Sabtu, 09 Juli 2011

PRAKTEK KEKERASAN MASIH TERJADI DI PAPUA.

MINGGU, 03 JULI 2011

Refleksi 65 Tahun Kepolisian : Praktek kekerasan Masih Terjadi di Papua.




ALDP – Satu Juli 2011, enam puluh lima tahun sudah usia instusi kepolisian dalam menjalankan tugas dan tanggung jawabnya. Dengan usia ini, institusi kepolisian harsunya lebih arif dan bijak dalam merespon setiap isu atau peristiwa yang di hadapainya. Namun, di Papua khususnya, kinerja aparat kepolisian terkesan belum menunjukkan kemajuan yang signifikan dalam pengelolaan penangan peristiwa di  Papua.

Ditahun ini, beberapa kasus kekerasan dari aparat kepolisian terhadap warga terjadi. Pada Rabu dan Kamis, 13 -14 April 2011 lalu, polisi mengeluarkan tembakan yang menewaskan Domin Auwe dan Alowisus Waine serta melukai Otniel Yobe dan Agus Pigay. Warga tidak terima kemudian membakar sebagian gedung Mapolsek dan kios milik polisi. Insiden itu berawal dari protes warga atas penyitaan uang toto gelap (togel) oleh polisi. Warga menolak dan melawan.
Terkait insiden April itu, Solidaritas Rakyat Papua Anti Militerisme (Sorakpam) berunjuk rasa digedung  Dewan Perwakilan Rakyat Papua, Rabu, 11 Mei 2011. Mereka  mendesak kepala kepolisian Republik Indonesia di Jakarta, Jenderal Polisi Timur Pradopo, segera memecat dua anggota polisi yang menembak mati dua warga sipil di Moenemani. “Kapolri segera pecat dua anggota polisi yang sudah menembak mati dua warga sipil di Moenemani,” teriak Ely Petege, penanggung jawab massa demo saat menyampaikan orasi politiknya, ketika itu.

Solidaritas ini juga mendesak Kepala Kepolisian Daerah Papua, Inspektur Jenderal Polisi Bekto Suprapto segera bertanggung jawab atas kasus tersebut. Bekto diminta segera memproses dua orang anggotanya sesuai hukum yang berlaku. “Dua orang anggota ini harus diproses dan diadili dalam sidang. Kasus ini harus diusut sampai tuntas,” tegas Petege.

Terkait gejolak itu, sedikitnya satu peleton pasukan dari Polda Papua dikirim ke Kabupaten Dogiai, Papua, untuk mengamankan situasi di kampung Moenamani. Pasukan itu dikirim ke Moenami pascapenembakan saat razia togel dan miras pada Rabu 13 April 2011. "Satu peleton itu, kami kirim untuk mem-backup anggota yang ada di sana," ujar Kapolda Papua Irjen Pol Bekto Suprapto di Jayapura, Senin, 18 April 2011.

Kapolda menambahkan, situasi Moenamani sudah aman dan kondusif, warga telah melakukan aktifitasnya seperti biasa. Namun, tugas Polisi sebagai pemelihara keamanan dan ketertiban masyarakat merupakan tugas utama, sehingga penambahan satu peleton pasukan di wilayah tersebut dilakukan. Konon, penembakan itu diduga dibeking oleh  Kapolsek Moenemani, AKP Mardi Marpaung. Kapolda mengatakan, terkait itu, pihaknya  akan melakukan pemeriksaan terlebih dulu kepada yang bersangkutan.

Komnas HAM Perwakilan Papua sangat menyayangkan kasus penembakan terhadap warga sipil di Moanemani, ibukota Kabupaten Dogiyai, Rabu dan Kamis (13-14/4) lalu. Menyikapi tragedi berdarah tersebut, Wakil Ketua Komnas HAM Perwakilan Papua, Matius Murib, Jumat (15/4), mengingatkan aparat keamanan agar senantiasa mengedepankan pendekatan persuasif dalam menangani suatu persoalan.

Matius mengatakan, aparat seharusnya memahami karakter dan kultur budaya orang asli Papua. Pendekatannya harus persuasif, bukan dengan cara kekerasan, pemaksaan, penyiksaan dan diakhiri dengan pembunuhan. Ia menegaskan, “Orang asli Papua menjadi korban dengan berbagai alasan. Lantas, mengapa polisi dengan begitu mudah memakai senjata api menembak mati warga sipil? Semua warga punya hak yang sama untuk hidup. Kematian harus atas kehendak Tuhan!.”

Anggota Majelis Rakyat Papua (MRP) Periode 2011-2016, Yakobus Dumupa, angkat bicara menanggapi kekerasan antara warga masyarakat di Kabupaten Dogiyai dan aparat gabungan TNI/PolriI yang terjadi di Moenemani, Kabupaten Dogiyai, beberapa waktu lalu. “Saya menyesalkan aksi kekerasan yang mengakibatkan terbunuhnya dua orang warga, terlukanya beberapa anggota polisi dan kerusakan terhadap sejumlah kios, pasar dan rumah ibadah,”  katanya.  Menurut Yakobus, tindakan tersebut seharusnya tidak terjadi jika sebelumnya tidak ada permainan judi Togel (Toto Gelap) yang disinyalir didalangi oleh aparat polisi dari Polsek Moenenami dan maraknya aksi mabuk-mabukan di Moenemani.

Meski, tuntutan demi tuntutan datang dari warga dan instansi terkait atas peristiwa naas  itu, namun polisi  tak serius menuntaskan kasus itu. Terkesan ada pembiaran terhadap dua warga yang ditembak. Tak ada upaya otopsi yang dilakukan oleh aparat keamanan saat kejadian.  Sebaliknya, aparat kepolisian yang dimandatkan bertugas untuk  mengayomi masyarakat malah meresahkan.

Ironis, kurang lebih sebulan kemudian, setelah insiden berdarah itu pecah, pada Senin, 13 Mei 2011, aparat kepolisian Moenemi baru berupaya menggali kuburan kedua warga yang tertembak. Walaupun ada sikap penolakan dari warga setempat, namun polisi tetap bersikeras untuk melanjutkan penggalian dan pembongkaran kuburan tersebut dengan alasan mencari proyektil peluru dalam mayat dan kepentingan otopsi.  Pihak keluarga korban, Markus Waine, menyatakan, kegiatan otopsi itu harus bisa mengungkap pelaku penembakan yang menewaskan dua pemuda dan melukai beberapa orang di Moanemani, Kabupaten Dogiyai.

“Polisi belah mayat untuk cari peluru, tapi apapun alasannya, kami mendesak polisi harus usut sampai para pelaku dipecat dan dihukum,” ujarnya.  Dikatakan, masyarakat khawatir karena otopsi itu upaya pengalihan isu, sebab penembakan terjadi di tengah kerumuman, mestinya tidak perlu diotopsi. “Peluru itu keluar dari senjata milik polisi. Jadi, otopsi untuk apa, tidak jelas. Tapi, kami tuntut polisi harus menghukum para penembak itu,” tegas Markus.

Kapolres Nabire, AKBP Muhammad Rois berjanji akan mengusut tuntas kasus penembakan di Moanemani. Khusus otopsi yang dilakukan selama dua jam, kata Kapolres Nabire, sudah sesuai prosedur dalam proses penyidikan suatu kasus. “Tidak ada maksud lain,” katanya. Pihak Polres Nabire dibantu tim penyidik Polda Papua, imbuh Rois, masih mendalami kasus yang terjadi sebulan lalu itu. Saat otopsi mayat dua pemuda itu, pihaknya tidak menemukan proyetil peluru.
Walaupun penuntutan dari warga dan instansi yang berwenang serta upaya penggalian itu, namun sampai saat ini perkara itu tenggelam dimakan waktu. Hasil otopsi tak dipulikasikan kepada khayalak umum. Tak hanya tragedi tersebut, sejumlah peristiwa lain yang menimpa warga jelata juga tak diusut oleh polisi hingga tuntas. Diantaranya, kerusuhan antara warga pegunungan Papua dan warga Bugis disekitar jalan baru Abepura, Sabtu, 28 Mei 2011. Empat warga sipil jadi korban dalam kejadian tersebut. Selanjutnya, pada 2010, warga Manokwari dan petugas Brimob bentrok. Bentrokan itu mengakibatkan satu warga atas nama Septinus Kwan (28) tewas tertembak dari peluru panas yang dikeluarkan aparat keamanan. Penembakan terhadap Septinus terjadi sejak 17 September 2010.

Kemudian pada November dan Desember 2010 hingga Januari 2011, seorang tahanan wanita  diminta melakukan oral seks oleh tiga oknum polisi masing-masing berinisial Briptu C, Bripda S dan Brippol A. Peristiwa itu terjadi di dalam ruang tahanan Negara Polres Kota Jayapura, saat ketiganya bertugas menjaga tahanan. Kasus tersebut terkuak sejak Januari 2011. Selanjutnya, pembunuhan misterius terhadap satu orang wartawan di Jayapura yakni Ardiasnyah Matrais, wartawan Tabloid Jubi yang ditemukan tewas tenggelam di Kali Maro, Gudang Arang, di Merauke, Papua pada tanggal 30 Juli 2010.

Beberapa kasus di atas,  mewakili segudang kasus lainnya yang menimpa warga. Disayangkan, tak satupunpenyelesaian kasusnya tuntas. Janji aparat berseragam cokelat ini untuk menangkap pelaku dibalik segudang kasus itu pun tak kunjung memberikan  harapanTak hanya itu, tindak lanjut atas setiap kejadian itu, tak pernah diketahui oleh masyarakat umum. Satu persatu  tenggelam ditelan masa.  

Terkait peringatan hari ulang tahun Bhayangkara ke-65 yang jatuh pada 1 Juli 2011, Indonesian The Human Right Monitor (Imparsial) di Jakarta menilai, kepolisian di Papua punya banyak pekerjaan rumah (PR) yang harus diselesaikan. Lembaga itu menyebut, sampai saat ini kepolisian tak serius menuntaskan setumpuk gejolak yang terjadi di wilayah paling timur Indonesia ini.

“Ada banyak PR yang harus dikerjakan oleh Polda Papua. Banyak kasus masih mengganjal. Sejumlah kasus tak pernah diselesaikan sampai tuntas,” kata Direktur Eksekutif Imparsial Jakarta, Poengki Indarti saat dikonfirmasi.  Poengky mengatakan, di Papua, banyak kasus tak pernah diusut tuntas. Pelaku dibalik perkara itu tak ditangkap dan diproses sesuai hukum. Kebanyakan diantaranya, tenggelam dimakan waktu. “Banyak kejadian. Tapi, kelihatannya tenggelam. Tidak diproses sampai tuntas,” tuturnya.

Seharusnya, kepolisian sadar dan mereformasi kinerjanya sesuai dengan Inpres Nomor 2 Tahun 1999. Dari data yang diperoleh, pembahasan reformasi Polri (Kepolisian Republik Indonesia) merujuk pada momentum dipisahkannya Polri secara kelembagaan dari TNI (ABRI), pada April 1999 melalui instruksi Presiden (Inpres) Nomor 2 Tahun 1999 tentang langkah-langkah kebijakan dalam rangka pemisahan Polri dan ABRI.

Kebijakan tersebut kemudian diikuti dengan dikeluarkannya kebijakan lain berupa TAP MPR No.VI Tahun 2000 tentang pemisahan Polri dan TNI, dan TAP MPR No.VII Tahun 2000 soal peran Polri dan TNI. Kebijakan ini mengakhiri status Polri dibawah komando ABRI selama masa orde baru. Dengan pemisahan struktur organisasi ini, aparat kepolisian diharapkan tidak lagi tampil dalam performance dan watak yang militeristik, dan dapat bekerja sebagai aparat kepolisian sipil secara profesional.

Kalangan pemerhati reformasi kepolisian menggarisbawahi bahwa pemisahan (kemandirian) Polri dan TNI bukan merupakan tujuan, melainkan sebagai langkah dimulainnya reformasi Polri. Tujuan reformasi kepolisian adalah membangun kepolisian sipil yang professional dan akuntabel dalam melayani masyarakat sesuai dengan norma-norma demokrasi, menghormati HAM dan hukum internasional lainnya.

Kata sipil dalam istilah polisi sipil mengandung beberapa pengertian. Diantarannya, polisi sipil menghormati hak-hak sipil yakni masyarakat demokratis membutuhkan polisi sipil yang mampu berperan sebagai pengawal nilai-nilai sipil. Polisi sipil harus mengedepankan pendekatan kemanusiaan. Reformasi Polri merupakan bagian dari reformasi sektor keamanan yang juga memiliki jalinan independensi dengan reformasi disektor lain.
Kinerja kepolisian juga perlu mengacu pada Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002 tentang kepolisian. UU ini lahir berdasarkan beberapa pertimbangan. Diantaranya, keamanan dalam negeri merupakan syarat utama mendukung terwujudnya masyarakat madani yang adil, makmur, dan beradab berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. 

Pemeliharaan keamanan dalam negeri melalui upaya penyelenggaraan fungsi Kepolisian yang meliputi pemeliharaan keamanan dan ketertiban masyarakat, penegakan hukum, perlindungan, pengayoman, dan pelayanan kepada masyarakat dilakukan oleh Kepolisian Negara Republik Indonesia selaku alat negara yang dibantu oleh masyarakat dengan menjunjung tinggi hak asasi manusia.  Selamat Hut Bhayangkara semoga tahun ini kinerja kepolisan jauh lebih baik (ALDP)

PDJ PAPUA: BENARKAH POSISINYA DITENGAH?

SABTU, 09 JULI 2011

Jaringan Damai Papua(JDP), Benarkah posisinya di ‘tengah – tengah?’




ALDP- Jaringan Damai Papua(JDP) baru saja menyelenggarakan Konferensi Perdamaian tanah Papua (KPP) tanggal 5,6 dan 7 Juli 2011.  KPP sempat mengalami penundaan selama 2 kali dari yang direncanakan akhir Mei dan pertengahan Juni 2011. Konferensi ini diharapkan menghasilkan rumusan mengenai  Permasalahan, konsep, ciri dan indikator Papua tanah Damai. Setiap harinya Konferensi tidak kurang dihadiri 600-800 orang terdiri dari sekitar 200 peserta yang datang dari wilayah – wilayah se Papua. Mereka terutama yang telah mengikuti Konsultasi Publik Dialog Jakarta Papua JDP di 19 kabupaten kota sebelumnya dengan komposisi perwakilan adat, perempuan, agama dan pemuda.

Selain itu dihadiri oleh para undangan dan pengamat yang berasal dari komponen paguyuban, akademisi, mahasiswa, lembaga keagamaan, pebisnis, investor serta jurnalis, petugas medis dan keamanan dari Dewan Adat Papua. Ada juga pengamat yang datang dari luar Papua, terlihat Letjen(Purn)Bambang Darmono, Prof Ikrar Nusa Bhakti, Prof.Indria Samego, Dr.Elga Sarpaung dan Dr.Richard Chauvel dari Victoria University,para peneliti dan DPD RI dengan setia mengikuti setiap sesi. Pihak DPRP dan DPR PB juga hadir. Secara khusus panitia juga memberikan undangan sebagai pengamat dari pihak KODAM XVII Cenderawasih dan Polda Papua.

Sebelum melaksanakan KPP, panitia yang semuanya merupakan anggota JDP telah melakukan berbagai persiapan. Meski awalnya terasa sulit terutama untuk melakukan komunikasi dengan pihak pemerintah terutama pemerintah daerah. Namun akhirnya panitia bertemu dengan Pangdam, Kapolda dan Gubernur.
Hal yang paling menarik adalah dengan kehadiran Menkopolhukam RI yang datang secara khusus sebagai keynote speaker pada pembukaan KPP. Dalam undangan JDP menyebutkan bahwa keynote speakernya adalah wakil presiden RI,”kita tahu,wapres yang diberikan tugas khusus mengenai masalah Papua,entah siapa yang mau ditunjuk Wapres,yang penting mewakili pemerintah,’ demikian penjelasan Koordinator JDP,Pastor Dr. Neles Tebay,Pr. Beberapa “friends of dialogue” demikian Dr. Muridan Satrio Widjojo ,koordinator JDP Jakarta menyebut orang – orang di Jakarta yang turut mendukung dialog, nampaknya turut menyakinkan pemerintah melalui Menkopolhukam untuk menghadiri KPP.

Dialog diawali dengan ibadah singkat, tidak ada laporan dari Panitia, kedua koordinator JDP : Pator Dr.Neles Tebay,Pr dan Dr.Muridan Satrio Widjojo hadir di mimbar, menyampaikan ucapan terima kasih dan maksud diselenggarakannya KPP ,kemudian membuka KPP dengan memukul tifa. Setelah itu, Menkopolhukam menyampaikan pidatonya. Kemudian Gubernur,Pangdam dan Kapolda menyampaikan konsep Papua tanah Damai dalam perspektif pemerintah daerah.Sesi selanjutnya pandangan Papua tanah damai dalam perspektif agama dan budaya. Sesi hari pertama, diakhiri dengan presentasi JDP mengenai hasil konsultasi publik yang telah dilakukan baik di kalangan papua pada 19 wilayah maupun untuk kalangan komunitas strategis(pendatang) di 6 wilayah.

Kehadiran Menkopolhukam RI, gubernur, pangdam dan kapolda di forum rakyat papua seperti di KPP merupakan moment yang sangat langka sebab dibanyak peristiwa yang melibatkan orang Papua,  para petinggi dari Jakarta maupun Papua seringkali menyampaikan alasan untuk tidak hadir. Maka dibagian ini, JDP telah melakukan satu langkah maju untuk membangun komunikasi diantara berbagai pihak. ”Ketika Menkopolhukam berpidato maupun penjabat pemerintah daerah, peserta mendengarkan dengan tenang, tidak ada interupsi ataupun teriakan -teriakan, semua berlangsung dengan baik,ini suatu langkah baik,’ ujar Dr.Muridan Satrio Widjojo. Meski saat pembukaan sempat diwarnai demo di luar gedung dan sebelumnya sempat muncul selebaran- selebaran maupun konferensi pers yang tidak setuju dengan pelaksanaan KPP.
Pada hari kedua, diawali dengan ibadah kemudian pembagian komisi-komisi untuk melakukan pembahasan dalam 6 isu : Komisi I membahas bidang politik, Komisi II bidang ekonomi dan lingkungan,Komisi III bidang Sosial dan Budaya,Komisi IV bidang keamanan,Komisi V bidang Hukum dan HAM dan Komisi VI  mengenai Dialog.Diskusi di komisi difasilitasi oleh anggota JDP baik anggota JDP dari Papua maupun dari Jakarta dan fasilitator lainnya. Berlangsung hingga siang hari hingga pleno hasil komisi pada hari kedua hanya berhasil menyelesaikan presentasi dari 2 Komisi yakni Komisi Politik dan Komisi Keamanan. Sebagian besar peserta menerima presentasi Komisi, di bagian Komisi politik yang mencuat seperti perkiraan banyak orang yakni masalah penyelesaian status politik Papua.Di komisi Keamanan yang mendapat sorotan besar adalah masalah reformasi sektor keamanan.

Setelah dibuka dengan ibadah pada hari ketiga,presentasi komisi dilanjutkan,diawali dengan Komisi III Sosial budaya,Komisi II Ekonomi dan Lingkungan,Komisi V Hukum dan HAM dan Komisi VI Mengenai Dialog.Tidak banyak catatan yang ditambahkan selain mengenai Konservasi hutan, politisasi lembaga adat dan lembaga keagamaan oleh pemerintah. Di bagian hukum dan HAM peserta menyoroti  sikap represif negara serta pentingnya pemerintah meminta maaf atas kasus pelanggaran HAM yang telah terjadi.

Yang paling menarik adalah ketika Komisi VI mengenai dialog menyampaikan presentasinya.Untuk mendiator individu yang diusulkan adalah Coffi Annan dan Eni Faleomavega, sedangkan sebagai badan Internasional diusulkan PBB, Melanesian Spearhead Group dan Crisis Management International. Kemudian atas nama negara ada Amerika Serikat, Vanuatu, Ghana, Cina, Inggris, Belgia, Swiss dan China dengan ciri-ciri : Netral, Imparsial dan pihak luar (luar Papua dan Luar Indonesia).Untuk fasilitator diusulkan lembaga internasional dan negara  Australia,Afrika Selatan,Inggris,Amerika Serikat,New Zealand dan China. Sedangkan untuk lokasi disebutkan lokasi netral di luar Indonesia.

Juru runding disebut 5 orang dengan menyebutkan 17 kriteria,antara lain : memiliki hati nurani dan ideologi Papua merdeka ;  memahami proses dan sejarah Papua,berasal dari salah satu organisasi politik perlawanan rakyat bangsa Papua dan atau individu yang direkomendasikan oleh organisasi tersebut ; diterima oleh sebagian besar organisasi politik perlawanan Papua Barat dan rakyat bangsa Papua barat ; memiliki jiwa nasionalisme Papua ; memiliki integritas dan loyalitas terhadap upaya-upaya rekonsiliasai dan konsolidasi revolusi Papua Barat ; mampu dan bersedia bekerjasama dalam tim negosiasi Papua Barat dan tim juru runding terdiri atas laki-laki dan perempuan dengan proporsi yang seimbang.Kriteria lainnya adalah juru runding bukan pemimpin tapi mendapat mandat dari pempimpin.

Selanjutnya pada Rekomendasi Komisi VI menyebutkan 1).Forum atau Komisi ini hanya memberikan input kepada pihak pelaksana konferensi untuk memperkaya. Selanjutnya tim pelaksana konferensi(JDP) akan melakukan assesment yang lebih intensif dalam membuat penentuan dan keputusan.2). Dalam membuat assesment, paling tidak ada pertimbangan tentang keberpihakan kepada rakyat bangsa Papua dan 3).Sebelum pelaksanaan dialog, rakyat Papua dan komponen-komponen perjuangan dihimbau agar segera bersatu memilih pempimpin nasional bangsa Papua.

Beberapa peserta kemudian memberikan tanggapan terhadap hasil kerja Komisi VI.Misalnya seorang perempuan dari pengunungan maju ke depan dengan memegang selembar kertas, perempuan tersebut berniat akan membacakan nama-nama juru runding yang sudah ada dalam genggamannya namun dicegah oleh beberapa orang. Di sisi yang lain ada pertanyaan –pertanyaan substantif yang muncul seperti : Jika juru runding bukan pempimpin, maka siapa pemimpin orang Papua?, Kita perlu melakukan antisipasi jika dialog gagal dan bagaimana kita mendesak pemerintah untuk segera melakukan dialog dengan rakyat Papua?. “itu menjadi pekerjaan kita bersama untuk merumuskannya  di tempat yang lain”, ujar Markus Haluk dari meja pimpinan sidang. Markus Haluk, Anum Siregar, Dominggus Pigay,Pendeta Ketrina Yabansabra dan Haji Ahmad Waros Gebze adalah 5 orang pimpinan sidang KPP.

Agenda selanjutnya adalah Penyampaian hasil kerja dari tim perumus. Hasil ini dirumuskan dari hasil kerja Komisi I,II,III,IV dan V.Rumusan ini diharapkan menawarkan satu langkah maju untuk mulai keluar dari hasil – hasil diskusi yang cenderung berfokus pada mengidentifikasikan masalah saja. Dalam rumusan disampaikan sejumlah indikator Papua tanah damai dari bidang politik, Ekonomi dan Lingkungan,Sosial Budaya,Keamanan dan Hukum dan HAM. Di bidang politik : Orang asli Papua merasa aman,tentram dan sejahtera hidup diatas tanahnya serta mempunyai hubungan yang baik dengan sesama,alamnya dan tuhannya ; Tidak ada lagi stigma separatis; perbedaan pandangan politik tentang status politik papua telah diselesaikan ; orang asli Papua selalu dilibatkan dalam kesepakatan yang berkaitan dengan kepentingan dan masa depan rakyat Papua.

Di bidang ekonomi dan lingkungan antara lain menyebutkan  : Seluruh tanah ulayat oang asli Papua telah dipetakan dengan baik ;pengelolaan SDA dilakukan dengan cara – cara yang memperhatikan kelestarian alam ; menghargai kearifan lokal dan memberikan manfaat yang sebesar-besarnya untuk orang asli Papua ;  perusahaan yang merusak lingkungan dan merugikan pemilik tanah ulayat diberikan sanksi hukum dan administratif  dan Pemberdayaan orang asli Papua diberbagai sektor ekonomi dapat dilakukan melalui regulasi yang berpihak ada orang asli Papua.

Di bidang sosial budaya,antara lain berisi  :Hak – hak dasar orang asli Ppaua termasuk adat istiadat dan norma-norma diakui dan dihargai ; kebijakan yang mengarah pada depopulasi orang asli Papua seperti program KB yang membatasi kelahiran ahrus dihentikan ; kualitas pendidikan terus ditingkatkan dengan kurikulum yang kontekstual serta pengelolaan dana pendidikan yang sesuai sasaran dan tujuan , diskriminasi terhadap penderita HIV dan Aids diakhiri.

Di bidang  keamanan ,antara lain menyebutkan : Aparat keamanan dalam menjalankan tugasnya secara profesional dan menghormati HAM demi menjamin rasa aman bagi orang asli Papua ; pos-pos militer hanya didirikan di daerah perbatasan antara negara yang bukan merupakan pemukiman penduduk ; pengurangan pasukan non organik TNI dan Polri di seluruh tanah Papua ;Operasi intelejen yang intimidatif dan tidak memberikan rasa aman dihentikan ; TNI dan POLRI dilarang berbisnis dan berpolitik serta diberikan sanksi hukum yang tegas bagi yang melanggar  dan pelarangan aparat keamanan yang bekerja sebagai ajudan atau tenaga keamanan bagi pejabat sipil.

Di bidang Hukum dan HAM, antara lain menyebutkan : Orang asli Papua bebas berekspresi,berpendapat dan berkumpul ; kebijakan yang menghambat kebebasan berekspresi, berpendapat dan berkumpul sudah diakhiri , kekerasan negara terhadap orang asliPapua termasuk perempuan dan anak sudah diakhiri ; pelaku kekerasan negara diadili dan dihukum sesuai dengan rasa keadilan orang asli Papua dan korban dan  pengadilan HAM didirikan di Papua.

Setelah penyampaian Indikator Papua Tanah Damai,acara dilanjutkan dengan pembacaaan deklarasi yang dilakukan oleh koordinator JDP di Papua ,Dr.Pastor Neles Tebay yang didampingi oleh koordinator JDP Jakarta Dr. Muridan Satrio Widjojo  dan pimpinan sidang.
Reaksi berbagai pihak terhadap Deklarasi tersebut sangat beragam : Mengejutkan ; seperti per yang melonjak tinggi; diskriminatif ; berbeda dengan kampanye JDP sebelumnya dan ada juga yang mengatakan hal itu biasa saja dan sudah dapat diduga sebelumnya hanya ada beberapa yang sepertinya tidak taktis dan lain sebagainya. Sesungguhnya mengejutkan, sebab pertama sebagai suatu deklarasi terlalu diisi dengan hal – hal tehnis yang sebenarnya sudah menjadi bagian dari hasil  komisi dan menjadi bagian lain dari laporan pelaksanaan kegiatan.

Kedua, terasa aneh sebab deklarasi tersebut tidak ditandatangani oleh pimpinan sidang, koordinator JDP ataupun bagian lain dari pelaksana KPP. Bahkan yang menandatangi seolah orang-orang tertentu yang sudah dipilih. Majelis Muslim Papua (MMP) meski organisasinya disebutkan dalam Deklarasi tersebut, menyatakan tidak turut di dalam Deklarasi. Timbul pertanyaan sebenarnya siapa pemilik deklarasi tersebut? Sebab Deklarasi semestinya mengakomodir pandangan berbagai pihak yang merupakan peserta KPP dan dilakukan secara terbuka.

Ketiga, ada beberapa kriteria dari Juru runding yang kesannya tidak taktis apalagi dengan secara tegas menyebutkan 5 orang sebagai juru runding.Jika saja isi Deklarasi hanya sampai pada kriteria juru runding tanpa menyebut nama – nama hal ini akan menjadi ruang konsolidasi dan refleksi tajam dari berbagai komponen faksi di Papua untuk saling membaca dan menentukan posisi dan kesediaan diantara mereka. Akan tetapi dengan menyebut 5 nama, dikhawatirkan akan memunculkan reaksi negatif dari faksi-faksi atau tokoh Papua lainnya. Di bagian lain, ada pertanyaan apakah 5 orang yang disebutkan itu memang sudah menyetujui sebelumnya?.Setuju bahwa posisi mereka hanya sebagai Juru runding dan bukan pemimpin?.Apakah  amanat ini dapat dijalankan secara tepat dan aman diantara mereka? sementara kita tidak tahu kapan dialog dilakukan?.

Keempat, fungsi JDP yang selama ini sebagai fasilitator kemudian dipertanyakan. Bukankah selama ini JDP menyebut dirinya sebagai ‘ditengah-tengah’ dan hanya bertugas ‘buka kebun’, membangun pemahaman dan dukungan mengenai tawaran konsep dialog Jakarta Papua. JDP tidak boleh mengeluarkan pandangan dan bertindak yang memberi kesan seolah sebagai penentu hal – hal yang sifatnya subtantif untuk pelaksanaan dialog ataupun membawa pesan pihak –pihak tertentu saja.

”JDP sebagai jembatan untuk berbagai pihak agar dapat membangun komunikasi, sebagai jembatan maka JDP siap untuk diinjak-injak”, penjelasan Dr.Muridan Satrio Widjojo. Menurutnya ini merupakan langkah yang masih sangat awal namun sudah cukup baik karena di forum yang sama pemerintah Indonesia telah menyampaikan pandangannya demikian juga dari rakyat Papua. ”Sekarang semua pihak masih bicara soal posisi, Deklarasi tersebut adalah posisi yang ditunjukan oleh orang Papua, dalam dialog memang diawali dengan bicara posisi setelah itu orang akan bicara kepentingan, selalu ada agenda yang sangat kuat tapi juga ada yang ‘soft’. Pemerintah bicara NKRI harga mati dan Orang Papua akan bicara ‘merdeka’ harga mati, sama-sama harga mati, tapi mari kita cari yang harga hidup”.tambahnya.

Dalam kata sambutan penutupan KPP, Koordinator JDP mengatakan : untuk menemukan jalan keluar dari persoalan di papua ada 5 kelompok  yang harus dilibatkan yakni Orang Papua di Indonesia ; Penduduk Papua di tanah Papua(rakyat, pemerintah dan swasta) ; Orang Papua yang hidup di luar negeri , Tentara Pembebasan Nasional/Organisasi Papua Merdeka(TPN/OPM) dan Pemerintah Pusat di Jakarta.Ke lima kelompok ini mesti terlibat dan dilibatkan hanya dengan melibatkan lima kelompok ini maka perjuangan Papua Tanah damai akan menjadi perjuangan bersama.

Maka dengan penjelasan tersebut JDP harus tetap berjalan sesuai komitmen awalnya, membuka ruang untuk memfasilitasi berbagai pihak agar tidak muncul kecurigaan terhadap JDP bahwa JDP hanya berdiri mewakili kepentingan pihak tertentu. Jika Deklarasi dalam KPP kali ini menunjukkan posisi orang asli Papua, sejalan dengan itu JDP semestinya juga membuka ruang untuk memfasilitasi berbagai kepentingan pihak lain yang ada di Papua termasuk pihak non Papua.

KPP dan Deklarasi seolah menunjukkan dialog Jakarta Papua sudah dekat, ekspektasi yang ditunjukan karena kehadiran berbagai komponen rakyat Papua serta pemerintah pusat dan daerah. KPP dan Deklarasi bisa juga menjadikan titik balik yang membuat gagasan dialog menjadi jauh kembali. Meminjam istilah Sekjend PDP Thaha Alhamid ‘ jendela – jendela kecil yang bisa dirombak menjadi pintu’ ,mungkin akan tertutup dan akan ada tambahan gembok dimana –  mana. Kini, semua pihak diajak untuk merekonstruksi ulang posisi dan kepentingannya di dalam dialog Jakarta Papua. Siapa saja termasuk berbagai negara dan lembaga internasional.

Sebagai gagasan, dialog telah lahir dalam keputusan Konggress Papua tahun 2000 dan Ketetapan MPR RI tahun 2000. Gagasan dialog bergulir kembali dalam buku Papua Road Map dan Buku pastor Neles Tebay kemudian melahirkan JDP. Yang terpenting dialog mesti dipandang sebagai misi bersama untuk menyelesaikan konflik di tanah Papua menjadi Papua tanah damai . Dimana saja dengan payung organisasi atau institusi apa saja atau mungkin secara individu. Dialog semestinya terus dikampanyekan, dialog dalam arti luas : terus berdialog untuk kepentingan apa saja;  mulailah sesuatu dengan berdialog untuk kepentingan apa saja :  dialog yang sejajar, bermartabat dan mengakomodir kepentingan semua orang.  
Adapun pertanyaan – pertanyaan kunci seperti : siapa pemimpin Papua, bagaimana jika dialog gagal dilaksanakan, bagaimana cara mendesak pemerintah untuk mendukung dialog dan bagaimana untuk memfasilitasi kepentingan semua orang di Papua tentulah mesti dijawab bersama.(ALDP)

Jumat, 08 Juli 2011

SEHARI, FREEPORT INDONESIA RUGI Rp 800 MILYAR.

Jumat, 08 Juli 2011 01:04
Sehari, PT Freeport Rugi Rp 800 Miliar ?
DPRD-Pemda Fasilitasi Pertemuan Manajemen FI-SPSI

ribuan karyawan masih memadati pintu masuk cek poin Kuala Kencana, Kamis (7/7/2011).

ribuan karyawan masih memadati pintu masuk cek poin Kuala Kencana, Kamis (7/7/2011).
Mimika- Hingga hari keempat, ribuan Karyawan PT Freeport Indonesia, masih melakukan aksi mogok. Bahkan belum ada tanda-tanda adanya penyelesaian terkait tuntutan para karyawan tersebut. Dengan tidak beroperasinya perusahaan tambang raksasa ini, sudah dapat dipastikan menimbulkan kerugian yang tidak sedikit, baik PT Freeport sendiri maupun Pemda Mimika.
Memang belum ada data resmi dari pihak Manajemen Freeport soal total kerugian tersebut, namun bersasarkan informasi yang diterima pihak DPRD setempat, jika dalam sehari Perusahaan tidak beroperasi, maka kerugian yang timbul sebesar Rp 800 miliar. Hal itu seperti diungkapkan Wakil Ketua DPRD Mimika, Karel Gwijangge kepada wartawan di Mimika, Kamis (7/7), kemarin.
Menut Karel, dengan mandeknya operasional perusahaan akan sangat merugikan perusahaan dan daerah. Sebab DPRD mendengar laporan satu hari kerugian sebanyak Rp 800 miliar. “ Bayangkan angka yang begitu besar baru kita tahu. Angka sebesar ini mestinya manajemen PTFI harus menjelaskan secara terbuka kepada masyarakat di seluruh Indonesia bahwa PTFI benar-benar perusahaan raksasa,” kata Karel. Karel juga meminta Pemda untuk mengontrol aktifitas di pasar dan sejumlah supermarket dan mall di Kabupaten Mimika karena informasi mengenai isu kenaikan gaji karyawan PTFI bisa berdampak pada kenaikan harga di pasar. Selain itu, Kadis Sostenakertrans Kabupaten Mimika, Dionisius Mameyao, SH.M.Si mengatakan DPRD Mimika bersama Pemda Mimika sudah berkoordinasi untuk mengundang pihak-pihak yang bersengketa agar dapat memberikan penjelasan sekaligus mencari jalan keluar penyelesaiannya.
Berkaitan dengan kerugian PTFI selama mogok, Dionisius mengatakan dalam pertemuan di Kuala Kencana manajemen PTFI mengakui satu hari perusahaan mengalami kerugian sebesar Rp 800 miliar. Bila mogok ini terus berlangsung dalam beberapa minggu kerugian akan bertambah besar, dan kondisi peralatan di tembagapura Portsite juga mengalami penyusutan karena tidak terawatt dalam beberapa hari ini. “ Bayangkan satu hari kerugian sebesar Rp 800 miliar hitung saja empat hari sudah rugi berapa. Dikatakan, tugas bersama mencari jalan keluar terbaik dalam rangka meminimalisir kerugian. Selain itu bila mogok terus berlanjut kerugian bertambah besar, dan bulan ini karyawan harus menerima gaji manajemen harus mencari dana untuk membayar gaji ribuan bahkan belasan ribu karyawan,” terang Dionisius.
Sebagaimana diketahui, menyikapi aksi mogok kerja ribuan karyawan PT Freeport Indonesia serta deadlock pertemuan Manajemen PTFI-PUK SP KEP SPSI PTFI untuk membahas perundingan PKB, membuat pemerintah dan DPRD Mimika harus turun tangan. Menurut rencana DPRD dan Pemda Mimika akan kembali memfasilitasi pertemuan yang akan digelar pada Jumat (8/7/2011) hari ini di ruang sidang DPRD Mimika.
“ Sektretariat DPRD Mimika telah mengirim surat ke pihak-pihak yang bersengketa. Dewan minta supaya Presdir PTFI Armando Mahler, pimpinan dan pengurus SPSI PTFI hadir dalam pertemuan tersebut, guna mencari jalan keluar sehingga karyawan bisa bekerja kembali dan operasional perusahaan bisa berjalan kembali,” kata Wakil Ketua DPRD Mimika, Karel Gwijangge, kepada wartawan di Kantor DPRD Mimika, Kamis (7/7/2011).
Karel mengatakan aksi mogok karyawan sudah tidak bisa dibendung lagi oleh siapa saja, karena semua karyawan dari Tembagapura dan Portsite sudah berkumpul di Kuala Kencana setiap hari. Siapa yang bisa jamin kalau dari hari kehari tidak ada kata sepakat baru karyawan duduk di jalan-jalan kena panas dan hujan. Ini yang harus dipikirkan baik-baik oleh manajemen PTFI,” tekan Karel.
DPRD dan Pemda mengundang untuk mendengar penjelasan dari manajemen PTFI maupun dari SPSI PTFI. Dari penjelasan itu dewan bersama pemerintah daerah akan mengeluarkan rekomendasi bagi kedua belah pihak utuk segera menyelesaikan persselisihan hubungan industrial tersebut.
Pemda dan DPRD kata Karel harus mengambil sikap tegas, karena ribuan karyawan tiap hari memadati areal Kuala Kencana itu suatu pemandangan yang kurang baik. Karena satu sisi mereka butuh perhatian dari manajemen, sisi lain mereka juga mengharapkan agar masalah ini cepat selesai.
DPRD dan Pemda akan menengahi sejumlah perselisihan yang terjadi selama ini, dan dengan tegas akan meminta para pihak untuk mematuhi kesepakatan-kesepakatan yang akan dibuat di ruangsidang DPRD Mimika. Hasil pertemuan tersebut akan disampaikan Pemda dan DPRD Mimika kepada pemerintah provinsi, pemerintah pusat melalui sejumlah kementrian dan juga ke istana Negara.
Dia juga menyoroti mogok kerja sangat menganggu aktifitas produksi di Tembagapura maupun di portsite. Betapa tidak, selama 4 hari tidak ada penggilingan konsentrat, pengiriman pengiriman konsentrat ke Porsite.

Pekerja- SPSI Desak Ingin Bertemu Pemegang Saham Freeport
Sementara itu, ribuan karyawan bersama PUK SP KEP SPSI PT Freeport Indonesia bersepakat ingin berunding langsung dengan pemilik perusahaan PT Freeport McMoran James Moffet. Keinginan tersebut disampaikan dalam pertemuan di Kuala Kencana agar Pemda Mimika bersama pemerintah pusat dapat menghadirkan pemilik perusahaan ke Timika untuk berunding dengan karyawan.
“ Hari keempat demo karyawan masih berlangsung. Sepanjang jalan dari depan cek poin Kuala Kencana hingga depan Polsek Kuala Kencana karyawan memasang tenda-tenda untuk berteduh sambil menunggu keputusan pertemuan perundigan antara SPSI dengan manajemen PTFI. Bahkan didepan pintu masuk, karyawan memasang spanduk-spanduk yang menyerukan agar manajemen segera merespon permintaan karyawan dan PUK SP KEP SPSI. Hingga hari keempat karyawan tetap berkomitmen agar Manajemen PTFI bersama pemerintah dapat menghadirkan pemilik perusahaan untuk bertemu secara langsung dengan karyawan di Kuala Kencana,” kata Kepala Dinas Sosial, Tenaga Kerja, dan Transmigrasi Kabupaten Mimika, Dionisius Mameyao, SH.M.Si kepada wartawan di kantornya.
Dionisius mengatakan pertemuan antara manajemen dengan PUK SP KEP SPSI PTFI dengan manajemen pada hari keempat belum ada kata sepakat, bahkan selalu berubah pemikiran-pemikiran dan permintaan-permintaan, termasuk meminta agar James Moffet datang menyelesaikan perselisihan antara manajemen dengan karyawan ini.
Selain itu, juru bicara PUK SP KEP SPSI PTFI Juli Parorongan dihadapan manajemen dan pemerintah daerah mengatakan dengan tidak punya itikad baik manajemen menanggapi permintaan SPSI melalui surat sebanyak 5 kali, hingga karyawan turun jalan kaki dari Tembagapura ke Timika dan menggelar aksi mogok selama 4 hari menandakan mosi tidak percaya terhadap manajemen. Ribuan karyawan tiap hari duduk berteduh di depan pintu masuk rumah tempat dimana mereka bekerja, namun pemberitaan dalam sejumlah media massa tidak sesuai dengan fakta yang terjadi di Lapangan.
Bahkan, pada hari Selasa ribuan karyawan turun dari Tembagapura tidak difasilitasi kendaraan, makanan dan minuman. “ Jujur saja minuman baru dikirim dari Timika pukul 15.48 wit sore hari, sedangkan karyawan sudah jalan dari Tembagapura sejak jam 06.00 wit pagi hari. Bayangkan karyawannya sendiri ditelantarkan, sementara manajemen melalui juru bicara katakana, manajemen fasilitasi 60 bus, makanan dan minuman itu tidak benar,” terang Juli.
Juli mengatakan pertemuan pada hari kedua, SPSI menyerahkan nasib dan masa depan karyawan kepada manajamen agar tidak ditelantarkan. Mestinya selama demo mogok manajemen tetap memberi fasilitas, makanan dan minuman, ternyata selama 4 hari karyawan cari makan dan minum sendiri.
Dengan kerendahan hati, dia meminta ada rasa kepedulian dari manajemen untuk memperhatikan karyawannya sendiri dan jangan membiarkan mereka terlantar. Wajar jika ada perselisihan antaran buruh dan manajemen, tapi tugas manajemen tetap melindungi karyawannya bukan sebaliknya membiarkan karyawannya terlantar.
Selain itu, seruan dari ribuan karyawan menolak Presiden Direktur dan Chef Excecutif Officer (CEO) PTFI, Armando Mahler untuk bertemu dan berunding dengan PUK SP KEP SPSI PTFI. Karyawan beralasan, Armando tidak peduli dengan masalan karyawan karena sejak bergulirnya aksi mogok Armandi tidak berada di luar Timika. Karyawan sependapat dengan SPSI meminta pemilik Freeport James Moffet dating menyelesaikan masalah tersebut.

Pertemuan Tanpa Kesepakatan Pemda Sarankan Para Pighak Selesaikan Secara Internal
Pertemuan Manajemen PTFI dengan SPSI PTFI yang diberlangsung sejak Selasa ( 5/7/2011) yang dihadiri Pemda Mimika dan SPSI Pusat hingga hari keempat, Kamis (7/7/2011) tanpa ada kata sepakat. Bahkan Pemda Mimika melalui, dinas Sosial , Tenaga Kerja dan Transmigrasi (Dinsostenakertrans) Kabupaten Mimika menyarankan agar kedua pihak dapat menyelesaikan kemelut hubungan industrial ini secara internal.
“ Dalam pertemuan selalu ada perubahan-perubahaan tuntutan yang mengakibatkan jalannya perundingan tidak ada kata sepakat. Selain tuntutan berunding, SPSI juga bertahan dengan permintaan agar pemilik perusahaan James Moffet datang menyelesaikan masalah ini, ini juga sulit dijawab oleh manajemen,” kata Kepala Dinas Sosial, Tenaga Kerja dan Transmigrasi (Dinsostenakertrans) Kabupaten Mimika, Dionisius Mameyao, SH.M.Si kepada wartawan di Timika.
Berkaitan dengan kebijakan manajemen yang mem-PHK 6 pengurus SPSI PTFI, Dionisius mengatakan, pihaknya telah menyarankan Manajemen PTFI untuk mencabut sanski terhadap 6 orang PUK SP-KEP SPSI, yang sudah di PHK. Dalam tawar menawar manajemen bersedia mencabut dengan tetap memberian warning 3.

Menanggapi
Hal tersebut pengurus SPSI geram dan tidak puas dengan pemberian warning 3. Namun manajemen mengacu pada pedoman PKB bahwa enam pengurus PUK SP-KEP SPSI tersebut telah melakukan tindakan mangkir, karena tidak menjalankan pekerjaan selama lima hari.
Dionisius menjelaskan dalam pertemuan tersebut manajemen menjelaskan tentang pasal mangkir sesuai Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2003 tentang ketenaga kerjaan pasal 168 mengenai mangkir, sehingga menurut manageman Freeport bahwa sanksi yang dijatuhkan kepada enam orang tersebut adalah merupakan langka yang sudah sangat bijaksana. Apalagi katanya, penjelasan manajemen bahwa dalam pedoman kerja mereka yang telah disepakati jika ada karyawan mangkir selama lima hari, harus dikenakan sanksi sesuai dengan putusan manageman.
Sehubungan dengan tindakan manejemen, dia mengakui telah menawarkan langkah terbaik agar dapat mencabut sanksi warning dari enam bulan dikurangi menjadi tiga bulan. Tawaran pemda, tetap ditolak manajemen karena pihaknya beranggapan ini bisa menjadi preseden buruk bagi manageman diwaktu mendatang.
Bahkan dengan tanggung-tanggung, SPSI mengubah tuntutan mereka sekaligus menawarkan agar selain pemilik perusahaan terlibat langsung dalam perundingan, dan manajemen PTFI berdialog langsung dengan ribuan karyawan yang tergabung dalam organisasi PUK SP KEP SPSI PT FI apa tuntutan karyawan yang sebenarnya. “ Jawaban dari karyawan itu jawaban yang lebih obyektif dan bisa menjadi sebuah keputusan dari manajemen,” terang Dionisius.
Berkaitan dengan permintaan SPSI tersebut, Dionisius menjelaskan, juru runding manajemen PTFI tidak bersedia menghadirkan pemilik perusahaan secara kolektif satu persatu, pihaknya hanya bisa menghadirkan Presdir/CEO PTFI Armando Mahler yang juga manajemen PTFI. Jawaban tersebut, mendapat tanggapan serentak dari SPSI yang menolak Armando Mahler dan tetap bersikukuh meminta pemilik saham hadir bertemu karyawan.
Melihat deadlocknya perundingan yang belum ada kata sepakat, dia menjelaskan Pemda akan memfasilitasi pertemuan yang menghadirkan kedua belah pihak untuk mencari jalan keluar terbaik sehingga karyawan dan SPSI PTFI dan manajemen bisa terima dan puas. (HDM/don/lo3)

Kamis, 07 Juli 2011

RATE OF ILLEGAL LOGGING "DECLINES" IN PAPUA-INDONESIA

Rate of illegal logging ‘declines’ in Papua

The decline in the amount of timber seized from illegal loggers indicated a decline in illegal logging.

A decrease in the amount of illegal timber seized in Papua in 2010 reflects a decline in illegal logging, an official says.
“Illegal logging has decreased in Papua after a ban was placed on logs shipped out of Papua,” said Papua Natural Resources Conservation Agency (BKSDA) head Ign. Suteja.
Suteja said that the decline in the amount of timber seized from illegal loggers indicated a decline in illegal logging.
Authorities in Papua seized 70.6 cubic meters of timber from illegal logging activities in 2010, at least one-third less than seizures in previous years.
“Illegal logging is usually widespread in Papua, but it has drastically declined recently as shown by the decrease in seized wood,” Suteja added.

PAPUA, GOVT EYE STAKES IN FREEPORT INDONESIA OF TIMIKA PAPUA-INDONESIA

Papua, Govt Eye Stakes in Freeport

Freeport-McMoRan Copper & Gold plans to sell a 9.36 percent stake in its Indonesian unit to the Papua provincial government, company spokesman Budiman Moer­dijat said in Jakarta on Thursday.
The sale of the stake in PT Freeport Indonesia is expected to be completed this year, he said.
“Freeport is in the negotiation process to sell the shares to Papua provincial government,” Budiman said.
PT Aneka Tambang, Indonesia’s second-biggest nickel producer, and the Papua government may join to buy the 9.36 percent stake in Freeport Indonesia, the Investor Daily Indonesia reported in December, citing Antam president director Alwin Syah Loebis.
The central government is also reviewing a plan to increase its stake in Freeport, said Sahala Lumban Gaol, deputy state enterprises minister in charge of mining and energy.
“The government will look thoroughly at the cost and benefits of the plan before making any decision,” Sahala said, adding that it had yet to decide how big a stake it wanted to buy.
Sahala said the government formally submitted this proposal to Freeport’s headquarters on Tuesday, and the company generally welcomed the idea. He said that with the higher stake, the government wanted to have a representative on Freeport Indonesia’s board of commissioners.
Budiman declined to comment on the central government’s proposal.
The central government owns a 9.36 percent stake in Freeport Indonesia, while Freeport-McMoRan controls the rest.
Source: Jakarta Globe

Press release: "Papua Peace Conference 5-7 July 2011 in Jayapura-Papua

Press Release: ‘Papua Peace Conference’ 5 – 7 July 2011, in Jayapura

July 5, 2011 – From 5–7 July 2011, the ‘Papua Peace Conference’ will be held in Jayapura (Papua province, Indonesia).
This high profile three-day event, organized by the Papua Peace Network (PPN) aims at clarifying the understanding of the long established concept “Papua Land of Peace”.
It also aims at discussing means and ways for Papuans and other important stakeholders to let “Papua Land of Peace” become a reality.
The Coordinating Minister for Political, Legal and Security Affairs, Djoko Suyanto, will present the views of the Indonesian Government.
Other dignitaries are also expected to share their views at the opening of the Conference.
200 indigenous Papuans from all regencies in the provinces of Papua and West Papua, representing different religions, ethnic groups, women’s groups, youth, and local organizations are expected to attend the Conference as delegates.
They all are at the forefront of working towards a peaceful Papua. In addition, 350 observers from Papua and West Papua are expected to witness the Conference.
The ‘Papua Peace Conference’ will conclude with a declaration adopted by the delegates outlining important areas to be discussed with the central government, in order to progress towards further defining the concept “Papua Land of Peace”.
Most importantly, the declaration will highlight willingness for peaceful dialogue and suggest concrete and constructive ways forward.
Background information on the PPN
The Papuan Peace Network (PPN) was established in 2010. It is co-chaired by Father Neles Tebay, a Catholic priest and human rights activist from Papua province, Indonesia, and by Dr. Muridan S. Widjojo, editor of the Papua Road Map that was published by the Indonesian Institute of Sciences (LIPI).
The PPN gathers 30 Papuan and non-Papuan leaders representing different groups in society. The PPN and its members are guided by the passionate belief in dialogue as an instrument to settle any existing differences between the central government and the Papua – / West Papua provinces.
Since its inception, it has organized a number of public consultations, through which it has managed to bring closer together large parts of the Papuan society. The PPN is committed to work towards dialogue as a means to bridge existing differences in Papua and beyond.
Source: Papua Peace Network

OPM Shoots Soldiers in Papua

OPM Shoots Soldiers in Papua

Military wing of the Free Papua Movement, also knows as OPM, shot Indonesian soldiers in Kalome village, Tingginambut district, on Tuesday evening (5/7).
State news agency Antara reported that the attack occurred as a group of Indonesian Military (TNI) officers patrolled the village.
A number of OPM members reportedly appeared and attempted to prevent them from carrying out a routine patrol.
During the shoot-out, Private 2nd Class Kadek was shot in the right arm.
As reinforcements and medical assistance arrived some time later, the group of soldiers again came under fire, leaving another two soldiers, First Sgt. Deni and Private Fauzi, with wounds to their limbs.
The soldiers have been evacuated to Mulia General Hospital in Puncak Jaya before they were transferred to Jayapura Hospital for more specialized treatment.
The last such incident in Puncak Jaya took place on June 24, when a police officer from Puncak Jaya Police Headquarters Jayapura, First Brig. Muhammad Yasin, was shot by OPM.
Source: Antara
Filed under MilitaryPapuaSeparatism

Press Release: ‘Papua Peace Conference’ 5 – 7 July 2011, in Jayapura

July 5, 2011 – From 5–7 July 2011, the ‘Papua Peace Conference’ will be held in Jayapura (Papua province, Indonesia).
This high profile three-day event, organized by the Papua Peace Network (PPN) aims at clarifying the understanding of the long established concept “Papua Land of Peace”.
It also aims at discussing means and ways for Papuans and other important stakeholders to let “Papua Land of Peace” become a reality.
The Coordinating Minister for Political, Legal and Security Affairs, Djoko Suyanto, will present the views of the Indonesian Government.
Other dignitaries are also expected to share their views at the opening of the Conference.
200 indigenous Papuans from all regencies in the provinces of Papua and West Papua, representing different religions, ethnic groups, women’s groups, youth, and local organizations are expected to attend the Conference as delegates.
They all are at the forefront of working towards a peaceful Papua. In addition, 350 observers from Papua and West Papua are expected to witness the Conference.
The ‘Papua Peace Conference’ will conclude with a declaration adopted by the delegates outlining important areas to be discussed with the central government, in order to progress towards further defining the concept “Papua Land of Peace”.
Most importantly, the declaration will highlight willingness for peaceful dialogue and suggest concrete and constructive ways forward.
Background information on the PPN
The Papuan Peace Network (PPN) was established in 2010. It is co-chaired by Father Neles Tebay, a Catholic priest and human rights activist from Papua province, Indonesia, and by Dr. Muridan S. Widjojo, editor of the Papua Road Map that was published by the Indonesian Institute of Sciences (LIPI).
The PPN gathers 30 Papuan and non-Papuan leaders representing different groups in society. The PPN and its members are guided by the passionate belief in dialogue as an instrument to settle any existing differences between the central government and the Papua – / West Papua provinces.
Since its inception, it has organized a number of public consultations, through which it has managed to bring closer together large parts of the Papuan society. The PPN is committed to work towards dialogue as a means to bridge existing differences in Papua and beyond.
Source: Papua Peace Network