilan dan tipu muslihat. Negara harus bertanggung jawab atas perbuatannya. Dan sebaliknya bahwa korban kasus makar tersebut terbukti membunuh pejabat pemerintahan, maka ia harus diberi hukuman setimpal dengan perbuatannya. Namun, dalam hal ini banyak yang terjadi itu adalah orang Papua yang melakukan demontrasi, orasi politik dan menaikan Bendera Bintang Kejora dituduh sebagai makar. Pada hal dalam arena demokrasi perbuatan demikian merupakan kebebasan masyarakat menyampaikan pendapatnya kepada pemerintah yang dipimpinnya. Di sini perlu ada keterbukaan dan pengakuan atas kesalahan lalu duduk bersama untuk mencari solusi demi kedamaian bersama. Kitab Suci mengajak: “Bukalah mulutmu untuk orang yang bisu, untuk hak semua orang yang merana. Bukalah mulutmu, ambillah keputusan secara adil dan berilkanlah kepada yang tertindas dan yang miskin hak mereka” (Amsal 31: 8-9).
Ketiga; Tuduhan kasus makar yang berhubungan dengan perbuatan menjatuhkan pemerintahan yang sah. Dengan alasan ini menjadi landasan utama bagi pemerintah Indonesia, sehingga selama ini masyarakat Papua yang menuntut Papua Merdeka, mengkritik sistem pemerintahan yang buruk, pembangunan yang tidak berhasil, dan tuntut menuntaskan kasus palanggaran Hak Asasi Manusia dianggap oleh pemerintah Indonesia sebagai suatu usaha masyarakat Papua untuk meronrong pemerintahan yang sah. Karena itu, mereka dijerat makar pidana. Untuk membenarkan perbuatan penguasa ini orang kadang mengadopsi teks Kitab Suci dalam Roma 13: 1-7 tentang kepatuhan kepada pemerintah.
Kita perlu memahami konteks pembicaraan rasul Paulus dalam surat kepada jemaat Roma tersebut di atas. Penjelasan Paulus tentang kepatuhan kepada pemerintah dalam teks Kitab Suci tersebuat, sama sekali salah kalau orang berpendapat bahwa Paulus bermaksud menguraikan suatu teori umum mengenai hubunan Gereja-negara20. Paulus menjelaskan karena ada kekawatiran bahwa adanya suatu anarki yang akan muncul dari pandangan beberapa orang Kristen bahwa mereka sudah menjadi warga dunia lain, telah mendapat kebebasan baru dalam Kristus, dan karenanya mereka tidak perlu tuntuk kepada para pembesar sipil. Paulus tampaknya menghadapi suatu situasi khusus dalam pikirannya. Hamba dalam ayat 4 dan pelayan dalam ayat 6 menggambarkan pemegang kuasa sipil yang biasa dijumpai orang dalam hubungan sosial sehari-hari. Sedangkan perintah perbuatlah apa yang baik…berarti suatu dorongan untuk mengusahakan agar kelakuan politik jemaat menjadi benar, baik dan sesuai. Tentu saja pengandaiannya adalah bahwa para penguasa bekerja demi kebaikan bersama orang-orang bawahannya (ay 4). Dengan demikian, sorotan utamanya adalah siapa yang melakukan tipu muslihat, pembunuhan, merong-rong keutuhan negara? Apakah orang Papua? Apakah pemerintah Indonesia? Perlu ada pemecahan atas masalah ini antara orang Papua dan pemerintah Indonesia. Kitab Suci berkata: “kalau engkau melihat dalam suatu daerah orang miskin ditindas dan hukum serta keadilan diperkosa, janganlah heran akan perkara itu, karena pejabat tinggi yang satu mengawasi yang lain , begitu pula pejabat-pejabat yang lebih tinggi mengawasi mereka” (Pengkotbah 5:7).
Akhirnya, ketika kita lihat dari kaca mata Kitab Suci ternyata Pembunuhan, pemenjarahan, penganiayaan dan penghilangan nyawa orang secara paksa merupakan suatu tindakan yang tidak bernafaskan pada hukum dasar CINTA KASIH, yang merupakan hukum dasar dalam ajaran Kristiani. Ada dua hukum dasar, yaitu: pertama; “kasihilah Tuhan, Allahmu, dengan segenap hatimu dan dengan segenap jiwamu dan dengan segenap akal budimu”. Itulah hukum yang terutama dan yang pertama. Dan hukum yang kedua, yang sama dengan itu, ialah: “Kasihilah sesamamu manusia seperti dirimu sendiri” (Mat 22:37-40). Kedua hukum ini meniadakan hukum Taurat yang lebih mengutamakan legitimasi hukum, prakmatis dan individualis yang mengorbankan martabat dasariah manusia. Karena itu, tidak berlaku lagi ajaran nabi Musa tentang “mata ganti mata dan gigi ganti gigi” untuk diterapkannya. Prinsipnya bukan “kejahatan dibalas dengan kejahatan, melainkan kejahatan harus dibalas dengan kebaikan”.
Alasan-alasan mendasarnya adalah:
Pertama; manusia adalah citra/gambar/rupa Allah. Manusia diciptakan menurut gambar Allah sendiri, Allah memberikan perintah kepada manusia untuk menaklukan dunia serta segala isi kepada dirinya dan memerintah dunia dengan adil dan kudus21 dan untuk mengakui Allah sebagai pencipta segala sesuatu dan mengacu dirinya serta alam semesta kepada Dia, … dan nama Allah dikagumi oleh seluruh dunia22.
Kedua, manusia adalah makhluk yang memiliki martabat yang luhur. Martabat luhur ini diterima dari Allah sendiri, yang hakekatnya adalah bahwa ia adalah pribadi/persona, makhluk berakl budi dan berkehendak bebas yang disaksikan padanya oleh suara hatinya23.
Ketiga, hidup manusia adalah kepunyaan Allah. Manusia tidak bisa mengintervensi nyawa hidup manusia lain untuk disusahkan, apalagi dihabisi. Allah yang memiliki hak mutlak memberi hidup kepada setiap orang dan Allah berhak pula menarik kembali nafas kehidupan. Di sini manusia tidak punya otoritas untuk mengintervensi hak Allah.
Keempat; setiap manusia sama derajat dihadapan Allah. Tidak ada satu manusia yang lebih tinggi derajatnya dengan manusia lain. Semua manusia sama. Setiap manusia memiliki kebutuhan untuk dihargai dan dihormati. Pada dasarnya merasa dilecehkan bila sesama manusia saling memperlakukan secara tidak manusiawi. Setiap perbuatan manusia akan diadili Allah, hakim yang benar dan adil menurut perbuatannya.
F.Rekomendasi
Perkara makar menjadi sebuah peraturan yang telah membudaya di Tanah Papua. Persoalannya adalah peraturan ini amat problematis dan dilematis ketika diterapkan di negara Indonesia sebagai negara yang menganut sistem demokrasi serta menjunjung tinggi nilai-nilai kemanusiaan. Di tinjau dari segi historisnya peraturan ini amat sudah tidak relevan lagi pada zaman ini diterapkan. Adalah baik kalau semua komponene masyarakat Papua (Gubernur, DPRP, TNI/POLRI, MRP, DAP, PDP, LSM, Mahasiswa, dan Perempuan) duduk bersama mengklarifikasi aturan ini melalui sebuah DIALOG lokal. Melalui ruang ini akan menghasilkan sebuah nota kesepakatan mengenai peraturan dan stigmatisasi makar, sehingga diaturnya dalam perdasi dan perdasus. Hemat kami usaha usaha ini sesuatu yang positif dan karena itu mendesak dibuat. Karena usaha ini merupakan salah satu alternatif terbaik. Alternatif yang mendasari penghargaan terhadap martabat manusia Papua sebagai ciptaan Tuhan. Kalau kondisi ini dibiarkan tentu bahwa masyarakat tetap menganggap pemerintah berkehendak memelihara budaya kekerasan di Tanah Papua demi kepentingan ekonomi dan politik semata.
G.Penutup
Setiap masalah diciptakan oleh manusia maka manusia sendirilah yang harus menyelesaikan masalah tersebut. Kasus makar adalah sebuah kasus ciptaan manusia yang mengorbankan sekian banyak manusia Papua. Alasannya demi hukum. Tetapi Kitab Suci berkata nilai manusia jauh lebih tinggi ketimbang hanyalah sebuah aturan. Karena aturan yang dibuat oleh manusia bisa benar dan bisa pula salah berdasarkan keterbatasan manusia. Hukum Allah adalah hukum Cinta Kasih yang bermuara pada keselamatan jiwa manusia. Di sinilah kita semua sebagai sesama ciptaan Allah merendahkan diri dihadapan Allah seraya memohon pengampunan atas segalah salah dan dosa kita sambil bertobat dengan melakukan perdamaian melalui dialog dan rekonsiliasi di Tanah Papua khususnya dan Indonesia pada umumnya. Amin!
DAFTAR PUSTAKA
DEPARTEMEN PENDIDIKAN DAN KEBUDAYAAN, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Edisi Kedua, Jakarta: Balai Pustaka, 2006.
DIANE BERGENT CSA, ROBERT J. KARRIS, OFM, Tafsir Alkitab Perjanjian Baru, Kanisius: Lembaga Biblika Indonesia, 2002.
LIPI, Papua Road Map, negotiating the Past, improving the Present and Securing the Future, Yayasan Tifa dan Yayasan Obor Indonesia, Jakarta, 2009.
MARCEL BEDING, BR.MARDIATMAJA, SJ, DKK, Gereja Indonesis Pasca Vatikan II, Refleksi dan Tantangan, Yogyakarta, Kanisius, 1997.
PDT. SOKRATES SOFYAN YOMAN, M.Th, Orang Papua Bukan Makar, Separatis dan OPM, Jayapura, 2004.
SALAHUDIN SH, Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP) dan Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana (KUHAP), Visimedia, Jakarta, 2007.
CENDRAWASIH POS, Senin, 16 Februari 2009.
BAB VII
MAKAR DALAM PANDANGAN
MASYARAKAT ADAT24
(Oleh Forkorus Yaboisembut S.Pd)
I. PENDAHULUAN
1.Latar Belakang
Pada tahun 1453 Sultan Tidore ke-10 yang bernama Ibnu Mansur dengan beberapa anggota eksepedisi telah menginjakkan kakinya di bagian Barat Pulau Papua. Kemudian diberi nama “Papo ua“ yang artinya tidak bergabung, atau tidak bergandeng (not integrated) atau tidak bersatu. Para pelaut Barat yang pertama kali menginjak kakinya di Papua menemukan daratan besar, ketika memimpin ekspedisi sejumlah pelaut Portugis pada tahun 1511, yang kemudian diberi nama ‘Os Papua atau Jlha de Papo ia’ adalah Antonio d’Abrau. (Lihat, Yoris Th.Raweyai, Mengapa Papua Ingin Merdeka, hal. 5 tahun 2002).
Sebelum tahun 1453 sampai dengan masuknya Injil di Tanah Papua pada tanggal 5 Februari 1855 di Pulau Mansinam oleh dua Rasul Papua Ottow dan Geisller, orang Papua masih hidup secara nomaden atau hidup berpindah-pindah. Walaupun hidup berpindah-pindah, tetapi setiap etnis tetap berada dalam suatu struktur kepemimpinan dan bergerak hanya di dalam wilayah kebudayaannya masing-masing, yang dipertahankan dengan perang antara kampung dan suku.
Setelah pekabaran Injil tahun 1855, maka terang Injil Yesus Kristus mulai menerangi kehidupan orang asli Papua. Perdamaian mulai tumbuh secara terbuka antara individu, marga, kampung, sub suku, dan suku. Orang Papua mulai sadar berpikir untuk hidup menetap dalam suatu perkampungan dengan struktur kepemimpinan yang tadinya berpindah-pindah tempat.
Sebelum bangsa-bangsa lain dari luar Pulau Papua masuk menginjakkan kaki dan mengklaim secara sepihak dangan cara bujuk ataupun memaksa dengan kekerasan, untuk menjadikan tanah Papua sebagai bagian dari wilayah mereka, orang asli Papua (MAP) belum tahu, mengenal dan merasakan kata “makar” dan akibatnya yang mengancam hak hidup. Orang Papua pada zaman itu bebas dari tuduhan separatis dan makar serta ancaman hukumannya. Tapi kini separatis dan makar sebagai tamu yang tidak di undang telah, sedang dan akan terus mengancam hak hidup orang asli Papua.
2.Pengertian kata “Makar” dan “Separatis”
a . M a k a r
Dalam beberapa kamus bahasa Indonesia kata “makar” adalah bangkar (kaku, keras) biasa di pakai untuk tumbuhan atau buah (Drs.Abdul Muis, kamus lengkap bahasa Indonesia, hal.200 dan 39). Menurut kamus Indonesia-Inggris oleh John M.Echols dan Hasan Shadily, menyatakan pengertian dalam dua bagian: pertama, makar bisa berarti (1) trick, tactics, (2) attach, assault; (3) attack against the government, ke dua makar bisa berarti, (1) hard and tough (Of Fruits and vegetables. (2) unripe (of fruit)
b.S e p a r a t i s
Kata separatis berasal dari bahasa Belanda,”separatie”yang artinya pengasingan atau pemisahan; sedangkan separatisme (bahasa belanda) yang bermakna haluan yang berhasrat memisahkan diri (W. Surya Hendra,kamus politik, hal. 305, tahun 1978)
Bila kita membaca sejarah perjuangan suatu bangsa,kata-kata makar, separatis dan lain-lain lebih banyak digunakan oleh aktor penjajah untuk membungkam perjuangan kemerdekaan suatu bangsa. Misalnya, di masa lampau ketika Afrika dijajah Perancis, Inggris, Spanyol, dan Portugal, kaum nasionalis yang berjuang melawan penjajah digambarkan dan dituduh sebagai gengster, ekstrimis, pemimpin gerombolan, bukan sebagai pejuang kebebasan.”(LIPI,jurnal penelitian politik , vol.3, hal. 113, Papua menguat tahun 2006.)
3. Stigma Makar dan Separatis bagi Orang Asli Papua
Orang asli Papua nota bene adalah Bangsa Papua, Rumpun Melanesia, Ras Negroid. Orang Papua mulai mengenal kata makar dan separatis dan istilah lainnya yang bermakna sononim sejak peralihan pemerintahan Nederlands Nieuw Guinea kepada pemerintah Republik Indonesia lewat United Nations Temporary Administration (UNTEA) pada tanggal 1 Mei 1963, sampai sekarang.
Mengapa orang Papua yang menentang pemerintah Indonesia dikatakan makar dan separatis? Adil dan benarkah makar dan separatis dikatakan dan didakwakan oleh Pemerintah Indonesia pada orang asli Papua?
Itulah pertanyaan-pertanyaan yang selalu menggelitik di dalam hati orang asli Papua. Benar atau salah stigma makar dan separatis yang dituduh kepada orang asli Papua, sangat perlu kita bahas secara ilmiah. Agar menjadi jelas dan terang benderang bagi semua pihak; sehingga orang asli Papua tidak lagi secara terus-menerus dituduh makar dan separatis, dengan ancaman hukuman dalam berbagai bentuk.
Dalam makalah ini benar-salah tuduhan makar dan separatis, kita akan bahas dari dua sudut pandan, yaitu: cara pandang orang asli Papua tentang dirinya sendiri dan cara pandang pemerintah Indonesia.
Kemudian dua pandangan itu kita perlu konfrontir dan menimbang serta memutuskan salah – benar dengan menggunakan prisip-prinsip atau fondamental kriteria dalam insrumen internasional tentang hak-hak azasi manusia (HAM) dan hukum internasional. Selain ,kita juga patut menganalisa dengan menggunakan ilmu pengetahuan dan teknologi (IPTEK) lainnya. Walaupun sari kebenaran itu relatif atau nisbih menurut pandangan relatifisme moral.
Tetapi kebenaran relatif itu telah digunakan oleh bangsa-bangsa lain di dunia selama ini dalam menata kehidupan berbangsa dan bernegara mereka; karena kebenaran yang apsolut atau mutlak hanya ada pada Tuhan sang pencipta alam semesta dan seala isinya. Agar supaya ada keadilan dalam dunia ini, maka bangsa Papua merasa wajar dan wajib mengungkapkan prinsip-prinsip atau kriteria fundamental dari istrumen-istrumen HAM dan hukuman internasional. Untuk menata kehidupan berbangsa dan bernegara sebagaimana layaknya bangsa-bangsa lain di planet bumi ini.
II. KONTRAVERSI CARA PANDANG IDENTITAS POLITIK PAPUA
1. Cara Pandang Orang Asli Papua
a. Identitas Politik Bangsa
Politik merupakan hak yang tak dapat dipisahkan dari hak azasi manusia (HAM) secara nyeluruh dan utuh. Hak azasi manusia ditinjau dari hakekat sifat kodrat manusia, terdiri dari dua bagian yaitu hak sebagai makhluk individu dan hak sebagai makhluk sosial. Kemudian ditinjau dari kedudukan kodrat, terdiri dari hak sebagai makhluk Tuhan dan hak sebagai makhluk yang berdiri sendiri.
Hak kodrat manusua itu merupakan landasan pembangunan dan pengembangan hak azasi manusia dalam berbagai bidang kehidupan. Hak Azasi Manusia (HAM) sesuai dangan hakekat kodrat manusuia pada prinsipnya dibedakan dalam dua bagian yaitu: Personal Right dan Pollitical Rigth”.
Personal Rigth merupakan hak azasi atas pribadi diri sendiri atau hak pribadi; sedangkan Politikal Right adalah hak azasi dalam kelompok yang dibangun berdasarkan kesepkatan bersama dalam demokrasi untuk memenuhi kepentingan bersama yang membahagiakan dalam mensejahtrakan.
Identitas Politik Bangsa, kita lihat sebagai ciri-ciri individu dalam kelompok yang sama (homogen) terwakili secara merata, baik dari faktor fisik maupun ikatan emosional yang berlaku,diakoi,di sepakati dan di terima bersama-sama berdasarkan kategori anolitik (analisa) maupun kategori praktek.
b. Identitas Politik Papua
Orang asli Papua mengidentifikasikan diri (right of self identification) sebagai Bangsa Papua, rumpun Melanesia, ras negroid.
Secara demokrasi tokoh-tokoh (pemuka orang asli Papua) melalui Komite Nasional dalam Kongres Papua I (pertama) pada Tanggal 19 0ktober 1961 telah menyepakati dan menyatakan dalam bentuk “Manifesto Politik” bahwa bangsa kami adalah “Bangsa Papua Barat,” lagu kebangsaan kami adalah “Hai Tanahku Papua” dan bendera bangsa kami adalah “Bintang Fajar”.
Pada Tanggal 1 Desember 1961 Bendera Bintang Fajar dan lagu Hai Tanahku Papua diizinkan Pemerintah Nederlands Nieuw Guinea untuk dikibarkan dan dinyanyikan untuk pertama kali di Hollandia Haven (sekarang Jayapura). Itu berarti Bayi Bangsa Papua Barat telah lahir secara damai dan demokratis, selanjutnya akan dipelihara menjadi dewasa dan bertanggung jawab untuk mengurus dirinya sendiri secara bebas dan mandiri atas tanah-airnya.
Status politik Bangsa Papua itu mulai tergoncang. Ingin dibatalkan atau digagalkan setelah berumur 2 ½ tahun (sejak 1 Desember 1961 sampai 1 Mei 1963) ketika pemerintah Nederland Nieuw Guinea menyerahkan kekuasaan admistrasi kepada pemerintah Indonesia melalui United Nation Temporary Autority/Administration (UNTEA) pada tanggal 1 Mei 1963 atas desakan presiden America Jhon F Kenedy. Hal itu terjadi dengan alasan mencegah terjadinya perang dingin antara blok barat yang dipimpin oleh Amerika Serikat dan blok timur yang waktu itu dipimpin oleh Uni Soviet (Rusia sekarang)
Keinginan untuk menggagalkan atau meniadakan Bayi Negara Bangsa Papua telah ada sejak masih didalam kandungan Komite Nasional Papua seperti gagasan dalam Konfrensi Meja Bundar di Den Haag (Nederland) dan melalui isi Tri Komando Rakyat (TRIKORA) pada tanggal 11 Desember 1961 oleh Presiden Sukarno mulailah proses implementasinya. Dan hal itu sekaligus sebagai awal dari terjadinya pelanggaran hak politik Bangsa Papua.
2 . Identitas Politik Papua dan Pandangan Pemerintah Indonesia
a. Kekhawatiran Tumbunya Pikiran Imperialisme
Dalam Sidang Badan Penyelidik Usaha Persiapan Kemerdekaan Indinesia (BPUPKI) yang dimulai dari tanggal 29 Mei-31 Mei 1945 telah terjadi perdebatan tentang batas wilayah dan bentuk Negara Indonesia (Forum Keadilan Edisi khusus 17 Agustus 1998, hal. 32-33). Pendapat Muhamad Yamin SH, yang didukung oleh Ir.Sukarno wilayah Indonesia “juga…Kalimantan, termasuk Katu lingga, sedu dan serawak semenanjung melayu…dan Irian Jaya; berdasarkan buku negara Kertagama yang di tulis Prapanca”.
“Gagasan tentang Majapahit dan Sriwijaya itu saja tak ada yang membantah; namun sebagaimana yang terlihat dalam pendapat Mohamad Hatta atau dan Haji Agus Salim, penghormatan terhadap hukum Internasional hendaknya dijunjung tinggi; artinya untuk saat itu, wilayah yang dikuasai oleh Hindia Belanda lah yang layak disebut sebagai Indonesia yang dapat prioritas untuk dimerdekakan. Kata Mohamad Hatta,”Dahulu saya sudah menyatakan pendapat tentang Maluku, bagi saya, saya lebih suka Maluku menjadi negara yang merdeka sendiri”, adapun gagasan yang menyangkut Papua, tokoh kharismatik itu justru mengkhawatirkan tumbuhya pikiran imprialisme dikalangan kolega-koleganya itu.
Dalam perbedaan pendapat tentang wilayah Indonesia itu, kubuh Mohamad Hatta dan kawan- kawan yang menang setelah sedang melakukan pemungutan suara, meraih 39 suara dari 66 anggota BPUPKI menginginkan wilayah jajahan Hindia belanda yang dianggap Indonesia.”(Hal. 32).
b. Kekhawatiran Tumbuhnya Pikiran Imperialisme Menjadi Kenyataan
Beberapa tahun kemudian kekhawatiran Mohamad Hatta tentang tumbuhnya imperialisme atau melanggar hukum Internasional menjadi kenyataan.
Pada tanggal 11 Desember 1961 di Lapangan Alun-alun Utara Jogyakarta, Presiden Sukarno mengumumkan Tri Komando Rakyat (TRIKORA) yang isinya : “Komando saya dengan tegas ialah : Gagalkan hai seluruh rakyat Indonesia, gagalkan pendirian Negara Papua itu. Apa komando saya lagi? Hai seluruh Rakyat Indonesia,’ kibarkan sang merah putih di Irian Barat itu! ‘Tegas saya memberi komando ini. Kibarkan bendera kita! Siap sedialah akan datang mobilisasi umum….saudara-saudara kita inilah bunyinya. (Yoris Raweyai, Mengapa Papua Ingin Merdeka hal. 26-27).
Ada yang menarik dari isi TRIKORA, yaitu secara tersurat maupun tersirat, mantan Presiden Sukarno telah mengakui adanya “Negara Papua” sehingga memerintahkan menggagalkan pendiriannya. Adanya bayi Negara Papua dalam isi Trikora merupakan bukti autentik pengakuan pemerintah Indonesia secara tidak sadar dan tidak langsung.
Masa infiltrsi perebutan Papua mulai pada tanggal 2 Januari 1962 dengan terbentuknya Komando Operasi Mandala yang dipimpin Mayor Jendral Suharto. Untuk melakukan operasi militer dan mengembangkan situasi militer di Papua Barat sesuai dengan perjuangan bidang diplomasi; sehingga secara defakto ditempatkan unsur-unsur pemerintah daerah Republik Indonesia sampai sekarang.
3. Identitas Politik Papua dalam Pandangan Hukum Internasional
Apakah kata hukum Internasional dan Hak Azasi Manusia tentang identitas politik Bangsa Papua? Untuk itu, kita perlu melihat prinsip-prinsip yang fondamental dalam hukum internasional yang berkaitan identitas polittik Bangsa Papua Barat berikut ini :
a Prinsip Right of Self-identification
Right of self-identification merupakan hak mengidentifikasi diri sendiri. Siapa saya? Saya ada di mana? Sebagai salah satu hak yang fondamental.
Hak mengidentifikasi diri dalam deklarasi Umum Hak Azasi manusua (DUHAM) sebagaimana ditetapkan oleh Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) pada tanggal 10 Desember 1948, disebutkan pada pasal 15 dimana :
ayat 1, berbunyi: “Setiap orang berhak untuk memiliki suatu kebangsaan”
ayat 2, berbunyi: “Tak seorangpun boleh di cabut hak kebangsaan itu, atau ditolak haknya untuk meruba kebangsaan itu“.
Dalam ILO Convention No. 169 tahun 1989 pada artikel 1, 2 menyatakan ”self-idenfication as indigenous or tribal people shall be regarded as fondamental criteron for determining the gruop to which the provision of this convension apply.” Ya, orang asli Papua berhak untuk mengidentifikasikan diri tanpa larangan dari pihak manapun, orang Papua berhak menyatakan diri sebagai Bangsa Papua.
b. Prinsip Right of Self-determinaation
Pada tahun 1961 Bangsa Papua yang merupakan kesatuan kebangsaan telah menentukan nasibnya sendiri, sesuai dengan fasal 2 dari resolusi 1514 (XV) yang berbunyi : “segala bangsa berhak menentukan nasib mereka sendiri, berdasarkan hak itu mereka bisa memilih status politik mereka dan bebas pula melanjutkan perkembangan-perkembangan mereka dibidang ekonomi, sosial dan kebudayaan.”
Dalam convention ILO No. 169 tahun 1989, artikel 1.3 menyebutkan “However,convention no 169 does not pleace any limitation on the right of self-determination it is kompatible with any future internasional instruments which they establish or define such a right”.
Pembukaan UUD 1945 alinea pertama juga sangat mendukung,”bahwa sesunggunya kemerdekaan itu ialah hak segala bangsa, oleh sebab itu penjajahan di muka bumi ini harus dihapuskan, karena tidak sesuai dengan perikemanusiaan dan prikeadilan.
c. Prinsip Rasa Keadilan dalam Tuduhan Makar.
Perjuangan orang asli Papua bukanlah untuk merongrong Negara Kesatuan Republik Indonesia.Tetapi untuk memulihkan dan mengembalikan hak kemerdekaan Bangsa Papua yang telah ada sejak 1 Desember 1961.
Orang Papua dalam perjuangan mereka untuk mempertahankan identitas politik dan hak politik sebagai satu bangsa sudah sesuai dengan hukum Internasional sehingga tidak patut dikenakan tuduhan makar. Orang asli Papua merasakan bahwa Perserikatan Bangsa-Bangsa dan anggota-anggotanya telah berlaku tidak adil atas hak penentuan nasip sendiri Bangsa Papua, sehingga membiarkan Negara Kesatuan Republik Indonesia menganeksasi Bangsa Papua dan wilayahnya pada tanggal 1 Mei 1963 dengan menurunkan Bendera Papua, Bintang Fajar.
Benarkah Negara Bangsa Papua dianeksasikan oleh Pemerintah Negara Kestuan Republik Indonesia? Apakah aneksasi itu? Aneksasi ”dalam hukum Bangsa-Bangsa: (adalah) meluaskan wilayah negara dengan cara kekerasan (terkadang juga dengan traktat ). Biasanya dengan dalih: kekeluargaan Bangsa serta hubungan kenegaraan atau kebudayaan. Jika pemerintah daerah yang dianeksasi itu ditiadakan dengan peperangan, maka aneksasi itu dinamakan debelitio (lat). Contoh debelitio: Korea oleh Jepang (1910) Albania oleh Italia (1939) Ceko oleh Jerman (1939). Jika daerah yang di aneksasi tidak mempunyai status (tak bertuan) dinamakan Occupotion (lat). Contoh Occupotion: Congo oleh Belgia (1908), (Montenegro oleh Serbia (PDI), Indonesia oleh Jepang (1942-1945), (Ensiklopedi Indonesia Edisi Khusus, Jilid 1, halaman 213) .
Bangsa Papua sudah merdeka dan sudah ada pemerintahan sementara di dalam Nederlansd Nieuw Guinea untuk dibina dan membentuk Pemerintah sendiri (self Government) secara penuh. Tapi sayang dalam usia baru 2 ½ tahun (1 Desember 1961 sampai dengan 1 Mei 1963) telah dianeksasi oleh pemerintah Indonesia lewat United Nation Temporary/Atministration (UNTEA) sampai sekarang dengan melalui traktat yang disebut New York Agreement.
III. KESIMPULAN DAN REKOMENDASI
1. K e s i m p u l a n
Hal ihwal tentang “makar” yang kontrafersi dangan sejarah,Hak-hak Azasi Manusia (HAM) dan insrtumen hukum Internasional dapat kita simpukan sebagai berikut: “Orang asli Papua telah menyatakan, mengakui, menerima, merasakan, dan menikmati definisi kebangsaan (bangsa/nation) sebagai identitas politik dalam 2 (dua) kategori; Yaitu: pertama, menurut kategori analitik (analisa), dan yang kedua, menurut kategori praktek. Kalau dipaksakan hanya salah satu, yaitu kategori praktek tidak dibenarkan dan tidak diterima oleh orang asli Papua.”
Mengakui, menghargai dan menghormati hak orang asli sebagai Bangsa Papua merupakan bahagian dari rasa kenikmatan, kebahagiaan dan kesejahteraan batin.
Pemerintah Indonesia menyatakan bubarkan Negara Bangsa Papua karena itu boneka buatan Pemerintah Belanda. Tetapi Negara Kesatuaan Republik Indonesia (NKRI) mungkin lupa dengan sejarah kemerdekaan Indonesia, bahwa perjuangan kemerdekaan Indonesia pernah dibantu oleh pemerintah Jepang setelah Herosima dan Nagasaki dibom oleh Amerika Serikat dalam perang Dunia ke II (Dua).
Jepang tidak suka Indonesia jatuh ke tangan Amerika Serikat dan sekutunya Belanda. Oleh karena itu, pemerintah Jepang bertepatan dangan hari ulang tahun Teno Heiko,29 April 1945 mendirikan Dukuritzu Zyunbi Tyoosakai (Badan Penyelidikan Usaha-usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia, disingkat Badan Penyelidik. Tugas mempelajari dan menyelidiki segala sesuatu mengenai kemerdekaan tanah air. Terdiri dari seorang ketua (Dr Radjiman Widyoningrat), dua orang wakil ketua, yakni R.P.Suroso dan seorang Jepang, (Ensiklopedi Indonesia Edisi Khusus Jilid 2). Jika demikian: “Boneka juga kah kemerdekakan indonesia?”
Tidak adil dan tidak dapat dibenarkan, bila hukum makar dituduh dan didakwakan kepada orang asli Papua,karena :
a) Hukum makar yang dibuat dan diberlakukan tidak sesuai dengan hati nurani orang asli Papua (hukum yang di sebut hetronom lawan dari otonom)
b) Tidak sesuai dengan istrumen Hukum Internasional dan Hak Azasi Manusia ;
c) Bertentangan dengan pembukaan UUD 1945, alinea pertama;
d) Karena orang asli Papua sudah Merdeka sejak tanggal 1 Desember 1961;
e) Oleh karena itu, Penentuaan Pendapat Rakyat (PEPERA) pada Tahun 1969 sesunggunya tidak perlu diadakan dan sekarang harus dinyatakan telah cacat hukum sejak proses pembuatan sampai dengan implementasinya, yang telah melanggar Hak Azasi Manusia (HAM).
2. R e k o m e n d a s i
Untuk menegakkan rasa keadilan berdasarkan hukum Internasional, demokrasi dan Hak Asasi Manusia (HAM) di atas tanah dan orang asli Papua, maka dapat memberikan rekomensasi sebagai berikut :
1.Diwajibkan kepada pemerintah NKRI sebagai anggota PBB untuk mencabut hukum makar dan tidak berlaku lagi bagi orang asli Papua Barat;
2.Semua tahanan politik orang asli Papua dan non Papua (jika ada) harus dibebaskan dari tuntutan hukuman atas dakwaan makar dalam bentuk apapun, baik yang ada di Papua dan Indonesia;
3.PBB dan Negara-Negara anggota segera menyelesaikan sengketa politik antara Bangsa Papua dan Negara Bangsa Indonesia, serta memulihkan dan mengembalikan kedaulatan kemerdekaan Bangsa Papua Barat yang dianeksasi pada tanggal 1 Mei 1963;
4.Orang asli Papua harus mendaftarkan sengketa politik,sebagai dua negara bansa yang bertikai ke Mahkamah Internasional sesuai bunyi poin (C) di atas dalam waktu dekat ini.
5.Pemerintah Negara Republik Indonesia sudah saatnya mencabut Tri Komando Rakyat (TRIKORA) yang diumumkan oleh mantan Presiden Sukarno pada tanggal 19 Desember 1961 di Jogyakarta; karena pencaplokan dan upaya penggagalan kemerdekaan Bangsa Papua Barat adalah tindakan aneksasi,yang melanggar Hak Azasi Manusia dan Hukum Internasional (Hukum Bangsa-Bangsa).
Port Numbay, 27 Februari 2010
BAB VIII
MAKAR DALAM PANDANGAN
FAKSI POLITIK PAPUA BARAT25
(Oleh: Selpius Bobii)
A.MAKAR DAN REFORMASI
1.Makar alias “Seringala” Buatan Manusia
Penerapan hukum “makar” terkait erat dengan mempertahankan wilayah kekuasaan suatu Negara. Bagi orang atau komunitas tertentu yang memperjuangkan hak-hak dasarnya yang dirampas atau diinjak-injak oleh Negara, termasuk perjuangan hak penentuan nasib sendiri yang dijamin oleh perangkat hukum Internasional, selalu dihadapkan dengan kekuatan Negara, entah dengan penumpasan dengan kekerasan bersenjata dan dengan menempuh cara-cara lain, yakni teror, intimidasi, penyiksaan, peracunan lewat makanan dan minuman, penangkapan dan pemenjaraan, bahkan penculikan dan pembunuhan misterius.
Penerapan pasal “Makar” oleh Negara dalam kehidupan berbangsa dan bernegara telah, sedang dan akan membawa malapeta bagi sebagian umat manusia di planet bumi ini. Tak terhitung banyaknya umat manusia yang tak berdosa mengalami penderitaan, baik secara fisik maupun psikis, bahkan jutaan jiwa umat manusia telah berguguran ditelan seringala buatan manusia, alias hukum makar yang diterapkan Negara melalui kaki tangannya.
Seringala buatan manusia “hukum makar” yang dikendalikan dan diterapkan oleh alat Negara yang mana melahirkan kejahatan kemanusiaan, sangat bertentangan dengan nilai-nilai luhur, yakni demokrasi, Hak Asasi Manusia, keadilan dan kebenaran. Juga bertentangan dengan perangkat-perangkat hukum Internasional yang disahkan dan ditetapkan oleh Perserikatan Bangsa-Bangsa sebagai lembaga terhormat dan tertinggi dunia yang memperjuangkan penghormatan dan perlindungan serta penegakkan Hak Asasi Manusia di planet bumi ini.
2.Penerapan Hukum Makar: “Penghambat Reformasi”
Penerapan hukum makar tak dapat dibenarkan karena selain memperhambat proses reformasi yang sudah dan sedang bergulir secara global dalam berbagai dimensi kehidupan masyarakat, bahkan juga memperhambat perhormatan, perlindungan dan penegakkan kemanusiaan yang sudah, sedang dan akan diperjuangkan oleh umat manusia di planet bumi ini dibawah organisasi Perserikatan Bangsa-Bangsa.
Dalam konteks Negara Indonesia, pintu reformasi mulai dibuka sejak digulirkannya presiden Soeharto oleh kekuatan segenap Rakyat Indonesia. Sejak runtuhnya pemerintahan alm. Soeharto, Negara Indonesia memasuki dunia yang baru, sistem pemerintahan yang baru dan tatanan masyarakat yang baru.
Perlu kita kagumi bahwa runtuhnya pemerintan Soeharto memberikan angin segar bagi segenap Rakyat Indonesia untuk mereformasi sistem pemerintahan yang otoriterisme. Secara kasat mata dapat dilihat bahwa dengan bergulirnya reformasi pada tahun 1998, maka ada beberapa perubahan yang terjadi dalam sistem pemerintahan. Salah satunya terbukanya ruang demokrasi.
B.DEMOKRASI DAN KEBEBASAN
1.Demokrasi Dipancung
Perlu kita simak lebih jauh, apakah Negara Indonesia benar-benar menciptakan sistem demokrasi yang utuh dan sejati? Yang terjadi di Indonesia pasca runtuhnya rezim Soeharto dalam bidang demokrasi adalah menerapkan “demokrasi yang sempit”. Dikatakan demikian karena Negara Indonesia masih memakai pola-pola lama yang dipraktekkan oleh pemerintahan Orde Lama dan Orde Baru. Praktek demokrasi di Indonesia masi dilevel kulit. Demokrasi di Indonesia belum memasuki level yang terdalam. Untuk mencapai pada tingkatan level terdalam, mesti membutuhkan perjuangan panjang dan perlu membangun pemahaman yang mendalam tentang demokrasi yang sejati dan utuh pada semua komponen bangsa, terlebih aparat keamanan yang selalu berhadapan langsung dengan masyarakat sipil.
Aparat keamanan seharusnya mendapatkan pendidikan hukum, HAM dan demokrasi. Pendidikan seputar hukum, HAM dan demokrasi sekiranya diprioritaskan oleh otoritas (intansi) yang berwenang pasca perekrutan aparat keamanan. Hal ini penting karena aparat keamanan selalu berhadapan dengan masyarakat. Hampir setiap saat aparat keamanan selalu berbenturan dengan masyarakat karena mereka belum memahami tentang hukum, HAM dan demokrasi.
Media massa cetak maupun elektro setiap saat menyiarkan peristiwa bentrokan antara masyarakat dengan aparat keamanan. Ironisnya massa aksi dibubarkan secara paksa oleh aparat keamanan, walaupun sasaran aksinya bukan ke aparat keamanan. Banyak alasan dibuat untuk membenarkan tindakan pembubaran paksa oleh aparat keamanan. Tindakan aparat keamanan ini justru memperkeruh suasana (tata tertib), mengebiri demokrasi dan menutup ruang demokrasi. Dengan demikian memperkosa perangkat perundangan Indonesia tentang kebebasan berekpresi dan mengemukakan pendapat dimuka umum.
Fakta menunjukkan bahwa demokrasi di Indonesia berada di ujung laras senjata. Melihat kenyataan ini, pelbagai elemen gerakan menyuarakan perlu dibukanya ruang demokrasi yang utuh, akan tetapi pemerintah Indonesia, terlebih aparat keamanan masih menerapkan tindakan represi dalam menghadapi massa aksi yang hendak menyampaikan aspirasinya ke pihak-pihak terkait. Jika demikian, reformasi dibidang demokrasi perlu diberi perhatian khusus dan diperjuangkan oleh semua komponen bangsa dan Negara Indonesia.
Secara kasat mata dapat kita lihat bahwa demokrasi itu hanya terjadi pada saat PEMILU (Pemilihan Umum), baik calon legislatif, calon presiden-calon wakil presiden, PILKADA (Demilihan Kepala Daerah) Gubernur-Wakil Gubernur, Bupati-Wakil bupati. Negara bersama alat-alat politiknya memaksakan rakyatnya secara halus melalui kompanye, baik melalui media massa cetak maupun elektronik; dan juga melalui kompanye terbuka. Pikiran rakyat Indonesia diarahkan oleh Negara melalui mesin-mesin politiknya melalui media massa untuk memilih siapa kandidat yang layak dipilih dengan memancangkan sebuah slogan: LUBER (Langsung, Umum, Bebas dan Rahasia).
Melalui slogan ini dapat kita tahu bahwa sebenarnya terdapat kata “bebas”. Kebebasan ini bukan semata-mata terjadi, tetapi karena pikiran dan perasaan rakyat Indonesia diarahkan sedemikian rupa melalui berbagai cara, maka setiap rakyat Indonesia menyatakan dan menentukan pilihannya kepada siapa suara mereka diberikan; walaupun dalam pemberian suara banyak kepentingan bermain, termasuk “many politic” (politik uang).
Slogan” kebebasan” semestinya dipahami secara luas; bukan disempitkan hanya pada pemberian suara kepada salah satu kandidat calon legislatif atau calon kepala pemerintahan pusat, propinsi dan kabupaten, wali kota atau kepala desa.
2.Demokrasi Adalah Kebebasan
Kebebasan terikat erat dengan demokrasi, maka semestinya ruang demokrasi dibuka secara utuh dan menyeluruh. Demokrasi sejati adalah demokrasi yang menghargai nilai-nilai kebenaran, keadilan dan hak asasi manusia karena demokrasi itu pada hakekatnya melekat pada martabat kemanusiaan.
Penyempitan penerapan demokrasi yang sudah, sedang dan akan diterapkan oleh Negara Indonesia dalam kehidupan berbangsa dan bernegara adalah merupakan kejahatan kemanusian Negara terhadap rakyatnya; karena demokrasi itu melekat pada hakekat kemanusiaan; maka ketika terjadi pengekangan kebebasan berekspresi dan berpendapat di muka umum oleh Negara melalui kaki tangannya aparat keamanan, maka terjadilah pelanggaran terhadapap kemanusiaan.
Selain itu, ketika pemerintah tidak membuka ruang demokrasi bagi rakyatnya, maka ketika itu pula terjadi pengkhianatan terhadap Negara karena kedaulatan ada di tangan rakyat. Ketika ruang demokrasi disumbat oleh Negara melalui aparat keamanan, ketika itu pula kebebasan rakyat dikekang, dengan demikian kedaulatan rakyat dipancung. Jika inilah yang terjadi, maka konsekwensi logisnya adalah Negara sendirilah yang merong-rong kedaulatan rakyat. Negara sendirilah yang melanggar konstitusi berdiri sebuah Negara.
Apakah rakyatnya yang menyampaikan pendapat dimuka umum dengan cara yang bermartabat, termasuk penyampaian aspirasi penentuan nasib sendiri itu dapat dikatakan perong-rongan terhadap suatu Negara berdaulat? Jika pemerintah katakan penyempaian aspirasi untuk penentuan nasib sendiri adalah perong-rongan, maka apakah Negara sadar diri bahwa kedaulatan ada ditangan rakyat? Ataukah Negara mengklaim bahwa dirinya memiliki kekuasaan, maka dapat menumpas atau mengekang rakyatnya? Tapi apakah negara sadar bahwa kekuasaan yang dimilikinya itu diberikan dan dipercayakan oleh siapa? bukankah dari akar rumput (rakyat), ataukah diberikan oleh para dewa atau makhluk halus?
Perlu adanya kesadaran nasional, terlebih negara bersama perangkat pemerintahannya untuk memahami hal ikhwal tentang suatu kedaulatan Negara. Negara itu ada karena ada rakyat. Kekuasaan itu ada karena diberikan dan dipercayakan oleh rakyat melalui sebuah mekanisme demokrasi. Demikian pula demokrasi ada hanya karena ada rakyat. Rakyat itu adalah pribadi-pribadi (individu), maka demokrasi itu melekat pada pribadi-pribadi itu.
Demokrasi adalah kebebasan; maka kebebasan adalah hak asasi yang melekat pada individu. Ketika pengekangan atau penyumbatan demokrasi diterapkan Negara, maka terjadilah pembatasan terhadap sebuah kebebasan yang melekat pada individu. jika pengekangan itu terjadi, maka terjadilah pelanggaran kejahatan kemanusiaan oleh Negara.
C.RAKYAT PRIBUMI DAN NEGARA
1.Negara Dilahirkan Rakyat Pribumi
Negara dilahirkan oleh rakyat; dari rakyat dan untuk rakyat; bukan dilahirkan oleh elit tertentu demi kepentingan tertentu. Sebelum negara lahir, disitu dihuni masyarakat adat. Negara adalah hasil ciptaan manusia; sementara manusia adalah hasil ciptaan Allah. Negara lahir ditengah masyarakat adat. Adat dari sononya ada sebelum negara lahir. Masyarakat adat hanya tahu bahwa mereka mempunyai tanah adat yang memiliki batasan-batasan tersendiri. Mereka juga tentu memiliki tradisi dan tatanan hidup komunitas.
Perlu disadari bahwa konsep negara lahir bersamaan dengan perkembangan peradaban umat manusia. Demi mengatur suatu negara berdaulat, maka negara memerlukan suatu alat perekat. Alat perekat itu adalah hukum postif. Hukum postif dirancang sedemikian rupa demi penataan sistem pemerintahan dan juga ketata negaraan, termasuk perangkat hukum makar demi kelangsungan hidup berbangsa dan bernegara.
Jika negara itu dilahirkan, dibesarkan oleh rakyat setempat, termasuk pemimpinnya dipercayakan oleh rakyat melalui mekanisme tertentu, maka negara semestinya melindungi dan mensejahterahkan rakyat; bukan menyengsarakan, bahkan membantai rakyatnya; karena tujuan lahirnya suatu negara adalah melindungi dan mensejahterakan rakyatnya.
Ketika rakyatnya yang adalah rakyat pribumi itu menyatakan keinginannya melalui cara-cara yang bermartabat, termasuk penentuan nasib sendiri, maka itu adalah haknya sebagai masyarakat pribumi yang memang dari dahulu hidup diwilayah yang dihuninya. Dengan demikian, negara berdaulat yang ada, yang adalah dilahirkan oleh rakyat, tidak mempunyai kewenangan untuk memaksakan rakyatnya untuk berada dalam kekuasaannya melalui pelbagai cara, antara lain: membatasi, mengekang, menyiksa, memperkosa, meneror, menangkap, memenjara, meracuni, menculik bahkan membunuh dengan terang-terangan melalui operasi militer maupun secara terselubung.
Negara yang dilahirkan dan dibesarkan oleh masyarakat adat, tidak mempunyai kewenangan karena itu adalah hak sebagai pemegang kedaulatan. Hukum positif yang adalah hukum buatan Negara tak mempunyai kewenangan untuk mempertahankan wilayahnya kekuasaannya. Seharusnya negara menyadari bahwa dirinya dilahirkan oleh masyarakat adat, maka sepatutnya memberikan kebebasan total bagi rakyatnya yang hendak menentukan nasibnya sendiri.
Kenyataan bahwa kebanyakan negara di dunia melakukan kejahatan kemanusiaan terhadap rakyat pribumi, maka demi melindungi dan memperjuangkan hak-haknya, maka Perserikatan Bangsa-Bangsa telah melahirkan sebuah perangkat hukum Internasional tentang Hak-hak masyarakat pribumi.
2.Rakyat Pribumi Papua Tidak Pernah Melahirkan NKRI
Dalam konteks Papua, negara Indonesia menempuh pelbagai cara untuk mempertahankan keutuhan Negara Republik Indonesia. Pelbagai manufer dilancarkan untuk membungkam suara akar rumput Papua. Penyiksaan, pemerkosaan, diskriminasi, terror, intimidasi, ketidak-adilan, pemanipulasian sejarah, penculikan, perampasan kekayaan alam, penguasaan dan perampasan tanah adat, penangkapan dan pemenjaraan, bahkan melakukan infansi militer, baik secara terang-terangan dan terselubung.
Masyarakat Adat Papua yang adalah bangsa Papua, rumpun Melanesia bertanya: sejak kapan masyarakat Adat Papua melahirkan dan membesarkan sebuah negara yang namanya NKRI? Apakah ada masyarakat Adat Papua pernah datang ke Jakarta untuk membicarakan lahirnya Negara Indonesia? Ketika Sumpah Pemuda digelar, adakah Jong Papua yang melegitimasi isi sumpah pemuda itu? Adakah bangsa Papua pernah dimasukkan dalam lembaran negara pada tanggal 17 Agustus 1945? Adakah orang Papua hadir juga dalam proklamasi kemerdekaan RI?
3.Rakyat Pribumi Papua Membentuk Embrio Negara Papua Barat
Masyarakat adat yang adalah Bangsa Papua tidak pernah melahirkan dan membesarkan negara yang namanya NKRI. Bangsa Papua memiliki kerinduan yang tinggi untuk melahirkan sebuah negara berdaulat. Tentang kerinduan itu disambut baik oleh Pemerintahan Belanda yang menguasai wilayah Papua Barat. Bangsa Papua menggelar Pemilihan Umum. Melalui pemilihan itulah memilih wakil-wakil rakyat Papua yang duduk diparlemen Papua. Parlemen inilah yang menyiapkan perangkat-perangkat kenegaraan Papua Barat.
Sejak tanggal 1 Desember 1961 Parlemen Papua atas nama bangsa Papua mendekrasikan simbol-simbol kenegaraan Papua Barat. Upacara itu dihadiri oleh beberapa tamu terhomat dari perwakilan negara Pasifik dan Asia yang disaksikan oleh Pemerintahan Belanda di Holandia yang kini Port Numbay (Jayapura). Pendeklarasian ini disambut secara meriah oleh seluruh komponen rakyat di seluruh pelosok tanah Papua Barat. Embrio Negara Papua yang dirancang oleh Parlemen Papua itu berjalan selama kurang lebih dua tahun.
4.Embrio Negara Papua Diadopsi RI
Namun embrio itu dirampas oleh Pemerintah Indonesia di bawah bayang-bayang Amerika Serikat. Ironisnya tanpa melibatkan orang Papua dalam berbagai perundingan, Perserikayan Bangsa-Bangsa menyerahkan Papua Barat ke dalam NKRI pada tanggal 1 Mei 1963. Selanjutnya embrio negara Papua Barat diadopsi secara tidak sah oleh negara Indonesia dibawah bayang-bayang Amerika Serikat melalui Penentuan Pendapat Rakyat yang cacat hukum dan moral.
5.Embrio Negara Papua Tumbuh Subur
Embrio Negara Papua Barat itu sudah bertumbuh subur selama puluhan tahun dibawah tekanan Indonesia; ia bersama orang tua yang melahirkannya mengalami penindasan yang luar biasa, namun semangatnya tetap membara bagai api dalam sekam untuk melepaskan dirinya dari kekangan.
Embrio itu tahu bahwa dirinya diadopsi, maka dirinya tahu bahwa dia bukan anak kandungnya NKRI. Dia adalah embrio dari masyarakat Adat Papua yang adalah Bangsa Papua. Dia tahu orang tua yang melahirkannya. Dia juga tahu bahwa dia diadopsi oleh infansi milliliter Republik Indonesia. Dia juga tahu bahwa dia bukan ras melayu.
6.NKRI Melakukan Makar Atas Papua
Dari uraian di atas dapat menarik kesimpulan bahwa yang pertama-tama melakukan makar adalah negara Indonesia di bawah bayang-bayang Amerika Serikat. Orang Papua yang melakukan perjuangan untuk penentuan nasib sendiri adalah merupakan hak asasi manusia yang dijamin oleh pembukaan UUD 1945 dan dijamin juga oleh hukum Internasional.
Bangsa Papua berjuang bukan memisahkan dirinya dari NKRI karena bangsa Papua belum pernah menyatakan dirinya untuk bergabung dengan Indonesia. Juga sebagai masyarakat Pribumi, bangsa Papua belum pernah melahirkan dan membesarkan negara yang namanya NKRI. Bangsa Papua tahu dan sadar bahwa sejak tanggal 1 Desember 1961 bangsa Papua melalui Parlemen Papua melahirkan embrio negara Papua Barat. Namun NKRI yang mengodopsi bayi mungil negara Papua dengan infansi psikologis dan infansi fisik; lain kata bayi mungil negara Papua diadopsi secara paksa menjadi anak angkatnya NKRI.
Namanya anak angkat yang diadopsi secara tidak sah, maka anak kecil yang tumbuh dibawah penindasan itu berkehendak untuk menentukan nasibnya sendiri. Kalaupun anak kecil itu diadopsi, namun orang yang mengadopsinya tidak mampu menjadikan anaknya karena memang dia bukan anak darah yang lahir dari rahimnya. Yang melahirkan anak itu bukan Indonesia, maka setelah tumbuh berpuluhan tahun ia hendak berdikari sendiri karena tak ada artinya hidup dibawah kekangan, sementara hak-haknya dirampas dan diinjak-injak tanpa adanya rasa pri kemanusiaan dan pri keadilan.
7.Orang Papua Yang Berjuang Tidak Melakukan “Makar”
Adalah sangat tidak benar bahwa Negara Indonesia mengenakan label terhadap orang Papua yang berjuang untuk menentukan nasibnya sendiri dengan ungkapan “makar, separatis”. Bangsa Papua tahu dan sadar bahwa orang Papua tidak pernah merampas wilayah NKRI. Justru NKRI-lah yang merampas bayi mungil-negara Papua Barat. dengan demikian, penerapan pasal makar kepada orang Papua sangatlah tidak tepat.
Adalah sebuah kejahatan kemanusiaan apabila bangsa Papua dikatakan makar karena bangsa Pribumi Papua secara kodrati memiliki hak untuk menentukan nasib sendiri. Pelbagai kejahatan kemanusiaan yang sudah, sedang dan akan terjadi yang disebabkan karena tuduhan makar oleh Negara Indonesia adalah sebuah kejahatan kemanusiaan yang harus dipertanggung jawabkan.
D.REKOMENDASI
1.Adalah merupakan hak bagi setiap bangsa Pribumi untuk menentukan nasibnya sendiri karena memang dari kodratnya Masyarakat Adat memang mempunyai hak untuk melahirkan dan membesarkan negaranya demi mengatur perlindungan dan kesejahteraan rakyatnya; apa lagi hak penentuan nasib sendiri sudah disahkan dan ditetapkan Perserikatan Bangsa-Bangsa dalam beberapa Kovenan Internasional, salah satunya Kovenan Internasional tentang Hak-Hak Masyarakat Pribumi.
2.Adalah tidak dapat dibenarkan bahwa Pemerintah Indonesia mengklaim bahwa Papua adalah bagian integral dari wilayah kekuasaan NKRI karena sudah menjadi jelas bahwa justru Pemerintah Indonesialah yang melakukan makar atas Papua Barat melalui tindakan infansi militer dalam proses pencaplokan bangsa Papua Barat.
3.Adalah tidak dapat dibenarkan bahwa Pemerintah Indonesia mempertahankan tanah Papua Barat dengan melakukan pelbagai manufer yang menyebabkan korbannya jutaan jiwa orang Papua.
4.Adalah menjadi hak bagi bangsa Papua untuk meminta pertanggung jawaban pemerintah Indonesia atas pelbagai kejahatan kemanusiaan, termasuk pencaplokan bangsa Papua Barat ke dalam NKRI yang cacat hukum dan moral.
5.Adalah menjadi hak bagi Bangsa Papua untuk mengadili Negara Indonesia atas pencaplokan Embrio Negara Papua Barat ke dalam NKRI karena tindakan tersebut adalah tindakan makar dan bertentangan dengan praktek-praktek Internasional, juga bertentangan dengan hukum Internasional.
6.Adalah menjadi tugas semua komponen, baik bangsa Papua dan Indonesia untuk bersama-sama duduk di bawah satu rumah membicarakan kompleksitas masalah Papua demi mencari solusi yang terbaik atas Papua hanya demi penegakkan kemanusiaan di atas segala kepentingan.
7.Adalah menjadi tugas Perserikatan Bangsa-Bangsa sebagai organisasi perlindungan dan penegakkan hak-hak asasi manusia di planet bumi ini untuk mengitervensi kejahatan kemanusiaan oleh negara Indonesia terhadap bangsa Papua sejak tahun 1960-an dengan membentuk Team Intervensi Kemanusiaan.
***
PENUTUP26
A.KESIMPULAN
Hukum dilahirkan dan dirumuskan serta ditetapkan (disahkan) oleh manusia (Negara) demi pencapaian perlindungan dan kesejahteraan umum. Ketika hukum yang dibuat oleh manusia tidak efektif memajukan perlindungan dan kesejahteraan umum, maka apa pun bentuk hukum harus ditinjau kembali. Tidak dapat dibenarkan mempertahankan suatu hukum yang tidak efektif bagi perlindungan kemanusiaan dan pencapaian kesejahteraan bersama (umum).
Perancangan, pengesahan dan penerapan hukum yang mendatangkan penderitaan bagi umat manusia, tidak dapat dibenarkan. Jika suatu produk hukum dilahirkan dan diberlakukan dengan tujuan mendatangkan penderitaan komunitas, kelompok, bangsa atau rakyat pada umumnya, maka hukum itu tidak berbobot dan Negara yang melahirkan dan memberlakukan hukum itu melakukan sebuah kejahatan kemanusiaan. Perancangan, penetapan, pengesahan dan pemberlakuan suatu produk hukum dengan tujuan pencapaian perlindungan dan kesejahteraan umum, namun dalam penerapannya tidak efektif, maka hukum itu harus ditinjau kembali, bahkan dalam kasus tertentu hukum itu harus dicabut.
Pembiaran penerapan hukum yang sebenarnya tidak efektif memajukan perlindungan kemanusiaan dan pencapaian kesejahteraan umum adalah tergolong kejahatan Negara terhadap kemanusiaan, maka Negara yang bersangkutan harus mempertanggung jawabkan segala kerugian yang dialaminya akibat pemberlakuan hukum yang tidak efektif.
Singkatnya perancangan, penetapan dan pengesahan serta pemberlakuan suatu produk hukum dilakukan dalam rangka pencapaian perlindungan kemanusiaan dan kemajuan kesejahteraan umum. Apa pun bentuk hukum yang dapat mendatangkan penderitaan bagi manusia (entah individu, kelompok, suku bangsa atau rakyat pada umumnya), maka hukum itu harus ditinjau kembali dan dalam kasus tertentu hukum itu harus dicabut.
