Senin, 29 Maret 2010

Papua: Penambahan Pasukan TNI di Seluruh Tanah Papua

Perlukah Penambahan Pasukan TNI (di) Papua?
Ketika realitas konflik di Papua meningkat. Isu dialog Papua-Jakarta belum adanya keterbukaan antara Jakarta-Papua sehingga perlunya titik terang. Perjuangan untuk menyelesaikan berbagai isu di bidang pelanggaran HAM, ekonomi, sosial, budaya dan politik serta pendidikan dan kesehatan pun belum berhasil. Dalam konteks demikian, kaum elite di Jakarta malah penambahan pasukan TNI di Papua. Apakah penambahan pasukan TNI di Papua mampu menyelesaikan semua konflik di Papua? Atau malah menjadi proyek bagi militer di Jakarta?
TNI adalah kekuatan Negara Indonesia
Indonesia memiliki kekuatan militer yang sangat-sangat di akui di dunia Internasional. Walaupun alat perang kurang setingkat dengan Negara-negara lain, namun Indonesia memiliki kemampuan. Kemampuan strategi militer Indonesia, kita dapat cermati melalui berbagai operasi militer di Indonesia. Akan tetapi, strategi militer Indonesia ditabularasa oleh peristiwa operasi militer di Aceh, Papua dan Timor Leste. Hal yang paling tragis adalah operasi militer di Aceh dan Timor Leste. Kaum manusia tidak berdosa berjatuhan korban demi sebuah keutuhan dan hukum negara yang menempatkan Tuhan di atas segalanya. Hal ini, kita bisa cermati dalam “Ketuhanan Yang Maha Esa”. Itulah sila pertama Pancasila.
Jutaan manusia korban di Aceh, Papua dan Timor Leste. Di pihak militer pun banyak nyawa berjatuhan hanya untuk membela hukum dan keutuhan negara. Eksistensi Manusia di bawah sebuah hukum dan keutuhan Negara sehingga banyak manusia menjadi korban. Oleh karenanya semua realitas ini adalah “kelalaian” militer dan pemerintah Indonesia. Timor Leste berhasil memisahkan diri dari NKRI. Rakyat Aceh kembali hidup damai melalui perundingan Helsinki walaupun ada konflik hingga kini. Bagaimana dengan Papua?
Papua sebagai salah satu wilayah bekas Daerah Operasi Militer (DOM) sejak 1963-1998 memiliki sejarah perjuangannya sendiri. Banyak korban masih trauma akibat tindakan militerisme yang dialami selama masa pemberlakuan DOM. Banyak orang Papua mati dibunuh tanpa sebab dan alasan yang jelas. Banyak anak-anak Papua kehilangan orang tua akibat operasi militer itu. Trauma, jengkel, dan marah kadang masih menyelimuti orang Papua ketika melihat militer Indonesia di Papua. Ada sedikit angin segar ketika arus reformasi bergulir. Orang Papua bisa “bernapas lega”. Status Papua sebagai DOM dicabut. Luka-luka mulai sirna, tetapi bekas luka tetap terlukis dan secara terselubung, banyak pengiriman TNI di Papua. Akibatnya kebebasan berekspresi, berpendapat, ruang gerak dan aspirasi masyarakat dan aktivis mahasiswa menjadi vakum dan sempit.
Tidak Perlu Penambahan Pasukan TNI di Papua
Penambahan pasukan satu Infanteri di seluruh tanah Papua identik membunuh ruang gerak kebebasan, berserikat dan berkumpul serta berpendapat bahkan membuka topeng luka lama oleh orang Papua. Orang Papua telah lama mengalami penderitaan dan penindasan hanya demi hukum dan keutuhan negara selama 48 tahun sejak 1961. Rangkaian operasi militer dan karena pengiriman TNI secara terselubung di tanah Papua, mengorbankan jutaan  manusia Papua yang tidak berdosa. Peristiwa itu, menjadi kenangan dan bahkan hanya menjadi jeritan dan tangisan generasi muda Papua yang kehilangan akan orang tua yang korban operasi militer. Dan pembunuhan secara langsung maupun terselubung yang tak kunjung henti. Jutaan jiwa meninggalkan tanah tumpah darahnya. Mereka lari ke negara tetangga, Papua New Guinea, untuk menyelamatkan diri dari kekejaman dan penindasan serta pembunuhan militer itu.
Secara perlahan-lahan penderitaan itu mulai reda pasca penghentian DOM. Berangsur-angsur para pengungsi pulang ke tanah kelahirannya. Bahkan Indonesia mengakui kelicikan militer yang terjadi di Papua. Hal ini nyata tertuang dalam UU No 21 Tahun 2001 yang memerintahkan pembentukan Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi di Papua. Orang Papua memang harus berdamai dengan Indonesia. Namun, orang Papua bukanlah pencipta kejahatan dan konflik melainkan korban kekejaman TNI. Oleh karena itu, pemerintah Indonesia perlunya membuka ruang dialog Jakarta-Papua untuk membawa orang Papua dan Pemerintah Indonesia for Land of Peace Papua.
Kini, Papua bukan lagi bereksis dalam era 1960-an yang bisa direkayasa dan manipulasi. Orang Papua meminta tindakan konkrit pembangunan manusia Papua secara utuh bukan parsial. Manusia Papua butuh memiliki integritas dan jati diri iddentitas. Mereka mau diakui dan dihargai hak-hak aslinya.
