Sabtu, 09 Juli 2011

PRAKTEK KEKERASAN MASIH TERJADI DI PAPUA.

MINGGU, 03 JULI 2011

Refleksi 65 Tahun Kepolisian : Praktek kekerasan Masih Terjadi di Papua.




ALDP – Satu Juli 2011, enam puluh lima tahun sudah usia instusi kepolisian dalam menjalankan tugas dan tanggung jawabnya. Dengan usia ini, institusi kepolisian harsunya lebih arif dan bijak dalam merespon setiap isu atau peristiwa yang di hadapainya. Namun, di Papua khususnya, kinerja aparat kepolisian terkesan belum menunjukkan kemajuan yang signifikan dalam pengelolaan penangan peristiwa di  Papua.

Ditahun ini, beberapa kasus kekerasan dari aparat kepolisian terhadap warga terjadi. Pada Rabu dan Kamis, 13 -14 April 2011 lalu, polisi mengeluarkan tembakan yang menewaskan Domin Auwe dan Alowisus Waine serta melukai Otniel Yobe dan Agus Pigay. Warga tidak terima kemudian membakar sebagian gedung Mapolsek dan kios milik polisi. Insiden itu berawal dari protes warga atas penyitaan uang toto gelap (togel) oleh polisi. Warga menolak dan melawan.
Terkait insiden April itu, Solidaritas Rakyat Papua Anti Militerisme (Sorakpam) berunjuk rasa digedung  Dewan Perwakilan Rakyat Papua, Rabu, 11 Mei 2011. Mereka  mendesak kepala kepolisian Republik Indonesia di Jakarta, Jenderal Polisi Timur Pradopo, segera memecat dua anggota polisi yang menembak mati dua warga sipil di Moenemani. “Kapolri segera pecat dua anggota polisi yang sudah menembak mati dua warga sipil di Moenemani,” teriak Ely Petege, penanggung jawab massa demo saat menyampaikan orasi politiknya, ketika itu.

Solidaritas ini juga mendesak Kepala Kepolisian Daerah Papua, Inspektur Jenderal Polisi Bekto Suprapto segera bertanggung jawab atas kasus tersebut. Bekto diminta segera memproses dua orang anggotanya sesuai hukum yang berlaku. “Dua orang anggota ini harus diproses dan diadili dalam sidang. Kasus ini harus diusut sampai tuntas,” tegas Petege.

Terkait gejolak itu, sedikitnya satu peleton pasukan dari Polda Papua dikirim ke Kabupaten Dogiai, Papua, untuk mengamankan situasi di kampung Moenamani. Pasukan itu dikirim ke Moenami pascapenembakan saat razia togel dan miras pada Rabu 13 April 2011. "Satu peleton itu, kami kirim untuk mem-backup anggota yang ada di sana," ujar Kapolda Papua Irjen Pol Bekto Suprapto di Jayapura, Senin, 18 April 2011.

Kapolda menambahkan, situasi Moenamani sudah aman dan kondusif, warga telah melakukan aktifitasnya seperti biasa. Namun, tugas Polisi sebagai pemelihara keamanan dan ketertiban masyarakat merupakan tugas utama, sehingga penambahan satu peleton pasukan di wilayah tersebut dilakukan. Konon, penembakan itu diduga dibeking oleh  Kapolsek Moenemani, AKP Mardi Marpaung. Kapolda mengatakan, terkait itu, pihaknya  akan melakukan pemeriksaan terlebih dulu kepada yang bersangkutan.

Komnas HAM Perwakilan Papua sangat menyayangkan kasus penembakan terhadap warga sipil di Moanemani, ibukota Kabupaten Dogiyai, Rabu dan Kamis (13-14/4) lalu. Menyikapi tragedi berdarah tersebut, Wakil Ketua Komnas HAM Perwakilan Papua, Matius Murib, Jumat (15/4), mengingatkan aparat keamanan agar senantiasa mengedepankan pendekatan persuasif dalam menangani suatu persoalan.

Matius mengatakan, aparat seharusnya memahami karakter dan kultur budaya orang asli Papua. Pendekatannya harus persuasif, bukan dengan cara kekerasan, pemaksaan, penyiksaan dan diakhiri dengan pembunuhan. Ia menegaskan, “Orang asli Papua menjadi korban dengan berbagai alasan. Lantas, mengapa polisi dengan begitu mudah memakai senjata api menembak mati warga sipil? Semua warga punya hak yang sama untuk hidup. Kematian harus atas kehendak Tuhan!.”

Anggota Majelis Rakyat Papua (MRP) Periode 2011-2016, Yakobus Dumupa, angkat bicara menanggapi kekerasan antara warga masyarakat di Kabupaten Dogiyai dan aparat gabungan TNI/PolriI yang terjadi di Moenemani, Kabupaten Dogiyai, beberapa waktu lalu. “Saya menyesalkan aksi kekerasan yang mengakibatkan terbunuhnya dua orang warga, terlukanya beberapa anggota polisi dan kerusakan terhadap sejumlah kios, pasar dan rumah ibadah,”  katanya.  Menurut Yakobus, tindakan tersebut seharusnya tidak terjadi jika sebelumnya tidak ada permainan judi Togel (Toto Gelap) yang disinyalir didalangi oleh aparat polisi dari Polsek Moenenami dan maraknya aksi mabuk-mabukan di Moenemani.

Meski, tuntutan demi tuntutan datang dari warga dan instansi terkait atas peristiwa naas  itu, namun polisi  tak serius menuntaskan kasus itu. Terkesan ada pembiaran terhadap dua warga yang ditembak. Tak ada upaya otopsi yang dilakukan oleh aparat keamanan saat kejadian.  Sebaliknya, aparat kepolisian yang dimandatkan bertugas untuk  mengayomi masyarakat malah meresahkan.

Ironis, kurang lebih sebulan kemudian, setelah insiden berdarah itu pecah, pada Senin, 13 Mei 2011, aparat kepolisian Moenemi baru berupaya menggali kuburan kedua warga yang tertembak. Walaupun ada sikap penolakan dari warga setempat, namun polisi tetap bersikeras untuk melanjutkan penggalian dan pembongkaran kuburan tersebut dengan alasan mencari proyektil peluru dalam mayat dan kepentingan otopsi.  Pihak keluarga korban, Markus Waine, menyatakan, kegiatan otopsi itu harus bisa mengungkap pelaku penembakan yang menewaskan dua pemuda dan melukai beberapa orang di Moanemani, Kabupaten Dogiyai.

“Polisi belah mayat untuk cari peluru, tapi apapun alasannya, kami mendesak polisi harus usut sampai para pelaku dipecat dan dihukum,” ujarnya.  Dikatakan, masyarakat khawatir karena otopsi itu upaya pengalihan isu, sebab penembakan terjadi di tengah kerumuman, mestinya tidak perlu diotopsi. “Peluru itu keluar dari senjata milik polisi. Jadi, otopsi untuk apa, tidak jelas. Tapi, kami tuntut polisi harus menghukum para penembak itu,” tegas Markus.

Kapolres Nabire, AKBP Muhammad Rois berjanji akan mengusut tuntas kasus penembakan di Moanemani. Khusus otopsi yang dilakukan selama dua jam, kata Kapolres Nabire, sudah sesuai prosedur dalam proses penyidikan suatu kasus. “Tidak ada maksud lain,” katanya. Pihak Polres Nabire dibantu tim penyidik Polda Papua, imbuh Rois, masih mendalami kasus yang terjadi sebulan lalu itu. Saat otopsi mayat dua pemuda itu, pihaknya tidak menemukan proyetil peluru.
Walaupun penuntutan dari warga dan instansi yang berwenang serta upaya penggalian itu, namun sampai saat ini perkara itu tenggelam dimakan waktu. Hasil otopsi tak dipulikasikan kepada khayalak umum. Tak hanya tragedi tersebut, sejumlah peristiwa lain yang menimpa warga jelata juga tak diusut oleh polisi hingga tuntas. Diantaranya, kerusuhan antara warga pegunungan Papua dan warga Bugis disekitar jalan baru Abepura, Sabtu, 28 Mei 2011. Empat warga sipil jadi korban dalam kejadian tersebut. Selanjutnya, pada 2010, warga Manokwari dan petugas Brimob bentrok. Bentrokan itu mengakibatkan satu warga atas nama Septinus Kwan (28) tewas tertembak dari peluru panas yang dikeluarkan aparat keamanan. Penembakan terhadap Septinus terjadi sejak 17 September 2010.

Kemudian pada November dan Desember 2010 hingga Januari 2011, seorang tahanan wanita  diminta melakukan oral seks oleh tiga oknum polisi masing-masing berinisial Briptu C, Bripda S dan Brippol A. Peristiwa itu terjadi di dalam ruang tahanan Negara Polres Kota Jayapura, saat ketiganya bertugas menjaga tahanan. Kasus tersebut terkuak sejak Januari 2011. Selanjutnya, pembunuhan misterius terhadap satu orang wartawan di Jayapura yakni Ardiasnyah Matrais, wartawan Tabloid Jubi yang ditemukan tewas tenggelam di Kali Maro, Gudang Arang, di Merauke, Papua pada tanggal 30 Juli 2010.

Beberapa kasus di atas,  mewakili segudang kasus lainnya yang menimpa warga. Disayangkan, tak satupunpenyelesaian kasusnya tuntas. Janji aparat berseragam cokelat ini untuk menangkap pelaku dibalik segudang kasus itu pun tak kunjung memberikan  harapanTak hanya itu, tindak lanjut atas setiap kejadian itu, tak pernah diketahui oleh masyarakat umum. Satu persatu  tenggelam ditelan masa.  

Terkait peringatan hari ulang tahun Bhayangkara ke-65 yang jatuh pada 1 Juli 2011, Indonesian The Human Right Monitor (Imparsial) di Jakarta menilai, kepolisian di Papua punya banyak pekerjaan rumah (PR) yang harus diselesaikan. Lembaga itu menyebut, sampai saat ini kepolisian tak serius menuntaskan setumpuk gejolak yang terjadi di wilayah paling timur Indonesia ini.

“Ada banyak PR yang harus dikerjakan oleh Polda Papua. Banyak kasus masih mengganjal. Sejumlah kasus tak pernah diselesaikan sampai tuntas,” kata Direktur Eksekutif Imparsial Jakarta, Poengki Indarti saat dikonfirmasi.  Poengky mengatakan, di Papua, banyak kasus tak pernah diusut tuntas. Pelaku dibalik perkara itu tak ditangkap dan diproses sesuai hukum. Kebanyakan diantaranya, tenggelam dimakan waktu. “Banyak kejadian. Tapi, kelihatannya tenggelam. Tidak diproses sampai tuntas,” tuturnya.

Seharusnya, kepolisian sadar dan mereformasi kinerjanya sesuai dengan Inpres Nomor 2 Tahun 1999. Dari data yang diperoleh, pembahasan reformasi Polri (Kepolisian Republik Indonesia) merujuk pada momentum dipisahkannya Polri secara kelembagaan dari TNI (ABRI), pada April 1999 melalui instruksi Presiden (Inpres) Nomor 2 Tahun 1999 tentang langkah-langkah kebijakan dalam rangka pemisahan Polri dan ABRI.

Kebijakan tersebut kemudian diikuti dengan dikeluarkannya kebijakan lain berupa TAP MPR No.VI Tahun 2000 tentang pemisahan Polri dan TNI, dan TAP MPR No.VII Tahun 2000 soal peran Polri dan TNI. Kebijakan ini mengakhiri status Polri dibawah komando ABRI selama masa orde baru. Dengan pemisahan struktur organisasi ini, aparat kepolisian diharapkan tidak lagi tampil dalam performance dan watak yang militeristik, dan dapat bekerja sebagai aparat kepolisian sipil secara profesional.

Kalangan pemerhati reformasi kepolisian menggarisbawahi bahwa pemisahan (kemandirian) Polri dan TNI bukan merupakan tujuan, melainkan sebagai langkah dimulainnya reformasi Polri. Tujuan reformasi kepolisian adalah membangun kepolisian sipil yang professional dan akuntabel dalam melayani masyarakat sesuai dengan norma-norma demokrasi, menghormati HAM dan hukum internasional lainnya.

Kata sipil dalam istilah polisi sipil mengandung beberapa pengertian. Diantarannya, polisi sipil menghormati hak-hak sipil yakni masyarakat demokratis membutuhkan polisi sipil yang mampu berperan sebagai pengawal nilai-nilai sipil. Polisi sipil harus mengedepankan pendekatan kemanusiaan. Reformasi Polri merupakan bagian dari reformasi sektor keamanan yang juga memiliki jalinan independensi dengan reformasi disektor lain.
Kinerja kepolisian juga perlu mengacu pada Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002 tentang kepolisian. UU ini lahir berdasarkan beberapa pertimbangan. Diantaranya, keamanan dalam negeri merupakan syarat utama mendukung terwujudnya masyarakat madani yang adil, makmur, dan beradab berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. 

Pemeliharaan keamanan dalam negeri melalui upaya penyelenggaraan fungsi Kepolisian yang meliputi pemeliharaan keamanan dan ketertiban masyarakat, penegakan hukum, perlindungan, pengayoman, dan pelayanan kepada masyarakat dilakukan oleh Kepolisian Negara Republik Indonesia selaku alat negara yang dibantu oleh masyarakat dengan menjunjung tinggi hak asasi manusia.  Selamat Hut Bhayangkara semoga tahun ini kinerja kepolisan jauh lebih baik (ALDP)

0 komentar: