Selasa, 05 Juli 2011

LAPORAN AKHIR TAHUN PASTORAL DI BOMOMANI


KEUSKUPAN TIMIKA
DEKENAT KAMUU-MAPIHA
PAROKI BOMOMANI, MAPIHA-DOGIYAI-PAPUA

Latar belakang
            Realita hidup berbicara kepada kita bahwa kehidupan di Indonesia pada umumnya dan Papua pada khususnya memperlihatkan suatu suasana yang semakin khaos. Kekhaosan realitas ini disebabkan oleh sikap dari manusia yang gila akan kuasa, uang dan jabatan. Dalam rangka menggapai tujuan ini, berbagai cara dihalalkan, termasuk mengorbankan nyawa orang-orang yang tak berdosa di Indonesia dan di Papua.
            Dapat kita lihat dan temukan di media massa, orang lain, atau bahkan melihat langsung di lapangan segala perlakuan yang dibuat oleh sekelompok manusia yang menamakan diri sebagai petugas, pejabat, pemimpin, penguasa, dan keamanan. Mereka menjadikan masyarakat yang tak bersalah sebagai objek kesenangan dan keselamatan pribadi. Karena itu, tidak heran apabila di sana-sini selalu saja terjadi konflik, kekerasan, penindasan, pemerkosaan, peperangan, perampasan sumber daya alam, hingga pembunuhan nyawa manusia di era Otsus di tanah Papua. Suasana seperti ini, menggugah hatiku pada akhir TOP untuk melihat, mengamati dan mengangkat serta refleksi atas segala realita di era Otsus di Papua.
            Dalam suasana itu, Kasih Kristus mengubah dan membentuk kita melalui pencobaan dan penderitaan-penderitaan yang terjadi dalam hidup kita, supaya kita menjadi indah dan kuat dalam menjalani kehidupan ini. Banyak hal yang membuat hati kita jengkel, baik terhadap diri sendiri maupun lingkungan sekitar kita. Janganlah mengeluh, terimalah itu sebagai rahmat dan anugerah Tuhan untuk menyucikan, menguduskan dan memurnikan hidup kita dan persembahkan segala sesuatu yang tidak enak kepada Tuhan. Saya yakin dan percaya bahwa Tuhan Yesus mendengarkan doa-doa kita, mendengarkan keluh kesah, tangisan, dan jeritan hati kita yang terdalam. Tuhan Yesus menyediakan jalan, kekuatan dan keberanian untuk melangkah. Tuhan Yesus selalu hadir dalam kehidupan kita. Yesus datang menyembuhkan kita yang sakit, menyapa kita ketika kita kesepian, mengampuni kita ketika kita bertobat, menolong kita ketika kita jatuh dan menderita. Yesus tidak pernah meninggalkan kita. Konflik, kekerasan, peperangan, tantangan, rintangan, cobaan, penderitaan dan segala macam persoalan hidup akan selalu kita alami, namun semua itu membuat kita semakin bertumbuh dalam iman dan bertekun dalam doa, bertumbuh dalam kasih dan berharap sepenuhnya pada Tuhan.
Latarbelakang refleksi itulah, saya hendak menyatakan seluruh pengalaman, tanda-tanda zaman sekaligus solusinya. Juga hidup kolegialitas dalam hidup komunitas di Pastoral.  Perkembangan pribadi dan Karya Pengembangan Pastoral. Bagaimana semuanya itu terjadi? Apa saja yang dapat saya buat dan refleksi pada akhir TOP di Paroki Maria Menerima Kabar Gembira Bomomani Dekenat Kamuu-Mapiha di Keuskupan Timika-Papua. Mungkin bisa dibaca dalam seluruh uraian di bawah ini.
a. Pengalaman
             Bukan maksudku untuk menjelaskan bagaimana tentang Paroki Bomomani ini. Melainkan dapat dikatakan bahwa orang asli Papua sedang dalam bahaya dan bencana akan diri sebagai manusia. Orang asli Papua tersingkir di tanahnya sendiri. Mereka kehilangan jati diri sebagai manusia. Sebagai contoh: seorang bapak di Bomomani mengatakan kepadaku bahwa: coba anak-anak muda itu lihat kebersihan badan, pakaian dan rambut, serta rumah yang bagus-bagus seperti orang barat inikah? Ia mengatakan sambil nonton TV di Pastoran Bomomani. Saat itu saya terpukul batinku. Saya hampir mau gertak bapak itu. Saya hanya bergumul apa yang ia  katakan itu. Saya berefleksi bahwa Tuhan menciptakan dengan badan berkulit hitam, rambut keriting, dan berpakaian adat Koteka dan Moge serta rumah adat yang khas dan unik.  Saya tidak mungkin berubah seperti orang barat atau orang berkulit putih. Saya yang berambut keriting menjadi rambut panjang. Sayang bahwa bapak itu tidak ingat krisis identitas orang Papua dan orang Mee khususnya. Bapak itu tidak tahu segala realitas negatif yang terjadi di Indonesia dan Papua pada khususnya. Ia tidak menyadari diri sebagai ciptaan Allah sebagaimana adanya.
 Memang Otsus sebagai solusi dari semua konflik di Papua. Namun kenyataannya tidak menyelesaikan semua konflik di era Otsus di Papua. Oleh karena itu, Paroki Bomomani hendak mewartakan berbagai aspek Kabar Gembira berdasarkan situasi setempat kepada umat yang termarginalkan oleh peradaban/modern di era Otsus di Papua. Karya-karya pastoralnya dapat dikembangkan demi pengembangan ekonomi agar umat sejahtera dan mandiri. Sebagai contoh: seorang bapak di Bomomani mengatakan kepadaku bahwa Frater, kami orang Papua sudah diberikan Otsus untuk menyelesaikan semua konflik, tetapi mengapa konflik dan penembakan terus-menerus ada di Papua seperti di Moanemani? Saat itu, saya berpikir panjang dan diam saja. Saya merasa terpukul. Saya berpikir bahwa umat sedang mengalami kecemasan dan kekhawatiran akan diri dan keluarga di Papua pada khususnya bahkan dipelosok-pelosok daerah terpencil.
 Saya sadar dengan pertanyaan bapak di atas ini. Saya memberanikan diri kepada Pastor Paroki sekaligus sebagai pembimbing untuk ijin torney dalam pewartaan setiap hari minggu ke stase-stase. Saya harus mewartakan Kabar Gembira Yesus di tengah umat di Akhir TOP ini. Saya harus menguatkan umat melalui pelayanan dan pewartaan Injil Yesus di stase-stase. Saya berpikir bahwa kehadiran dan pewartaanku tentang Injil membuat umat tersentuh dan merasa senang. Tetapi mampu bertahan dalam tantangan dan penderitaan umat Allah. Saya yakin bahwa anda (umat) dan saya selalu berjalan bersama Yesus. Berjalan dalam arti kesepian, kekosongan diri akan rohani, hampa, penderitaan, masalah, dan godaan serta persoalan-persoalan yang terjadi di Indonesia dan Papua pada khususnya.
Semua program yang direncanakan di Paroki ini adalah sedikit menjawab persoalan di era Otsus di Paroki ini namun kendala dengan medan Pastoral yang sulit dijangkau. Jadi pada prinsipnya, Otsus merupakan solusi, namun solusi yang bermasalah. Agar kembali pada hakikatnya sebagai solusi, maka masalah yang ada perlu diselesaikan terlebih dahulu. Solusi alternatif dipikirkan dalam kerangka Otsus. Otsus sebagai buah cinta pemerintah Indonesia dan pemerintah daerah perlu memperhatikan tujuannya yakni orang asli Papua. Jangan mengabaikan orang asli Papua, janganlah mengurangi hak dan kewajiban orang asli Papua. Harkat dan martabat manusia penting dijunjung tinggi, perlu dihargai jati diri sebagai orang asli Papua. Jika tidak demikian, orang Papua ada dalam suasana bencana atau bahaya. Maka orang asli Papua perlu bersikap tegas dan pertimbangan yang sangat matang untuk “today” dan “future”. Maka dari itu, doa-doa devosi dapat dikembangkan untuk menguatkan iman umat di Paroki. Juga dapat meningkatkan budaya lokal yang dimiliki oleh umat setempat. Diharapkan bahwa perlu ditingkatkan pula program-program karya pastoral yang sedang dikembangkan di Paroki ini walaupun adanya kendala. Jika demikian, saya berpikir bahwa umat akan merasa senang tanpa mengeluh dan khwatir di era Otsus di Papua ini.