Pemerintah Indonesia jangan berpikir bahwa hak-hak dasar orang Papua bukan melalui pendekatan dan pengiriman TNI di Papua. Pengakuan akan jati diri identitas dan integritas orang Papua terjadi melalui jalan peningkatan pembangunan sumber daya manusia bukan pelanggaran HAM, pengelolaan kekayaan alam demi kesejahteraan orang Papua bukan perampasan dan pengurasan, meluruskan sejarah orang Papua bukan manipulasi dan rekayasa. Selama belum ada pengakuan terhadap hak-hak dasar orang Papua, maka terpurukan dan marginalisasi serta pembodohan akan terus berlanjut di tanah Papua.
Persoalan Papua bukan persoalan pertahanan dan keamanan, melainkan persoalan pelanggaran HAM, ekonomi, sosial, politik, budaya dan Pendidikan dan kesehatan. Orang Papua hidup damai dengan negara tetangga PNG. Selama ini tidak pernah terjadi pertikaian di antara kedua negara. Bahkan pemerintah PNG masih menerima orang Papua yang lari ke negaranya karena dikejar TNI Indonesia. Peristiwa ini menunjukkan bahwa  pengiriman TNI bukan solusi untuk menyelesaikan semua persoalan di Papua. Bahkan semua persoalan itu, menjadi sebuah proyek bagi TNI. Kini buka dan transparan topeng yang selama ini terselubung. Oleh karena itu, rakyat Papua dengan tegas menyatakan bahwa: PENOLAKAN PENGIRIMAN SATU INFANTRI TNI di Papua.
Dialog akan Kemanusiaan Papua
Semua realitas konflik di Papua membingungkan pemerintah Jakarta mengambil kebijakan untuk Papua. Setiap persoalan di Papua selalu dipandang sebagai gerakan separatis, TPN/OPM. Bahkan aktivis Papua selalu stigma makar. Orang Papua yang menganyam tas dengan motif bintang kejora pun dianggap separatis. Manic-manik dan gelang tangan pun menstigma sebagai separatis. Setiap ada perjuangan untuk menegakkan kebenaran, keadilan dan perdamaian di atas tanah Papua selalu dianggap sebagai gerakan separatis dan menciptakan pasal-pasal KUHP untuk stigma separatis dan makar. Mengapa Indonesia takut ketika ada aktivis Papua yang memperjuangkan kebenaran, keadilan dan Perdamaian di atas tanahnya? Ada apa di balik semua itu?
Penambahan TNI tidak akan pernah menyelesaikan persoalan di Papua. Sejarah Timor Leste dan Aceh menjadi saksi nyata bahwa penambahan militer tidak pernah menyelesaikan akar permasalahan, sebaliknya melahirkan berbagai permasalahan baru dan semua konflik di Aceh dan Timor Leste menjadi lahan dan proyek besar bagi pihak keamanan dan militer. Kini, di tanah Papua menjadi proyek besar bagi pihak keamanan Indonesia. Oleh karena itu, rencana pengiriman TNI satu Infentri baru di Papua harus ditiadakan dan dilarang keras oleh semua elemen masyarakat Papua. Hentikan pengiriman TNI di Papua. Namun kini, orang Papua minta keterbukaan hati dan pikiran untuk berdialog kemanusiaan di Papua.
Hakikat perjuangan orang Papua ialah kesamaan martabat sebagai manusia. Orang Papua menuntut haknya sebagai manusia pemilik tanah di Papua. Mereka berjuang bahkan dengan darah dan nyawa demi kebenaran, keadilan dan perdamaian berjatuhan. Mereka minta berbagai kasus pelanggaran HAM diselesaikan dan sejarah Papua pun harus diluruskan. Karenanya, mereka minta dialog.
Isu dialog damai akan kemanusiaan sudah lama disuarakan, tetapi tidak pernah ditanggapi oleh pemerintah Indonesia. Memang menggelar sebuah dialog yang adil, jujur dan damai di Papua dengan 250-an suku tidak mudah dan memakan waktu banyak. Namun, hal ini mendesak dan harus dilaksanakan demi perdamaian di tanah Papua. Dialog adalah salah satu jalan keluar untuk menyelesaikan konflik di tanah Papua. Oleh karena itu, perlunya keterbukaan hati dan pikiran wahai pemerintah Indonesia (Jakarta). Perlunya juga kedua belah pihak duduk dan bicara bersama sebagai warga Negara Indonesia. Dan rencana pengiriman TNI di Papua, hanya menambah konflik dan ancaman bagi orang Papua sehingga masyarakat Papua dengan tegas menyatakan”Penolakan” dan “Tidak Perlu Penambahan Pasukan TNI di Papua”. Tetapi masyarakat Papua meminta keterbukaan hati dan pikiranmu (Jakarta) untuk berdialog dengan Papua demi menciptakan kebenaran, keadilan dan perdamaian di tanah Papua. Peace!!!!!

                                                                                        Penulis
                                                                                          Aktivis Mahasiswa
                                                                                            Santon Tekege
STFT-Fajar Timur Abepura-Papua

0 komentar: