Jumat, 28 Oktober 2011

TUDUHAN "MAKAR" PASCA KONGRES RAKYAT PAPUA III TERHADAP ORANG ASLI PAPUA DI ABEPURA-PAPUA INDONESIA


TUDUHAN ‘MAKAR’ PASCA KONGRES RAKYAT PAPUA III
TERHADAP ORANG ASLI PAPUA
(Oleh: Fr. Yohanes E. Kayame, Pr)
 
Pertanyaan yang muncul adalah bahwa apakah dalam kerangka HAM, tuduhan/ stigma “makar” dan pengertian makar terkait insiden pasca-Kongres Rakyat Papua III dapat dibenarkan? Untuk menjawab pertanyaan ini, maka dalam pemaparan paper ini perlu dikemukakan premis-premis yang mendasar untuk kemudian dilihat argumentasinya. Pertama-tama perlu diketahui bahwa masalah Papua yang sudah dan sedang terjadi adalah masalah bersama. Kongres Rakyat Papua III (selanjutnya disebut KRP III) juga dilaksanakan oleh karena ada akar permasalahan yang belum diselesaikan. Orang Papua tidak mungkin melakukan KRP III tanpa ada akar permasalahan yang sudah dan sedang terjadi. Namun sayangnya para penegak keadilan dan kebenaran orang Papua pada pasca KRP III kemudian distigma “makar”? Bukankah KRP III merupakan ekspresi dalam Negara RI yang kini mengedepankan demokrasi? Di manakah martabat manusia sebagai sesama ciptaan Tuhan? Bagaimana stigma-stigma “makar” ini dapat dibenarkan berdasarkan pengertian makar dan dari kerangka HAM?.
 
A.   Tuduhan ‘Makar’
Sebelum pasca KRP III, anak negeri Papua sudah banyak distigma “makar”. Kini orang Papua mendapat giliran stigma, tuduhan, dan hukuman karena “makar” dalam KRP III. Polda Papua, dalam hal ini Kepala Bidang Hubungan Masyarakat Polda Papua Kombes Wahyono, diJayapura, Kamis (20/10), mengatakan bahwa penangkapan kelima tersangka terkait KRP III dinilai makar dan satu di antaranya terbukti membawa senjata tajam. Mereka itu adalah: Forkorus Yaboisembut, Edison Gladius Waromi, August Makbrawen Sananay Kraar, Dominikus Sorabut, dan Gat Wenda. Demikian pula, Pangdam XVIII/ Cendrawasih Mayor Jenderal TNI Erfi Triassunu mengatakan perlunya ‘tindak tegas perbuatan makar di Papua’ (Cepos 24/10/2011). Apakah aktualisasi/ stigmanisasi “makar” ini dapat dibenarkan?
 
B.   Apa itu Makar dan bagaimana dalam Kerangka HAM, dan Hukum Kemanusiaan Negara RI
Makar, (dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia cet. 3, 1990) adalah “(n) (1) akal busuk; tipu muslihat: segala -- nya itu sudah diketahui lawannya; (2) perbuatan (usaha) dng maksud hendak menyerang (membunuh) orang, dsb: krn -- menghilangkan nyawa seseorang, ia dihukum; (3) perbuatan (usaha) menjatuhkan pemerintah yg sah: ia dituduh melakukan – (n) makar: kaku dan keras (tt buah-buahan); bangkar.”
          Dengan definisi ini, kita bisa menyimpulkan dua pengertian makar, pengertian dari perspektif hukum dan kemanusiaan. Dari segi hukum, seseorang bertindak melawan pemerintahan dengan tindakan fisik maupun perkataan dan kemudian untuk membentuk suatu negara. Ini bisa dibenarkan. Namun untuk konteks perjuangan bangsa Papua sangat kontras karena terkait dengan pelanggaran HAM, yakni perjuangan bangsa Papua yang sudah mendeklarasikan kemerdekaannya pada tahun 1961. Sedangkan dari segi kemanusiaan, seseorang dikatakan makar bila bertindak melawan kodrat kemanusiaannya secara irasional, immoral terhadap sesamanya, serta tidak menghargai dan mengakui harkat, martabat dan keberadaan sesamanya sebagai manusia yang mempunyai keinginan dan harapan hidup akan masa depan.
Sangat terkait erat juga dengan ketetapan-ketetapan HAM, yakni hak orang untuk berekspresi, mengemukakan pendapat, hak untuk memiliki dan hak untuk mengungkapkan pendapat dalam Negara demokrasi. Lebih lanjut dalam piagam HAM PBB dikatakan pada pasal 15 ayat 1 bahwa setiap orang berhak untuk memiliki suatu kebangsaan, dan ayat 2, tak seorangpun boleh dicabut hak kebangsaan itu, dan ditolak haknya untuk merubah kebangsaan.
Selain itu, terkait pelanggaran HAM tersebut Kontras Papua, menilai bahwa TNI/Polri telah melakukan pelanggaran hak atas kebebasan berekspresi yang dijamin dalam Undang-Undang Dasar 1945 Amandemen II pasal 28E ayat 3 bahwa setiap orang berhak atas kebebasan berserikat, berkumpul dan mengeluarkan pendapat. Juga bertentangan dengan UU No. 12 tahun 2005 tentang pengesahan Konvensi Hak-hak Sipil Politik Pasal 21, mengenai kebebasan hak untuk berkumpul secara damai. Aparat TNI/ POLRI memandang bahwa tindakan mereka telah melanggar hukum, maka prosedur hukum harus dikedepankan, pemanggilan secara prosedural harus dilakukan sesuai dengan hukum acara yang berlaku. Dengan demikian, dikhawatirkan oleh Kontras bahwa akan semakin memperburuk tingkat kekecewaan masyarakat Papua terhadap Pemerintah Indonesia. Lebih-lebih, tuduhan makar yang merupakan salah satu modus kriminalisasi terhadap setiap aspirasi politik Papua.
Kontras Papua juga mempertanyakan keterlibatan TNI dalam operasi pembubaran paksa KRP III. Dikatakan, menurut aturan, keterlibatan TNI seharusnya mendapatkan persetujuan dari Presiden dan disetujui oleh DPR. "Patut diduga bahwa keterlibatan TNI adalah ilegal, mengingat keterlibatan TNI tersebut harus mendapat persetujuan dari Presiden dan disetujui oleh DPR dalam konteks gelar pasukan. Bagaimana ini dilihat dari aspek kemanusiaan atas peristiwa-peristiwa makar/ pelanggaran HAM yang sudah terjadi di Papua itu?.
 