Hukum makar adalah suatu produk hukum kolonial penjajah Belanda yang masih diwariskan oleh Negara Indonesia. Hukum warisan nenek moyang penjajah ini tidak relevan lagi diterapkan pada era reformasi yang bergulir secara global. Penerapan hukum makar di Indonesia selain memperhambat proses demokratisasi dan reformasi, di pihak lain memperhambat penegakkan nilai-nilai universal yang dijunjung tinggi secara global.
Pemberlakuan hukum makar telah meninggalkan litani penderitaan yang sangat panjang bagi umat manusia di muka bumi ini. Khususnya di Indonesia, pemberlakuan hukum makar telah mengorbankan jutaan jiwa umat manusia yang tak berdosa. Banyak tetesan air mata darah tercurah ketika hukum makar-alias seringala buatan manusia itu beraksi menyerbu kebanyakan umat manusia. Tetasan darah air mata akibat pemberlakuan hukum makar menjadi bukti otentik yang terserap abadi dalam ibu bumi.
Pemberlakuan hukum makar merupakan suatu bentuk kejahatan kemanusiaan karena akibat pemberlakuan hukum makar ini jutaan jiwa menghilang dari pangkuan bumi pertiwi. Penghilangan dan pencabutan nyawa manusia secara paksa oleh Negara tak dapat dibenarkan kalaupun tindakan itu dilakukan dalam rangka mempertahankan suatu kekuasaan tertentu.
Penerapan hukum makar adalah merupakan suatu tindakan ketidak-mampuan Negara dalam melindungi dan mensejahterakan rakyatnya pada satu pihak, dan ketidak-mampuan Negara dalam menegakan nilai-nilai universal yang dijunjung tinggi dipihak lain; juga dapat dikatakan bahwa Negara tidak mampu mempertahankan kepercayaan atau legitimasi masyarakat terhadap kekuasaan yang bertumpu pada suatu kepemimpinan kenegaraan.
B.REKOMENDASI
Dalam rekomendasi ini, saya membagikannya ke dalam dua bagian, yakni rekomendasi umum dan khusus.
1. Rekomendasi Umum
a.Reformasi dibidang hukum harus dilakukan, termasuk reformasi dalam penerapan hukum makar di Indonesia.
b.Pemerintah membuka dan mengadakan Dialog Terbuka untuk merampung masukan dari berbagai pihak tentang layak tidaknya penerapan hukum makar di Indonesia.
c.Pelatihan khusus bagi aparat keamanan, lebih khusus penegak hukum harus dilakukan secara kontinyu agar dapat memahami pemberlakuan hukum “makar” dan dalam penerapannya tidak dengan sewenang-wenang menerapkan hukum makar.
d.Penerapan hukum makar harus selektif, artinya tidak dengan sewenang-wenang menangkap dan memproses serta memenjara orang yang memperjuangkan keadilan dan kebenaran.
e.Penerapan Hukum Makar sangat bertentangan dengan nilai-nilai universal yang ditetapkan dan disahkan oleh Perserikatan Bangsa-bangsa, dan sangat bertentangan dengan jiwa demokrasi, maka penerapan makar di Indoensia dan di manca Negara yang menerapkan hukum makar harus ditinjau kembali.
f.Pemerintah Indonesia harus dan segera membentuk Tim Kajian dari pelbagai kalangan untuk meninjau kembali layak tidaknya perberlakuan hukum makar dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara.
g.Mengingat penerapan makar telah dan sedang serta akan memakan korban, baik materi, waktu, tenaga, pikiran, perasaan, bahkan korban jutaan jiwa, maka hukum makar harus dicabut demi penegakkan harkat dan martabat manusia di atas segala kepentingan.
h.Negara Indonesia harus membebaskan tanpa syarat semua Tahanan Politik dan Narapidana Politik yang ada dalam penjara-penjara Indonesia sebagai upaya perwujudan demokrasi dan penegakkan martabat manusia yang seutuhnya.
i.Negara Indonesia bertanggung jawab dalam pemulihan dan rehablitasi bagi korban dan keluarga korban akibat penerapan hukum makar yang sewenang-wenang.
j.Penyampaian aspirasi dalam bentuk apa pun, termasuk aspirasi penentuan nasib sendiri adalah merupakan bagian dari demokrasi; dan demokrasi adalah bagian dari Hak Asasi Manusia, maka Negara Indonesia harus membuka ruang demokrasi secara utuh dan menyeluruh.
2. Rekomendasi Khusus
a. Kemerdekaan adalah hak segala bangsa, maka segala bentuk penindasan dalam rangka mempertahankan keutuhan suatu Negara terhadap suatu wilayah yang adalah milik bangsa pribumi tak dapat dibenarkan.
b. Pada kodratnya bangsa pribumi memiliki hak untuk menentukan nasib sendiri, maka tak dapat dibenarkan jika Negara meredam aspirasi penentuan nasib sendiri dan mempertahankan kekuasaan dengan menghalalkan pelbagai cara yang ujung-ujungnya mengorbankan rakyat pribumi yang tak berdosa.
c. Pada hakekatnya Rakyat Pribumi memiliki kewenangan untuk melahirkan dan membesarkan Negara untuk melindungi dan mensejahterakan rakyatnya; jika Negara yang dilahirkannya tidak mampu melindungi dan mensejahterakkannya, maka masyarakat memiliki kewengan mutlak untuk melahirkan dan membentuk Negara demi memenuhi perlindungan dan pemajuan kesejahteraan bagi rakyat pribumi.
d. Bangsa Papua tidak pernah melahirkan dan membesarkan sebuah Negara yang namanya NKRI, maka tak dapat dibenarkan bahwa Negara Indonesia mengklaim bangsa Papua adalah bagian dari wilayah kekuasaan Indonesia.
e. Bangsa Papua dengan kehendak bebasnya pernah merancang dan mendeklarasikan sebuah Negara Papua Barat pada tanggal 1 Desember 1961 melalui Newguinea Raad (Parlemen Papua), maka tak dapat dibenarkan jika Negara Indonesia mengatakan bahwa orang Papua yang berjuang penentuan nasib sendiri bagi bangsa Papua adalah makar dan separatis.
f. Proses pencaplokan bangsa Papua sejak tahun 1960-an di bawah bayang-bayang Amerika Serikat adalah suatu tindakan makar dan termasuk kejahatan kemanusiaan karena bertentangan dengan hakekat dasar masyarakat pribumi dan prinsip-prinsip dasar hukum Internasional.
g. Semua tindakan kejahatan kemanusiaan yang terjadi sejak proses pencaplokan bangsa Papua ke dalam NKRI sampai detik ini harus dipertanggung jawabkan melalui suatu mekanisme Internasional yang tepat dan sesuai, yakni melalui perundingan segitiga dan atau Mahkamah Internasional.
h. Adalah tidak dapat dibenarkan bahwa NKRI mempertahankan Tanah Papua melalui kekuatan TNI dan POLRI serta taktik lain yang terselubung; Negara Indonesia tidak memiliki kewenangan untuk terus mempertahankan Tanah Papua karena Bangsa Papua adalah Rumpun Melanesia bekas wilayah jajahan Belanda dan sudah mendeklarasikan secara defakto dan dejure bayi Negara Papua Barat sejak tanggal 1 Desember 1961.
i.Pemerintah Amerika Serikat, Belanda, Indonesia dan Perserikatan Bangsa-bangsa memiliki kewenangan untuk mempertanggung jawabkan proses pencaplokan bangsa Papua melalui proses penentuan pendapat rakyat yang cacat hukum dan moral; dan juga mempertanggung jawabkan semua kerugian materi, perasaan, pikiran, waktu, perampasan tanah dan kekayaan alam Papua serta pelanggaran HAM dalam berbagai dimensi kehidupan, terlebih kejahatan Negara terhadap rakyat pribumi Papua yang kini terbukti sedang menuju pemusnahan etnis Papua.
“Persatuan Tanpa Batas, Perjuangan Sampai Menang”
Ketua Front Pepera Papua Barat Sekjen Pepera Papua Barat
Sdr. Selpius Bobii Sdr. Gunawan Inggeruhi
Contac: 081248723807. Contact: 085254182817
Pelapor
Fr. Santon Tekege, Pr
Contact: 085244522433
Email: santon_westpapua@yahoo.co.id
santon_papua@yahoo.com
Groups Communication Realities Society in Papua (GCRSP)
Hight School Philosophie and Teology- Fajar Timur Abepura-Papua