WEST PAPUA: BETWEEN
ANXIOUS AND DREAM PEACE IN LAND OF WEST PAPUA?
(TWO REPORT SITUATION
CONFLICT AND CRIMES IN LAND OF WEST PAPUA[1])
Pengantar
Maraknya situasi cemas dan ketakutan semakin
meningkat di Papua. Aparat keamanan melakukan tindakan kurang manusiawi dengan
cara menangkap tanpa alasan, mengalami luka-luka tembakan bahkan penembakan
mati di tempat terhadap warga Papua. Tindakan penembakan juga dilakukan oleh
Orang Tak Kenal (OTK) atau Orang Terlatih Khusus (OTK) di kota Jayapura dan
Wamena serta Puncak Jaya juga di daerah lain termasuk di Degeuwo Paniai di
Papua.[2] Aparat Keamanan menghadang
dan mengancam bahkan di terror dengan berbagai cara termasuk dengan kekuatan
peralatan perang lengkap (Mobil Barraccuda, truk perang dan Senjata), maka
semua rakyat melarikan diri ke pinggiran danau/kali dan hutan mencari
keselamatan tetapi warga masih melakukan aktivitas seperti biasanya di Kota
Jayapura, Wamena dan Paniai serta daerah lain dengan keadaan takut dan cemas.
Kemudian bagaimana situasi umum? Apakah suasana ini menjadi tantangan bagi
warga Papua? Akhirnya bagaimana solusinya dalam suasana seperti ini?
A. Situasi Umum Papua
Saya menjelaskan
situasi umum yang dialami oleh warga Papua (Orang Papua dan Non Papua) di bumi
Papua. Saya memperlihatkan situasi umum dan menunjuk siapa pelakunya dalam
penembakan di akhir-akhir ini.
1.
Siapa
Pelaku Penembakan Warga Papua?
Suasana yang
mencemaskan dan menakutkan bahkan trauma bagi warga Papua sudah dimulai sejak
1961 hingga kini 2012. Suasana trauma dan takut kini kembali terjadi di
Jayapura, Wamena, Paniai, Timika dan daerah lain di Tanah Papua. Ada banyak
terjadi kekerasan dan penembakan nampak terlihat di Papua. Penembakan pada
manusia serupa juga dikagetkan bagi warga Papua dengan ditembaknya seorang
warga asing asal Jerman Pieter Dietmar Helmut. Bagi orang Papua bahwa Warga orang asing dari
luar negeri adalah saudara yang tak bisa lepas dan tak bisa diterima ketika
datang di rumahnya di Papua. Artinya bahwa orang barat atau orang dari luar
negeri itu harus diterima dengan cara baik dan aman tanpa menolak karena
saudara bagi orang Papua. Kemudian pada hari yang sama terjadi penembakan tewas
seorang warga Indonesia bernama Anton Arung Tambila di Puncak Jaya.
Ia berprofesi sebagai guru Sekolah Dasar (SD) di Mulia Puncak. Penembakan
terhadap Warga Negara Asing Jerman dan warga Indonesia di Puncak Jaya belum
mengetahui siapa pelakunya sehingga dapat mengidentifikasikan pelakunya adalah bukan
Orang Tak Kenal (OTK). Namun telah identifikasi bahwa penembakan warga asal
Jerman adalah Oramg Terlatih Khusus (OTK) di Jayapura dan Puncak Jaya sejak 29
May 2012.[3]
Selanjutnya situasi semakin memanas di kota
Jayapura. Warga Jayapura mulai ketakutan karena adanya penyisiran oleh aparat
keamanan di sekitar kota Jayapura. Warga Jayapura dan Puncak Jaya semakin takut
dan cemas untuk melakukan kegiatan sehari-hari. Walaupun suasana semakin
mencekam, warga dapat melakukan kegiatan sehari-hari mereka. Dalam suasana
seperti itu, warga dikagetkan dengan penghadangan massa KNPB oleh pihak polisi
Polresta Jayapura dibantu Brimob dari Polda Papua di depan kantor Perwakilan
Puncak Jaya di depan Pos Penjaga perbatasan di antara Sentani dan Jayapura.
Karena dihadang polisi Polresta Jayapura dan dibantu Brimob dari Polda Papua,
massa KNPB kembali ke Sentani dengan melakukan tindakan yang tidak menyenangkan
di pihak keamanan di kampung Harapan Sentani. Maka Polisi dari Polresta Sentani
Kota Jayapura melakukan tindakan kebrutalan terhadap warga Indonesia dengan
penembakan senjata pada beberapa warga Papua di kampung Harapan Sentani
Jayapura. Dalam penghadangan itu, beberapa orang warga Papua mengenai peluru
nyasar di tubuh massa KNPB dan beberapa orang korban penembakan warga di
sekitar kota Jayapura pada hari yang sama sejak 1- 4 Juni 2012 (lihat jumlah
korban didaftar penembakan di bawa ini).[4]
Foto:
korban tembak kritis Tanius Kalakmabin 30 tahun di rumah sakit Doyo Sentani-Papua
Sementara kasus penembakan itu belum tuntas di
Jayapura dan sekitarnya, terjadi penembakan dan pembakaran rumah warga oleh TNI
Batalyon 756 di Honelama dan Sinakma di Wamena Papua. Peristiwa terjadi akibat
penabrakan seorang anak warga orang Papua di jalan raya ketika menyerang dan
ditabrak oleh dua orang anggota TNI dari Batalyon 756 di Wamena. Dalam
peristiwa itu, kedua anggota TNI itu, dikeroyok warga sekitarnya hingga tewas
ditempat. Akhirnya TNI dari Batalyon melakukan kebrutalan dan tindakan kurang
manusiawi terhadap warga setempat. Dalam kasus itu, 63 rumah yang terdiri dari
28 rumah sehat dan 35 rumah tradisional alang-alang dibakar habis dan 11 warga
mengalami luka-luka kritis dan ringan dengan tembakan senjata nyasar peluru dan
tikaman sangkur oleh anggota TNI Batalyon 756 Wamena Papua. Kemudian seorang
warga ditembak mati kena peluru nyasar oleh TNI Batalyon 756 di Honelama Wamena
Papua sejak 6 Juni 2012.[5] Ada banyak warga menjadi
korban penembakan oleh pihak keamanan di tanah Papua (bisa lihat dalam uraian tentang tantangan bagi warga Papua di bawa
ini). Gambaran Penembakan dan Pembakaran rumah di Wamena Papua
.
2.
Kekerasan
dan Konflik Terus Meningkat di Papua
Orang Papua mengalami
kekerasan dan konflik sejak 1963 hingga kini 2012. Kekerasan dan konflik
terjadi akibat pendekatan keamanan Indonesia di Papua. Pendekatakan keamanan
itu dapat memberikan pengaruh dan gangguan kenyamanan bagi warga di Papua.[6]
”Inti tawaran Otonomi Khusus atau Special Autonomy
(Otsus) bagi Provinsi Papua”, tulis Theo dkk, ”tercipta dari pandangan resmi
yang berkembang dan disosialisasikan oleh kalangan pejabat Pemerintah bahwa
persoalan di Papua berakar dari gagalnya kebijakan pembangunan di wilayah
tersebut”. Selain itu Otsus juga diberikan sebagai tanggapan atas munculnya
unjukrasa dan pengibaran bendera Bintang Kejora di berbagai kabupaten di Papua
selama 1998. Tawaran Otsus kepada provinsi Papua juga didasarkan atas pandangan
pemerintah yang tak boleh diganggu gugat, bahwa Papua merupakan bagian integral
dari Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Inspirasi lain dari tawaran
Otsus adalah merupakan kebijakan nasional yang harus berlaku bagi semua
provinsi di Indonesia. Semua ini merupakan gagasan dasar dari pemberian Otsus
kepada Provinsi Papua.
`Niat
baik pemerintah` untuk memberikan Otsus kepada Provinsi Papua merupakan hal
yang sangat positif. Namun bagi saya adalah keliru jika Otsus diberikan hanya
untuk menyelesaikan konflik Papua yang diredusir sebagai kegagalan pembangunan.
Pemerintah menilai bahwa konflik yang timbul di Papua berasal dari kegagalan
pembangunan. Dengan demikian logikanya adalah karena kegagalan pembangunan,
orang asli Papua menuntut kemerdekaan, yang ditandai dengan pengibaran bendera
Bintang Kejora? Penilaian pemerintah ini tampak dengan amat jelas ketika UU
Otsus diimplementasikan di Papua.
Bagi saya, UU Otsus rupanya diidentikan dengan uang.
Otsus adalah uang, sehingga hampir setiap tahun dana trilyunan rupiah
dikucurkan ke Papua. Masyarakat selalu antusias menerima pencairan dana Otsus.
Dana Otsus yang diberikan itu jumlahnya tidak sedikit. Misalnya, anggaran dana Otsus dari tahun 2002
hingga 2007 masing-masing adalah; 1,2 trilyun (2000), 1,3 trilyun (2003), 1,4
trilyun (2004), 1,5 trilyun (2005), 1,7 trilyun (2006), dan 3,2 trilyun (2007).
Jadi jumlah total anggaran dana Otsus untuk Papua sejak tahun 2000 hingga 2007
sebanyak 10,3 trilyun. (sumber data: Buletin Keuskupan Manokwari-Sorong
No.33/September 2007, hal 42). Dana yang begitu banyak ini belum terhitung
dengan anggaran dana Otsus tahun 2008 dan 2009. Anggaran dana Otsus sejak
2010-2012 terus meningkat nilainya hingga ratusan trilyun rupiah. Banyaknya
dana yang diberikan kepada Provinsi Papua dan Papua Barat tersebut dipandang
sebagai upaya untuk mensejahterakan orang asli Papua akibat kegagalan
pembangunan di Tanah Papua. Singkatnya karena kegagalan pembangunan, dana Otsus
harus lebih banyak diberikan untuk mensejahterakan orang asli Papua.
Meskipun persoalan di Papua disebabkan oleh kegagalan
pembangunan, Otsus sendiri tidak berhasil mensejahterakan orang asli Papua.
Nyatanya sejak Otsus diberlakukan, pertumbuhan ekonomi masyarakat justru
menurun dratis bila dibandingkan dengan pertumbuhan ekonomi sebelum Otsus.
Menurut LIPI pertumbuhan ekonomi tahun 1995, 1996, 1997, 1998 mencapai 20,18%,
13,87%, 7,42%, dan 12,72%; sedangkan pertumbuhan ekonomi sesudah Otsus
diimplementasikan pada tahun 2002, 2003, 2004, hanya mencapai 8,7%, 2,96%, dan
0,53%. (Widjojo: 2009: 14). Kini menurut BPS Pusat Indonesia sejak 2010 di
Jakarta menggambarkan situasi ekonomi di kedua Propinsi Papua berada pada
posisi terendah yakni 0,51%. Suasanan ini dapat dikatakan bahwa Pemerintah
Indonesia gagal dalam pola pendekatan di Papua.
Padahal dana Otsus yang dikucurkan ke Papua sangat tinggi
belum terhitung uang yang dikelolah lembaga-lembaga non-pemerintah dan
perusahan-perusahan besar. Tapi nyatanya kemiskinan sangat tinggi di Papua.
Tingkat kemiskinan yang amat tinggi ini oleh BPS 2010 Propinsi Papua disebut
sebagai kemiskinan absolut dan ekstrim. Bersifat absolut karena hal-hal pokok (basic needs) yang dibutuhkan untuk
kelangsungan hidup nyaris tak terpenuhi. Contohnya terjadi bencana kelaparan di
beberapa kabupaten di Papua seperti Tolikara, Yahukimo, Jayawijya, Puncak Jaya
dan Paniai. Buruknya kesehatan yang menimbulkan berbagai penyakit yang diderita
rakyat dan angka kematian cukup tinggi. Kemiskinan bersifat ekstrim karena
keterbelakangan rakyat Papua dalam hal pengolaan teknologi akibat pengetahuan
yang rendah, tingginya angka buta huruf, ketrampilan yang terbatas dan keahlian
yang minim. Untuk mengolah sumber daya alam, rakyat hanya menggunakan tenaga
otot dan pengetahuan seadanya yang sudah diwariskan kepada mereka. Karena itu
sebetulnya kemiskinan di Papua yang bersifat absolut dan ekstrim ini merupakan
suatu bentuk penindasan yang mengekang rakyat Papua untuk keluar dari kondisi
hidup yang terpuruk dan karenanya menurunkan derajat dan martabat rakyat Papua
ke titik yang tidak manusiawi. Data kemiskinan menurut BPS Pusat 2010 di
Indonesia memperlihatkan bahwa kedua Propinsi Papua (Data kemiskinan: 37,53%)
dan Papua Barat (Data Kemiskinan: 35,71%) berada pada posisi paling bawa dari
seluruh Propinsi di Indonesia.
Jadi kalau konflik di Papua hanya direduksi ke dalam
kegagalan pembangunan, maka Otsus jelas-jelas gagal mensejahterakan orang asli
Papua. Bila Otsus gagal mensejahterakan orang asli Papua, maka tuntutan
kemerdekaan tidak pernah selesai, sebab mereka belum sejahtera. Akibatnya
konflik pun tidak akan pernah selesai. Tuntutan kemerdekaan dan pengibaran
bendera Bintang Kejora pun tidak akan berhenti.
Akan tetapi bagi saya konflik di Papua bukan hanya
disebabkan oleh kegagalan pembangunan, kendati kegagalan pembangunan merupakan
salah satunya. Konflik di Papua lebih pada persoalan sejarah dan identitas
bangsa Papua. Persoalan sejarah integrasi dan identitas bangsa merupakan
persoalan dasar yang mendorong timbulnya upaya untuk merdeka. Jadi apabila
pemerintah pusat dapat menyelesaikan persoalan sejarah integrasi dan identitas
bangsa Papua, maka tuntutan kemerdekaan Papua mungkin saja bisa dikurangi
bahkan tidak lagi terjadi. Para perumus UU Otsus tidak memperhatikan persoalan
fundamental ini. Mereka mengira bahwa konflik di Papua diakibatkan oleh
kegagalan pembangunan dan mengabaikan sisi fundamental dari konflik Papua.
Hal ini terbukti bahwa dalam masa pelaksanaan UU Otsus
pun, kekerasan terhadap rakyat Papua terjadi. Kekerasan Wasior 2003 yang
mengorbankan 4 orang dan kasus Wamena 2005 yang menewaskan 9 orang merupakan
bukti kuat akar konflik di Papua. Selain itu hampir setiap saat kita mendengar,
melihat dan membaca pada media massa baik elektronik maupun surat kabar bahwa
terjadi tindakan kekerasan dilakukan oleh pihak keamanan negara kepada orang
asli Papua. Kini kasus-kasus penembakan di kota Jayapura, Puncak Jaya, Wamena,
Timika dan Paniai selalu ada sejak 2010 hingga Mei-Juni 2012.[7]
Foto: Kekerasan dan Penembakan pada warganya di Terminal
Gorong-Gorong Timika Papua sejak 2011
Kekerasan yang dialami oleh rakyat Papua sejak Papua berintegrasi
dengan NKRI sejak, 1 Mei 1963 juga
merupakan bentuk lain potensi konflik di Papua. Operasi militer dari tahun
1965-1969; 1969,1977; 1981-1985; dan dilanjutkan tahun 2003-2005. (bdk Neles
Tebay: 2008; 133; 2009). Semua ini sebetulnya menunjukkan tentang akar
persoalan di Papua. Kekerasan akibat politik negara terhadap rakyat Papua
menyebabkan terus adanya tuntutan untuk merdeka dan pengibaran bendera Bintang
Kejora.
Bukan hanya kekerasan akibat politik negara, melainkan
juga kurangnya penghargaan atas martabat orang asli Papua melalui ekspesi
budaya mereka. Faktor kultural budaya sangat menjiwai kehidupan orang asli
Papua. Melarang mereka untuk tidak mempertunjukan simbol-simbol kedaerahan
mereka, berarti tidak menghargai mereka. Seorang aktivis damai di Papua dalam
sebuah diskusi tentang HAM, ia berkomentar
”pemerintah Indonesia tidak mau memperhatikan Mas-mas Papua tetapi Emas Papua”.
Artinya keinginan untuk memberdayakan orang Papua kurang dipedulikan oleh
pemerintah Indonesia, tapi yang diperlukan dari Papua adalah emas atau harta
kekayaan. Singkatnya martabat orang Papua sebagai manusia yang berbudaya tidak
dipedulikan oleh pemerintah, yang penting bagi Pemerintah adalah emas dan
kekayaan alamnya.
Kurangnya penghargaan terhadap martabat orang asli Papua
terlihat jelas dengan adanya larangan untuk tidak menggunakan lambang-lambang,
simbol-simbol kedaerahan yang mengarah pada ancaman keutuhan NKRI. Lambang
bendera Bintang Kejora pada tas-tas (nokeng),
pakaian, topi, merupakan salah satu contoh isu yang dinilai mengancam keutuhan
NKRI. Selain itu hampir di semua kantor pemerintahan dan perusahan-perusahan
swasta didominasi oleh orang non-Papua. Warga asli Papua hanya berdiri sebagai
penonton karena mereka tidak mampu untuk bersaing dengan warga pendatang. Di
bidang ekonomi, warga pendatang lebih unggul ketimbang warga asli Papua. Salah
satu contoh konkret terlihat di Pasar Youtefa di mana hampir semua kios dan
tempat jualan diduduki oleh warga pendatang, sementara mama-mama Papua hanya
berjualan di atas tanah. Mereka juga banyak berjualan di emperan tokoh atau
ruko-ruko. Kenyataan ini menunjukkan adanya sikap marginalisasi atas orang asli
Papua. Sikap marginalisasi ini didukung oleh pemerintah Indonesia melalui
program transmigrasi yang mendatangkan banyak orang dari luar Papua. (bdk
Bless: 2001: 40). Kedatangan kaum pendatang menyebabkan adanya sikap minder
dari orang asli sehingga mereka akan tergeser ke pinggiran kota. Jadi inti
persoalan di Papua bukan hanya terletak pada kegagalan pembangunan melainkan
juga sejarah integrasi dan identitas bangsa serta marginalisasi orang asli
Papua. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa Otsus gagal menyelesaikan
konflik Papua. Kegagalan Otsus dalam menyelesaikan konflik Papua, bagi saya,
menjadi bukti nyata bahwa Papua perlu merdeka.
Foto: National Papuan Solidarty (NAPAS) di Yogyakarta sejak 2012
3.
Siapa
Untung dalam Konflik Penembakan di Papua?
Dalam pertemuan yang
dihadiri oleh Menkopolhukam, Panglima TNI dan Jendral KAPOLRI bersama Pemda
Propinsi Papua serta tokoh-tokoh masyarakat sejak Senin, 18 Juni 2012
memperlihatkan kegagalan pola pendekatan Indonesia di Papua. Dalam rapat
tersebut Menkopolhukam mengatakan bahwa Presiden SBY akan menangani masalah
Papua dengan pola pendekatan ekonomi dan kesejahteraan bagi warga di Papua.
Sementara Kapolri mengatakan Mabes Polri akan mengirim pasukan-pasukan untuk
intensifkan keamanan di Papua. Tanggapan masyarakat Papua pada saat pertemuan
menuai kritikan yakni masalah Papua bukan soal ekonomi dan kesejahteraan semata
atau masalah Papua bukan masalah makan-minum urusan perut. Tetapi masalah Papua
adalah masalah hak-hak dasar kedaulatan bangsa Papua yang telah dicuri dan
dirampas oleh Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) di Papua.
Kasus-kasus penembakan
dinilai menjadi sebuah proyek bagi Indonesia di Papua sejak Mei-Juni 2012.
Karena Pemerintah Indonesia dalam pertemuan sejak 18 Juni 2012 memperlihatkan
motivasi dibalik semua kasus penembakan bagi Warga Negara Asing asal Jerman dan
warga Indonesia di Papua di akhir-akhir ini. Motivasinya sangat jelas bahwa
Indonesia akan mengirim keamanan militer dan mengembangkan pola pendekatakan
warga Papua dengan soal makan-minum di Papua. Pemerintah Indonesia telah
mengembangkan soal perut sejak 1970 hingga tahun 2012 di Papua. Tetapi
kenyataannya bahwa warga Papua tidak merasakan pendekatan soal perut (ekonomi
dan kesejahteraan) di Papua. Ide dasar mengembangkan keamanan militer di Papua
sehingga konflik dan kekerasan semakin meningkat di Papua. Ide dasar ini dapat
diuntungkan pada negara Indonesia khususnya untuk keamanan Indonesia di Papua.
Indonesia mengirimkan keamanan di Papua dalam kasus-kasus konflik dan kekerasan
untuk menghadapi dengan warga Indonesia di Papua.
Letak keuntumgannya
adalah pihak Indonesia melalui pendekatan keamanan di Papua. Menkopolhukam,
Panglima TNI dan Kapolri menjadikan proyek dan bisnis atas segala konflik dan
penembakan pada warga Indonesia di Papua. Akhirnya dinilai bahwa melanggar rasa
kemanusiaan tetapi proyek pendanaan dan keuntungan yang besar bagi pihak
keamanan di Papua. Negara Indonesia dapat diuntungkan dalam kasus-kasus di
Papua. Namun sangat dirugikan bagi warga Indonesia di Papua. Apa kerugiannya
dan tantangan bagi warga Indonesia di Papua?
B. Tantangan bagi Warga Papua
Realita yang berkembang
dan sedang terjadi menjadi sebuah tantangan besar bagi warga di Papua.
Tantangan bagi warga Papua adalah rasa tidak aman, penolakan sebagai orang asli
Papua, dan tidak adanya rasa kemanusiaan di bumi Papua serta daftar korban
penembakan di Papua. Indonesia telah gagal membangun Papua karena selalu dengan
pendekatan warganya dengan pihak keamanan di Tanah Papua. Itulah gambaran yang
dapat merugikan bagi warga Indonesia di Papua. Siapa dirugikan dalam
suasana tantangan bagi warga di negeri Papua?
1.
Rasa
Tidak Aman
Akibat
terjadinya berbagai penembakan di kota dan Kabupaten Jayapura dan Wamena terjadi
saling curiga mencurigai di antara OPM dan Pihak militer di Papua. Tak kalah
bahwa saling curigai itu terjadi antara militer yakni TNI dan Polisi di Papua.
Pihak militer menduga bahwa dibalik penembakan semua di Jayapura adalah
organisasi politik KNPB. Dalam suasana saling tuding ini, penembakan warga
Indonesia menjadi panenan rutinitas terhadap warga di Papua. Padahal warga Papua
adalah warga negara Indonesia. Warga Papua bukan warga asing. Bukan pula sebuah
Negara di pulau Papua. Warga Papua bukan warga imigran dari negara lain. Warga
Papua adalah warga negara Indonesia yang dilindungi dengan cara damai dan aman
sebagaimana melindungi diri-sendiri dari ancaman dan segala tindakan.
Pemerintah Indonesia bukan dapat meningkatkan hukum yang legal bagi orang asli
Papua. Bukan pula menutupi ruang demokrasi dan kebebasan sebagai warga
Indonesia. Jika negara Indonesia menghargai harkat dan martabat sebagai manusia
melalui ruang demkorasi dan kebebasan pers, berpendapat dan berserikat, maka
Indonesia menjadi negara yang sangat menghargai ruang demokrasi dan kebebasan
sebagai warganya. Namun dalam realitanya tidak demikian karena warga negaranya
tidak pernah merasakan kedamaian dan keadilan di Indonesia dan Papua pada
khususnya. Bahkan rasa aman pun menjadi sebuah impian yang belum diraih dan
perlu perjuangan. Karena ada banyak kekerasan dan konflik bahkan penembakan
terhadap warga Indonesia di Papua.
Rasa
tak aman dapat memperlihatkan bahwa warga Papua sedang dalam suasana ketakutan
dan kecemasan tanpa dilindungi oleh negera Indonesia di Papua. Saya tidak
bermaksud agar Indonesia mengirimkan pasukan TNI atau Polisi untuk
melindunginya. Tetapi Peranan Negara untuk melindungi dan memberikan kesempatan
untuk membuka ruang demokrasi tanpa tindakan kekerasan dan konflik di Papua.
Rasa tak aman dapat memperlihatkan dalam berbagai insiden penembakan terhadap
warga Indonesia di Papua. Misalnya: Ketika terjadi penembakan warga Negara
asing asal Jerman Pieter Dietmar Helmut di Pantai Base-G Jayapura dan seorang
guru SD Anton Arung Tambila di Mulia Puncak Jaya serta Pengrebekan
Kamp-Kamp pelatihan TPN/OPM dan ditangkap, dipukul dan disiksa seorang Tedy
John Muntia dan penganiayaan pada dua wartawan bintang Papua dan RRI
oleh Gabungan TNI dan Polisi di bawah pimpinan Kapolres di Distrik Angkaisera
Kepulauan Yapen Serui sejak 29 Juni 2012.
Rasa
tak aman pun terus menggema bagi warga Papua dengan berbagai penembakan pada
warga Indonesia di Papua memperlihatkan insiden pengeroyokan terhadap Mahasiswa
Uncen: Ajudt Jimmy Purba hingga tewas mati ditempat oleh kelompok
orang dari KNPB sejak 3 Juni 2012 di Waena Abepura. Kekerasan dan penembakan oleh
gabungan TNI dan Polisi Papua pada pasca aksi demo KNPB. Dalam aksi demo
tersebut 3 orang warga Papua (Orang Papua dan Non Papua) menjadi korban
tembakan antara lain Yesa Mirin, Vanuel Taplo di kampung
Harapan Sentani dan seorang anggota kepolisian dan 2 orang warga non Papua
kena anak panah saat gabungan TNI dan Polisi dari Polresta Sentani dibantu Polisi
dan Brimob dari Polda Papua menghadang massa dari KNPB di Kampung Harapan
Sentani Jayapura. Pada saat yang sama, seorang pelajar SMA Kalam Kudus Gilbert
Febrian Madika ditembak mengalami luka-luka kritis oleh orang tak kenal
(OTK) di Skyland Jayapura sejak 4 Juni 2012. Ketika itu orang asli Papua
diseret, dipenjara dan dibunuh oleh gabungan TNI dan Polisi dengan cara
kebrutalan. Warga sipil yang koban tewas adalah 3 orang warga asli Papua.[8] Sementara 43 orang lebih dapat ditangkap dan
dipukul oleh gabungan TNI dan Polisi.
Foto:
Korban tewas mati bernama Jesa Mirin 22 tahun oleh Polisi Polresta Sentani Papua sejak 4
Juni 2012
Selain
itu, ada beberapa warga Papua menjadi korban penembakan mati oleh (OTK) yakni Iqbal
Rival (Warga), Hardy Jayanto (warga) dan Pratu
Frengky Kune (anggota TNI Zipur Waena Abepura) sejak 5 Juni 2012. Warga
Papua dikagetkan juga korban penembakan PNS Kodam Cenderawisih Jayapura
ditembak mati Arwan Aswar oleh (OTK) di belakang Kantor Kota Madya Jayapura
sejak 6 Juni 2012. Suasana semakin memanas dan kecemasan pun semakin meningkat
dengan penembakan seorang warga Teyus Tabuni oleh Polisi Polda Papua
sejak 7 Juni 2012 di depan Yapis Dok 4 Jayapura. Sejak hari sama tuan Bucthar Tabuni ditangkap oleh Polisi
Polsekta Abepura dan digiring di rutan Polda Papua. Willem Douw diracuni oleh
Polisi Brimob di Madi Paniai. Ketakutan warga belum padam dengan berbagai
penembakan yang terjadi di kota dan Kabupaten Jayapura. Setelah sehari
kemudian, warga Abepura menambah semakin cemas dan khawatir dengan penembakan
seorang security Saga Mall bernama Tri Sarono (warga) ditembak mati
oleh OTK di depan Gapura Uncen Abepura sejak 9 Juni 2012. Dalam suasana yang
vakum dan tegang karena disiagakan oleh polisi dari Polda Papua dan 30 Pleton polisi
Densus 88 dari Jakarta semakin meningkat penyisiran pada malam hari dalam tiga
hari berturut-turut di kota dan kabupaten Jayapura sejak 9-13 Juni 2012. Dalam
penyisiran tersebut terdengarlah berita bunyikan tembakan di depan penulis (laporan
dan opini ilmiah ini) sekitar 6 kali tembakan. Bunyi tembakan itu berhasil
menembak mati Mako Musa Tabuni atau
singkatnya Mako Tabuni menembus tubuhnya dengan dua peluruh sehingga beliau
jatuh di tanah dan empat peluru lain ditembak di udara di Perumnas 3 Waena
Abepura Papua sejak 14 Juni 2012.[9] Mako Tabuni ditembak mati oleh Polisi dan Preman
dengan menggunakan 3 mobil berwarna hitam DS 447 AJ, warna abu-abu dan biru
muda. Mako Tabuni setelah dibunuh, ia angkat oleh Preman dan Polisi dalam mobil
untuk otopsi di rumah sakit Bhayangkara Kotaraja Abepura. Kemudian masyarakat
yang ada disekitarnya menggamuk dan marah atas cara dan tindakan polisi dan
preman sehingga masyarakat membakar rumah-rumah, toko/kios dan mobil/motor di
Perumnas 3 Waena. Bukan hanya itu, masyarakat yang tidak menerima tindakan dan
sikap dari Polisi Densus 88 dari Jakarta dan dibantu oleh Polisi dan preman
dari Polda Papua mengalami trauma dan emosi atas tindakan dan cara penembakan
yang tidak melalui prosedur hukum Indonesia. Cara penembakan pada Mako Tabuni
adalah sikap tidak adanya rasa kemanusiaan Negara Indonesia di bumi Papua.
Hingga
kini orang asli Papua menjadi trauma, cemas dan takut dengan perlakuan gabungan
TNI dan Polisi itu. Indonesia demi mempertahankan keutuhan Indonesia di Papua,
orang asli dan non Papua termasuk pihak keamanan menjadi korban nyawa di Tanah
Papua. Kecemasan dan kekhawatiran warga Papua dapat meningkat akhir-akhir ini.
Di sini, seorang Pastor asal Keuskupan Timika Pastor Domin, Pr mengatakan bahwa
kita jangan takut dan hadapi dengan penuh kekuatan iman kepada-Nya agar kita
menang dengan kuat kuasa Allah. Kita harus beriman teguh dalam suasana yang mencemaskan
warga di seluruh Papua. Lanjutnya bahwa warga Papua dapat bertahan kuat dengan
iman, kasih dan harapan pada Allah. Kita jangan cemas dan takut dengan isu dan
suasana penembakan yang tak bertanggung jawab ini. Warga Papua dapat mengalami
ketakutan dan kecemasan segala tindakan kebrutalan oleh TNI dan Polisi. Manusia
tak terlepas dari persoalan. Persoalan manusia silih berganti, hidup kita penuh
dengan tantangan dan penderitaan. Dalam situasi seperti ini, Pastor mengajak seluruh
warga dapat bertahan dan kehendak yang kuat bahkan kita harus menjadi saksi
Kristus di tengah pergolakan dan konflik di tanah Papua.
Pihak
keamanan dan orang asli Papua menjadi korban karena dapat mempertahankan idenya
dan konsepnya masing-masing. Indonesia:
Justru karena mempertahankan “NKRI HARGA MATI”, maka kebanyakan orang asli
Papua menjadi korban di tanahnya sendiri. Di berlakukan hukum yang legal dan
tidak manusiawi di Papua. Pihak keamanan pun menjadi korban hanya demi
mempertahankan keutuhan Indonesia di Papua. Papua: Orang Papua mempertahankan “PAPUA MERDEKA HARGA MATI”, maka
banyak orang Papua menjadi korban penembakan, ditahan dan dipenjarakan
bertahun-tahun. Ketika orang Papua menyuarakan kemerdekaan, maka kebanyakan
masyarakat dipukul dan dianiaya seperti kasus-kasus di atas ini. Bahkan disiksa sampai
mati seperti dalam beberapa kasus sejak bulan Mei hingga bulan Juni 2012.
Semua situasi dan suasana yang dialami oleh
warga Papua menjadi tidak merasa aman dan damai di Papua. Semua warga Papua
merasa tidak hidup tenang dan terkendali hanya karena suasana penembakan dan
terror-teror banyak. Warga Papua sedang menanti suatu hidup yang baik dan
harmonis tanpa penembakan, kekerasan dan konflik antar warga di Papua.
2.
Penolakan
Orang Asli Papua di Tanahnya Sendiri[10]
a.
Dalam Bidang Sosial
Dampak
positif: Dalam
era Otonomi Khusus: Special Autonomy (Otsus) di Papua terjadi
suatu fenomena perkembangan kehidupan orang asli Papua. Artinya dengan adanya
perjumpaan antara budaya Papua dan budaya luar Papua, orang asli Papua sadar
bahwa ternyata ada perberbedaan dari aspek
fisik maupun psikologis. Orang Papua pun akan berusaha untuk bisa hidup bersaing
secara sehat dengan orang dari wilayah luar, yaitu orang Bugis, Buton, dan
Makasar yang berperan aktif dalam aspek kehidupan perekonomian di tanah Papua.
Memang perlu disadari bahwa kehadiran orang Bugis, Buton, dan Makasar dalam era
Otonomi Khusus di Papua dalam perspektif tertentu memberikan dampak
yang positif, yaitu terjadi suatu perubahan yang amat nampak dalam sistim
perekonomian. Fenomena lain yang terjadi ialah mereka pun secara perlahan-lahan
bisa menyesuaikan diri dengan lingkungan baru, artinya bisa hidup berdampingan
dengan orang yang tidak pernah dilihat sebelumnya.
Dampak
negatif: Di
tengah situasi kehidupan orang asli Papua yang ditandai perjumpaan dengan para
migran dari luar Papua, tentunya akan tercipta gap-gap. Situasi demikian
akan mengarah pada potensi terjadinya konflik. Sebab setiap kelompok baik dari
orang asli Papua sendiri maupun dari pihak para migran mempunyai konsep
filosofis mengembangkan hidup yang khas. Bisa jadi bahwa ketika kaum migran
ingin mengembangkan hidupnya sesuai dengan potensi yang dimiliki pasti akan
timbul kecemburuan sosial dari orang asli Papua, begitu juga sebaliknya. Contoh
kongkrit yang saya dengar dan alami langsung, ketika berada di Pelabuhan
Jayapura dan penumpang sangat padat; ada orang asli Papua yang katakan
begini; orang-orang amber dorang
(Non Papua) datang naik kapal
ini buat kapal dan jalan ini sesak. Pernyataan ini menjadi sebuah fenomena
bahwa orang Papua tidak ingin disingkirkan dari tanahnya dan ini juga menjadi
sebuah gejala kecemburuan sosial yang pastinya sudah melangit.
Foto: Kondisi kebrutalan
pihak gabungan militer: Polisi, Brimob dan TNI di saat membubarkan Paksa di
Kongres Rakyat Papua 3 sejak, 19 Oktober 2011 di Lapangan Zakeus Abepura
Abepura-Papua
Catatan Penolakan:
Indonesia memandang orang asli Papua dengan sebelah mata. Indonesia menstigma
orang asli Papua dengan kata-kata perusak situasi Papua menjadi tidak aman dan
damai. Indonesia menolak orang asli Papua dalam segala kegiatan sosial
sepertinya ketika meningkatkan lagu-lagu
daerah menstigma separatis atau OPM, ketika mengadakan apresiasi seni dan
budaya menstigma bersifat lokal atau kampungan, dan ketika berpakaian adat
koteka dan moge atau pakaian kulit dengan menstigma porno atau bentuk aksi
porno padahal pakaian adat pedalaman atau pesisir pantai di Tanah Papua.
Itulah bentuk-bentuk stigma pada orang asli Papua dalam berbagai hal. Saya
menilai bahwa bentuk penolakannya bukan kegiatannya tetapi menolak dirinya
sebagai orang asli Papua di Tanah Papua.
b.
Dalam Bidang Ekonomi
Dampak
positif: Memang
perlu disadari bahwa kehadiran orang Bugis, Buton, dan Makasar dalam era Otonomi Khusus ini, dalam perspektif tertentu memberikan dampak
yang positif, yaitu terjadi suatu perubahan yang amat nampak dalam sistim
perekonomian. Dengan kehadiran mereka wajah kota Jayapura yang mungkin dahulu
terdapat hanya sejumlah rumah gubuk dan rumah seng bundar buatan kolonial
Belanda, sekarang sudah berubah dengan dibangunnya sejumlah gedung bertingkat
baik ruko-ruko, toko-toko, kios-kios, warung-warung, supermarket, saga mall,
mega mall, dan sejumlah grosir yang amat megah. Perubahan ini, membawa dampak
bagi perubahan cara berpikir untuk meningkatkan hidup perekonomian. Di samping
itu, pula kaum pribumi bisa menyadari dan belajar dari mereka bahwa untuk
meningkatkan ekonomi harus ada upaya mempergunakan kesempatan dengan berusaha
sambil belajar untuk berani mengusahakan sesuatu untuk ekonomi yang berkompeten
dan mampu bersaing dengan orang pendatang, bukan hidup santai.
Foto: Mama-Mama
Penjualan Pinang demi kebutuhan ekonomi keluarga di Tanah Papua
Dalam
era Otonomi Khusus kaum migran sangat berkembang dalam aspek ekonomi
disebabkan oleh mereka hidup dengan saling mengasihi dan saling menolong dalam
kelompoknya baik dalam hidup bersama dan dalam perekonomian mengusahakan untuk membangun kios,
toko baik yang kecil maupun yang besar dan ada pula yang berjualan keliling
menjual mainan anak-anak dan sayuran
serta ikan dalam jumlah yang amat banyak. Tentunya mereka mempunyai kemampuan
dalam bekerja dan dalam hal keuangan yang mendukung harapan kesejahteraan hidup
yang mereka dambakan. Apa yang dilakukan oleh kaum migran ini menjadi tantangan
bagi orang pribumi dalam era otonomi khusus ini, sehingga sadar dan bisa
berusaha dengan sekuat akal budi untuk mengejar ketertinggalan dan mengusahakan
kesejahteraan hidup.
Tidak
lupa pula bahwa dalam era otonomi khusus ini, orang asli Papua hendaknya
belajar dari orang migran berkaitan dengan sikap pengembangan ekonomi di Papua.
Orang migran secara khusus orang Bugis mempunyai pandangan hidup yaitu tallu cappa, yang artinya tiga ujung.[11]
Orang Bugis mengartikan ujung yang pertama sebagai ujung lidah, yang
dipergunakan untuk berkomunikasi dengan baik dan benar, sehingga menarik
simpati orang yang mendengarnya. Selanjutnya ujung penis yang dipergunakan dalam
konteks mengawini baik perempuan pribumi maupun laki-laki pribumi untuk
mendapatkan kekayaan. Sedangkan ujung yang terakhir ialah ujung badik yang
dipergunakan untuk melindungi diri dari bahaya.
Orang
asli Papua pun mempunyai filosofis budaya yang bermafaat bagi pengembangan
hidup dalam era Otonomi Khusus.
Diharapkan bahwa orang asli Papua bisa bersaing dengan orang pendatang,
sehingga tidak ada kecemburuan dan kecurigaan sosial di antara kaum pendatang
dengan orang asli Papua. Bilamana harapan itu terwujud, maka Papua menjadi
tanah dan rumah damai bagi semua makhluk ciptaan Allah.
Dampak
negatif: Berdasarkan
pertimbangan akal sehat bahwa pada era Otonomi Khusus ini, dalam perspektif ekonomi kehadiran orang
Bugis, Buton, dan Makasar membawa dampak yang negatif, yaitu berkaitan dengan
sistim ekonomi yang mereka bawa dan terapkan di Papua, sehingga berpengaruh
terhadap kehidupan kaum pribumi yang sudah menghayati dan menerapkan cara bagaimana berelasi dalam
konteks perekonomian yang berbeda. Dalam situasi pertemuan antara dua sistim
ekonomi yang berbeda ini, ada suatu situasi yang kurang sehat yang timbul dalam
relasi dan ada pula dalam persaingan
yang tidak saling menguntungkan. Kenyataan yang tidak baik dalam relasi yaitu
terlihat dalam cara orang Bugis, Buton, dan Makasar membangun toko atau pun
kios. Mereka kelihatannya seakan-akan berbuat baik untuk orang pribumi supaya
menjual tanahnya kepada mereka dengan harga yang amat murah. Sebaliknya,
kenyataan persaingan yang tidak menguntungkan yaitu ketika orang pribumi
menjual barang jualan mereka, di saat itu orang Bugis, Buton, dan Makasar
membelinya dengan harga yang amat murah. Lagi pula, kalau orang Bugis, Buton,
dan Makasar yang menjual barang dagangan mereka, kalau harga yang anggap paling
rendah tidak ada tawar-menawar.
Kehadiran
mereka juga merusak pemandangan sejumlah kota di Papua. Papua yang dahulu
indah, sekarang berubah dengan banyaknya sampah berhamburan di parit-parit
maupun di pinggiran jalan utama dan jalan alternatif. Situasi ini terjadi
karena pembangunan sejumlah gedung besar oleh kaum pendatang dan pemerintah
yang berorientasi pada ekonomi kapitalisme yang tidak sehat dan merusak tujuan
penataan kota yang
indah dan sehat di Tanah Papua.
Foto: Mama-Mama
Pedagang Asli menjual hasil kebun demi kebutuhan ekonomi keluarga di Pinggiran
jalan di atas aspal jalan tanpa penyediaan tempat jualan di Nabire Papua.
Catatan Penolakan:
Ketika Indonesia dengan kenikmatan meningkat dalam bidang ekonomi, maka orang
setempat (orang asli Papua) dapat menerima stigma dengan berbagai nama.
Stigma-stigma itu antara lain: “Orang
asli Papua malas kerja, penguras, pemboros, dan orang Papua hanya minum mabuk
saja, dan orang asli Papua tidak tahu mengolah ekonomi dengan baik”. Bentuk
stigma menjadi suatu tanda penolakan atas usaha ekonomi oleh orang asli Papua.
Maka itu, orang asli Papua tidak mendapat kesempatan kerja dalam mengembangkan
bidang ekonomi Indonesia di Papua.
c. Kesehatan Warga di Papua
Maraknya
HIV/AIDS di Tanah Papua[12]:
Fenomena kasus HIV/AIDS di Papua dengan penularannya melalui perilaku hubungan
seks bebas dan suka berganti-ganti pasangan seks. Menurut data KPA Propinsi
Papua sejak tahun 2006 penderita HIV/AIDS sekitar 2.703 orang. Penyebaran virus
ini tidak diam tetapi terus menambah penderita HIV/AIDS menjadi 3.252 orang
sejak tahun 2007. Kemudian sejak tahun 2008 penyebaran virus sangat meningkat
lagi dengan jumlah penderita sebanyak 4.305 orang dan tahun 2009 jumlah
penderita 5.012 orang. Kini BPS Propinsi 2010 melalui dinas Kesehatan dan KPA
Propinsi Papua mengatakan bahwa jumlah penderita HIV/AIDS meningkat menjadi
10.522 orang. Perilaku hubungan seks dilakukan oleh usia produktif yakni (15-59) tahun. Jika demikian masa depan
Papua akan menjadi sebuah impian belaka dan drama panjang di Papua.
Berdasarkan data
tersebut, saya mengibaratkan HIV/AIDS sebagai bom bagi semua warga Papua dan
secara khusus bom untuk orang asli Papua. Jika demikian, kemudian hari pulau
Papua akan menjadi sebuah drama panjang. Drama panjang itu, akan menjadi sebuah
sejarah bahwa pulau Papua telah dihuni oleh orang kulit hitam dan berkeriting
rambut namun kini menjadi sebuah impian dan cerita panjang oleh suku bangsa
lain di dunia. Kita tidak dapat dipungkiri hal ini karena penyebaran virus HIV/AIDS
sebagai penyakit mematikan seseorang manusia atau keluarga bahkan suku bias
menjadi punah di tanahnya sendiri. Jadi apa kata dan sikap warga Papua saat
ini? Apakah kita sebagai warga negara Indoensia cuek saja tanpa berpikir untuk
mengatasi? Ataukah semua pihak sengaja membiarkan penyebaran virus HIV/AIDS
tanpa mencari solusi terbaik demi keselamatan warga di Papua? Ataukah saya
mengatakan penyebaran HIV/AIDS di Papua merupakan sebuah pembiaraan oleh
pemerintah dan semua pihak bahkan karena ketidaksadaran oleh warga sendiri?
HIV/AIDS:
Ancaman bagi Warga Papua[13]:
Realita penyebaran HIV/AIDS tersebut oleh sebagian orang asli Papua melihat
sebagai sebuah ancaman mematikan yang pada akhirnya membawa pada kepunahan suku
atau ras orang setempat di Papua. Padangan ini muncul dalam berbagai seminar,
diskusi, demontrasi dan cerita-cerita dikalangan masyarakat ketika adanya
informasi bahwa orang yang menghidap HIV/AIDS terbanyak di Papua adalah orang
asli Papua. Dalam situasi demikian, orang asli Papua seringkali bertanya-tanya
dalam dirinya dan akhirnya sampai pada suatu anggapan bahwa virus ini sengaja
dibawa orang luar Papua untuk memusnahkan orang asli Papua.[14]
Pertanyaannya, apakah tudingan seperti itu benar? Ataukah penyakit ini memang
diperuntukkan bagi orang asli Papua, lantas orang non Papua adalah kebal dengan
virus HIV/AIDS di Papua?
Kita jangan saling
menuding atau melemparkan kesalahanmu pada orang lain dengan banyaknya
penyebaran penyakit HIV/AIDS di Papua. Kita juga jangan saling menyalahkan
antara orang asli Papua dan non Papua. Bahkan jangan saling mencurigai di
antara warga Papua. Kita mengakui bahwa virus menjadi ancaman dan mematikan
bagi manusia yang hidup di pulau Papua. Warga Papua hendaknya kembali pada
dirinya untuk merefleksikan lebih jauh tentang penyebab penyebaran virus
HIV/AIDS di Papua ini. Sebuah ajakan bahwa warga Papua penting untuk melihat
kembali akan hukum, norma dan larangan-larangan yang ada dalam budaya
masing-masing di Papua dan agama masing-masing misalnya, jangan berzinah,
jangan berbuat cabul. Jika tidak melihat dan merenungkan kembali akan budayanya
dan penyebaran virus ini, maka akan merosotnya nilai-nilai religius yang
dihayati dalam kehidupan setiap kita.
Jika Pemerintah
(Propinsi dan Kota/Kabupaten) dan semua pihak bahkan masyarakat tahu dan
mempublikasikan di publik bahwa penyebaran penyakit HIV/AIDS adalah melalui
hubungan seks di luar nikah dan berganti-ganti pasangan seks di tempat-tempat
hiburan tidak sehat misalnya tempat lokalisasi, tempat karaoke, dan tempat-tempat
pijat tradisional. Lalu mengapa Pemerintah (Propinsi Papua/Papua Barat dan
Kota/Kabupaten) dan semua pihak bahkan masyarkat memelihara tempat-tempat
hiburan: Pekerja Seks Komersial (PSK) di Lokalisasi, tempat karaoke, tempat
pijat tradisional dan si kaliabo papan atas alias bunga sedap malam atau ayam
abu-abu (3A) selain bar, bir, bor dan akhirnya tewas di bawa dalam mobil bus
menjadi (4b),[15]
maka habislah terang sebagai tanda awal kegelapan dalam hidupnya sebagai
manusia warga Papua. Pemerintah tahu penyebaran penyakit HIV/AIDS melalui
hubungan seks dan ganti-ganti pasangan melalui tempat-tempat hiburan tidak
sehat dan tidak kontekstual dengan norma, adat dan hukum alamiah di Papua
tetapi pemerintah malah membiarkan bahkan memelihara tempat-tempat hiburan
karena jumlah pemasukan dana sangat besar untuk pendapatan asli daerah (PAD) di
seluruh pulau Papua. Pemerintah mensosialisasikan dan mengadakan penyuluhan di
mana-mana untuk pencegahan dan penyadaran penyebaran HIV/AIDS di pulau Papua.
Pemerintah juga mengadakan alat-alat kondom setiap tahun untuk mencegah yang
bukan merupakan solusi. Di samping memperbanyak tempat-tempat hiburan tidak
sehat (Lokalisasi, tempat pijat tradisional, tempat karaoke dan (3A dan 4B)
bahkan mungkin perdagangan perempuan di hotel-hotel) di pulau Papua. Pemerintah
tanpa menyadari sikap pembiaraan terhadap warga Papua, selalu mengadakan
berbagai kegiatan termasuk penyuluhan, pengadaan alat kontrasepsi pria dan
wanita bahkan di jalan-jalan mengatakan bahwa “Kota beriman”, “Tanah yang
diberkati”. Namun di dalamnya penuh dengan segala kemunafikan. Faktanya virus
HIV/AIDS terus meningkat setiap tahun di pulau Papua. Itulah letak sikap
pembiaraan pemerintah terhadap warganya karena mementingkan milyaran rupiah
dibanding keselamatan warga Papua khususnya orang asli Papua dari ancaman dan
penyakit yang mematikan ini.[16]
Jadi pemerintah sengaja memeliharan tempat-tempat hiburan tidak sehat dan
tempat-tempat lokalisasi yang merupakan tempat penyaluran hubungan seks demi
kepentingan pemerintah dan penguasa di negeri ini.
Sikap kita sebagai
warga Papua hendaknya saling mendukung untuk mengatasi penyebaran penyakit
HIV/AIDS di Papua. Penyebaran virus HIV/AIDS menjadi tanggung jawab semua warga
Papua. Kita jangan diam dengan realita penyebaran virus HIV/AIDS terhadap warga
Papua. Saya secara pribadi mengajak kepada Pemerintah (Propinsi dan
Kota/Kabupaten) untuk membubarkan dan menutup segala bentuk hiburan tidak sehat
yang mendatangkan virus HIV/AIDS di seluruh tanah Papua. Kita jangan mengutamakan
milyaran rupiah, tetapi mengutamakan keselamatan manusia dari penyebaran
HIV/AIDS yang sedang marak di bumi Papua ini. Dengan sikap demikian, pasti akan
mengetahui dari mana datangnya virus ini, kemudian tidak saling mencurigai
antara warga Papua dan meniadakan dari konflik sosial ke depan. Namun hendaknya
kita saling mendukung untuk keselamatan manusia dibanding milyaran rupiah untuk
kepentingan diri dan pemerintah kedua Propinsi paling timur di Indonesia ini.
Catatan Penolakan:
Maraknya berkembang virus HIV/AIDS tanpa mencari solusi alternative oleh
Pemerintah Indonesia di Papua. Akibatnya banyak orang (orang Papua dan Non
Papua) terjangkit virus ini. Maka banyak orang menjadi korban kematian di Tanah
Papua. “Pemerintah Indonesia sengaja membiarkan virus ini agar orang asli
musnah di negeri Papua. Pembiaran Pemerintah Indonesia itu, dapat menilai bahwa
bentuk penolakan pada manusia yang mendiami di pulau Papua. Apalagi jika kita
bandingkan antara Orang Asli Papua jumlah penduduknya adalah 30% sementara penduduk
Non Papua adalah 70% (BPS Propinsi Papua
sementara sejak 2011). Saya menilai bahwa pembiaran berkembangnya penyakit
HIV/AIDS itu, akan menjadi anak panah yang jitu pada pemusnahan suku orang asli
Papua. Bentuk pembiarannya adalah sebagai penolakan Negara Indonesia pada warga
penduduk di bumi Papua”.[17]
d. Dalam Aspek Pendidikan di Papua
Pendidikan merupakann sektor penting dalam membangun manusia Papua yang
cerdas dan berkualitas. Pendidikan merupakan bidang strategis yang perlu
mendapat perhatian yang sungguh-sungguh dari pemerintah. Pendidikan yang dimaksud di sini
tidak terbatas pada intelektualitas dengan prestasi akademis, tetapi lebih jauh
harus menciptakan manusia yang cerdas
dan berbudi pekerti yang baik. Dalam tataran dan konsep seperti itu, maka
pendidikan tidak hanya semata-mata dilihat dalam paradigma pendidikan yang
sempit, tetapi memperhatikan juga struktur sosial dan budaya masyarakat dalam
keterkaitannya dengan nilai-nilai kearifan lokal yang hidup dalam masyarakat
Papua.
Foto: Kondisi
Pendidikan tanpa sarana dan prasarana di Pedalaman dan di Pesisir Pantai Papua
sejak 2012
Jika paradigma pendidikan yang disebutkan di atas dikaitkan dengan sejumlah
program pendidikan yang ada di Papua, maka masih ada banyak masalah yang perlu
diperbaiki. Permasalahan pendidikan yang terjadi sampai saat ini adalah masalah
putus sekolah. Ada banyak contoh yang bisa ditemukan misalnya kasus anak SD
putus sekolah di Asmat 34%, Yahukimo 33%, Marind 30% dan kasus anak putus sekolah sangat
tinggi di daerah pedalaman Papua 50% menurut BPS 2010 (Menurut BPS Propinsi
Papua 2010). Sistem pendidikan
di daerah-daerah pedalaman kurang mendapat perhatian yang memadai, khususnya
tenaga pengajar, sarana dan prasarana maupun administrasi sekolah yang buruk.
Selain itu sebagian masyarakat terisolir dan belum bisa membaca
45% (menurut BPS Propinsi Papua 2010).
Dalam sebuah penelitian yang dilakukan oleh mahasiswa Universitas
Cendrawasih membuktikan bahwa angka partisipasi murid SD di Papua hanya 86% di
bawah persentase nasional 96% sejak 2012. Selain itu, berbagai kebijakan dan pelayanan pemerintah
di bidang pendidikan belum memadai, seperti pembayaran guru yang tidak merata,
guru yang berkualitas tidak berminat untuk bekerja di daerah pedalaman, kurang
penghargaan terhadap profesi guru, fasilitas perumahan guru di kampung yang
kurang
dan kurangnya sarana
dan prasarana operasional terbatas
di daerah-daerah terpencil di pedalaman Papua dan pesisir Pantai yang tak bisa
dijangkau dengan speed board atau motor laut.
Catatan Penolakan:
Ada berbagai masalah yang
terjadi, khususnya dalam bidang pendidikan, tetapi pemerintah menutup mata
terhadap berbagai realitas yang kini terjadi di depan mata. Bagaimana dengan Otsus bagi Papua? Orang semakin mempertanyakan
keberadaannya. Apakah Otsus hadir sebagai solusi untuk menyelamatkan masyarakat
Papua dari bahaya? Otsus justru membawa
bencana yang mematikan rakyat Papua. Hal ini terlihat dalam
bidang pendidikan dengan memberikan stigma pada anak-anak Papua bahwa anak-anak Papua itu bodoh, tidak pintar,
tidak kritik, tidak tahu analisa masalahnya sosial dan lain sebagainya. Pemberian
stigma menjadi jalan alternative untuk tidak meraih pendidikan pada tingkat
perguruan tinggi. Karena adanya stigma itu, Pemerintah Indonesia di Papua tidak
fokus pada anak-anak asli setempat di Papua. Itulah bentuk penolakan pada
anak-anak asli Papua dalam meraih dibidang pendidikan Indonesia di Papua.
3. Tidak Adanya Rasa Kemanusiaan
di Bumi Papua
Jika
kita membaca
dari berbagai media cetak yang ada di kota Jayapura ini ataupun kita sendiri
mengamati langsung di lapangan masih terjadi tidak adanya
rasa kemanusiaan (pelanggaran
HAM) terhadap manusia Papua. Bahkan menjadi masalah yang
sangat akrab dengan manusia Papua. Ada banyak masalah yang terjadi di tanah ini
dan meninggalkan sejarah yang menyakitkan hati orang Papua bila di tengok
kembali ke belakang. Kasus pelanggaran HAM seperti kasus Biak Berdarah (1998),
kasus Abepura (2000), kasus Wamena (2000), kasus Merauke berdarah (2000), kasus
pembunuhan Theys (2001), kasus Wasior (2001), kasus Wasior (2003), kasus Wamena
(2003), kasus Abepura berdara (Maret 2006), kasus penembakan
warga di Puncak Jaya (Mei 2009 dan Juni-Oktober 2010 serta September Oktober
2011 dan Mei 2012), kasus penganiayaan warga di Krulu Wamena sejak (2 November
2011), Kasus Penembakan 13 warga sipil dan 2 orang anggota TNI di Honelama
Wamena sejak (6 Juni 2012),[18] Kasus
Penembakan pada beberapa warga di Degeuwo Paniai sejak (13 November 2011 dan
2012), Kasus penembakan warga di Timika (sejak 2011 dan 3 orang warga di Kwamki
Lama sejak 18-20 Juni 2012) bahkan di kota Propinsi Papua penembakan terus
meningkat sejak Mei-Juni 2012 di Jayapura Papua dan lain sebagainya. Terjadi penyisiran dan penangkapan
tanpa sebab
di jalan-jalan sepanjang Waena, Abepura dan Kampung Harapan Sentani sejak 2012.
Berbagai
kasus pelanggaran HAM ini membuat masyarakat tidak dapat berbuat apa-apa karena
takut. Masyarakat Papua tidak bebas dan “merdeka” karena jika menyuarakan
kebenaran dan keadilan selalu dinilai separatis (OPM). Ada berbagai stigma yang
diberikan kepada orang Papua seperti “kamu
orang hitam, rambut keriting tidak laku”. Hal-hal ini membuat orang pribumi
Papua selalu merasa was-was hidup di tanah ini karena selalu dihantui oleh rasa
takut.
Kasus-kasus
pelanggaran HAM yang terjadi di Papua ini berlalu begitu saja, tanpa ada
kepastian hukum. Penegak hukum di Papua sangat lemah dalam menangani
kasus-kasus pelanggaran HAM. Buktinya kasus yang sebenarnya bisa mendapat
penanganan dengan cepat namun dibuat berbelit-belit. Terkesan bahwa masalah
kemanusiaan orang Papua dilihat oleh Indonesia seperti persoalan terhadap
seekor binatang. Lahirnya Otsus juga tidak memberikan satu sumbangsi yang baik bagi anak
bangsa
di Papua.
Sementara
itu tejadi di sana-sini pelanggaran hak-hak tanah adat orang Papua. terjadi illegal logging di berbagai tempat di Tanah
Papua, pengelolaan dan pemanfaatan hutan oleh investor
asing maupun dalam daerah yang kurang memperhatikan aspek-aspek kehidupan anak
Papua terutama nilai-nilai budaya. Pemerintah tidak memperhatikan dampak dari
masuknya investor-investor terhadap kehidupan orang Papua.
Semangat
Otsus melahirkan Majelis Rakyat Papua (MRP) sebagai honainya orang Papua. Di mana MRP dapat
melindungi hak seluruh orang Papua mulai dari Sorong-Merauke. Namun, harapan
itu menjadi semu. MPR gagal menangani permasalahan anak Papua.
Lalu, orang Papua akan mengadu di mana? Kepada siapa?
Perginya kepada siapa? Padahal hakekat MRP adalah memperjuangkan eksistensi
orang asli di bumi Papua.
Tidak adanya rasa
kemanusiaan atau disebut pelanggaran HAM pun terus bergulir, korban pun terus berjatuhan. Orang Papua masih
terus menangis. Orang Papua terbayang menantikan surga
kecil yang jatuh di atas Tanah Papua. Mereka (orang Papua dan Non Papua)
menantikan sebuah harapan akan datangnya terang dan pergilah kegelapan dari
Papua. Mereka ingin hidup dalam suasana damai dan aman. Impian damai dan aman warga
Papua menjadi sebuah perjuangan ketat dan sulit diwujudkan oleh Indonesia di
bumi Papua. Kehidupan orang Papua menjadi perjuangan berat karena selalu
dihadapkan dengan pihak keamanan di Papua. Pihak keamanan memperlakukan warga
Papua seenaknya saja sehingga warga Papua tidak mengalami sasa kemanusiaan di bumi
Papua. Warga Papua sedang menantikan diperlakukannya sebagai manusia semestinya
adanya mereka. Namun tindakan dan sikap pihak keamanan Indonesia di Papua
dinilai sangat najis dan kejam dalam memperlakukannya sebagai manusia atas
Tanah Papua. Maka warga Papua tidak merasakan rasa kemanusiaan sebagai warga
Indonesia di Tanah Papua hingga kini.
(Foto: Gambaran pemerkosaan perempuan
dan Pembunuhan bagi orang Papua oleh TNI Indonesia di Papua).
. Fot
4.
Daftar
Korban Penembakan Warga di Papua
Jumlah Korban Manusia selama
bulan May-June 2012 di Bumi Papua?
No
|
Nama
Korban
|
Jenis Kelamin: P/L
|
Lembaga
|
Ket
|
1
|
+
Melianus Abaa (40 tahun), Lukas Gegepe (30 tahun), Alpius Kegepe (32 tahun)
dan Amos Gegepe (40 tahun) sejak, 15 May 2012
+
Warga Jukumpura wilayah Bogolame Wamena sejak, 25 May 2012
|
L
|
Warga
Sipil Degeuwo Paniai
Warga
Bogolame Wamena Papua
|
Melianus
Abaa ditembak mati di dada tembus belakang, Lukas mengalami luka tembak
bagian perut dan sedang kritis di RSUD Nabire, Alpius mengalami luka tembakan
di lengan kanan, sedangkan Amos mengalami luka tembakan di kaki. Kejadian ini
bermula ketika para korban meminta ijin untuk main bilyard pada pemiliknya.
Tetapi pemiliknya tidak memberi ijin. Namun para korban terus main biliyard,
kemudian pemiliknya marah dan melaporkan ke Polisi di Degeuwo. Akhirnya
polisi datang menembak para warga yang sedang bermain biliyard hingga seorang
tewas dan yang lain mengalami luka-luka ringan dan berat pada warga di
Degeuwo Paniai Papua.
Penyerangan
Markas TPN/OPM pos Jugumpura wilayah Bogolame Wamena Diserang TNI/ Polisi
pada 25 Mei 2012 pukul 05.00-06.00 pagi.
|
2
|
Yunita
Jitmau (25 Year) sejak 26 May 2012 di Sorong Papua Barat
|
P
|
Warga
Sipil dari Sorong Papua Barat
|
Ia
cekik dan tewas ditemukan direrumputan dalam keadaan telanjang. Ia dicekiki
oleh orang tak kenal (OTK) di Sorong Papua Barat.
|
3
|
·
Pieter Dietmar Helmut (55 tahun) sejak 29 May 2012
di Pantai Base-G Jayapura Kota
·
Seorang Guru Anton Arung Tambila (36 tahun) sejak
29 May 2012
·
Thedy Jhon (26 tahun) dan dua orang wartawan
Bintang Papua (Seo) dan RRI (Ulis Makabori) Serui Papua: di siksa dan
dianiaya sejak 29 May 2012
·
|
L
L
L
|
Warga
Negara Asing asal Jerman
Warga
Non Papua
Warga
Sipil Papua
|
Penembakan
ditembak di dada rusuk oleh orang yang tak dikenal oleh orang tak dikenal di Pantai
Base-G Jayapura Papua pada 29 Mei 2012.
Pengerangan
dan penembakan ditembak mati di Kios oleh
Orang Tak Kenal (OTK) di bagian pipi kiri dan bersarang di kepala guru
SD Inpres Dondobagi Puncak Jaya Papua sejak, 29 Mei 2012.
Aksi
demo 29 Mei 2012 di Serui mengakibatkan seorang warga, wartawan RRI, dan wartawan
Bintang Papua dianiaya dan disiksa bahkan dipukul babak belur oleh gabungan
TNI dan Polri di Distrik Angkaisera Yapen di Serui Papua.
Selanjutnya
aparat gabungan TNI/POLRI mengerebek kampung-kampung pelatihan TPN/OPM dan
ditangkap seorang warga dan pihak keamanan mulai penyisiran rata di distrik
Angkaisera Yapen Serui Papua.
|
4
|
Ajudt
Jimmy Purba (19 tahun) sejak, 3 Juni 2012 pada malam hari.
|
L
|
Mahasiswa
Uncen Jayapura Papua
|
Ia
dikeroyok hingga tewas di tempat oleh sekelompok motor KNPB di depan PLN
Waena. Ia mahasiswa UNCEN dianiaya sampai tewas di Waena Abepura, 3 Juni 2012.
|
5
|
·
Yesa Mirin (22 tahun) sejak, 04 Juni 2012
·
Tanius Kalakmabin (30 tahun), sejak 4
Juni 2012
·
Vanuel Taplo (31 tahun), sejak 4 Juni
2012
·
Sunardi (32 tahun) sejak 4 Juni 2012
·
Roni Sihombing (36 tahun) sejak 4 Juni
2012
·
Gilbert Febrian Madika (16 tahun), sejak
4 Juni 2012
·
43 orang belum jelas identitasnya dan 9
orang yang tersangka kerusakan rumah-rumah milik warga di jalan raya Sentani
sejak, 4 Juni 2012
|
L
L
L
L
L
L
Belum
tahu jumlah perempuan dan laki-laki yang ditangkap
|
Mahasiswa
Uncen
Warga
Sipil
Warga
Sipil
Warga
Non Papua
Warga
non Papua
Pelajar
SMA Kalam Kudus Jayapura
Warga
Sipil Masyarakat Papua
|
Tembak
Mati tembus di dada oleh pihak kepolisian Polresta Sentani dan dibantu polisi
Polda Papua.
Luka
tembakan di kepala dan dada oleh gabungan Polisi Polresta Sentani dibantu Polisi
dari Polda Papua dan TNI di Papua. Dia sedang kritis mati hidup di rumah
sakit Doyo Sentani Jayapura.
Korban
ditikam dan bacok dalam pengejaran massa KNPB oleh pihak gabungan polisi Polresta
Sentani dibantu Polisi Polda Papua dan TNI di Papua. Kini dia sedang ada di
rumah sakit Doyo Sentani Jayapura di Papua. Namun karena luka tikaman berat
dan tak bisa ditolong sehingga ia mati di rumah sakit Doyo Sentani Jayapura
Papua.
Kena
luka anak panah di punggung belakang
oleh massa KNPB di Kampung Harapan Sentani Jayapura.
Kena
luka anak panah di lengan kanan oleh massa KNPB di Jayapura.
Ditembak
di bagian belakang dan tembus di bagian depan di dada oleh orang tak dikenal
di Skyland Jayapura pukul 21.30 waktu Papua. Kini dia ada di Rumah Sakit Umum
Dok II Jayapura.
Kondisi
43 orang pukul babak belur oleh gabungan TNI dan Polisi. Hingga kini mereka
ada di Polresta Jayapura. 9 orang yang diduga tersangka kerusakan rumah-rumah
milik warga, ditangkap dan bahkan disiksa dan dipukul sampai berdarah-darah
oleh gabungan polisi dan TNI di sentani dan kini 52 orang ini ada di Polresta
Jayapura Papua.
|
6
|
·
Iqbal Rivai (22 tahun) sejak, 5 Juni 2012
·
Hardy Jayanto (22 tahun) sejak, 5 Juni 2012
·
Pratu Frengky Kune (25 tahun) sejak, 5 Juni 2012
|
L
L
L
|
Warga
Non Papua di Jayapura
Warga
Non Papua di Jayapura
Anggota
TNI Zipur Jayapura
|
Korban
tembak di punggung kanan di atas pengendara motornya sendiri oleh Orang Tak
Kenal (OTK) di depan Kantor Perhubungan Jayapura. Korbannya kini sedang
menjalani perawatan intensif di Rumah Sakit Umum Daerah (RSUD) Dok 2 Jayapura Papua.
Korban
ditembak di punggung kanan di atas pengendara motornya sendiri oleh (OTK) di
depan Kantor perhubungan Jayapura Papua. Korban kini sedang menjalani
perawatan intensif di rumah sakit Umum Daerah (RSUD) Dok II Jayapura Papua.
Korban
ditembak ditempat dileher tembus ke dahi oleh (OTK) di depan CV Thomas Entrop
Jayapura. Korban sedang rawat di RSUD Dok 2 Jayapura Papua.
|
7
|
·
Arwan Aswan (55 tahun) sejak 6 Juni 2012
·
Pratu Ahmad Saifudin (33 tahun) dan Ahmad Saelan
(34 tahun) sejak, 6 Juni 2012
·
Emius Yoman (28 tahun) tewas ditembak mati dan 8
orang: Pekinus Wenda (30 Thn), Tinus Hilapok (32 thn), Albert Kogoya (31
thn), Tiur Elopere (20 thn), Barthol (35 thn) anggota DPRD Nduga + Anaknya 6
thn, Tuke Wenda (28 thn) tewas ditembak mati, Petrus Hiluka (30 thn) tewas
ditembak mati, dan Hengky Heselo (55 thn), sejak 6 Juni 2012
|
L
L
L
|
Anggota
PNS Kodam Cenderawasih Jayapura
Anggota
TNI Batalyon 756 Wamena Papua
Warga
Sipil Wamena+ seorang anggota DPRD Kab. Nduga Papua dengan anaknya
|
Korban
tertembak tewas bagian leher tembus sebelah kiri dan tembus radang bagian kiri. Ia ditembak
oleh (OTK) di belakang kantor Wali Kota Jayapura. Namun dalam perjalanan, ia
menghembuskan nafas terakhir dan mati tempat di dekitar kota Wali Kota
Jayapura Papua.
Dua anggota Tentara Nasional Indonesia (TNI) dari Batalyon
Infantri 756/WMS dikeroyok massa di Wamena, Papua. Satu tewas ditusuk warga
hingga tewas, satu lagi kondisinya kritis karena kena tusukan di dada kiri
hingga dirawat rumah sakit Wamena Papua.
Pengeroyokan bermula ketika kedua anggota TNI tersebut melintas di perkampungan dengan sepeda motor. Dengan sengaja, motor mereka menabrak salah satu anak warga bernama Derpit Wanimbo hingga tewas ditempat di Wamena, maka warga mengeroyok kedua anggota TNI yang sengaja menabrak anak warga sekitarnya ini.
Dalam penyisiran dan pengejaran oleh anggota TNI Batalyon 756
Wamena dapat menembak warga dan membakar 60 rumah terdiri dari: 28 rumah
sehat dan 32 rumah alang-alang/tradisional sekaligus membakar kendaraan (5
Mobil dan 13 Motor) bahkan menghancurkan kebun 4 ha milik warga di Honelama
dan Sinakma Wamena Papua. Tiga warga tewas tertembak mati dan 7 warga lain
mengalami luka-luka kritis berat tembak dan luka-luka tikaman oleh anggota
TNI Batalyon 756 Wamena. Para korban luka-luka tembakan dan tikaman sedang rawat
jalan di RSUD Wamena Papua.
|
8
|
Teyus
Tabuni (22 tahun) sejak, 7 June 2012
Bucthar
Tabuni (37 tahun) sejak, 7 June 2012
|
L
L
|
Warga
Sipil di Kompleks Yapis Jayapura
Ketua
Umum KNPB di Tanah Papua
|
Penembakan
terjadi ketika korban jalan santai di depan kampus Yapis Dok 4 Jayapura. Ia
ditembak mati tanpa peringatan oleh Polisi Polresta Jayapura. Setelah
ditembak mati, polisi menutup arah jalan menuju Yapis Dok 4 dan mayatnya
langsung dibawa ke RSUD Dok 2 Jayapura dalam pengawalan ketat oleh polisi
sendiri tanpa melibatkan keluarga korban. Keluarga korban kaget karena
mayatnya ada di RSUD Dok 2 Jayapura. Seluruh ruangan dan kompleks RSUD Dok 2
dijaga ketat dan pengawalan cukup memadai sehingga tidak bisa meliput berita
dan mengambil gambar korban penembakan.
Ia
ditangkap oleh Polisi Polsekta Abepura tanpa alasan. Ketika ditangkap, adanya
pemukulan, penyiksaan dan mencaci-maki padanya. Ia dibawa di Polda Papua dan
hingga kini, beliau ada di rutan Polda Papua. Namun di media massa lokal dan
nasional, Kapolda Papua mengungkapkan bahwa semua kasus penembakan di kota
Jayapura adalah murni dibuat oleh Bucthar Tabuni, Mako Tabuni (Alm) dan
beberapa lain menjadi DPO. Tuduhan hanya bersifat sepihak Kapolda dan Pangdam
Papua tanpa investigasi dan penyelidikan yang jelas.
|
9
|
Willem
Douw (31 tahun) sejak, 8 June 2012
|
L
|
Warga
Sipil Kab. Deiyai
|
Ditemukan
tewas di rumahnya akibat makan bersama di rumah Brimob Paniai lalu diduga
diracuni oleh Brimob Paniai Papua.
|
10
|
Tri
Sarono (34 tahun) sejak, 9 June 2012
|
L
|
Security
Saga Mall Abepura Papua
|
Ditembak
mati di depan Gapura Uncen Abepura oleh (OTK) ketika pulang ke rumah dari
Saga Mall Abepura Papua.
|
11
|
Mako
Musa Tabuni biasa disapa Mako Tabuni (35 tahun) sejak, 14 Juni 2012
Eddy
Karapa (41 tahun) dan Abdul Aziz (43 tahun seorang sopir jalur taksi Abepura
lingkaran-Waena) sejak, 14 June 2012
|
L
L
|
Ketua
I KNPB di Tanah Papua
Warga
Non Papua di Waena
|
Mako
Tabuni ditembak mati oleh Polisi Densus 88 dari Jakarta dan dibantu Polisi
Polda Papua ditambah Preman dari Polda Papua dengan menggunakan 3 mobil di
Perumnas 3 Waena Abepura Papua. Mako Tabuni ditembak dengan senjata lars
panjang dengan 2 kali tembakan ditubuhnya tanpa perlawanan dari Mako Tabuni
dan 4 kali tembakan di udara setelah ditembak mati Mako Tabuni. Ia ditembak
setelah beli pinang dan sementara makan pinang bersama beberapa masyarakat di
sekitarnya. Sementara makan pinang, 3 mobil (salah satunya DS 447 AJ warna
hitam dan berbeda warna dengan 2 mobil lain: abu-abu dan biru muda) berhenti
di pinggiran jalan dan keluar seorang preman dari mobil tengah dengan
menggunakan senjata lars panjang. Ia disapa oleh seorang Preman itu dari
belakang dan pegang bahunya lalu ditembak mati dengan 2 kali tembakan pada
beliau. Akhirnya ia dibawah oleh ketiga mobil menuju ke rumah sakit
Bhayangkara Kota Raja Abepura Papua. Kemudian beliau dimakamkan di penguburan
umum Sentani Jayapura Papua sejak 16 June 2012.
Kena
kampak di Jalan Buver Waena dan Kena anak panah di perumnas 3 Waena setelah
terdengar berita bahwa Mako Tabuni ditembak mati dan masyarakat emosi dan
membakar kios, tokoh dan kendaraan yang ada diareal Perumnas 3 Waena Abepura.
|
12
|
Daerah
Timika Papua:
+
Adelius Ongomang (45 tahun) sejak 18 June 2012
+
Dony Ongomang (43 tahun) sejak, 18 June 2012
+
Yulita Wamang (30 tahun) sejak, 19 June 2012
+
Linus Magal (25 tahun) sejak, 20 June 2012
Catatan
Tambahan:
+
Presiden Indonesia SBY mengatakan bahwa Persoalan di Papua berskala kecil dibanding
persoalan di Timur Tengah. Pernyataan kepala Negara Indonesia sangat
merendahkan warga Papua dan kritik oleh banyak pihak di Indonesia termasuk
dari warga luar negeri. Karena banyak pelanggaran penembakan dengan senjata
maupun ditikam bahkan diracuni oleh Negara Indonesia atas manusia Papua sejak,
21 June 2012. (Sumber kompas edisi 21 June 2012)
+
Indonesia telah mengirimkan 450 personil anggota TNI dari Bengkulu Indonesia
di Papua sejak, 21 June 2012.
|
L
P
L
|
Warga
Sipil Kwamki Lama Timika Papua
Warga
Sipil Kwamki Lama Timika Papua
Warga
Kwamki Lama Timika
Warga
Kwamki Lama Timia
|
Ia
ditembak oleh Polisi dan dibantu anggota TNI dengan mobil milik TNI ketika
melakukan tarian perang adat di kelompok atas di Kwamki Lama Timika Papua.
Ia
ditembak oleh Polisi dari Polresta Timika dan dibantu anggota TNI dengan
mobil milik TNI ketika melakukan tarian perang adat di kelompok atas di
Kwamki Lama Timika Papua.
Ditembak
mati tanpa alasan yang jelas oleh Polisi dari Polresta Timika Papua.
Ia
ditembak mati oleh Polisi Polresta Timika ketika perang antar suku di Kwamki
Lama Timika Papua.
Data
yang diperoleh penulis bahwa 450 personil Anggota TNI akan ditugaskan di
daerah: Wamena, Timika, Paniai, Nabire dan di kota Jayapura Papua.
|
13
|
Daerah
Nabire Papua
+
Laud Monda (33 tahun) dan Abolon Wonda (31 tahun) tewas mati sedangkan
Ninggiron Wonda (30 tahun) luka berat sejak, 24 June 2012
|
L
|
Warga
Sipil Nabire Papua
|
Korban
penabrakan 3 orang warga sipil dengan senjaga oleh truk anggota TNI Batalyon
753 Kompi Senapan A di Kingmii Nabire. Ketiga korban: 2 diantaranya tewas
mati ditempat sedangkan seorang sedang dirawat RSUD Siriwini Nabire Papua.
|
14
|
|
|
|
|
15
|
|
|
|
|
C. Solusi Alternatif
1.
Mencintai
Kehidupan: Manusia dan Jalur Hijau di Bumi Papua
Mencintai
Kehidupan Manusia:
Mencintai hidup
adalah langkah pertama memelihara kehidupan. Inilah roh/ semangat yang menjiwai
setiap orang untuk memelihara hidupnya. Hidup itu anugerah, maka hidup perlu
disyukuri dan dicintai. Sebagaimana Yesus mencintai kehidupan, setiap manusia
pun dipanggil untuk mencintai hidup. Saya mengajak agar semua manusia lebih
memilih kehidupan daripada kematian . “Pilihlah kehidupan, supaya engkau hidup, baik engkau maupun
keturunanmu!”. Pilihan
terhadap kehidupan akan membuahkan kehidupan, bukan hanya bagi dirinya sendiri,
namun bagi orang lain.
Hidup manusia berasal dari Allah. Allah
menghembuskan nafas hidup kepada manusia, sehingga manusia hidup. Oleh karena
itu, hidup manusia semata-mata adalah sebuah pemberian. Hidup manusia adalah
sebuah rahmat. Pemberian itu semakin sempurna karena Allah menciptakan manusia menurut
gambar-Nya.
Hidup manusia adalah pemberian Allah,
maka hidup manusia sungguh istimewa dan berharga. Oleh sebab itu, panggilan dan
tugas manusia adalah memelihara kehidupan. Nah, pertanyaan yang kemudian
muncul adalah bagaimana cara
manusia memelihara
hidupnya di Indonesia Pada umumnya dan Papua
pada khususnya?
Mencintai
Jalur Hijau di Papua: Jalur hijau adalah segala makhluk ciptaan di bumi ini. Segala
alam ciptaan di bumu tidak ramah lagi oleh Negara Indonesia di beberapa daerah termasuk
di Tanah Papua. Perusakan jalur hijau secara
besar-besaran sedang terjadi di banyak tempat di Indonesia pada umumnya dan
Papua pada khususnya. Perusakan jalur hijau ini sering terjadi dalam berbagai
bentuk. Bentuk-bentuk kerusakan jalur hijau dengan cara pembabatan hutan untuk
kepentingan perusahaan dan industri kayu. Pembabatan hutan untuk membuka ladang
baru dan perluasan kota serta permukiman secara tidak bertanggung jawab.
Pembakaran hutan hutan dalam rangka untuk menumbuhkan rerumputan muda untuk
ternak binatang. Pembakaran hutan dalam rangka berburu, yang masih merupakan
suatu mata rantai budaya di daerah-daerah tertentu di negeri kita. Perlakuan
terhadap jalur hijau ini tentunya ada manfaatnya, tetapi kalau kita melihat
manfaat hutan dalam pertimbangan yang lebih menyeluruh dan jauh ke masa depan,
maka perlu dipertimbangkan kembali dan diwaspadai oleh setiap kita. Oleh karena
itu, pentingnya sikap menghormati dan menyayangi jalur hijau di Indonesia. Jadi
Apa itu manfaat jalur hijau bagi kita di Indonesia? Bagaimana sikap setiap kita
untuk menghormati jalur hijau di Indonesia?
Manfaat Jalur Hijau antara lain hutan
secara luar biasa dapat memberikan kita makanan, dari buah, daun, batang,
sampai ke akar-akarnya. Selain makanan, hutan dapat memberikan kepada kita
perlbagai jenis obat-obatan nabati dan sari minuman yang serba sedap bagaikan
mie sedap. Kegunaan jalur hijau dapat membantu bernapas segar untuk orang Indonesia
pada umumnya dan Papua pada khususnya, jalur hijau mengatur suhu, jalur mendatangkan
hujan, jalur hijau menyimpan air dan jalur hijau melindungi tanah.
Sikap setiap kita di Indonesia pada
umumnya dan Papua pada khususnya adalah berhenti dari tindakan merusak
lingkungan/hutan di Indonesia dan Papua pada khususnya. Kini Indonesia secara
public Nampak bahwa TIDAK RAMAH DENGAN JALUR HIJAU DI INDONESIA. Indonesia pentingnya untuk menyadari sikap
terhadap hutan/jalur hijau yang terasa tidak ramah ini. Indonesia dengan
pendekatakan pertumbuhan ekonomi, hutan/jalur hijau begitu saja seenaknya
merusakannya. Indonesia tidak adanya perasaan untuk melestarikan dan menyayangi
hutan/jalur hijau. Foto: Hutan/Jalur Hijau
diganti dengan kelapa Sawit di Arso Keerom di Tanah Papua
Setelah
kita menyadari manfaat dunia hutan/jalur hijau dan sikap yang tidak ramah
terhadap hutan/jalur hijau, kiranya sudah layaknya INDONESIA MULAI BERMETANOIA UNTUK KESELAMATAN DUNIA HUTAN/JALUR HIJAU
SEBAGAI BUKTI PENGHARGAAN DAN CINTA PADA ALAM HUTAN/JALUR HIJAU DI INDONESIA.
Jika ada sikap Indonesia untuk hendak merusak hutan/jalur hijau di Papua maka:
·
Orang Papua hendaknya berani memprotes
dan memboikot semua tindakan yang tidak bertanggung jawab dari kepentingan
perusahaan dan industri kayu yang sungguh serakah!!
·
Orang Papua hendakanya dengan berani
mengatakan kebiasaan Pemerintah Indonesia di Papua dan kebiasaan kita demi
sebatang rokok untuk merusak hutan/jalur hijau: baik demi perluasan rumah,
pemukiman, dan perkotaan secara tidak bertanggung jawab maupun demi ternak dan
budaya berburu yang mungkin tidak relevan lagi!!
·
Pemerintah Papua hendaknya bermetanoia
untuk mencari makan dan member ijin untuk membuka eksplorasi pertambangan di
seluruh Tanah Papua!!!!
2.
Pendekatan
Rasa Kemanusiaan di Bumi Papua
Memang kita mengakui
bahwa Indonesia melalui pendekatan keamanan militer di Papua, dapat menyebabkan
banyak warga Papua menjadi korban penembakan di Papua. Pendekatan keamanan Indonesia
menjadi ancaman bagi warga Papua. Karena selalu saja terjadi pembunuhan dengan
alat senjata Negara Indonesia bagi warganya sendiri. Pihak keamanan militer
yang bertugas di daerah Papua sengaja menciptakan berbagai konflik dan
kekerasan di Papua. Agar pihak keamanan mendapat perhatian serius oleh Negara
Indonesia. Dengan adanya konflik dan kekerasan yang dibuat keamanan militer
sehingga Negara Indonesia mudah menjual TNI dan POLRI Indonesia di Papua.
Karena konflik dan kekerasan sehingga penjualan keamanan dan militer Indonesia
di Papua menjadi sangat tepat dan mudah tanpa berbelit-belit dan tanpa ditolak
oleh warga Papua. Maka konflik, kekeraan dan bahkan penembakan pada warga Papua
semakin Nampak di kahir-akhir ini. Kita tidak perlu menutup semua perlakuan
tidak manusiawi oleh Negara Indonesia terhadap warga di Papua.
Foto Ilustrasi: Symbol
Solidarities and communication Indonesia in West Papua.
Suasana kekhaosan dan
kekacauan atau konflik dan kekerasan terus meningkat memperlihatkan bahwa
situasi bukan semakin menjadi baik lagi. Suasana ini mendapat perhatian serius
oleh semua pihak. Karena realitas memperlihatkan di dalamnya ada pendekatan
tidak adanya perasaan manusiawi sehingga terjadi banyak pembunuhan di bumi
Papua. Keamanan militer segera ditarik kembali agar warga Papua merasa hidup
aman dan damai di negerinya sendiri. Mungkin saya berpikir bahwa Negara
Indonesia tidak belajar nilai-nilai kemanusiaan sehingga diajak pula untuk
lebih giat belajar tentang nilai-nilai kemanusiaan yang diakui semua Negara. Di
sini sangat dibutuhkan kemendesakan Indoensia agar pentingnya membangun pola
pendekatakan orang Papua dengan rasa kemanusiaan dan bersolider berdasarkan
melalui nilai-nilai universal dengan warga di Tanah Papua.
3.
Membuka
Ruang Demokrasi di Papua
Membuka ruang demokrasi
Indonesia di Papua melalui prinsip-prinsip perdamaian di dunia. Prinsip-prinsip
perdamaian
merupakan suatu tatanan yang ditentukan dalam masyarakat secara universal dalam
empat prinsip nilai-nilai
universal atau fundamental, yakni kebenaran,
keadilan, cintakasih dan kebebasan. Dalam keempat prinsip inilah setiap manusia mesti
membangun dan menegakkan perdamaian, karena tanpa ditegakkannya keempat prinsip
ini, perdamaian
tidak akan tercipta dan malah menimbulkan pelbagai macam konflik baru. Kebenaran, keadilan, cintakasih
dan kebebasan mesti ditegakkan dalam kondisi masyarakat yang tidak aman dan
damai seperti di Timur Tengah dan Papua. Pada dasarnya
setiap manusia memiliki kerinduan untuk damai, tetapi hanya karena keempat
prinsip ini diabaikan dan tidak ditegakkan serta tidak ada kemauan yang
mendasar untuk menciptakan keadaan damai. Maka seringkali keadaan
ketidakdamaian menjadi berkuasa dalam kehidupan manusia.
(Photo: Ilustration democration Indonesia in Land of Papua for
1963-2012)
Perdamaian diciptakan demi menghormati
hak-hak azasi manusia, karena manusia pada dasarnya adalah makhluk yang berasal
dari Sang Damai (Allah). Pandangan tentang hak-hak asasi manusia
dapat dilihat dalam Pacem in Terris
art. 9, 11, 12 dan 27 seperti; hak menyangkut nilai-nilai moral dan kultural,
hak-hak religius, hak hidup keluarga (hak orang tua untuk mendidik anak-anak
mereka, kesamaan antara laki-laki dan perempuan), hak ekonomis (hak untuk
bekerja, hak atas kondisi kerja yang manusiawi, hak untuk berpartisipasi dalam
managemen), hak politik, dan hak atas kemerdekaan bergerak dan migrasi. Maka,
perlu untuk saling menghormati dan menghargai sesama manusia sebagai manusia.
Di tengah gejolak yang melanda dunia pada umumnya dan Papua pada
khususnya Papua, manusia cenderung bersikap skeptic, dan trauma bahkan merasa
direndahkan manusianya, bahwa ‘Perdamaian tidak dapat
dicapai.’ Benarkah demikian? Gereja
Katolik dalam Ensiklik
Ajaran Sosial Gereja (ASG) Pacem in Terris berbicara
kepada semua orang bahwa kita semua menjadi bagian dari keluarga manusia dan
memancarkan terang atas kehendak bersama bangsa-bangsa di manapun mereka berada
untuk hidup aman, adil, dan memiliki harapan di masa yang akan datang. Ensiklik
ini memberi harapan akan terwujudnya suatu tatanan hidup antar manusia melalui jalan:
· Kebenaran akan membangun perdamaian apabila
setiap orang secara tulus mengakui bukan hanya haknya sendiri tetapi juga
kewajibannya terhadap sesama manusia. Tugas manusia bukan saja mencari
kebenaran tetapi juga menanamkan kebenaran itu kepada orang lain. Kebenaran
yang dimaksud bukan sekedar slogan atau teori semata tentang kebenaran,
melainkan kebenaran yang dihayati sendiri, yang dijiwai dan yang diaktualkan
dalam kesehariannya. Kebenaran itu tidak lain adalah Allah sendiri. Menghayati
kebenaran berarti menghayati hidup Allah sendiri dalam hidup sejarah manusia.
· Keadilan akan membangun perdamaian, jika di
dalam pelaksanaannya setiap orang menghormati hak orang lain dan benar-benar
melaksanakan tugas yang ditentukan bagi mereka. Dengan menghormati hak orang
lain berarti, manusia mengakui keberadaan sesamanya. Keberadaannya sebagai
makhluk yang memiliki hak dan martabat sebagai ciptaan Tuhan.
· Cinta kasih akan membangun perdamaian, apabila
orang-orang merasakan bahwa kebutuhan orang lain sebagai kebutuhannya sendiri
dan membagikan hartanya kepada sesama, terutama nilai-nilai akal budi dan
semangat yang mereka miliki. Cintakasih dalam ajaran kristiani menduduki tempat
utama. Cintakasih menyangkut segala-galanya. Dengan membagikan segala apa yang
ada pada kita, berarti kita membangun suatu dunia yang penuh damai. Membagi
cintakasih berarti membagi perdamaian.
· Kemerdekaan akan membangun perdamaian dan
membuatnya berkembang, jikalau di dalam memilih sarana untuk tujuan itu,
orang-orang bertindak sesuai dengan akal dan bertanggungjawab akan tindakannya
sendiri. Kemerdekaan tidak berarti manusia bebas melakukan sesuatu tanpa
dibatasi. Kemerdekaan yang sejati justru merupakan suatu tindakan yang
didasarkan pada kemampuan manusia untuk bertanggungjawab atas segala
tindakannya. Yang dimaksudkan disini adalah tindakan bukan hanya sekedar
tindakan saja, melainkan tindakan benar yang menghasilkan suatu perdamaian.
Dari empat hal tersebut di atas
dapatlah disimpulkan bahwa perdamaian di samping sebagai milik manusia sebagai
sesuatu yang berasal dari kodratnya, juga berarti bahwa perdamaian merupakan
suatu keaktifan manusia karena perdamaian merupakan karya manusia sendiri. Prinsip-prinsip perdamaian dunia
direlevansikan di Papua antara lain:
a.
Prinsip-Prinsip
Perdamaian Dunia di Papua
Relevansinya
Perdamaian dalam kondisi konflik dan kekerasan di Papua adalah melalui jalan:
Pertama, Rasa Aman. Rasa aman merupakan dambaan,
yang mendorong manusia untuk berjuang mendapatinya dengan caranya
masing-masing. Maka menciptakan tanah damai adalah tugas kita semua (orang Papua dan Non Papua serta
pihak keamanan militer) yang mendiami di tanah Papua.
Kedua, Partisipasi. Partisipasi berarti terbuka
untuk bekerja sama dengan pihak lain, untuk mengungkapkan pandangan dan pikitan
tentang perdamaian. Hal ini diwujudkan dalam bentuk kampanye damai dengan
membuat laporan yang jelas untuk mendukung suara masyarakat. Agama-agama dan warga di Papua
mengambil bagian terpenting dalam hal ini untuk menciptakan Papua tanah damai.
Ketiga, Komunikasi.
Komunikasi merupakan kunci untuk berpartisipasi dalam rangka membangun
kedamaian. Tanpa adanya komunikasi, maka yang terjadi adalah tidak terjadi
relasi antara sesama atau agama dalam membangun kedamaian itu. Jika tidak memiliki rasa kebersamaan untuk membangun
ikatan erat dalam membangun kesatuan dalam keberbedaan latar belakang, agama,
dan lainnya, maka
komunikasi pun akan muncul retak sehingga dapat membutuhkan komunikasi yang
baik dalam kebersamaan. Dengan demikian akan menjadi satu ikatan yang
memperjuangkan nilai yang lebih tinggi antara umat manusia di Papua. Maka mesti
dihindari dari sikap perbedaan orang
Papua dan non Papua (amber dan komin) dalam membangun kedamaian universal di
Papua.
Keempat, Keadilan. Keadilan dan kebenaran
merupakan nilai yang paling tinggi dalam praktek hidup kita. Kita sulit
menciptakan “Papua Tanah Damai” karena adanya kepentingan pribadi yang tidak
memperhatikan kepentingan universal. Kepentingan ini membuat banyak pejabat
bertindak tidak adil dengan mengadakan korupsi, kolusi dan nepotisme, demi
kepentingan pribadinya. Sikap ini merugikan banyak orang. Selayaknya pemerintah
menjadi teladan untuk kedamaian rakyatnya, tetapi malah menjadi teladan
kebencian, kerakusan dan ketidakbenaran. Ini suatu fakta cela yang seringkali
mendatangkan konflik, maka dambaan atas kedamaian menjadi hilang di tengah
pemerintah.
Kelima, Kemandirian. Manusia merupakan pribadi
yang mampu mengatur hidupnya sendiri. Itu tidak berarti manusia menutup diri
dengan orang lain, melainkan demi menciptakan tanah damai di Papua ia berusaha
atas diri untuk mengembangkan kesejahteraan peribadi dalam hidupnya. Dengan
demikian sambil berjuang atas hidupnya ia pun terbuka memperhatikan orang lain
yang belum sejahtera.
Keenam, Harga Diri. Dalam menjalani kehidupan di
bumi mesti ada sikap saling menghargai manusia sebagai manusia. manusia mesti
saling menjaga dan memelihara harga diri sendiri dan sesamanya demi kebaikan
bersama. Seringkali karena kurang menjaga harga diri menimbulkan masalah baru.
Maka menghargai dan mengakui eksistensi manusia adalah awal menciptakan “Papua
Tanah Damai”.
Ketujuh kesejahteraan. Semua orang
menginginkan kesejahteraan dalam hidup. Bila makan-minum mencukupi, tempat
tinggal yang layak, kesehatan terjamin, pendidikan dapat berjalan sesuai dengan
cita-cita dan lain sebagainya. Maka kesejahteraan dapat dirasakan dan dialami
masyarakat, karenanya masyarakat pasti tidak menciptakan berbagai konflik. Yang
ada adalah kedamaian dalam tatanan kehidupan manusia.
Kedelapan, Harmoni. Menjaga keharmonisan dalam
kehidupan manusia adalah hak semua orang, karena manusia adalah ciptaan yang
paling mulia. Dewasa ini, orang lupa akan keutuhan yang bersumber dari Yang
Pencipta. Kita sering melihat manusia yang lain sebagai objek dari kita dan
ingin menghindar darinya. Ini berarti tanah damai bisa saja menjadi slogan
belaka. Maka, dalam seluruh seluk-beluk kehidupan manusia mesti memandang
manusia sebagai manusia yang bersumber dari satu Allah dan akan kembali
kepada-Nya.
b. Relevansi
Membangun Papua Tanah Damai
Dari Penjelasan di atas nampak bahwa Ensiklik Pacem in Terris yang diterbitkan 47
tahun yang lalu masih relevan bagi situasi Papua masa kini, terutama dengan kampanye perdamaian dengan
moto “Papua Tanah Damai”, yang dipimpin oleh para pemimpin agama di Tanah
Papua. Maka, ada beberapa relevansi yang ditemukan dalam tulisan ini adalah
seperti berikut:
Relevansi
pertama adalah bahwa “Papua Tanah Damai” merupakan visi masa
depan bersama dari semua orang yang hidup di tanah Papua. Pengertian tentang
“Papua Tanah Damai” tidak boleh dibatasi hanya pada tidak adanya perang di
Tanah Papua. Perlu ditekankan bahwa “Papua Tanah Damai” adalah hasil dari
penegakkan keadilan dan pengembangan yang otentik. Setiap orang dan lembaga di
Tanah Papua, baik secara pribadi maupun bersama, dipanggil untuk terlibat dalam
segala upaya menciptakan “Papua Tanah Damai”.
Kedua, “Papua Tanah
Damai” apabila tidak
akan tercipta apabila, masih terdapat ketidakadilan, ketidaksamaderajatan, dan
ketidakseimbangan. Pendertiaan karena bencana alam dan buatan manusia, dan hak
milik pribadi dijadikan absolut dan mengorbankan prinsip kepentingan umum.
Maka, aspek-aspek ini harus dikesampingkan demi kepentingan bersama dalam membangun
slogan yang dibangun para tokoh agama “Papua Tanah Damai”.
Keempat, untuk
menciptakan “Papua Tanah Damai”, perlu digalakkan satu visi. Visi ini tidak
hanya dititikberatkan pada pertumbuhan ekonomi di Papua, tetapi mencakup
kemajuan pribadi manusia dalam keseluruhan aspek kehidupan. Visi mesti
dialamatkan ke setiap dan semua orang, dilaksanakan guna merubah kondiri yang
kurang manusiawi ke lebih manusiawi, memerangi ketidakadilan,
ketidaksejahteraan (ekonomi, sosial, budaya), diskriminasi, ketidakseimbangan
(kaya-miskin), mengatasi konflik sosial, membebaskan manusia dari bentuk
perbudakan. Semuanya ini, bersasaran pada humanism yang sempurna (terbuka
terhadap dirinya sendiri, sesama dan Allah. Akhirnya, demi menciptakan “Papua Tanah Damai” kita
saling bahu-menbahu mendukung ide yang sudah dirancang P. Neles Tebay, Pr –
DIALOG JAKARTA-PAPUA. Kita
mendesak ke Presiden Indonesia SBY agar segera membentuk team dialog antara
Indonesia dan orang Papua.
Foto: Polisi dan Satpolpp Membubarkan tempat jualan bagi
Mama-Mama Pedagang asli di Teminabuan Sorong Selatan. Tidak adanya ruang
berdagang bagi Mama-Mama asli Papua di Sorong Selatan Papua Barat sejak 11-24
Mei 2012.
Untuk tercapainya suatu perdamaian,
diperlukan peran serta manusia di dalamnya. Peran serta itu tidak lain daripada
mengaktifkan segala kemampuan jiwanya, yaitu hidup dalam kebenaran, berlaku
adil, mengamalkan cinta kasih, dan menciptakan kebebasan melalui jalan MEMBUKA RUANG DEMOKRASI agar warga
Indonesia di Papua dapat merasakan dan menghayati prinsip-prinsip nilai
perdamaian di Papua. Jadi jika Indonesia membuka ruang demokrasi di Papua, maka
warga Papua dapat menghayati hidup yang aman dan damai di negeri yang penuh
dengan madu dan susu tanpa pelarangan ekspresi berpendapat, berbicara dan
berdiskusi di Papua. Bahkan agar ditingkat Internasional mengakui bahwa
Indonesia merupakan Negara yang menganut demokrasi pada warganya berdasarkan
prinsip-prinsip perdamaian di dunia.
4.
Presiden
Indonesia SBY Segera Membentuk Team Dialog Jakarta-Papua
Kondisi konflik dan kekerasan semakin memanas
dan terus meningkat di Papua. Indonesia tidak memberikan kenyamanan dan
kedamaian di Papua. Karena Indonesia selalu dengan pendekatakan keamanan di
Papua sehingga penembakan dan kekerasan terhadap warga Papua selalu meningkat.
Semua konflik dan kekerasan yang dibuat oleh Negara melalui pendekatakan
keamanan menjadikan sebuah kesempatan dan lowongan pendapatan dan perhatian
serius dari Negara. Pihak keamanan senjaga membuat konflik dan kekerasan
terhadap warga Papua demi kesejahteraan bagi keamanan militer Indonesia di
Papua. Akhirnya warga Papua menjadi korban kepentingan di bumi Papua.
Kini saatnya untuk mencari jalan terbaik bagi
orang Indonesia dan Papua. Karena Otonomi Khusus (Otsus) adalah sebuah solusi
yang bermasalah di Papua. Maka orang Papua mengatakan bahwa Otsus sudah gagal,
sehingga perlu ada dialog. Dialog yang bermartabat berdasarkan prinsip-prinsip
perdamaian dan kriteria dialog versi Internasional. Dialog itu antara Indonesia
dan Papua dalam suasana konflik dan kekerasan yang terus meningkat setiap tahun
di Papua.
Presiden Indonesia SBY telah menyetujui dialog
antara Indonesia dan Papua. Presiden SBY memberikan mandat dan tugas pada Wakil
Presiden Bodiono untuk mengurusnya. Namun tugasnya belum dilaksanakan hingga
sekarang. Oleh karena itu, orang Papua mendesak kepada Presiden Indonesia SBY
agar segera membentuk TEAM DIALOGUE JAKARTA-PAPUA. Team Dialogue the agree
International, National and Papuan People for finishing conflict between
Indonesia and Papua. Kemendesakan masyakarat Papua muncul karena kebutuhan
paling penting untuk menyelesaikan berbagai aksi penembakan dan konflik yang
terjadi di Papua.
Penutup
Saya secara pribadi mengharapkan bahwa
pemerintah pusat dan orang Papua dapat meninggalkan kedua konsep atau ide untuk
mempertahankan pendapat masing-masing. Seperti: Indonesia kakatan: NKRI HARGA
MATI. Papua mengatakan: PAPUA MERDEKA HARGA MATI. Jika kedua konsep itu, terus
dipertahankan dalam kehidupannya, maka warga Papua menjadi korban di tanah
Papua seperti sekarang ini. Sehingga dibutuhkan dialog yang manusiwi seperti
yang dperjuangkan oleh Jaringan Damai Papua (JDP). Dialog yang mengedepankan
nilai-nilai universal dengan prinsip perdamaian di dunia. Orang berdialog, maka
adanya hidup damai dan aman tanpa konflik dan kekerasan dalam kehidupannya.
Karena didasarkan pada prinsip-prinsip perdamaian di dunia.
Dengan demikian, hidup damai dan
surga yang hilang di Papua akan dinikmati pula oleh setiap kita di Indonesia
pada umumnya dan Papua pada khususnya. PAPUA: Kini sedang mencari surga kecil
yang telah dicuri oleh Indonesia di Papua. Surga kecil yang hilang, tidak lain
adalah hak kebebasan yang dasari nilai kebenaran, keadilan, dan cinta kasih di
Tanah Papua yang dimulai sejak 1961. Jika Indonesia tidak mengakui kedaulatan
Papua sejak 1961, maka Indonesia melakukan pendekatan dengan membuka ruang
demokrasi dan membangun rasa kemanusiaan bahkan pendekatan melalui jalan dialog
yang diperjuangkan oleh Jaringan Damai Papua. Orang Papua mendesak President
Indonesia (SBY) agar segera membentuk TEAM DIALOGUE BETWEEN INDONESIA AND
PAPUA. Membentuk Team Dialogue adalah kebutuhan mendesak dalam situasi
kekerasan dan konflik yang terjadi di Papua akhir-akhir ini. Team Dialogue the
agree by International, National and Papuan People for finishing conflict and
crime to society in land of Papua. “DATANGLAH TERANG, PERGILAH GELAP DARI
PAPUA”. Demikianlah laporan situasi Kekerasan dan Konflik di Tanah Papua!!!!
“Servire Ergo
Sum”
(Saya Ada, maka Saya Melayani)
Fr Santon Tekege, Pr
Candidate Priest Dioses of Timika Papua in STFT-Fajar Timur
Abepura PAPUA
[1] Tekege Santon. Laporan Kedua: Situasi Kekerasan di Papua
bulan May-June 2012
[2] Pelaku penembakan terhadap warga
Papua telah identifikasi sebagai (Orang Terlatih Khusus: OTK) di Papua. Namun
telah diketahui bahwa pelaku penembakan adalah pihak keamanan polisi dan TNI di
Jayapura, Puncak Jaya, Paniai dan Wamena serta di daerah sekitarnya di Papua.
[3] Pelaku penembakan Warga Negara
Asing (WNA) Jerman adalah Orang Terlatih Khusus (OTK) bukan Orang Tak Kenal
(OTK) di Jayapura.
[4] Lht. Kolom daftar penembakan
warga Papua di kota Jayapura dan sekitarnya di Papua
[5] Lihat
Kronologis pada lampiran belakangWamena sejak 6 Juni 2012. Kronologis adalah pada hari Rabu 6 Juni
2012, Sekitar pukul 12.30 wp,bertempat di Kampung Honelama distrik Wamena kota
Kab. Jayawijaya-Papua , Jl. Sinakma-Kimbim. Kejadian tersebut berawal, di tempat kejadian
dalam suasana duka (banyak masyarakat yang sedang berduka), sementara seorang
anak kecil berumur 6 tahun (Derpit Wanimbo), keluar dari pagar lingkungan rumah
ke jalan raya, tiba-tiba datang sebuah motor yang di kendarai oleh 2 orang
prajurit, keduannya adalah anggota Batalyon 756 WMS, dalam kecepatan agak
kencang dari arah kota hendak pulang ke Markas Batalyon WMS (Kulagaima).
Dalam keadaan yang Tiba-tiba tak dapat menghindari kecelakaan itu akhirnya
menabrak seoarang anak kecil tersebut. Melihat anak kecil tersebut di sengol,
masyarakat yang berada dalam suasana duka tadi langsung membawa alat tombak dan
menuju mendekati kedua prajurit tadi dan tanpa kompromi masyarakat langsung
melakukan penikaman kepada kedua prajurit tadi hingga salah satu anggota tewas
di tempat sementara satunya lagi dilarikan ke RSUD wamena guna menjalani
perawatan insentif hanya saja di pastikan tidak selamat dikarenakan pendarahan
yang cukup tinggi. Melihat kedua prajurit anggota TNI Batalyon 756 WMS yang
mengalami luka bacok hingga meninggal dunia, maka sekitar pukul
13.30 wp, 4-5 truk anggota Batalyon dari Markas Batalyon WMS dalam waktu
singkat sudah berada di lokasi kejadian. Sesampai di lokasi kejadian anggota
Batalyon WMS melakukan tembakan brutal hingga rumah-rumah warga di sekitar
tempat kejadian habis di bakar termasuk kendaraan hingga pukul 17.30 wp.
Tidak hanya
di tempat kejadian akan tetapi mereka melakukan penyisiran sampai di tiga titik
jalan yakni Jalan Irian, Bhayangkara dan Yos Sudarso.
Akibat dari penyisiran itu warga sipil menjadi korban kebrutalan aparat
TNI dari Batalyon 756 WMS termasuk banyak mengalami kerugian material.
Kondisi
terakhir di lokasi kejadian, warga sipil yang lain masih berada di lokasi
pengungsian karena tempat tinggal sudah tidak ada, sementara yang lainnya dapat
bantuan tenda sekitar 3 buah dari dinas sosial Pemda Jayawijaya termasuk bahan
makanan dan para pihak korban saat ini masih berada di tenda-tenda dimaksud.
Situasi di tempat kejadian masih tegang dikarenakan para korban luka tembak dan
luka tikaman masih dalam perawatan. Baik rawat jalan maupun rawat di RSUD
Wamena. Demikian sesingkat kronologis kejadian.
Sumber: dari lokasi kejadian, hasil wawancara bersama warga yang menjadi
korban.
[6]
Media Lokal Tabloid Jubi edisi 20 Juni 2012
[7]
Lih Laporan Daftar Korban Penembakan di Kota Jayapura dan daerah lain di Papua
sejak May-June 2012 di bawah ini.
[8]
Lihat daftar nama-nama korban penembakan oleh polisi dan kena anak panah oleh
kelompok KNPB di kampung Harapan Sentani
[9]
Mako Tabuni ditembak mati oleh Polisi Densus 88 dari Jakarta dan Polisi/preman
dari polda Papua saat beliau beli pinang dan makan bersama masyarakat di bundaran perputaran
taksi di Perumnas 3 Waena Abepura Papua sejak 14 Juni 2012 pukul 09.30 pagi
waktu Papua. Mako Tabuni tidak bergerak dan tidak membuat aksi perlawanan saat
penembakan. Ia dikagetkan karena disapa oleh seorang Preman dengan menggunakan
senjata Lars panjang dan ditembak ditempat. Saya melihat langsung ketika Mako
Tabuni disapa oleh Preman itu dan melayangkan senjata pada Mako Tabuni 2 kali
tembakan padanya kamudian 4 kali tembakan berikutnya adalah tembak di udara.
[10]
Tekege Santon. Laporan Kedua SItuasi Umum bulan May-June 2012 di Tanah Papua
[11]Akhmad. Amber
dan Komin, Studi Perubahan Ekonomi di Papua, Yogyakarta, 2005. hal xiii.
[12]
Tekege Santon. Kumpulan berbagai informasi di media cetak lokal di
Jayapura-Papua sejak 2006-2012
[13] Tekege
Santon. Media Lokal Pasifik Post di
Jayapura Papua. Opini edisi, 14 Desember 2011
[14] Ibid; Op.Cit;
[15] Ibid,
[16] Ibid,
[17] Ibid,
[18]
Lih. Daftar korban Penembakan di Honelama dan Sinakma Wamena sejak, 6 JUni 2012