Rabu, 16 Februari 2011

REPORT IN WEST PAPUA

GROUP STRUGGLE JUSTICE AND PEACE IN WEST PAPUA
Jl. Yakonde Padangbulan Abepura West Papua

REPORT IN WEST PAPUA-INDONESIA

Bagian I

OTSUS GAGAL: PAPUA PERLU MERDEKA
Oleh Fr. Santon Tekege, Pr

Undang-Undang No.21 Tahun 2001 (UU No.21/2001) tentang Otonomi Khusus bagi Provinsi Papua telah diberikan. Pemberian UU Otsus itu sebagai jawaban pemerintah Indonesia terhadap maraknya tuntutan kemerdekaan, yang ditandai dengan pengibaran bendera Bintang Kejora di beberapa kabupaten di Papua sejak tahun 1998. Alasan tuntutan tersebut, menurut Pemerintah, disebabkan oleh kegagalan kebijakan pembangunan (Theo van den Broek, dkk: 2003: 164) sehingga Otsus diberikan sebagai jawaban untuk menyelesaikan konflik Papua. Namun, benarkah penilaian pemerintah itu? Salah satu jalan yang terbaik untuk menyelesaikan semua konflik di Tanah Papua adalah melalui jalan: DIALOGUE INDONESIA-PAPUA.
Dalam tulisan ini saya mau merefleksikan sejauh mana persoalan di Papua disebabkan oleh kegagalan pembangunan? Mungkinkah ada persoalan lain yang lebih mendasar daripada kegagalan pembangunan? Apakah Otsus menjawab persoalan Papua atau sebaliknya? Bagaimana solusi yang perlu diambil dalam menyelesaikan konflik Papua. Pertanyaan-pertanyaan inilah yang akan menjadi fokus diskusi kita di sini.

Otsus Gagal: Kekerasan Terus Terjadi Di Papua
”Inti tawaran Otsus bagi provinsi Papua”, tulis Theo dkk, ”tercipta dari pandangan resmi yang berkembang dan disosialisasikan oleh kalangan pejabat Pemerintah bahwa persoalan di Papua berakar dari gagalnya kebijakan pembangunan di wilayah tersebut” (ibid, 164). Selain itu Otsus juga diberikan sebagai tanggapan atas munculnya unjukrasa dan pengibaran bendera Bintang Kejora di berbagai kabupaten di Papua selama 1998. Tawaran Otsus kepada provinsi Papua juga didasarkan atas pandangan pemerintah yang tak boleh diganggu gugat, bahwa Papua merupakan bagian integral dari Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Inspirasi lain dari tawaran Otsus adalah merupakan kebijakan nasional yang harus berlaku bagi semua provinsi di Indonesia. Semua ini merupakan gagasan dasar dari pemberian Otsus kepada provinsi Papua.
`Niat baik pemerintah` untuk memberikan Otsus kepada provinsi Papua merupakan hal yang sangat positif. Namun bagi saya adalah keliru jika Otsus diberikan hanya untuk menyelesaikan konflik Papua yang diredusir sebagai kegagalan pembangunan. Pemerintah menilai bahwa konflik yang timbul di Papua berasal dari kegagalan pembangunan. Dengan demikian logikanya adalah karena kegagalan pembangunan, orang asli Papua menuntut kemerdekaan, yang ditandai dengan pengibaran bendera Bintang Kejora? Penilaian pemerintah ini tampak dengan amat jelas ketika UU Otsus diimplementasikan di Papua.
Bagi saya, UU Otsus rupanya diidentikan dengan uang. Otsus adalah uang, sehingga hampir setiap tahun dana trilyunan rupiah dikucurkan ke Papua. Masyarakat selalu antusias menerima pencairan dana Otsus. Dana Otsus yang diberikan itu jumlahnya tidak sedikit.  Misalnya, anggaran dana Otsus dari tahun 2002 hingga 2007 masing-masing adalah; 1,2 trilyun (2000), 1,3 trilyun (2003), 1,4 trilyun (2004), 1,5 trilyun (2005), 1,7 trilyun (2006), dan 3,2 trilyun (2007). Jadi jumlah total anggaran dana Otsus untuk Papua sejak tahun 2000 hingga 2007 sebanyak 10,3 trilyun. (sumber data: Buletin Keuskupan Manokwari-Sorong No.33/September 2007, hal 42; lih juga catatan kaki dari tulisan Bisei: 2007: 18-19). Dana yang begitu banyak ini belum terhitung dengan anggaran dana Otsus tahun 2008 dan 2009. Banyaknya dana yang diberikan kepada provinsi Papua dan Papua Barat tersebut dipandang sebagai upaya untuk mensejahterakan orang asli Papua akibat kegagalan pembangunan di atas. Singkatnya karena kegagalan pembangunan, dana Otsus harus lebih banyak diberikan untuk mensejahterakan orang asli Papua. 
Meskipun persoalan di Papua disebabkan oleh kegagalan pembangunan, Otsus sendiri tidak berhasil mensejahterakan orang asli Papua. Nyatanya sejak Otsus diberlakukan, pertumbuhan ekonomi masyarakat justru menurun dratis bila dibandingkan dengan pertumbuhan ekonomi sebelum Otsus. Menurut LIPI pertumbuhan ekonomi tahun 1995, 1996, 1997, 1998 mencapai 20,18%, 13,87%, 7,42%, dan 12,72%; sedangkan pertumbuhan ekonomi sesudah Otsus diimplementasikan pada tahun 2002, 2003, 2004, hanya mencapai 8,7%, 2,96%, dan 0,53%. (Widjojo: 2009: 14)
Padahal dana Otsus yang dikucurkan ke Papua sangat tinggi belum terhitung uang yang dikelolah lembaga-lembaga non-pemerintah dan perusahan-perusahan besar. Tapi nyatanya kemiskinan sangat tinggi di Papua. Tingkat kemiskinan yang amat tinggi ini oleh Bisei disebut sebagai kemiskinan absolut dan ekstrim. Bersifat absolut karena hal-hal pokok (basic needs) yang dibutuhkan untuk kelangsungan hidup nyaris tak terpenuhi. Contohnya terjadi bencana kelaparan di beberapa kabupaten di Papua seperti Tolikara, Yahukimo, Jayawijya, Puncak Jaya dan Paniai. Buruknya kesehatan yang menimbulkan berbagai penyakit yang diderita rakyat dan angka kematian cukup tinggi. Kemiskinan bersifat ekstrim karena keterbelakangan rakyat Papua dalam hal pengolaan teknologi akibat pengetahuan yang rendah, tingginya angka buta huruf, ketrampilan yang terbatas dan keahlian yang minim. Untuk mengolah sumber daya alam, rakyat hanya menggunakan tenaga otot dan pengetahuan seadanya yang sudah diwariskan kepada mereka (Bisei: 2007: 18). Karena itu sebetulnya kemiskinan di Papua yang bersifat absolut dan ekstrim ini merupakan suatu bentuk penindasan yang mengekang rakyat Papua untuk keluar dari kondisi hidup yang terpuruk dan karenanya menurunkan derajat dan martabat rakyat Papua ke titik yang tidak manusiawi (ibid).
Jadi kalau konflik di Papua hanya direduksi ke dalam kegagalan pembangunan, maka Otsus jelas-jelas gagal mensejahterakan orang asli Papua. Bila Otsus gagal mensejahterakan orang asli Papua, maka tuntutan kemerdekaan tidak pernah selesai, sebab mereka belum sejahtera. Akibatnya konflik pun tidak akan pernah selesai. Tuntutan kemerdekaan dan pengibaran bendera Bintang Kejora pun tidak akan berhenti.
Akan tetapi bagi saya konflik di Papua bukan hanya disebabkan oleh kegagalan pembangunan, kendati kegagalan pembangunan merupakan salah satunya. Konflik di Papua lebih pada persoalan sejarah dan identitas bangsa Papua. Persoalan sejarah integrasi dan identitas bangsa merupakan persoalan dasar yang mendorong timbulnya upaya untuk merdeka. Jadi apabila pemerintah pusat dapat menyelesaikan persoalan sejarah integrasi dan identitas bangsa Papua, maka tuntutan kemerdekaan Papua mungkin saja bisa dikurangi bahkan tidak lagi terjadi. Para perumus UU Otsus tidak memperhatikan persoalan fundamental ini. Mereka mengira bahwa konflik di Papua diakibatkan oleh kegagalan pembangunan dan mengabaikan sisi fundamental dari konflik Papua.
Hal ini terbukti bahwa dalam masa pelaksanaan UU Otsus pun, kekerasan terhadap rakyat Papua terjadi. Kekerasan Wasior 2003 yang mengorbankan 4 orang dan kasus Wamena 2005 yang menewaskan 9 orang merupakan bukti kuat akar konflik di Papua. Selain itu hampir setiap saat kita mendengar, melihat dan membaca pada media massa baik elektronik maupun surat kabar bahwa terjadi tindakan kekerasan dilakukan oleh pihak keamanan negara kepada orang asli Papua.
Kekerasan yang dialami oleh rakyat Papua sejak Papua berintegrasi dengan NKRI 1 Mei 1963 juga merupakan bentuk lain potensi konflik di Papua. Operasi militer dari tahun 1965-1969; 1969,1977; 1981-1985; dan dilanjutkan tahun 2003-2005. (bdk Neles Tebay: 2008; 133  ; 2009:  ) Semua ini sebetulnya menunjukkan tentang akar persoalan di Papua. Kekerasan akibat politik negara terhadap rakyat Papua menyebabkan terus adanya tuntutan untuk merdeka dan pengibaran bendera Bintang Kejora.
Bukan hanya kekerasan akibat politik negara, melainkan juga kurangnya penghargaan atas martabat orang asli Papua melalui ekspesi budaya mereka. Faktor kultural budaya sangat menjiwai kehidupan orang asli Papua. Melarang mereka untuk tidak mempertunjukan simbol-simbol kedaerahan mereka, berarti tidak menghargai mereka. Seorang aktivis damai di Papua dalam sebuah diskusi tentang HAM, ia berkomentar ”pemerintah Indonesia tidak mau memperhatikan Mas-mas Papua tetapi Emas Papua”. Artinya keinginan untuk memberdayakan orang Papua kurang dipedulikan oleh pemerintah Indonesia, tapi yang diperlukan dari Papua adalah emas atau harta kekayaan. Singkatnya martabat orang Papua sebagai manusia yang berbudaya tidak dipedulikan oleh pemerintah, yang penting bagi Pemerintah adalah emas dan kekayaan alamnya.
Kurangnya penghargaan terhadap martabat orang asli Papua terlihat jelas dengan adanya larangan untuk tidak menggunakan lambang-lambang, simbol-simbol kedaerahan yang mengarah pada ancaman keutuhan NKRI.  Lambang bendera Bintang Kejora pada tas-tas (nokeng), pakaian, topi, merupakan salah satu contoh isu yang dinilai mengancam keutuhan NKRI. Selain itu hampir di semua kantor pemerintahan dan perusahan-perusahan swasta didominasi oleh orang non-Papua. Warga asli Papua hanya berdiri sebagai penonton karena mereka tidak mampu untuk bersaing dengan warga pendatang. Di bidang ekonomi, warga pendatang lebih unggul ketimbang warga asli Papua. Salah satu contoh konkret terlihat di Pasar Youtefa di mana hampir semua kios dan tempat jualan diduduki oleh warga pendatang, sementara mama-mama Papua hanya berjualan di atas tanah. Mereka juga banyak berjualan di emperan tokoh atau ruko-ruko. Kenyataan ini menunjukkan adanya sikap marginalisasi atas orang asli Papua. Sikap marginalisasi ini didukung oleh pemerintah Indonesia melalui program transmigrasi yang mendatangkan banyak orang dari luar Papua. (bdk Bless: 2001: 40). Kedatangan kaum pendatang menyebabkan adanya sikap minder dari orang asli sehingga mereka akan tergeser ke pinggiran kota. Jadi inti persoalan di Papua bukan hanya terletak pada kegagalan pembangunan melainkan juga sejarah integrasi dan identitas bangsa serta marginalisasi orang asli Papua. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa Otsus gagal menyelesaikan konflik Papua. Kegagalan Otsus dalam menyelesaikan konflik Papua, bagi saya, menjadi bukti nyata bahwa Papua perlu merdeka. 

Papua Perlu Merdeka
Maksud Papua perlu merdeka bukan berarti terlepas dari Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Papua perlu merdeka karena Otsus telah diberikan seluas-luasnya kepada provinsi Papua, namun persoalan di Papua masih terus terjadi. Persoalan yang terus terjadi menunjukkan adanya `ketidakberesan` dalam pelaksanaan UU Otsus sehingga Otsus disebut gagal. `Ketidakberesan` dalam pelaksanaan Otsus diakibatkan oleh belum adanya kesamaan persepsi antara pemerintah Indonesia dan orang asli Papua dalam menyelesaikan konflik Papua dan kurangnya penghormatan terhadap martabat kemanusian orang Papua. Dua hal dasariah ini belum diperhatikan dengan sungguh sehingga Otsus diberikan namun tidak menyelesaikan persoalan.
Pertama, belum adanya kesamaan persepsi antara pemerintah Indonesia dan orang asli Papua dalam menyelesaikan konflik Papua. Pemerintah Indonesia mengira bahwa konflik di Papua dapat teratasi melalui pendekatan keamanan. Karena itu selama Papua berintegrasi dengan NKRI terjadi operasi militer besar-besaran di Papua. Sedikitnya terdapat duabelas operasa militer di Papua sejak 1 Mei 1963 hingga kini.
Operasi Sadar merupakan operasi pertama yang dimulai tahun 1965 dan berakhir dua tahun kemudian. Operasi kedua disebut Operasi Brathayuda tahun 1967 dan menelan korban sekitar 3.500 orang. Operasi ketiga disebut Operasi Wibawa yang dilakukan sejak tahun 1969 dan menelan korban jiwa sekitar 30.000 jiwa antara tahun 1963-1969.
Operasi keempat dilaksanakan di kabupaten Jayawijaya tahun 1977dan mengakibatkan 12.397 warga Papua meninggal dunia. Operasi kelima dikenal sebagai Operasi Sapu Bersih I dan II tahun 1981, yang menelan korban jiwa sedikitnya 1.000 orang di kabupaten Jayapura dan 2.500 orang di kabupaten Paniai. Tahun 1982, terjadi operasi keenam yang dikenal Operasi Galang I dan II, yang menyebabkan terbunuhnya ribuan jiwa. Operasi Tumpas merupakan operasi ketujuh dan berlangsung antara tahun 1983-1984.
Tahun 1985 terjadi lagi operasi Sapu Bersih yang dikenal sebagai operasi kedelapan. Dalam operasi kedelapan sedikitnya 517 jiwa dibunuh oleh TNI dan membumihanguskan sekitar 200 rumah. Operasi kesembilan dilakukan di Mapnduma tahun 1996, yang menyebabkan 35 orang Papua meninggal dunia, 14 perempuan diperkosa, 13 gereja dirusak dan 166 rumah dibumihanguskan, sementara 123 warga sipil meninggal akibat penyakit dan kelaparan setelah menyelamatkan diri ke dalam hutan.
Tahun 1998 Papua Barat sebagai Daerah Operasi Militer (DOM) dicabut oleh Indonesia namun pengejaran terhadap kaum separatis Papua dilanjutkan. Karena itu operasi kesepuluh dilakukan tahun 2001 di kabupaten Manokwari dan menyebabkan 4 orang dibunuh, 6 orang mengalami penyiksaan, 1 perempuan diperkosa dan 5 orang hilang.
Antara April sampai November 2003 terjadi lagi operasi di Wamena. Operasi di Wamena ini merupakan operasi kesebelas. Pada saat itu tentara menguasai seluruh kawasan, menghambat akses kelompok Gereja dan pekerja kemanusiaan untuk memberikan bantuan selama berlangsungnya operasi. Akibatnya 9 orang meninggal dunia, 38 orang mengalami penyiksaan dan 15 orang ditangkap tanpa alasan yang jelas.
Tahun 2004 terjadi operasi keduabelas di kabupaten Puncak Jaya yang menyebabkan 6.000 dari 27 desa menyelamatkan diri ke hutan, dan 35 diantaranya termasuk 13 anak-anak meninggal di kamp pengungsian yang dibangun di sana. Seluruh daerah tertutup untuk para pekerja kemanusiaan ( Tebay, 2005: 5-6).
Di sini tampak dengan jelas bahwa penyelesaian konflik Papua melalui pendekatan keamanan tidak pernah menyelesaikan konflik malahan menambah persoalan. Namun pandangan pemerintah Indonesia bahwa konflik di Papua akan aman bila kaum separatis telah dihabiskan. Karena itu tujuan dari operasi yang dilakukan oleh militer adalah memberantas orang asli Papua yang dianggap separatis oleh pemerintah Indonesia (ibid, 6).
Persepsi semacam ini tidak pernah mendatangkan kedamaian bagi orang asli Papua. Sebabnya masyarakat akan tetap memandang pemerintah sebagai penjajah dan pembunuh. Singkatnya, adanya suatu ketakutan warga asli untuk mendekatkan diri dengan pemerintah yang termanifestasi melalui militer. Akibatnya niat baik pemerintah untuk memberdayakan orang asli tidak direspon positif. Warga asli akan memandang niat baik pemerintah sebagai upaya untuk menghabiskan mereka. Salah satu contoh konkret adalah Otonomi Khusus. Sejak Otsus diberikan kepada provinsi Papua, terjadi pro-dan kontra antara warga asli Papua sendiri. Kebanyakan dari warga asli tidak menyetujui `niat baik pemerintah itu`. Bagi warga, Otsus hanya semacam ”gula-gula politik” pemerintah Indonesia, untuk menjauhkan warga dari persoalan dasar di Papua.
Dari pihak warga asli, adanya semacam ketidakpercayaan terhadap pemerintah. Ketika pemerintah berupaya untuk mensejahterakan warga, warga memandang `niat baik pemerintah itu` sebagai upaya menjauhkan mereka dari berbagai ingatan penderitaan di masa lalu. Warga selalu berpandangan negatif terhadap pemerintah dikalah pemerintah mau menolong mereka. Pikiran negatif masyarakat bermula dari pengalaman akan penderitaan yang mereka alami dan rasakan selama bertahun-tahun. Karena itu tidak heran bila warga sepakat untuk mengembalikan Otsus kepada pemerintah Indonesia.
Oleh karena itu bagi saya, mesti adanya kesamaan persepsi antara pemerintah Indonesia dan warga asli Papua. Salah satu bentuk konkret untuk membangun persamaan persepsi yakni melalui dialog. Buku karangan Dr Neles Tebay ”Dialog Jakarta-Papua: Sebuah Perspektif Papua” merupakan salah satu solusi ke arah itu. Singkatnya, mesti adanya dialog Jakarta dan Papua supaya mengetahui dengan pasti apa persoalan dasariah yang terjadi di Papua. Dengan demikian persoalan di Papua akan terselesaikan dengan baik, adil, demokratis dan bermartabat.
 Kedua, kalau dialog sudah dimulai, maka mesti adanya penghormatan terhadap martabat kemanusiaan orang Papua. Martabat kemanusiaan orang Papua selama bertahun-tahun diinjak-injak dengan adanya operasi militer di atas. Menyadari akan hal ini, pemerintah menawarkan Otonomi Khusus bagi Papua untuk juga menghormati harkat dan martabat mereka. Akan tetapi selama UU Otsus dilaksanakan, kekerasan terhadap warga asli Papua pun tak kunjung henti. UU Otsus dilaksanakan dengan secara sah pada tahun 2002 namun pada tahun 2003 terjadi kekerasan di Wasior dan tahun 2005 di Wamena. Kasus wasior 2003 menewaskan 4 orang dan kasus Wamena 2005 menewaskan 9 orang. Kenyataan ini diperkuat lagi dengan adanya pelbagai macam kekerasan, intimindasi, peneroran yang terjadi selama tahun-tahun pelaksaanaan UU Otsus.
Sikap seperti ini memperlihatkan adanya ketidakhormatan terhadap martabat manusia. Harkat dan martabat manusia karena alasan politik dapat diperlakukan dengan tidak adil dan manusiawi. Pihak yang berkuasa dapat melakukan tindakan semena-mena terhadap pihak yang lemah. Karena itu sikap menghormati dan menghargai martabat kemanusiaan orang lain perlu dijunjung tinggi.
Sikap menghormati dan menghargai bukan hanya kepada manusia semata, melainkan juga budaya mereka. Persoalan yang muncul kerapkali diakibatkan oleh kurangnya penghargaan atas nilai budaya mereka. Nilai adat yang dulunya mengatur kehidupan bersama, sehingga segala sesuatu dapat berjalan lancar dan kelestarian hidup baik perorangan maupun kelompok terjamin (Broek, 2006: 8). Namun kini semuanya telah berubah. Nilai budaya masyarakat telah digantikan dengan kehendak nasionalisme pemerintah. Misalnya perjuangan MRP (Majelis Rakyat Papua) untuk menjadikan bendera bintang kejora dan simbol burung mambruk menjadi bendera dan simbol budaya orang Papua ditanggapi oleh PP No.37/2007 yang melarang penggunaan simbol-simbol separatis sebagai simbol-simbol budaya dan daerah (Widjojo, 2009:32).
Dengan demikian, bila adanya kesamaan persepsi antara pemerintah Indonesia dan warga asli Papua melalui suatu dialog damai dan penghormatan, penghargaan, terhadap manusia dan budaya mereka, persoalan di Papua dapat terselesaikan dengan baik, adil, demokratis dan bermartabat. Untuk menyamakan persepsi antara Indonesia dan Papua adalah melalui jalan: DIALOGUE INDONESIA AND WEST PAPUA.
Dialogue with West Papua Leaders Urged
Wednesday, 11 November 2009, 10:50 am
Press Release: East Timor and Indonesia Action Network
Chairmen Faleomavaega and Payne Call on Indonesian President to Establish Dialogue with West Papua Leaders
FOR IMMEDIATE RELEASE
Dr. Lisa Williams
Washington, D.C.
The Chairman of the Subcommittee on Asia, the Pacific and the Global Environment, Rep. Eni Faleomavaega, along with the Chairman of the Subcommittee on Africa and Global Health, Rep. Donald Payne sent a joint letter [www.etan.org/etanpdf/2009/SBY%20letter%2011.07.09.pdf] to Indonesian President Susilo Bambang Yudhoyono today calling on him to create an internationally-mediated commission to establish a dialogue between the national government of Indonesia and the leaders of West Papua.
In the letter, the Congressmen noted that dozens of prominent leaders and organizations in West Papua, as well as key Indonesian leaders and intellectuals support such a dialogue, which would be analogous to one successfully held in Aceh province. The letter urges the Indonesian President "to seize the opportunity provided by these developments to establish a similar process for West Papua."
"We believe that such a process would build on important steps Indonesia has taken in recent years, such as [Indonesia's] accession to the United Nations Declaration on the Rights of Indigenous Peoples. In becoming a signatory to that agreement, Indonesia clearly expressed its commitment to establishing legal protections for indigenous citizens, including Papuans." the letter states.
"A national dialogue initiated by an internationally-mediated commission could work to improve enforcement of that law and better the daily lives of average Papuans by, for example, increasing the availability of electricity and fresh water, enhancing public health programs to prevent malaria and other treatable diseases, and upgrading the public education system to levels found in most of the rest of Indonesia," the letter continues.
"A national dialogue would also present an opportunity to resolve other important issues in West Papua long viewed with concern by Members of Congress and the international community. These include human rights abuses, demographic shifts leaving many Papuans as minorities in their own land, limits on freedom of speech and peaceful assembly, restrictions on the free movement of Papuans within Indonesia, and constraints on international journalists, researchers, and those in nongovernmental organizations seeking to visit or work in West Papua."
"It is our sincere hope that you will establish an internationally-mediated commission to initiate a dialogue bringing together nationally-respected leaders of your government and of West Papua. We believe this is the moment to begin such a process. A serious national dialogue will enhance the welfare of the people of West Papua, demonstrate Indonesia's commitment to democracy and justice for all its citizens, and enhance your country's growing stature on the global stage," the letter concludes.

Penutup
UU Otonomi Khusus bagi provinsi Papua telah diberikan. Salah satu alasan pemberian Otsus tersebut dikarenakan oleh kegagalan kebijakan pembangunan. Kerena alasan kegagalan pembangunan, dana Otsus diberikan bertrilyun-trilyun namun kenyataannya Otsus gagal mensejahterakan orang asli Papua. Sementara itu konflik di Papua terus terjadi. Kenyataan ini memperlihatkan bahwa masalah di Papua bukan hanya kerena faktor kegagalan pembangunan melainkan sejarah integrasi dan identitas bangsa, kekerasan politik negara, dan marginalisasi orang asli Papua. Dengan demikian Papua perlu merdeka. Kemerdekaan Papua adalah harus terlepas dari NKRI. Juga merdeka dalam arti adanya kesamaan persepsi antara pemerintah dan masyarakat asli Papua dan adanya penghargaan terhadap martabat orang asli Papua sebagai manusia berbudaya. Oleh karena itu pentingnya langkah yang paling baik dan sekaligus sebagai solusi melalui jalan DIALOGUE JAKARTA-PAPUA demi menyelesaikan semua konflik di TANAH PAPUA-INDONESIA. Dialogue is the best in West Papua for finishing conflict in West Papua. Yes, We (West Papua) like DIALOGUE INDONESIA AND WEST PAPUA.


Daftar Pustaka
Bisei, Abdon., ”Penderitaan Rakyat Papua Sengsara Yesus Masa Kini: Refleksi Soteriologi atas Penderitaan Rakyat Papua” dalam Limen, Tahun. 4, No.1 Oktober 2007, hal 18-19
Broek, Theo van den, dkk., Memoria Passionis di Papua: Kondisi Sosial Politik dan Hak Asasi Manusia 2001, Jayapura: SKP Jayapura dan LSPP Jakarta, 2003
-----------------., Membangun Budaya Damai dan Rekonsiliasi: Dasar Menangani Konflik di Papua, Jayapura: SKP Jayapura, 2006
Buletin Keuskupan Manokwari-Sorong No.33/September 2007, hal 42
Tebay, Neles., Interfaith Endeavours for Peace in West Papua, London: CIIR (Catholic Institute for Internasional Relations, 2005
-----------------.,Papua: Its Problems and Possibilities for a Peaceful Solution, Jayapura: SKP Jayapura, 2008
-----------------., Dialog Jakarta-Papua: Sebuah Perspektif Papua, Jayapura: SKP Jayapura, 2009
Widjojo, Muridan S., (ed) Papua Road Map: Negotiating the Past, improving the Present and Securing the Future, Jakarta: Obor, LIPI, TiFA, 2009

Fr. Santon Tekege, Pr  adalah
Aktivis HAM WEST PAPUA
From Diosesan of Timika-Papua-Indonesia


 Bagian II

OTSUS: PELUANG ATAU ILUSI ?

Oleh Fr. Heribertus  Lobya, OSA
 Pengantar
      Dalam opini ini lebih terfokus pada otonomi khusus di tanah Papua. Dua aspek penting yang akan dipikirkan secara kritis yaitu dua kata kunci: peluang dan ilusi untuk memahami pengimplementasian politik otonomisasi di tanah Papua. Selain itu, akan dijelaskan pula mengapa otonomi khusus diberikann oleh pemerintah Indonesia untuk Papua.

1. Otonomi Khusus bagi Tanah Papua
      Otonomi Khusus yang dirancang oleh pemerintah Indonesia yang diimplementasikan di tanah Papua lahir dari aspirasi orang asli Papua untuk memisahkan dari Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI).

[1] Karenanya, kehadiran otonomi khusus di tanah Papua terkesan mendesak. Demikian halnya, pelaksanaannya juga dilakukan dengan tidak serius. Banyak terjadi persoalan kemanusiaan, sosial dan budaya yang tidak mendapat perhatian serius. Padahal tujuan diimplementasikan Undang-undang otonomi khusus Papua No 21 Tahun 2001 untuk menyelesaikan berbagai persoalan yang terjadi di tanah Papua.
      Sejak diimplementasikan tahun 2001 hingga kini 2009, belum ada sikap serius pemerintah daerah untuk mewujudkan ideologi otonomi khusus bagi Papua. Uang yang diberikan berlimpah ruah, tetapi tidak menyejahterahkan masyarakat asli Papua. Sebaliknya, fenomena yang sangat kelihatan di provinsi ini, yaitu di emperan-emperan pertokoan, ada anak-anak kecil yang menjadi pengemis, ada juga banyak pemuda-pemuda Papua yang menjadi tukang “pajak” di tempat perhentian taksi, dan bahkan ada pemuda-pemuda Papua yang mabuk dan menciptakan suasana yang tidak aman. Ketika berhadapan dengan fenomena ini, ada kesedihan mendalam di hati. Inikah otonomi khusus bagi Papua, ketika banyak orang asli Papua yang menjadi korban dari politik pemerintah Indonesia itu?
      Bila kita benar-benar merefleksikan sebuah gerak perubahan hidup orang asli Papua yang menjadi korban pengimplementasian otonomi khusus di Papua, maka kita akan bertanya apakah otonomi khusus sebuah peluang ? Atau ilusi?

2. Apakah Otonomi Khusus Papua sebuah Peluang?
    Pertama, benar bahwa otonomi khusus Papua  adalah sebuah peluang bagi pemerintah pusat dan daerah. Peluang bagi pemerintah pusat yaitu ketika orang Papua ingin merdeka dari NKRI, pemerintah pusat menerapkan otonomi khusus secara paksa dan tidak serius. Dengan adanya undang-undang ini, orang asli Papua diharapkan tidak menyuarakan gema kemerdekaan wilayah Papua. Namun, harapan pemerintah itu ternyata tidak bisa meredam aspirasi orang asli Papua. Di saat pemerintah tidak menjalankan undang-undang otonomi khusus dengan serius, suara kemerdekaan itu kembali bergema.
    Kedua, otonomi khusus Papua juga memberikan peluang kepada para pejabat di pusat dan di daerah untuk memperoleh uang secara berlimpah yang seharusnya diberikan bagi masyarakat asli Papua yang sangat membutuhkan.
    Ketiga, otonomi khusus juga memberikan peluang untuk menciptakan para koruptor kelas teri dan kelas kakap. Peluang ini tentunya lahir dari shock money. Artinya, para pejabat baik di pusat maupun di daerah kaget melihat uang yang berlimpih ruah di tanah Papua.

3. Apakah Otonomi Khusus Papua sebuah Ilusi?
    Entah disadari atau tidak oleh orang asli Papua, bahwa mereka sedang di tempatkan oleh pemerintah baik pusat dan daerah dalam sebuah dunia ilusi. Orang asli Papua diarahkan oleh pemerintah pada sebuah harapan akan hidup dalam kelimpahan. Memang harapan akan kelimpahan itu telah ada, namun tidak dirasakan oleh orang asli Papua untuk hidup sejahtera.  Lebih dari itu, otonomi khusus adalah sebuah pengadopsian dari budaya cargo cult.[2] Artinya mitologi kargo adalah sebuah ceritera hidup yang mengisahkan tentang harapan orang asli Papua akan suasana hidup yang diliputi dengan kekayaan yang berlimpah. Sesuai arah pengimplementasian undang-undang otonomi khusus di Papua, ada sebuah pengadopsian cargo cult yang sudah terjadi pada masa lampau dalam kehidupan orang Papua. Oleh karena itu, di bawah ini akan diuraikan sedikit gambaran tentang hubungan otonomi khusus dan mitologi cargo cult dalam realitas kehidupan orang asli Papua.
     Pertama, pemerintah Indonesia tahu bahwa pola kehidupan orang asli Papua selalu bersandar pada budaya. Oleh karena itu, pemerintah menggunakan budaya sebagai media untuk mendiskreditkan kualitas hidup orang asli Papua yang adalah manusia berbudaya. Ketika orang asli Papua ingin merdeka, pemerintah memberikan otonomi khusus supaya aspirasi itu tidak bisa terwujud. Tampak bahwa UU No 21 Tahun 2001 bersifat mitologis cargo cult. Artinya, orang asli Papua dijanjikan uang yang berlimpahruah tetapi mereka tidak merasakannya. Dalam arti khusus, pemerintah hanya memberikan janji-janji semu kepada orang Papua.
    Kedua, ketika otonomi khusus diberikan oleh pemerintah Indonesia, orang asli Papua tidak mengkritisi secara baik, apakah politik ini baik atau tidak. Mereka malahan menerima tanpa menyadari dampak dari otonomi khusus ini bagi kehidupan mereka. Ketika ada persoalan baru ada kesadaran dari seluruh orang asli Papua bahwa politik ini tidak bermanfaat bagi kehidupan mereka. Dalam arti tertentu otonomi khusus di tanah Papua mempunyai dua dampak positif dan negatif dalam bidang sosial dan ekonomi.

4. Dampak Positif Otsus Papua
a. Dalam Bidang Sosial
Dalam era otonomi khusus di Papua terjadi suatu fenomena perkembangan kehidupan orang asli Papua. Artinya dengan adanya perjumpaan antara budaya Papua dan budaya luar Papua, orang asli Papua sadar bahwa ternyata  ada perberbedaan dari aspek fisik maupun psikologis.  Orang Papua pun akan berusaha untuk bisa hidup bersaing secara sehat dengan orang dari wilayah luar, yaitu orang Bugis, Buton, dan Makasar yang berperan aktif dalam aspek kehidupan perekonomian di tanah Papua. Memang perlu disadari bahwa kehadiran orang Bugis, Buton, dan Makasar dalam era otonomi khusus di Papua dalam perspektif tertentu memberikan dampak yang positif, yaitu terjadi suatu perubahan yang amat nampak dalam sistim perekonomian. Fenomena lain yang terjadi ialah mereka pun secara perlahan-lahan bisa menyesuaikan diri dengan lingkungan baru, artinya bisa hidup berdampingan dengan orang yang tidak pernah dilihat sebelumnya.
           

b. Dalam Bidang Ekonomi
Memang perlu disadari bahwa kehadiran orang Bugis, Buton, dan Makasar dalam era otonomi khusus ini, dalam perspektif tertentu memberikan dampak yang positif, yaitu terjadi suatu perubahan yang amat nampak dalam sistim perekonomian. Dengan kehadiran mereka wajah kota Jayapura yang mungkin dahulu terdapat hanya sejumlah rumah gubuk dan rumah seng bundar buatan kolonial Belanda, sekarang sudah berubah dengan dibangunnya sejumlah gedung bertingkat baik ruko-ruko, toko-toko, kios-kios, warung-warung, supermarket, saga mall, mega mall, dan sejumlah grosir yang amat megah. Perubahan ini, membawa dampak bagi perubahan cara berpikir untuk meningkatkan hidup perekonomian. Di samping itu, pula kaum pribumi bisa menyadari dan belajar dari mereka bahwa untuk meningkatkan ekonomi harus ada upaya mempergunakan kesempatan dengan berusaha sambil belajar untuk berani mengusahakan sesuatu untuk ekonomi yang berkompeten dan mampu bersaing dengan orang pendatang, bukan hidup santai.
Dalam era otonomi khusus kaum migran sangat berkembang dalam aspek ekonomi disebabkan oleh mereka hidup dengan saling mengasihi dan saling menolong dalam kelompoknya baik dalam hidup bersama  dan dalam perekonomian mengusahakan untuk membangun kios, toko baik yang kecil maupun yang besar dan ada pula yang berjualan keliling menjual mainan anak-anak  dan sayuran serta ikan dalam jumlah yang amat banyak. Tentunya mereka mempunyai kemampuan dalam bekerja dan dalam hal keuangan yang mendukung harapan kesejahteraan hidup yang mereka dambakan. Apa yang dilakukan oleh kaum migran ini menjadi tantangan bagi orang pribumi dalam era otonomi khusus ini, sehingga sadar dan bisa berusaha dengan sekuat akal budi untuk mengejar ketertinggalan dan mengusahakan kesejahteraan hidup.
Tidak lupa pula bahwa dalam era otonomi khusus ini, orang asli Papua hendaknya belajar dari orang migran berkaitan dengan sikap pengembangan ekonomi di Papua. Orang migran secara khusus orang Bugis mempunyai pandangan hidup yaitu tallu cappa, yang artinya tiga ujung.[3] Orang Bugis mengartikan ujung yang pertama sebagai ujung lidah, yang dipergunakan untuk berkomunikasi dengan baik dan benar, sehingga menarik simpati orang yang mendengarnya. Selanjutnya ujung penis yang dipergunakan dalam konteks mengawini baik perempuan pribumi maupun laki-laki pribumi untuk mendapatkan kekayaan. Sedangkan ujung yang terakhir ialah ujung badik yang dipergunakan untuk melindungi diri dari bahaya.
Orang asli Papua pun mempunyai filosofis budaya yang bermafaat bagi pengembangan hidup dalam era otonomi khusus. Diharapkan bahwa orang asli Papua bisa bersaing dengan orang pendatang, sehingga tidak ada kecemburuan dan kecurigaan sosial di antara kaum pendatang dengan orang asli Papua. Bilamana harapan itu terwujud, maka Papua menjadi tanah dan rumah damai bagi semua makhluk ciptaan Allah.

5. Dampak Negatif Otsus Papua
            a. Dalam Bidang Sosial
Di tengah situasi kehidupan orang asli Papua yang ditandai perjumpaan dengan para migran dari luar Papua, tentunya akan tercipta gap-gap.  Situasi demikian akan mengarah pada potensi terjadinya konflik. Sebab setiap kelompok baik dari orang asli Papua sendiri maupun dari pihak para migran mempunyai konsep filosofis mengembangkan hidup yang khas. Bisa jadi bahwa ketika kaum migran ingin mengembangkan hidupnya sesuai dengan potensi yang dimiliki pasti akan timbul kecemburuan sosial dari orang asli Papua, begitu juga sebaliknya. Contoh kongkrit yang saya dengar dan alami langsung, ketika berada di Pelabuhan Jayapura dan penumpang sangat padat; ada orang asli Papua yang katakan bahwa begini; orang-orang amber dorang datang naik kapal ini buat kapal dan jalan ini sesak. Pernyataan ini menjadi sebuah fenomena bahwa orang Papua tidak ingin disingkirkan dari tanahnya dan ini juga menjadi sebuah gejala kecemburuan sosial yang pastinya sudah melangit.
           
b. Dalam Bidang Ekonomi
Berdasarkan pertimbangan akal sehat bahwa pada era Otonomi Khusus ini, dalam perspektif ekonomi kehadiran orang Bugis, Buton, dan Makasar membawa dampak yang negatif, yaitu berkaitan dengan sistim ekonomi yang mereka bawa dan terapkan di Papua, sehingga berpengaruh terhadap kehidupan kaum pribumi yang sudah menghayati  dan menerapkan cara bagaimana berelasi dalam konteks perekonomian yang berbeda. Dalam situasi pertemuan antara dua sistim ekonomi yang berbeda ini, ada suatu situasi yang kurang sehat yang timbul dalam relasi  dan ada pula dalam persaingan yang tidak saling menguntungkan. Kenyataan yang tidak baik dalam relasi yaitu terlihat dalam cara orang Bugis, Buton, dan Makasar membangun toko atau pun kios. Mereka kelihatannya seakan-akan berbuat baik untuk orang pribumi supaya menjual tanahnya kepada mereka dengan harga yang amat murah. Sebaliknya, kenyataan persaingan yang tidak menguntungkan yaitu ketika orang pribumi menjual barang jualan mereka, di saat itu orang Bugis, Buton, dan Makasar membelinya dengan harga yang amat murah. Lagi pula, kalau orang Bugis, Buton, dan Makasar yang menjual barang dagangan mereka, kalau harga yang anggap paling rendah tidak ada tawar-menawar.
Kehadiran mereka juga merusak pemandangan sejumlah kota di Papua. Papua yang dahulu indah, sekarang berubah dengan banyaknya sampah berhamburan di parit-parit maupun di pinggiran jalan utama dan jalan alternatif. Situasi ini terjadi karena pembangunan sejumlah gedung besar oleh kaum pendatang dan pemerintah yang berorientasi pada ekonomi kapitalisme yang tidak sehat dan merusak tujuan penataan kota Jayapura yang indah dan sehat.

6. Otsus Papua, Peluang di Balik Ilusi
Politik otsus di Papua adalah sebuah fenomena yang harus direfleksikan secara nyata dalam kenyataan orang asli Papua. Jika tidak direfleksikan akan menimbulkan persoalan yang bisa mendiskreditkan nilai kehidupan orang Papua. Lebih dari itu, di satu sisi politik otonomisasi di tanah Papua pun memberikan berbagai peluang bagi pemerintah pusat, pemerintah daerah, orang asli Papua sendiri, dan warga Papua yang datang dan tinggal di tanah Cenderawasih ini. Di satu sisi berbagai peluang ini menguntungkan tetapi menyengsarakan pihak lain. Dengan demikian, politik otonomi khusus menjadi sebuah misteri hidup bagi orang asli Papua. Inilah langkah awal, ketika kita dapat memahami bahwa otonomi khusus adalah sebuah ilusi.
Karakteritas keilusian dari otonomi khusus ini bermula dari sikap pemerintah yang pertama menelurkan undang-undang otsus, tanpa mempertimbangkan resikonya. Selanjutnya, orang asli Papua pun terlena dan bernostalgia dengan berbagai janji semu yang ditawarkan oleh pemerintah pusat dan daerah. Orang asli Papua dibuat bungkam oleh para birokrat dengan janji uang yang tidak pernah dirasakan.
Lebih dari itu dengan adanya politik otsus di Papua orang asli Papua juga sudah tidak rajin lagi berkebun. Mereka lebih senang bekerja dan berlomba-lomba menjadi pejabat di sejumlah kantor pemerintahan. Alasan yang menjadi dasar untuk mengetahui keinginan mereka ini ialah karena mitologis otonomi khusus yang memberikan harapan akan hidup berlimpah.
Orang asli Papua lupa bahwa alam mereka berlimpah ruah dengan kekayaannya yang bermanfaat bagi anak cucu kelak. Namun, sebaliknya mereka tidak merasa prihatin dengan alam mereka, tapi berguru pada tawaran otonomi khusus. Mereka tidak kembali ke dalam alam mereka yang kaya raya. Mereka terkurung dalam lingkaran otsus yang dibangun oleh pemerintah Indonesia. Jadi, ketika orang asli Papua tidak pusing lagi dengan alam, maka jangan heran banyak hutan dirusak oleh sejumlah perusahaan kayu lapis dan bahkan ada illegal logging yang amat memprihatinkan.
Ada pula orang asli Papua yang tidak lagi pusing dengan tanah mereka. Contoh konkrit yang bisa ditampilkan ialah di Sorong orang pribumi menjual tanah dengan tidak mempertimbangkan masa depan anak cucu mereka yang masih memerlukan tanah untuk tempat tinggal. Lebih parah lagi tanah yang dijual tidak digunakan untuk mengembangkan kualitas hidup, yaitu dengan mambangun rumah dan biaya pendidikan anak, melainkan dipergunakan untuk mabuk–mabukan siang dan malam. Ini menjadi kendala yang harus disadari dan dihilangkan secara perlahan-lahan.
Apakah orang asli Papua siap untuk menerima dan bisa menjalankan amanat Otonomi Khusus dengan baik? Berdasarkan kenyataan hidup orang Papua, keberadaan Otonomi  Khusus siapa yang memiliki peluang? Atau Otonomi Khusus Papua, siapa punya ilusi? Semua ini bisa dijawab dan dipahami ketika kita merefleksikan hidup sebagai manusia Papua secara baik, benar dan utuh.  Dengan berefleksi setiap hari, kita bisa memahami makna dari Otonomi Khusus Papua. Apakah otonomi ini bermakna baik atau buruk?                                                        

Kepustakaan
Akhmad. Amber dan Komin. Studi Perubahan Ekonomi di Papua. Yogyakarta.
Bigraf Publishing. 2005.
Herianto, Albertus. ”Makna Simbolik Kultus Kargo,” Limen Jurnal Agama dan Kebudayaan. Jayapura. Biro Penelitian STFT Fajar Timur (No 1, 2006).     
Karoba, Sem dkk. Papua Menggugat: Politik Otonomisasi NKRI di Papua Barat Bagian I: Papua Mencatat. Yogyakarta. Watch Papua.


Fr. Heribertus  Lobya, OSA
Mahasiswa STFT Fajar Timur Abepura,West Papua
Semester VIII



 Bagian III

OTSUS: BENCANA BAGI RAKYAT PAPUA

Oleh Fr. Ponsianus Kupun, Pr
Pengantar
Otonomi Khusus (Otsus) Papua lahir dari “konflik” yang dialami oleh seluruh rakyat Papua. Kekerasan dan pelanggaran HAM, ketidakadilan, tidak adanya kesejahteraan dan berbagai persoalan di tanah Papua. Pemberian otsus dilihat sebagai salah satu alternatif dan jalan tengah pemerintah pusat untuk merespon tuntutan rakyat Papua untuk merdeka, lepas dari Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Ada berbagai perjuangan yang dilakukan oleh orang Papua di dalam negeri ini untuk menuntut hak-hak hidup mereka.
Semangat Otsus mengamanatkan pemerintah daerah untuk menyelenggarakan tata pemerintahan yang demokratis, transparan dan bertanggung jawab dalam kerangka peningkatan kesejahteraan masyarakat Papua melalui pengambilan hak-hak dasar orang Papua. Hal tersebut terjadi tidak hanya dari sisi ekonomi saja, seperti peningkatan kesejahteraan, tetapi juga penigkatan kehidupan sosial, pengakuan hak-hak masyarakat, perlidungan dan penegakan HAM, adanya rasa keadilan bagi para korban pelanggaran HAM, mutu pelayanan politik yang baik dan efektif.
Namun, semua visi yang dibangun hanyalah tinggal ide. Peraturan daerah provinsi (Perdasi) dan peraturan daerah khusus (Perdasus) yang dibuat oleh pemerintah belum nampak ke permukaan. Masyarakat masih saja tetap miskin. Pelanggaran HAM terjadi di mana-mana. Tidak ada demokrasi yang dapat digunakan untuk berdialog di antara pemerintah dan masyarakat.
Dunia semakin berkembang, wilayah Papua dimekarkan menjadi provinsi, kabupaten dan distrik-distrik. Banyak orang berdatangan mencari hidup di bumi Papua. Dampaknya orang Papua sendiri semakin mengalami degradasi di berbagai bidang kehidupan. Karenanya, “Otonomi Khusus dikatakan sebagai bencana bagi orang Papua”. Maka dari itu pentingnya untuk menyelesaikan semua konflik dan problem-problem melalui jalan: DIALOGUE INDONESIA AND PAPUA.

Apa itu Otonomi ?
Otonomi berasal ari kata auto, artinya sendiri dan nomy yang artinya kelihatan, secara etimologis berhubungan dengan ekonomi. Dari asal kata tersebut dapat kita pahami bahwa autonomy artinya menjalankan kegiatan ekonomi sendiri. Jika dipandang dari realitas  definisi ini agak masuk akal karena apa yang terjadi dalam otonomi adalah mengatur perekonomian (peri kehidupan) sendiri.[4] Dalam bahasa birokrasi  atau administrasi pemerintahan, otonomi sering diasosiasikan dengan desentralisasi yaitu kebijakan administrasi dan manajemen negara yang terpusat dibagikan dengan daerah.
Otonomi dilihat sebagai sentralisasi kekuasaan pemerintah pusat terhadap orang Papua. Konsep mandiri tadi memainkan peranan besar. Artinya bahwa masyarakat dapat mandiri secara ekonomi, sosial budaya, politik dan hukum. Namun, realitas yang terjadi, kewenangan yang diberikan selama ini terbatas, karena semua keputusan diatur dan dikendalikan secara sistematis dari pusat, Jakarta.
Akibat dari model kebijakan seperti itu, telah membawa konsekuensi yakni ketergantungan daerah pada pemerintah pusat dan pemerataan pembangunan yang tidak adil. Berdasarkan pengertian di atas maka melalui Undang-Undang Otonomi Khusus No 21 Tahun 2001 memberikan kewenangan yang luas dan spesifik bagi orang Papua untuk mengatur rumah tangganya.

Permasalahan yang Timbul[5]
Jika kita mengamati pembangunan yang berlangsung di Papua ini memiliki dampak yang kuat terhadap kehidupan masyarakat dalam menciptakan kesejahteraan hidup. Dalam menjalankan kebijakan, pemerintah terkesan belum berubah karena mereka masih berpegang teguh pada pola-pola lama yang tidak sesuai lagi dengan tuntutan dan perubahan masyarakat.
Syarat dari suatu pemerintahan yang baik adalah adanya transparansi, partisipasi rakyat, demokrasi dan akuntabilitas kepada masyarakat terhadap program pemerintah yang dilakukan serta hasil pembangunan yang dicapai. Hal tersebut merupakan harapan dan kerinduan dari masyarakat. Kesulitan memperoleh informasi pembangunan dan tidak adanya transparansi membuat masyarakat apatis dan tidak peduli lagi dengan berbagai upaya pembangunan.
Di satu sisi kondisi demikian tidak dapat dibiarkan begitu saja. Masyarakat harus didorong dan difasilitasi untuk melakukan kontrol sosial terhadap hak-hak politik mereka untuk mendapatkan sebuah pelayanan yang baik. Belum ada perubahan yang signifikan dalam struktur dan kultur pemerintah, menyebabkan masyarakat tidak menikmati pelayanan dan hasil-hasil secara optimal. Keputusan proyek-proyek pembangunan cenderung menjadi kepentingan pemerintah daripada masyarakat, partisipasi masyarakat dalam proses pengambilan keputusan terkesan rendah. Dan semuannya ditentukan dari atas, pemegang kekuasaan.
Kondisi ini menyebabkan masyarakat hanya menjadi penonton dan penerimah hasil pembangunan, tanpa adanya partisipasi yang memadai, sehingga tidak ada rasa memiliki. Selebihnya kehidupan ekonomi, sosial, pendidikan bagi masyarakat bawah tidak mengalami peningkatan. Dari tahun ke tahun kehidupan mereka tidak meningkat bahkan semakin sulit dalam memenuhi kebutuhan hidup, karena harga barang semakin mahal di pasar.
Masyarakat yang tinggal jauh di kampung-kampung masih hidup dalam keadaan yang serba terbatas karena kurangnya sentuhan pembangunan. Keterbatasan yang dimaksud adalah keterbatasan dalam bidang pendidikan, dan hak-hak di bidang kesehatan. Belum lagi, pada erah otsus ini penyelesaian masalah pelanggaran HAM masih mengalami pasang-surut, sehingga masyarakat asli Papua tidak puas. oleh karena itu, otsus tidak silihat sebagai sesuatu yang membawa perubahan, melainkan membawa bencana bagi seluruh rakyat Papua.

Analisa Terhadap Aspek-Aspek Kehidupan
1.Pendidikan[6]
Pendidikan merupan sektor penting dalam membangun manusia Papua yang cerdas dan berkualitas. Pendidikan merupakan bidang strategis yang perlu mendapat perhatian yang sunguh-sugguh dari pemerintah. Pendidikan yang dimaksud di sini tidak terbatas pada intelektualitas dengan prestasi akademis, tetapi lebih jauh harus  menciptakan manusia yang cerdas dan berbudi pekerti yang baik. Dalam tataran dan konsep seperti itu, maka pendidikan tidak hanya semata-mata dilihat dalam paradigma pendidikan yang sempit, tetapi memperhatikan juga struktur sosial dan budaya masyarakat dalam keterkaitannya dengan nilai-nilai kearifan lokal yang hidup dalam masyarakat Papua.
Jika paradigma pendidikan yang disebutkan di atas dikaitkan dengan sejumlah program pendidikan yang ada di Papua, maka masih ada banyak masalah yang perlu diperbaiki. Permasalahan pendidikan yang terjadi sampai saat ini adalah masalah putus sekolah. Ada banyak contoh yang bisa ditemukan misalnya kasus anak SD putus sekolah di Asmat dan masih banyak lagi.[7] Sistem pendidikan di daerah-daerah pedalaman kurang mendapat perhatian yang memadai, khususnya tenaga pengajar, sarana dan prasarana maupun administrasi sekolah yang buruk. Selain itu sebagian masyarakat terisolir dan belum bisa membaca.
Dalam sebuah penelitian yang dilakukan oleh mahasiswa Universitas Cendrawasih membuktikan bahwa angka partisispasi murid SD di Papua hanya 86% di bawah persentase nasional 96%. Selain itu, berbagai kebijakan dan pelayanan pemerintah di bidang pendidikan belum memadai, seperti pembayaran guru yang tidak merata, guru yang berkualitas tidak berminat untuk bekerja di daerah pedalaman, kurang penghargaan terhadapa profesi guru, fasilitas perumahan guru di kampung yang kurang dan sarana prasarana operasional terbatas.
Ada berbagai masalah yang terjadi, khususnya dalam bidang pendidikan, tetapi pemerintah menutup mata terhadap berbagai ralitas yang kini terjadi di depan mata. Bagaimana dengan otsus bagi Papua? Orang semakin mempertanyakan keberadaannya. Apakah OTSUS hadir sebagai solusi untuk menyelamatkan masyarakat Papua dari bahaya? Otsus justru membawa  bencana yang mematikan rakyat Papua.



2.Kesehatan
Pelayanan dalam bidang kesehatan pun mengalami nasib sama, terutama pelayanan dasar bagi masyarakat Papua. Jika kita baca di berbagai media atau mengalaminya secara langsung sebagian besar dari masyarakat Papua ketika sakit pergi berobat di rumah sakit terdekat, karena mudah dijangkau dan biaya relatif agak rendah. Itu adalah pilihan utama karena terbatasnya rumah sakit dan tenaga dokter. Permasalahan yang menonjol dalam sistem pelayanan kesehatan sejak Undang-Undang No 32 Tahun 2004 tentang sistem pemerintahan, khusus untuk kabupaten dan kota di Papua mempunyai kewenangan sendiri dalam mengatur struktur dan penempatan pejabat pada instansinya maupun tenaga medis.[8] Sebagai akibat dari kewenangan ini, terdapat kepala dinas di kabupaten yang sama sekali bukan dari latar belakang pendidikan kesehatan. Dengan demikian manajemen kesehatan dan kebijakan yang diambil tidak banyak memberikan kontribusi bagi penyelesaian berbagai masalah kesehatan yang ada di daerahnya. Sebagai contoh, di dalam APBD tidak dianggarkan dana untuk distribusi obat sehingga obat yang disalurkan oleh provinsi pada akhirnya tidak dapat disalurkan ke puskesma-puskesmas. Sehinga ketika ada pasien yang terkena penyakit yang mematikan pergi ke rumah sakit tidak ada penyediaan obat sehingga orang tersebut akhirnya meninggal.
Kita bisa melihat contoh kasus wabah muntaber di Lembah Kamu, Kabupaten Dogiyai yang menelan korban 125 orang.[9] Fakta tersebut dapat menjadi contoh bahwa penyaluran obat-obatan di sejumlah tempat belum terealisir dengan baik. Dalam  UU No  21 Tahun 2001 pasal 59 ayat menegaskan bahwa (1) pemerintah provinsi, kabupaten dan kota menetapkan standar mutu pelayanan kesehatan penduduk, (2)  pemerintah provinsi, kabupaten dan kota berkewajiban mencega dan menanggulangi penyakit-penyakit endemis yang membahayakan kelangsungan hidup penduduk dan (3) setiap penduduk Papua berhak memperoleh pelayanan kesehatan sebagaimana dimaksud pada ayat 1 dengan beban masyarakat serendah-rendahnya.
Virus HIV/AIDS menyerang banyak penduduk asli Papua. Bagaimana perealisasian kebijakan otsus terhadap permasalahan tersebut? Kasus HIV/AIDS yang terjadi kita tidak dapat mempersalahkan siapa-siapa. Pemerintah harus menyediakan sarana dan prasaran untuk membina pasien-pasian tersebut baik secara jasmani, psikis, rohani. Berkaitan dengan virus tersebut dikatakan dalam wikimu, 2007 epidemi HIV/AIDS di Papua sudah berada pada taraf yang mengkhawatirkan. Hingga Juni 2006, prevalensi kasus HIV/AIDS mencapai 2.703 kasus tertinggi di Indonesia saat itu. Dua tahun setelahnya, pada triwulan II, Juni 2008 jumlah kasus  HIV/AIDS menanjak jauh menjadi 4.114.  Sesuai data yang dihimpun Dinas Kesehatan Provinsi Papua hingga triwulan III atau per September 2008 telah meningkat menjadi 4.305 dan pada 2009 terus meningkat jauh.[10] Berdasarkan data ini dapat diperkirakan bahwa penduduk Papua pada 2020 akan mengalami kepunahan. Hal ini merupakan bencana terbesar. Menjadi pertanyaan sekarang bagaimana dengan kebijakan otsus dalam bidang kesehatan? Apakah Otsus membawa perubahan atau bencana bagi rakyat Papua?

3. Ekonomi
Inti dari aspek ekonomi adalah setiap orang Papua bisa makan dan minum. Namun, apakah hal itu terealisasi dengan adanya otsus? Menarik, salah satu ungkapan suku Mee yakni Mobu, yang diterjemahkan secara harafia berarti kenyang atau puas. Artinya berkecukupan baik secara jasmani maupun rohani, di mana tidak ada warga yang makmur sementara ada warga yang lain berteriak kelaparan dan ditimpah kematian karena berbagai penyakit. Situasi ini menunjukkan ada sekelompok kecil masyarakat yang memiliki banyak sedangkan sebagian masyarakat hidup dalam kekurangan. Masih banyak orang Papua yang satu hari makan satu kali, tempat tinggalnya hanya menumpang, air untuk kebutuhan sehari-hari hanya diminta dari tetangga. Sering sakit-sakitan dan lain sebagainya.
Fakta lain yang mengenaskan ialah di pasar-pasar perkotaan, pedagang lokal berjualan di lantai atau tanah, sedangkan pedagang lain mendapat meja dan tempat jualan yang lebih baik. Jelas bahwa hal ini sangat menguntungkan bagi mereka yang mendapatkan meja dan tempat yang strategis untuk berjualan sehingga pendapatan ekonominya relatif terjamin. Belum lagi tempat jualan mama-mama asli Papua digusur oleh pemerintah. Lalu, mereka ini mau  dikemanakan?[11] Sementara di kalangan pemerintahan terjadi korupsi secara besar-besaran. Masyarakat Papua pun mempertanyakan kedatangan investor-investor nasional maupun internasional yang ada di Papua. Ada PT Freeport, namun kemiskinan masih saja melanda masyarakat asli Papua. Tambang emas yang dihasilkan beribu-ribu ton per hari dikemanakan? Penduduk Papua sama sekali tidak merasakan kesejahteraanya. Dengan kemiskinan, banyak mengakibatkan penyakit di antaranya gizi buruk pada ibu dan anak, busung lapar dan lain sebagainya. Contoh kasus gizi buruk ialah seperti yang terjadi di Yahukimo.

4. Hak Asasi Manusia (HAM)
Jika kita membeca dari berbagai media cetak yang ada di kota Jayapura ini ataupun kita sendiri mengamati langsung di lapangan masih terjadi pelanggaran HAM terhadap manusia Papua. Bahkan menjadi masalah yang sangat akrab dengan manusia Papua. Ada banyak masalah yang terjadi di tanah ini dan meninggalkan sejarah yang menyakitkan hati orang Papua bila di tengok kembali ke belakang. Kasus pelanggaran HAM seperti kasus Biak Berdarah (1998), kasus Abepura (2000), kasus Wamena (2000), kasus Merauke berdarah (2000), kasus pembunuhan Theys (2001), kasus Wasior (2001), kasus Wasior (2003), kasus Wamena (2003), kasus Abepura berdara (Maret 2006) dan lain sebagainya. Terjadi penyisiran dan penangkapan tanpa sebab di Asrama-asrama mahasiswa Papua di antaranya asrama NINMIN, IMI dan YAWA milik mahasiswa pegunungan tengah.
Berbagai kasus pelanggaran HAM ini membuat masyarakat tidak dapat berbuat apa-apa karena takut. Masyarakat Papua tidak bebas dan “merdeka” karena jika menyuarakan kebenaran dan keadilan selalu dinilai separatis (OPM). Ada berbagai stigma yang diberikan kepada orang Papua seperti “kamu orang hitam, rambut keriting tidak laku”. Hal-hal ini membuat orang pribumi Papua selalu merasa was-was hidup di tanah ini karena selalu dihantui oleh rasa takut.
Kasus-kasus pelanggaran HAM yang terjadi di Papua ini berlalu begitu saja, tanpa ada kepastian hukum. Penegak hukum di Papua sangat lemah dalam menangani kasus-kasus pelanggaran HAM. Buktinya kasus yang sebenarnya bisa mendapat penanganan dengan cepat namun dibuat berbelit-belit. Terkesan bahwa masalah kemanusiaan orang Papua dilihat oleh Indonesia seperti persoalan terhadap seekor binatang. Lahirnya otonomi khusus juga tidak memberikan satu sumbangsi yang baik bagi anak bangsa.
Sementara itu tejadi di sana-sini pelanggaran hak-hak tanah adat orang Papua. terjadi illegal logging di berbagai tempat di Papua, pengelolaan dan pemanfaatan hutan oleh investor asing maupun dalam daerah yang kurang memperhatikan aspek-aspek kehidupan anak Papua terutama nilai-nilai budaya. Pemerintah tidak memperhatikan dampak dari masuknya investor-investor terhadap kehidupan orang Papua.
Semangat otsus melahirkan melahirkan Majelis Rakyat Papua (MRP) sebagai honainya orang Papua. Di mana MRP dapat melindungi hak seluruh orang Papua mulai dari Sorong-Merauke. Namun, harapan itu mejadi semu. MPR gagal menangani permasalahan anak Papua. Lalu, orang Papua akan mengadu di mana? Kepada siapa? Pelanggaran HAM pun terus bergulir, korban pun terus berjatuhan. Orang Papua masih terus menangis.

Di mana Letak Kesejahteraan bagi Orang Asli Papua?
Kesejahteraan di sini memiliki pengertian luas. Kesejahteraan diartikan sebagai suatu situasi telah terpenuhinya seluruh kebutuhan hidup manusia. Baik dari aspek ekonomi, pendidikan yang dapat berjalan dengan baik tanpa adanya kendala, kesehatan yang dapat ditangani dengan baik dan keamanan, sehingga orang bisa hidup dalam situasi yang aman dan damai. Dengan terwujudnya semua sendi-sendi kehidupan tersebut, maka akan melahirkan kehidupan yang harmonis, dengan diri sendiri, sesama dan dengan alam. Ukuran kesejahteraan dapat dilihat dari situasi tersebut.
Situasi di atas merupakan harapan dan cita-cita yang selalu didambahkan oleh setiap orang Papua, namun harapan itu menjadi semu karena setiap anak Papua tidak dapat menggapai semuanya itu. Dari dulu hingga sekarang, situasi sulit dan menyakitkan selalu membayangi hidup orang Papua. Berbagai persoalan di atas selalu dialami oleh orang Papua. Hal ini bukan mau mendeskripsikan bahwa orang Papua ingin lari dari persoalan, tetapi masalah yang dihadapi orang Papua ini sudah terlalu berat. Oleh karena itu, orang Papua mendambakan adanya situasi harmoni, damai di atas tanah Papua.

Penutup
Uraian di atas menjelaskan bahwa dalam bidang pendidikan masih terdapat berbagai persoalan dan Otonomi Khusus tidak dapat menyelesaikan persolan tersebut. Demikian pula dalam bidang ekonomi dapat disimpulkan pula bahwa masyarakat mengalami “krisis” dan dari bidang kesehatan dan HAM terjadi hal serupa. Peran Otonomi Khusus di satu sisi memberi dampak posistif yakni terjadi perkembangan kota, namun di satu sisi merupakan momok yang membawa bencana bagi Orang Asli Papua. Orang kecil semakin menderita, sedangkan kaum elit semakin bahagia.
Otonomi khusus lahir dari masalah yang dihadapi oleh orang Papua. Otonomi dilihat sebagai suatu strategi yang dapat mengantar orang Papua keluar dari masalah yang dihadapinya. Namun, tidaklah demikian. Otonomi Khusus justru membuat Orang Asli Papua semakin menderita. Oleh karena itu, dikatakan bahwa Otonomi Khusus membawa bencana bagi Orang asli Papua. Dengan demikian pentingnya DIALOGUE INDONESIA and PAPUA for finishing conflict all in West Papua.

Kepustakaan

Boek, Theo van den dkk. Memoria Passionis di Papua: Kondisi Sosial Politik dan Hak Asasi Manusia 2002-2003. Jayapura: Sekretariat Keadilan dan Perdamaian (SKP). 2004.
Boek, Theo van den dan Rudolf Kambayong. Membangun Budaya Damai dan Rekonsiliasi. Jayapura: Sekretariat Keadilan dan Perdamaian (SKP). 2006.
Kambai, Yafet. Perlawanan Kaki Telanjang di Papua: 25 tahun Gerakan Masyarakat Sipil di Papau. Jayapura-Papua: Foker LSM Papua. 2007.
Karobaba, Sem. Dkk. Papua Menggugat. Yogyakarta: Galang Offset. 2004.
Mansai, Abner dkk. MRP Kitong Pu Honai. Jayapura: Foker LSM Papua. 2008.
Tim Redaksi Nuansa Aulia. Himpunan Perundang-Undangan Republik Indonesia Tentang Otonomi Daerah: Perimbangan Keuangan Antara Pusat dan Daerah. Bandung: Nuansa Aulia. 2006.
Tabloid JUBI. Wabah Muntaber di Lembah Kamuu Masih Berlanjut. Rabu 27 Agustus-9 September 2009.
--------------. Anak Putus Sekolah karena Biaya Pendidikan. Rabu 27 Agustus-9 September 2008.
-------------. AIDS dan Ancamannya  untuk Orang Papua. Kamis 7- 20 Mei 2009

-------------. Jatuh Bangung Mencari Pasar Sendiri. Kamis, 22 Oktober-4 November 2009.


Fr. Ponsianus Kupun, Pr
Mahasiswa STFT Fajar Timur Abepura, Semester VIII
asal Keuskupan Agung Merauke-West Papua




Bagian IV 

FENOMENA OTSUS: SOLUSI YANG BERMASALAH

Oleh Fr. Alexandro F. Rangga, OFM

Pengantar
            Setiap 21 November, otsus merayakan ulang tahunnya. Kita pun turut memperingatinya. Namun dalam kekalutan, kemarahan yang tertahan bahkan tanda tanya; kapan otsus dewasa? Kedewasaan otsus tidak dapat terlepas dari pengarahan dan pengembangan orang tuanya. Ketidakseriusan orang tua dalam hal ini pemerintah terlihat dari kurangnya komitmen, cinta, keseriusan dalam mengasuh otsus. 
            Padahal kita semua tahu, otsus merupakan buah cinta pemerintah pusat dan daerah. Menilik tingkah laku otsus bisa ditebak ‘cinta’ mereka adalah cinta eros. Nafsu untuk memiliki dan mempertahankan status quo di bawah payung NKRI. Untuk itu mereka lebih suka menutupi kekurangannya itu dengan menyempitkan otsus semata-mata pada uang tanpa manajemenen keuangan yang baik. Lantas yang tampak adalah rakyat Papua yang kekanak-kanakan; tergantung pada pendatang, merengek-rengek sampai dapat apa yang diinginkan(biasanya uang, jabatan) baru diam. Yang jelas semuanya mengarah pada menjadi budak di negeri sendiri.
            Berkaca pada kenyataan di atas, tulisan ini hendak membedah dengan pisau analisa sejauh mana fenomena otsus sebagai sebuah solusi tampak sebagai solusi yang bermasalah. Fenomena itulah yang akan dikaji untuk mengupas siung-siung kebutaan dan pembodohan terhadap masyarakat Papua. Tentu untuk sampai pada inti persoalan mengapa otsus dipandang sebagai solusi yang bermasalah. Dengan demikian, tulisan ini tidak hendak menjawab pertanyaan OTSUS: SOLUSI ATAU MASALAH? tetapi hendak mencuatkan solusi alternatif agar otsus tidak lagi dipandang sebagai solusi yang bermasalah dan permasalahan-permasalahan di Papua dapat memperoleh titik terang.

I.  Fenomena Otsus: Solusi Yang Bermasalah
            Fenomena diartikan sebagai hal-hal yang dapat disaksikan dengan pancaindera dan dapat diterangkan dan dinilai secara ilmiah. Selain itu juga menunjuk pada benda, kejadian yang menarik perhatian atau luar biasa sifatnya.[12] Kedua arti fenomena ini akan digunakan sebagai bingkai untuk menjelaskan fenomena otsus itu sendiri.
Otsus sebagai kejadian yang menarik perhatian atau luar biasa sifatnya tidak dapat disangkal. Sejak dipikirkan, direncanakan, didiskusikann, ditetapkan, dan diimpelementasikan di Tanah Papua, otsus telah menarik perhatian banyak pihak. Tidak hanya perhatian masyarakat Papua, Pemerintah Indonesia akan tetapi juga perhatian dunia.[13]  Magnet otsus begitu besar karena hemat penulis Otsus lahir sebagai solusi atas masalah-masalah di Tanah Papua yang belum dan tidak tuntas. Bertolak dari kenyataan ini tidaklah keliru jika otsus dikatakan sebagai solusi yang bermasalah.
Fenomena otsus yang dapat diterangkan dan dinilai secara ilmiah mungkin jika “that statements about fenomena must be limited to statements about intentional acts.”[14] Oleh karena itu kita akan mengkaji fenomena otsus sebagai “intentional acts” (tindakan yang disengaja) dengan “intentionality” tidak mengacu pada “sesuatu” tetapi pada negara sebagai entitas, dalam hal ini Pemerintah Indonesia. Kesengajaan itu nampak dalam tiga persoalan penting yakni Distorsi Sejarah, Pelanggaran HAM, dan Pembangunan yang pincang. Pembangunan yang pincang inilah yang melahirkan otsus.

1.1. Distorsi Sejarah
            “Jangan Melupakan Sejarah,” demikian salah satu pernyataan Presiden Soekarno yang terkenal yang juga merupakan salah satu tokoh penting dalam PEPERA tahun 1969 di Papua. Pernyataan Soekarno sejalan dengan ingatan rakyat Papua akan pengalaman masa lalu mereka terutama pengalaman akan penderitaan atau akan mereka yang menderita (memoria passionis) akibat berbagai distorsi yang terjadi dalam sejarah orang Papua.
            Distorsi sejarah yang paling mendasar ialah distorsi PEPERA. Pada 5 April 1961,  Pemerintah Belanda melantik dan mengukuhkan Dewan Papua Barat bagi tugas-tugas perwakilan serta legislatif. Lantas pada 18 November menetapkan  atribut Negara Papua yakni lagu kebangsaan “Hai Tanahku Papua”, bendera Bintang Kejora, Papua Barat sebagai Wilyah negara serta mata uang dolar New Guinea sebagai mata uang resmi.[15]  Artinya secara de facto Papua telah merdeka. Sementara pengakuan de jure baru akan diberikan pada tahun 1970.
Dalam kurun waktu itulah, distorsi sejarah integrasi Papua ke dalam NKRI terjadi. Terutama pada tahun 1969 ketika terjadi PEPERA. Pernyimpangan nampak dalam pemilihan ‘wakil’ rakyat Papua yang hanya 1.206[16] dari 800.000 rakyat Papua serta fakta bahwa semuanya dipilih atau ditunjuk oleh Pemerintah Indonesia. Belum lagi intimidasi yang dilakukan saat pemilihan memojokkan para ‘wakil’ sehingga tidak ada pilihan lain selain memilih bergabung dengan NKRI. Hal ini merupakan kebenaran yang tidak dapat disangkal dan dibungkam. “the truth can never be defeated: sufficient proofs indicate west papua’s integration into indonesia as morally, legally & democratically fraud & unjustifiable, background and progress report: on the campaign for ‘a un internal review of its conduct’ in the act of free choice 1969 in west papua, the west papuan peoples’ representative office (wppro), port vila, the republic of vanuatu, december 2004.”[17]
            Distorsi sejarah dan memoria akannya penting bagi pembangunan ke depan. Ia menjadi pelecut karena lahir dari pengalaman real kerinduan akan pembebasan dari keterbelungguan dan keterpasungan. Dengan demikian masa kini dan masa yang akan datang dipahami sebagai pembebasan untuk lebih baik, dalam kategori ini ialah terciptanya “Papua Tanah Damai”.

1.2.  Pelanggaran HAM
            Pelanggaran HAM di Papua lahir dari adanya beragam bentrokan kepentingan serta potensi konflik yang bervariasi. Bentrokan kepentingan terutama antara pemerintah Indonesia dan Masyarakat Papua yang dicap separatis atau simpatisannya.[18] Yang satu demi NKRI, yang lain demi kemerdekaan. Akibatnya muncul berbagai pelanggaran HAM terutama terhadap masyarakat sipil oleh TNI. Berbagai pelanggaran merebak di seluruh Papua dengan intensitas yang tinggi.[19] Kebanyakan pelanggaran menjadi masalah karena dilakukan tanpa adanya dakwaan, tanpa kompensasi, serta tindakan aparat yang tidak berperikemanusian.[20]Selain itu, semua bentuk kekerasan HAM terlaksana secara sistematis sejak 1 Mei 1963. Banyak orang Papua yang dibunuh, ditangkap, disiksa, dan bentuk-bentuk ketidakadilan lainnya yang mengarah pada genocide.[21]
Berdasarkan fakta-fakta tersebut tak dapat dipungkiri bahwa potensi pelanggaran HAM di Tanah Papua masih tinggi. Hal ini dimungkinkan oleh potensi konflik itu sendiri yakni: “1) Differing political aspirations, 2) Misuse of Official Position and authority, 3) confusing governance, 4)suspicion between ethnic and tribal groups, 5) suspicion between different religious groups, 6) socio-ekonomic disparity, 7) loss of common spiritual basis, 8) Draining of natural resources.”[22] Untuk itu amatlah penting kedua belah pihak, dalam hal ini Pemerintah Indonesia dan Rakyat Papua atau wakilnya duduk bersama berdialog. Pokok Pembicaraan pertama-tama ialah rekonsiliasi masa lalu menuju penyembuhan luka-luka batin memoria passionis.

1.3. Pembangunan Yang Pincang
            Kepincangan pembangunan nampak dari adanya gap antara kekayaan Papua serta kondisi Papua saat ini. Papua yang oleh Anttonio Figafetta disebut Islade Oro atau Pulau Emas dengan menjadi penyumbang terbesar terhadap pendapatan negara terutama lewat PT.Freeport Indonesia. Belum terhitung kekayaan alam lainnya. Namun hingga kiniPapua merupakan provinsi termiskin kedua di Indonesia. Banyak anak Papua yang tidak bersekolah dan terutama kesenjangan dalam berbagai bidang kehidupan.
            Keadaan ini oleh Pemerintah Indonesia disiasati dengan diberikannya Otonomi Khusus bagi Provinsi Papua berdasarkan UU No 21 Tahun 2001. Sayangnya ada kesan bahwa otsus berarti uang. Maka mengalirlah uang-uang ke kantong-kantong penduduk Papua. Namun karena tidak dibekali dengan manajemen keuangan yang baik, semua uang itu menggepul entah ke mana. Lantas orang Papua tampil kembali secara asli; miskin dan terlantar di tanah sendiri. Lantas kita bertanya; salah siapa? Atau pertanyaan yang lebih positif; tugas siapakah ini? Jawabannya ialah MRP. Namun sayang rencana kerja MRP hingga kini masih belum tepat guna. Untuk itu sebagai lembaga representasi kultural orang Papua, MRP tidak hanya menjadi honai[23], tempat orang aspirasi orang Papua didengar dan ditindaklanjuti tetapi juga menjadi yang terdepan dalam memperjuangkan hak-hak dasar orang asli Papua.

II.  Solusi Alternatif
Pada prinsipnya, Otsus merupakan solusi, namun solusi yang bermalah. Agar kembali pada hakikatnya sebagai solusi, maka masalah yang ada perlu diselesaikan terlebih dahulu. Solusi alternatif dipikirkan dalam kerangka otsus. Otsus sebagai buah cinta pemerintah Indonesia dan pemerintah daerah perlu memperhatikan tujuannya yakni Orang Asli Papua.
Kemendesakan perhatian semua pihak terutama kedua pihak (Indonesia-Papua) tersebut membuat persoalan Otsus perlu diperbaharui today dalam konteks TODAY[24]; Trust (Kepercayaan) membuat kedua belah pihak mampu untuk bekerja sama. Ketakpercayaan orang Papua akan kinerja otsuslah yang membuat Otsus dikembalikan lewat DAP (Dewan Adat Papua) pada, 12 Agustus 2005. Kepercayaan melahirkan Openess (keterbukaan), kemampuan untuk membuka diri, mengangkat ke permukaan persoalan-persoalan yang ada di Papua untuk dibicarakan. Darinya Dialogue (dialog), yang di dalamnya ada sikap mendengarkan dan menghargai satu sama lain serta menanggalkan kepentingan-kepentingan egoistik. Buku Membangun Dialog Jakarta-Papua[25]memberikan gambaran yang jelas dalam konteks ini. Dialog yang demikian memunculkan sikap Acceptance (penerimaan) dalam sikap saling menghormati apa yang menjadi Hak dan kewajiban masing-masing. Penerimaan mendasar ialah pengakuan akan kesalahan di masa lalu yang mengoreskan memoria passionis dalam ingatan kolektif orang Papua sehingga terjalin rekonsiliasi yang ikhlas. Akhirnya terciptalah Yearn (rindu, harapan) yang mendambakan peningkatan kepercayaan sehingga keterbukaan makin besar, dialog makin mendalam dan penerimaan satu sama lain lebih ikhlas menuju Papua Tanah Damai.
Penutup
            Tiga persoalan mendasar di atas memungkinkan kita melihat sejauh mana Otsus menjadi solusi yang bermasalah di Tanah Papua sekaligus ruang untuk menempatkan kembali Otsus sebagai solusi itu sendiri. Otsus hanyalah salah satu hal yang mewarnai berbagai persoalan di Tanah Papua. Namun, ia mempunyai pengaruh yang amat vital karena menyangkut keberlangsungan hidup orang asli Papua di Bumi Cenderawasih ini.
“Stupid pastor, useless to call the name of God.” Kalimat ini ditujukan kepada Pendeta Kias Komba oleh tentara yang berjumlah sepuluh orang di Desa Parabaga di Piramid-Wamena sebagai salah satu dari sekian banyak kekerasan di Papua selama periode 1998-2007. Jika dipelintir sedikit pernyataan tersebut dapat berbunyi; “Stupid writer, useless to write about Papua’s problems.” Betapapun tak bergunanya, tentang kebenaran, keadilan dan perjuangan akan kesejahteraan harus tetap digemakan. Maksudnya jelas agar voice of the voiceless menjadi voice of us.

Daftar Bacaan

Conoras, Yusman (ed.).  2008. MRP, Kitong Pu Honai.  Fokes LSM Papua: Jayapura.
Edwards, Paul (Ed.). 1967. The Encyclopedia of Philosophy, vol. 5. Collier Macmillan  Publishers: London.
Hernawan, Budi. 2005. Papua Land of Peace: Addressing Conflict Building Peace in West Papua. SKP Jayapura: Jayapura.
--------------------. 2008. The Practice of Torture in Aceh and Papua 1998-2007, with an annex on the situation of human rights in Timor Leste. SKP Jayapura: Jayapura.
Poerwadarminta, W.J.S. 2002.  Kamus Umum Bahasa Indonesia. Balai Pustaka: Jakarta.
Tebay, Neles.  2009. Membangun Dialog Jakarta-Papua. SKP Jayapura: Jayapura.
----------------. 2008. Papua: Its Problems and Possibilities for a Peaceful Solution. SKPJayapura: Jayapura.
Wonda,  Sendius. 2009. Jeritan Bangsa, Rakyat Papua Barat Mencari Keadilan. Galang Press: Yokyakarta.
Yoman, Socratez Sofya. 2005. Orang Papua Bukan Separatis, Makar dan OPM. Lerhamkot: Papua Barat.


Fr. Alexandro F. Rangga OFM
Mahasiswa STFT Fajar Timur Abepura
Semester VI

REPORTER SPECIAL IN WEST PAPUA

Fr. Santon Tekege, Pr
GROUP STRUGGLE JUSTICE AND PEACE IN WEST PAPUA
Jl. Yakonde Padangbulan Abepura West Papua
Call: 085244522433





[1]Bdk. Karoba, Sem. dkk. Papua; Menggugat Politik Otonomisasi di Papua Barat, Bagian 1. hal 5.
[2]Bdk. Mitos Manarmakeri di Biak Numfor, Mitos Mbeten di Merauke, lihat dalam Jurnal Agama dan Kebudayaan Limen, Albertus Herianto, Th. 3, No 1, Oktober 2006. hal 44-50
[3]Akhmad. Amber dan Komin, Studi Perubahan Pkonomi di Papua, Yogyakarta, 2005. hal xiii.
[4]Sem Karobaba, dkk. Papua Menggugat. Yogyakarta: Galang Offset. 2004. hal. 7-8.
[5]Yafet Kambai. Perlawanan Kaki Telanjang di Papau: 25 tahun Gerakan Masyarakat Sipil di Papua. Jayapura-Papua: Foker LSM Papua. 2007. hal. 147-148.
[6]Ibid. hal. 50.
[7]Anak Putus Sekolah karena Biaya Pendidikan. Dalam Tabloid JUBI. Edisi. Rabu, 27 Agustus-9 September 2008. hal. 6.
[8]Tim Redaksi Nuansa Aulia. Himpunan Perundang-undangan Republik Indonesia Tentang Otonomi Daaerah: Pertimbangan Keuangan Antara Pusat dan Daerah. Bandung: Nuansa Aulia. 2006. hal. 306-310.
[9]Wabah Muntaber di Lembah Kamuu Masih Berlanjut. Tabloid JUBI. Rabu 27 Agustus-9 September 2009. hal. 8.
[10]AIDS dan Ancamannya  untuk Orang Papua.Tabloid JUBI. Kamis, 7- 20 Mei 2009.  hal. 8.
[11]Jatuh Bangun Mencari Pasar Sendiri. Tabloid JUBI. Kamis, 22 Oktober-4 November 2009. hal. 6.
[12]W.J.S.Poerwadarminta, Kamus Umum Bahasa Indonesia. Bdk. Paul Edwards (Ed.), The Encyclopedia of Philosophy, vol. 5, hal. 139-146. “there are three conditions defening phenomena; 1) Phenomena are essences, 2) Intuited, 3) revealed by bracketing existence. The criterion of completness used earlier was that a definition of “phenomenon” is completed only if it is consisten with the first of the three requrements for phenomenological statements-that they are nonempirical.
[13]Keprihatinan dunia tampak dari adanya pernyataan ini: The biggest mistake a person ever made is not only doing something against humanity, but worse for doing nothing for crime against humanity and the nature. Letting things happen is the worst thing we one ever done!” Selengkapnya kunjungi website www.westpapua.net
[14]Paul Edwards (ed.)., Ibid.
[15]Sendius Wonda, Jeritan Bangsa, Rakyat Papua Barat Mencari Keadilan, hal. 41. Bdk. Neles Tebay, Papua: Its Problems and Possibilities for a Peaceful Solution, hal. 2.
[16]Sumber lain menyebutkan wakil Papua sebanyak 1.022. bdk. Budi Hernawan, Papua Land of Peace: Addressing Conflict Building Peace in West Papua, hal. 52.
[18]Socratez Sofya Yoman secara tegas menolak anggapan tersebut dalam bukunya yang lugas, Orang Papua Bukan Separatis, Makar dan OPM, (Papua Barat: Lerhamkot, 2005)
[19]Bdk. Budi Hernawan, The Practice of Torture in Aceh and Papua 1998-2007, wiyh an annex on the situation of human rights in Timor Leste, hal. 140-172.
[20]Budi Hernawan, Ibid.,  hal. 173-174.
[21]Neles Tebay, Op.Cit., hal. 78-79.
[22]Selengkapnya lih. Budi Hernawan, Op.Cit., hal. 4-7.
[23]Menarik menyimak kumpulan tulisan yang mencoba meningkatkan kinerja kerja MRP dalam Yusman Conoras (ed.), MRP, Kitong Pu Honai,  (Jayapura: Fokes LSM Papua, 2008)
[24]Jose Salutan, OFM dalam SAAO Fransiskan.
[25]Neles Tebay, Membangun Dialog Jakarta-Papua, (Jayapura: SKP Jayapura, 2009).