C.   Sekilas Menelusuri kembali Pelanggaran HAM yang sudah Terjadi di Papua sebagai suatu Tindakan Makar dari TNI/ POLRI
 Dalam KRP III dibicarakan sejumlah hal berkaitan dengan hak-hak dasar orang Papua yang diabaikan dan tidak diperhatikan. Terutama kemerdekaan bangsa Papua yang dideklarasikan pada tahun 1961. Namun kemerdekaannya,  melalui PEPERA oleh pemerintah Indonesia dimanipulasi atau direkayasa pada tahun 1963-1969, (Agus Alua, Papua Barat dari Pangkuan ke Pangkuan, 2006: 53-54, bdk. P.J. Drooglever, Tindakan Pilihan Bebas Orang Papua dan Penentuan Nasib Sendiri, 2010, hal. 563-579). 
Dalam KRP I dan II menuntut tindakan itu, yakni tindakan yang dimanipulasi, direkayasa, yakni tindakan makar, tipu muslihat, akal busuk, dan perlawananan, dan pembunuhan yang dilakukan. Pemerintah Indonesia bertindak tidak sesuai dengan amanat perjanjian New YorkAgreement 1962 tetapi Indonesia sibuk dengan memenangkan PEPERA 1969 dengan melakukan berbagai terror, intimidasi, penangkapan, kekerasaan, pembunuhan, dan berbagai manipulasi sosial politik terhadap masyarakat Papua yang mempertahankan haknya. Karena itu, PEPERA tidak hanya cacat hukum tetapi juga cacat secara moral. Dan PEPERA merupakan hasil rekayasa politik oleh militer Indonesia. Disinilah terjadi kasus makar. Dan lebih para lagi dengan sejumlah operasi militer (Operasi Sadar, Bharatayudha, Wibawa, Gelang, dll).  
Dengan tindakan militer demikian itu, maka banyak manusia Papua yang dibunuh. Organisasi Hak Asasi Manusia Internasional dan Lokal memperkirakan bahwa 100.000 orang Papua telah dibunuh oleh Pasukan Keamanan Indonesia; belum terhitung yang hilang di hutan dan mati kelaparan dll, (Neles Tebay, Upaya Lintas Agama demi Perdamaian di Papua Barat, 2006, hal. 4-7). Disanalah terjadi pembunuhan, makar, yakni perbuatan (usaha) dengan maksud hendak menyerang (membunuh) orang, dsb: krn -- menghilangkan nyawa seseorang. Di sanalah nampak adanya tindakan ketidakadilan dan ketidakbenaran bahkan pelanggaran HAM terjadi. Sesamanya dipandang sebagai objek dalam kewenangannya yang menuduh, menahan, mengadili dan memenjarahkan. Mekanisme hukum yang ada digunakan untuk melindungi kepentingannya. Hukum tidak digunakan demi kemanusiaan. Aktualisasi/ stigmanisasi ‘makar’  menjadi tidak jelas dan tidak sesuai dengan yang tersurat.
Dengan berjalannya situasi demikian, maka pada tahun 1999 orang mulai berbicara masalah kemerdekaan bangsa Papua yang dulu dimanipulasi dan diabaikan dan tidak diakui itu. Orang Papua mulai berbicara karena merasa asing di negerinya sendiri. Orang Papua dalam sejumlah hal dinomorduakan. Orang Papua selalu dicap ‘makar’ dan ‘separatis’. Setiap perjuangan orang Papua, yakni suara-suara masyarakat Papua dibungkam, diinjak dan dicacimaki.  
Para penegak keadilan dan kebenaran yang sudah dan sedang berjuang sebenarnya bukan melawan Negara (makar). Mereka berjuang menegakkan keadilan dan kebenaran. Mereka mengekspresikan agar hak-hak dasar orang Papua dapat diperhatikan, baik di tingkat nasional maupun dunia internasional; Bukan mereka dituduh melakukan tindakan ‘makar’.
 
D.  Perlunya Klarifikasi atas Hukum dan Tindakan Makar
Undang-undang pidana yang dibuat Indonesia perlu diklarifikasi. Salah satunya dalam Pasal 104 Undang-Undang Pidana dikatakan: ‘Makar dengan maksud untuk membunuh, atau merampas kemerdekaan, atau meniadakan kemampuan Presiden atau Wakil Presiden memerintah, diancam dengan pidana mati atau pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara sementara paling lama dua puluh tahun’.  Di sini kata makar sangat kontradiksi dan terkesan subyektif. Dalam arti orang Papua dianggap makar, sementara para TNI dan POLRI pelaku makar berat tidak dihukum. Padahal mereka melakukan makar, melanggar HAM, di mana tindakan mereka tidak melihat pada aspek kemanusiaan. 
Pelanggaran HAM tidak bisa dibendung oleh hukum Negara. Juga terkait kejadian yang terjadi pada pasca KRP III merupakan kejadian pelanggaran HAM berat, dan itu merupakan perbuatan makar. Maka pihak TNI dan POLRI harus bertanggung jawab karena sudah melanggar HAM. Juga sudah melanggar ajaran moral, yakni ajaran agamanya. Pihak TNI dan POLRI telah melakukan aksi yang tidak manusiawi, dan yang tidak bermartabat di Negara yang demokratis ini. Mereka telah melakukan aksi yang brutal, dan tidak manusiawi terhadap orang Papua bahkan orang non Papua. Bahkan mereka perlu ditindak tegas karena telah melanggar Hukum Internasinal (HAM). Karena dalam negara yang demokratis, KRP III ini dilakukan, namun akhirnya diinterogasi dan lain-lain terhadap ratusan orang Papua, bahkan 7 orang ditembak mati, yakni: Damianus Daniel Kedepa (mhs. Ilmu Hukum Umel Mandiri), Maks Yeuw dan Yakob Sabon Sabra (masyarakat sipil), dan 2 orang Sorong dan 2 orang Wamena. Dan aksi-aksi lain pasca KRP III.
 
E.   Upaya Menegakkan Makar yang Bermartabat dalam Kerangka   HAM di Papua
Perjuangan untuk meneggakkan keadilan dan kebenaran atas pelanggaran HAM di Papua, tidak akan perna dihentikan oleh orang Papua dan lembaga-lembaga kemanusiaan. Perjuangan dalam meneggakkan HAM tetap akan dilanjutkan. Dan KRP III ini dilaksanakan untuk membicarakan masalah pelanggaran HAM yang harus kita bicarakan. Dalam dunia dan Negara demokrasi bahwa hal ini perlu dikedepankan untuk dibicarakan agar dapat diekspresikan hak kebebesannya. Dalam kegiatan KRP III ini, secara implisit sebenarnya berbicara soal implementasi OTSUS di Papua yang tidak berpihak pada masyarakat Papua, walaupun secara eksplisit terungkap deklarasi bangsa Papua.
Akibatnya adalah tindakan ‘makar’ anak bangsa dari Indonesia diberikan dan menjadi dua kutup yang tidak bisa ditemukan. Penyoal keutuhan bangsa menuding penyoal kemanusian dengan mengungkapkan bahwa orang Papua pelaku ‘makar’. Dua kutup yang nampak tidak dapat ditemukan ini bisa diselesaikan hanya dengan melihat tindakan itu sebagai persoalan mutlak atau relatif. Kalau melihat tindakan dari segi relatif, anak bangsa ini telah menutup mata terhadap persoalan kemanusian. Kapan bangsa ini akan menghargai dan mengakui martabat kemanusiaan, kebebasan berekspresi dan persoalan-persoalan mutlak bagi orang Papua? Apakah hukum relatif lebih penting dari pada martabat kemanusiaan, hukum mutlak?  Apakah tindakan pembunuhan, tipu muslihat terhadap orang Papua bukan merupakan pelanggaran HAM, makar dan melanggar Hukum Allah dalam Agama kita? Dalam Hak Asasi Manusia ditekankan soal menghargai martabat manusia, dan bab 3 hak atas penghidupan, kemerdekaan dan keselamatan, bab 5 larangan penganiyaan, bab 19 hak untuk kebebasan berpendapat, dan lain-lain.
Berdasarkan ketentuan-ketentuan HAM dan berdasarkan kemerdekaan bangsa Papua, maka pihak militer di Papua jangan memutarbalikkan ungkapan ‘makar’ terhadap orang Papua. Jangan melihat kata ‘makar’ dari satu pengertian saja. Orang Papua bukan ‘makar’. Mereka memperjuangkan kebenaran dan keadilan. Orang Papua mempertahankan negaranya yang sudah merdeka pada tanggal 1 Desember 1961. Orang Papua bukan merongrong Negara NKRI (bukan “makar”), tetapi untuk memulihkan, mengembalikan dan mengakui secara damai hak kemerdekaan bangsa Papua yang telah ada sejak 1 Desember 1961.
 
F.   Rekomendasi
1.   Negara dalam menangani kasus makar harus mengedepankan dan tetap menghormati dan menjunjung tinggi harkat dan martabat manusia sebagai ciptaan Tuhan, karena selama ini orang Papua sebenarnya bukan melakukan tindakan makar. 

2.   Perlu melihat kembali apa itu makar yang sesungguhnya. Dan perlu diadakan peninjauan dan pengaturan kembali atas implementasi undang-undang pidana makar, apakah sejalan dengan bergulirnya reformasi dan Negara demograsi RI di Papua. 

3.   Perlu diadakan pendidikan, pelatihan dan sosialisasi tentang pentingnya HAM, dan berbagai ketentuan nasional dan internasional tentang HAM kepada TNI dan POLRI, juga kepada aparat penegak hukum. 

4.   Negara membuka diri dan menyediakan kesempatan untuk mengadakan dialog damai dan bersedia mendengar berbagai pendapat aspirasi dari berbagai komponen masyarakat, terutama dari orang Papua, yang difasilitasi oleh pihak ketiga yang netral.