b. Tanda-tanda Zaman
          Seluruh pengamatanku tentang realitas sosial negatif dan positif berakar dari Otonomi Khusus (Otsus) di tanah Papua. Maka dalam memandang tanda-tanda zaman ini, saya akan menguraikan sedikit tentang perkembangan Otsus di Papua. Hal ini didorong oleh seluruh realitas negatif yang terjadi di Propinsi hingga di daerah-daerah terpencil di tanah Papua.
Sejak diimplementasikan Otsus tahun 2001 hingga kini 2011, belum ada sikap serius pemerintah daerah untuk mewujudkan ideologi Otonomi Khusus bagi Papua. Uang yang diberikan berlimpah ruah, tetapi tidak mensejahterahkan masyarakat asli Papua. Sebaliknya, fenomena yang sangat kelihatan di Provinsi ini, yaitu di emperan-emperan pertokoan, ada anak-anak kecil yang menjadi pengemis, ada juga banyak pemuda-pemuda Papua yang menjadi tukang “pajak” di tempat perhentian taksi, di jalan Trans Papua, ada sebagian masyarakat duduk-duduk tanpa tujuan di emperan kios Bomomani dan bahkan ada pemuda-pemuda Papua yang mabuk dan menciptakan suasana yang tidak aman. Ketika berhadapan dengan fenomena ini, ada kesedihan mendalam di hatiku. Inikah otonomi khusus bagi Papua, ketika banyak orang asli Papua yang menjadi korban dari politik pemerintah Indonesia itu?
             Bila kita benar-benar merefleksikan sebuah gerak perubahan hidup orang asli Papua yang menjadi korban pengimplementasian otonomi khusus di Papua, maka kita akan bertanya apakah otonomi khusus sebuah kesempatan ? Atau khayalan?
1. Apakah benar Otonomi Khusus Papua sebagai Kesempatan?
            Saya berpikir bahwa Otsus bukan sebuah kesempatan, melainkan sebuah ancaman dan bahaya bagi orang asli Papua. Kenyataan menunjukkan bahwa banyak terjadi kekerasan, penindasan, pengurasan sumber daya alam, konflik, bahkan terjadi pembunuhan nyawa orang yang tak berdosa. Terjadi karena ada banyak sumber daya alam yang melimpah sehingga orang asli Papua menjadi korban di tanah sendiri. Mengalami krisis identitas diri sebagai orang asli Papua. Dengan suasana ini, mengantar saya untuk mencerna bagian-bagian di bawah ini.
Pertama, benar bahwa Otsus Papua  adalah kesempatan bagi pemerintah pusat dan daerah. Kesempatan bagi pemerintah pusat yaitu ketika orang Papua ingin merdeka dari NKRI, pemerintah pusat menerapkan Otsus secara paksa dan tidak serius. Dengan adanya undang-undang ini, orang asli Papua diharapkan tidak menyuarakan gema kemerdekaan wilayah Papua. Namun, harapan pemerintah itu ternyata tidak bisa meredam aspirasi orang asli Papua. Di saat pemerintah tidak menjalankan undang-undang Otsus dengan serius, suara kemerdekaan itu kembali bergema.
Kedua, Otsus Papua juga memberikan kesempatan kepada para pejabat di pusat dan di daerah untuk memperoleh uang secara berlimpah yang seharusnya diberikan bagi masyarakat asli Papua yang sangat membutuhkan.
Ketiga, Otsus juga memberikan peluang untuk menciptakan para koruptor kelas teri dan kelas kakap. Kesempatan ini tentunya lahir dari shock money. Artinya, para pejabat baik di pusat maupun di daerah kaget melihat uang yang berlimpah ruah di tanah Papua.
2. Apakah benar Otonomi Khusus Papua sebuah Khayalan?
Saya yakin bahwa orang asli Papua hingga kini belum sadar akan bahaya dan bencana yang terjadi di tanah Papua. Saya tidak tahu bahwa hingga kini: disadari atau tidak oleh orang asli Papua, bahwa mereka sedang di tempatkan oleh pemerintah baik pusat dan daerah dalam sebuah dunia khayalan. Orang asli Papua diarahkan oleh pemerintah pada sebuah harapan akan hidup dalam kelimpahan. Memang harapan akan kelimpahan itu telah ada, namun tidak dirasakan oleh orang asli Papua untuk hidup sejahtera.  Lebih dari itu, Otsus adalah sebuah pengadopsian dari budaya cargo cult. Artinya mitologi kargo adalah sebuah ceritera hidup yang mengisahkan tentang harapan orang asli Papua akan suasana hidup yang diliputi dengan kekayaan yang berlimpah. Sesuai arah pengimplementasian undang-undang Otsus di Papua, ada sebuah pengadopsian cargo cult yang sudah terjadi pada masa lampau dalam kehidupan orang Papua. Oleh karena itu, di bawah ini akan diuraikan sedikit gambaran tentang hubungan Otsus dan mitologi cargo cult dalam realitas kehidupan orang asli Papua.
     Pertama, pemerintah Indonesia tahu bahwa pola kehidupan orang asli Papua selalu bersandar pada budaya. Oleh karena itu, pemerintah menggunakan budaya sebagai media untuk mendiskreditkan kualitas hidup orang asli Papua yang adalah manusia berbudaya. Ketika orang asli Papua ingin merdeka, pemerintah memberikan otonomi khusus supaya aspirasi itu tidak bisa terwujud. Tampak bahwa UU No 21 Tahun 2001 bersifat mitologis cargo cult. Artinya, orang asli Papua dijanjikan uang yang berlimpahruah tetapi mereka tidak merasakannya. Dalam arti khusus, pemerintah hanya memberikan janji-janji semu kepada orang Papua. Kedua, ketika otonomi khusus diberikan oleh pemerintah Indonesia, orang asli Papua tidak mengkritisi secara baik, apakah politik ini baik atau tidak. Mereka malahan menerima tanpa menyadari dampak dari otonomi khusus ini bagi kehidupan mereka. Ketika ada persoalan baru ada kesadaran dari seluruh orang asli Papua bahwa politik ini tidak bermanfaat bagi kehidupan mereka. Dalam arti tertentu Otsus di tanah Papua mempunyai dua dampak positif dan negatif dalam bidang sosial dan ekonomi.
3. Dampak Positif Otsus Papua
a. Dalam Bidang Sosial
Saya yakin dalam era otonomi khusus di Papua terjadi suatu fenomena perkembangan kehidupan orang asli Papua. Artinya dengan adanya perjumpaan antara budaya Papua dan budaya luar Papua, orang asli Papua sadar bahwa ternyata  ada perberbedaan dari aspek fisik maupun psikologis. Orang Papua pun akan berusaha untuk bisa hidup bersaing secara sehat dengan orang dari wilayah luar, yaitu orang Bugis, Buton, dan Makasar yang berperan aktif dalam aspek kehidupan perekonomian di tanah Papua. Memang perlu disadari bahwa kehadiran orang Bugis, Buton, dan Makasar dalam era Otsus di Papua dalam perspektif tertentu memberikan dampak yang positif, yaitu terjadi suatu perubahan yang amat nampak dalam sistim perekonomian. Fenomena lain yang terjadi ialah mereka pun secara perlahan-lahan bisa menyesuaikan diri dengan lingkungan baru, artinya bisa hidup berdampingan dengan orang yang tidak pernah dilihat sebelumnya.
b. Dalam Bidang Ekonomi
Kita perlu menyadari bahwa kebanyakan orang di Papua adalah mayoritas pendatang dibanding orang asli Papua. Memang perlu disadari bahwa kehadiran orang Bugis, Buton, dan Makasar dalam era Otsus ini, dalam perspektif tertentu memberikan dampak yang positif, yaitu terjadi suatu perubahan yang amat nampak dalam sistim perekonomian. Dengan kehadiran mereka wajah kota yang mungkin dahulu terdapat hanya sejumlah rumah gubuk dan rumah seng bundar buatan kolonial Belanda dan atap rumah berdaun alang-alang sekarang sudah berubah dengan dibangunnya sejumlah gedung bertingkat baik ruko-ruko, toko-toko, kios-kios, warung-warung, supermarket, saga mall, mega mall, dan sejumlah grosir yang amat megah serta rumah bermodel dan beratap seng aluminium. Perubahan ini, membawa dampak bagi perubahan cara berpikir untuk meningkatkan hidup perekonomian. Di samping itu, pula kaum pribumi bisa menyadari dan belajar dari mereka bahwa untuk meningkatkan ekonomi harus ada upaya mempergunakan kesempatan dengan berusaha sambil belajar untuk berani mengusahakan sesuatu untuk ekonomi yang berkompeten dan mampu bersaing dengan orang pendatang, bukan untuk hidup santai, jalan-jalan tanpa tujuan, dan ikut pengaruh tidak sehat antara lain: pergaulan bebas, dan miras.
Di era Otsus di Papua, kaum migran sangat berkembang dalam aspek ekonomi disebabkan oleh mereka hidup dengan saling mengasihi dan saling menolong dalam kelompoknya baik dalam hidup bersama  dan dalam perekonomian mengusahakan untuk membangun kios, toko baik yang kecil maupun yang besar dan ada pula yang berjualan keliling menjual mainan anak-anak  dan sayuran serta ikan dalam jumlah yang amat banyak. Tentunya mereka mempunyai kemampuan dalam bekerja dan dalam hal keuangan yang mendukung harapan kesejahteraan hidup yang mereka dambakan. Apa yang dilakukan oleh kaum migran ini menjadi tantangan bagi orang pribumi dalam era otonomi khusus ini, sehingga sadar dan bisa berusaha dengan sekuat akal budi untuk mengejar ketertinggalan dan mengusahakan kesejahteraan hidup.
Kita tidak lupa bahwa dalam era Otsus ini, orang asli Papua hendaknya belajar dari orang migran berkaitan dengan sikap pengembangan ekonomi di Papua. Orang migran secara khusus orang Bugis mempunyai pandangan hidup yaitu tallu cappa, yang artinya tiga ujung. Orang Bugis mengartikan ujung yang pertama sebagai ujung lidah, yang dipergunakan untuk berkomunikasi dengan baik dan benar, sehingga menarik simpati orang yang mendengarnya. Selanjutnya ujung penis yang dipergunakan dalam konteks mengawini baik perempuan pribumi maupun laki-laki pribumi untuk mendapatkan kekayaan. Sedangkan ujung yang terakhir ialah ujung badik yang dipergunakan untuk melindungi diri dari bahaya.
Orang asli Papua pun mempunyai filosofis budaya yang bermafaat bagi pengembangan hidup dalam era otonomi khusus. Diharapkan bahwa orang asli Papua bisa bersaing dengan orang pendatang, sehingga tidak ada kecemburuan dan kecurigaan sosial di antara kaum pendatang dengan orang asli Papua. Bilamana harapan itu terwujud, maka Papua menjadi tanah dan rumah damai bagi semua makhluk ciptaan Allah.
4. Dampak Negatif Otsus Papua
            a. Dalam Bidang Sosial
Dalam realitas kehidupan orang asli Papua, kehidupannya dapat ditandai perjumpaan dengan para migran dari luar Papua, tentunya akan tercipta suasana biasa-biasa saja.  Situasi demikian akan mengarah pada potensi terjadinya konflik. Sebab setiap kelompok baik dari orang asli Papua sendiri maupun dari pihak para migran mempunyai konsep filosofis mengembangkan hidup yang khas. Bisa jadi bahwa ketika kaum migran ingin mengembangkan hidupnya sesuai dengan potensi yang dimiliki pasti akan timbul kecemburuan sosial dari orang asli Papua, begitu juga sebaliknya. Contoh kongkrit yang saya dengar dan alami langsung, ketika berada di Pasar Bomomani-Mapiha; ada orang asli Papua yang katakan kepadaku begini; orang-orang pendatang ini, apakah ada pabrik kioskah? Artinya: barang-barang dagangan di kios. Pernyataan ini menjadi sebuah fenomena bahwa orang Papua tidak ingin disingkirkan dari tanahnya dan ini juga menjadi sebuah gejala kecemburuan sosial yang pastinya sudah melangit.
b. Dalam Bidang Ekonomi
Realita dapat menunjukkan bahwa pada era Otsus ini, dalam perspektif ekonomi kehadiran orang Bugis, Buton, dan Makasar membawa dampak yang negatif, yaitu berkaitan dengan sistim ekonomi yang mereka bawa dan terapkan di Papua, sehingga berpengaruh terhadap kehidupan kaum pribumi yang sudah menghayati  dan menerapkan cara bagaimana berelasi dalam konteks perekonomian yang berbeda. Dalam situasi pertemuan antara dua sistim ekonomi yang berbeda ini, ada suatu situasi yang kurang sehat yang timbul dalam relasi  dan ada pula dalam persaingan yang tidak saling menguntungkan. Kenyataan yang tidak baik dalam relasi yaitu terlihat dalam cara orang Bugis, Buton, dan Makasar membangun toko atau pun kios. Mereka kelihatannya seakan-akan berbuat baik untuk orang pribumi supaya menjual tanahnya kepada mereka dengan harga yang amat murah. Sebaliknya, kenyataan persaingan yang tidak menguntungkan yaitu ketika orang pribumi menjual barang jualan mereka, di saat itu orang Bugis, Buton, dan Makasar membelinya dengan harga yang amat murah. Lagi pula, kalau orang Bugis, Buton, dan Makasar yang menjual barang dagangan mereka, kalau harga yang anggap paling rendah tidak ada tawar-menawar.
Kehadiran mereka juga merusak pemandangan sejumlah kota di Papua. Papua yang dahulu indah, sekarang berubah dengan banyaknya sampah berhamburan di parit-parit maupun di pinggiran jalan utama dan jalan alternatif. Situasi ini terjadi karena pembangunan sejumlah gedung besar oleh kaum pendatang dan pemerintah yang berorientasi pada ekonomi kapitalisme yang tidak sehat dan merusak tujuan penataan kota dan kabupaten yang indah dan sehat.
5. Otsus Papua, Kesempatan dibalik Khayalan
Politik Otsus di Papua adalah sebuah fenomena yang harus direfleksikan secara nyata dalam kenyataan orang asli Papua. Jika tidak direfleksikan akan menimbulkan persoalan yang bisa mendiskreditkan nilai kehidupan orang Papua. Lebih dari itu, di satu sisi politik otonomisasi di tanah Papua pun memberikan berbagai kesempatan bagi pemerintah pusat, pemerintah daerah, orang asli Papua sendiri, dan warga Papua yang datang dan tinggal di tanah Papua ini. Di satu sisi berbagai kesempatan ini menguntungkan tetapi menyengsarakan pihak lain. Dengan demikian, politik Otsus menjadi sebuah misteri hidup bagi orang asli Papua. Inilah langkah awal, ketika kita dapat memahami bahwa Otsus adalah sebuah khayalan. Karakteritas khayalan dari Otsus ini bermula dari sikap pemerintah yang pertama menelurkan undang-undang otsus, tanpa mempertimbangkan dampak negatif. Selanjutnya, orang asli Papua pun terlena dan bernostalgia dengan berbagai janji semu yang ditawarkan oleh pemerintah pusat dan daerah. Orang asli Papua dibuat bungkam oleh para birokrat dengan janji uang yang tidak pernah dirasakan masyarakat kecil di Papua. Lebih dari itu dengan adanya politik Otsus di Papua, orang asli Papua juga sudah tidak rajin lagi berkebun. Mereka lebih senang bekerja dan berlomba-lomba menjadi pejabat di sejumlah kantor pemerintahan. Alasan yang menjadi dasar untuk mengetahui keinginan mereka ini ialah karena mitologis Otsus yang memberikan harapan akan hidup berlimpah.
Orang asli Papua lupa bahwa alam mereka berlimpah ruah dengan kekayaannya yang bermanfaat bagi anak cucu kelak. Namun, sebaliknya mereka tidak merasa prihatin dengan alam mereka, tapi berguru pada tawaran otonomi khusus. Mereka tidak kembali ke dalam alam mereka yang kaya raya. Mereka terkurung dalam lingkaran Otsus yang dibangun oleh pemerintah Indonesia. Jadi, ketika orang asli Papua tidak pusing lagi dengan alam, maka jangan heran banyak hutan dirusak oleh sejumlah perusahaan kayu lapis dan bahkan ada illegal logging yang amat memprihatinkan. Ada pula orang asli Papua yang tidak lagi pusing dengan tanah mereka. Contoh konkrit yang bisa ditampilkan ialah di Bomomani, Moanemani, Waghete, dan Enarotali orang pribumi menjual tanah dengan tidak mempertimbangkan masa depan anak cucu mereka yang masih memerlukan tanah untuk tempat tinggal. Lebih parah lagi tanah yang dijual dan dananya tidak digunakan untuk mengembangkan kualitas hidup, yaitu dengan mambangun rumah dan biaya pendidikan anak, melainkan dipergunakan untuk mabuk–mabukan siang dan malam. Ini menjadi kendala yang harus disadari dan dihilangkan secara perlahan-lahan oleh orang asli Papua.
Apakah orang asli Papua siap untuk menerima dan bisa menjalankan amanat Otsus dengan baik? Berdasarkan kenyataan hidup orang Papua, keberadaan Otsus siapa yang memiliki kesempatan? Atau Otsus Papua, siapa punya khayalan? Semua ini bisa dijawab dan dipahami ketika kita merefleksikan hidup sebagai manusia Papua secara baik, benar dan utuh.  Dengan berefleksi setiap hari, kita bisa memahami makna dari Otsus di Papua. Apakah Otsus ini bermakna baik plus bencana?                                                      
c. Solusi
Masyarakat Indonesia pada umumnya dan Papua pada khususnya mengalami persoalan-persoalan hidup yang mencemaskan diri dan keluarga mereka. Karya sosial “Komisi/Bidel Sosial atau HAM) dalam paroki sangat dibutuhkan. Komisi ini dapat diartikan sebagai usaha-usaha yang dijalankan secara sadar dan sengaja serta terencana dalam rangka mencegah ataupun mengatasi persoalan-persoalan hidup yang terjadi di tengah-tengah sesama masyarakat. Persoalan-persoalan hidup itu begitu bermacam-macam: kekerasan, kemiskinan, penindasan politik, ketidakadilan, pemerasan ekonomi, pembunuhan dan pengurasan sumber daya alam.
Pengembangan ide atau gagasan mengenai komisi sosial dalam paroki/Keuskupan atau Gereja ini bukan merupakan satu hal yang baru, sekalipun dewasa ini mendapat perhatian yang lebih serius dari para teolog. Gagasan tentang komisi sosial atau HAM ini sudah berjalan lama, bahkan sejak zaman umat Perjanjian Lama. Misalnya, dalam Yeremia 29:7, Tuhan telah memerintahkan pelaksanaan komisi sosial atau HAM di dalam Sinagoga-sinagoga atau dalam Gereja kepada orang-orang Israel yang saat itu berada di tanah pembuangan di Babel. Kepada mereka ini, Tuhan melalui nabi Yeremia memerintahkan agar mereka (Umat Israel di pembuangan Babel) mengupayakan kesejahteraan tanah di mana mereka sedang dibuang.
Di dalam kata kesejahteraan ini terkandung makna segala hal baik yang dapat dinikmati umat manusia. Sehingga dengan perintah ini, Yeremia mengharapkan kepada umat Allah yang sedang hidup di tempat pembuangan di Babel itu berusaha supaya apa yang baik yang bisa dinikmati manusia, dapat dinikmati oleh segenap penduduk/masyarakat/umat di Babel. Atau dengan lain kata: Umat yang hidup di Babel diperintahkan untuk menjalankan karya sosial dalam rangka mengatasi persoalan-persoalan hidup yang terjadi di tengah sesama masyarakatnya atau umatnya. Walau dalam hidupnya mereka mengalami kepahitan hati sebagai orang buangan, dan sekarang rakyat dan pemerintah Babel memusuhi bahkan menindas mereka, namun umat Allah tetap harus melaksanakan karya sosialnya. Sebab kesejahteraan hidup masyarakat secara umum/menyuruh merupakan kesejahteraan umat Tuhan juga. Bila kebanyakan penduduk mengalami kesejahteraan, maka umat Tuhan pun dengan sendirinya mengalami kesejahteraan. Bila mayoritas masyarakat merasa aman dan nyaman dalam hidupnya, maka umat Tuhan dengan sendirinya akan merasa aman dan nyaman pula. Dari perintah Tuhan kepada umat Israel inilah kita merumuskan tentang apa yang dimaksud dengan karya sosial atau komisi/bidel sosial, yaitu usaha yang dibuat oleh gereja (Paroki/keuskupan) secara sadar dan sengaja serta terencana dalam rangka mencegah ataupun mengatasi persoalan-persoalan hidup yang terjadi di tengah-tengah sesama masyarakat di Indonesia dan Papua pada khususnya bahkan di paroki-paroki di pedalamam Papua.
Dalam konteks Indonesia, khususnya di Papua, permasalahan sosial rasanya dapat mendomisasi kehidupan sebagian besar masyarakat. Kemiskinan, pemiskinan, pembodohan, penganiayaan, pemaksaan kehendak, kejahatan, teror/ancaman, penindasan, pelecehan, manipulasi hukum, penipuan, pembunuhan dan pengurasan sumber daya alam terjadi di mana-mana. Kita tidak butuh peta untuk menentukan/menunjukkan tempat kejadiannya. Kita bisa lihat dan baca terutama melalui media massa maupun saksi-saksi peristiwa. Di tengah realitas seperti ini, pelaksanaan karya sosial di tiap Paroki, Dekenat dan  Keuskupan menjadi amat sangat mendesak dan relevan. Sama halnya dengan Nabi Yeremia memerintahkan segenap umat Allah di Babel supaya melaksanakan karya sosialnya, maka kita sebagai gereja plus Paroki, Dekenat atau Keuskupan, dewasa ini diperintahkan untuk menjalankan/melaksanakan karya sosial kita. Kita diperintahkan untuk mengupayakan kesejahteraan hidup sesama agar apa yang terbaik dapat dinikmati manusia Indonesia dan dapat juga dinikmati oleh semua manusia di Papua. Kita diperintahkan untuk melawan segala hal yang membuat rakyat (di Papua) menjadi tidak sejahtera. Kesejahteraan seluruh rakyat di Papua adalah kesejahteraan kita juga. Semua permasalahan sosial di Papua adalah permasalahan sosial kita bersama. Bila kebanyakan penduduk masyarakat Papua mengalami kesejahteraan, maka kita pun dengan sendirinya akan sejahtera. Bila kebanyakan penduduk di Papua merasa aman dan nyaman, maka kita pun dengan sendirinya menjadi aman dan nyaman.
Selain karya sosial plus komisi/bidel sosial atau HAM, dibutuhkan sebuah penghayatan doa melalui jalan devosi. Doa-doa devosi dapat membangkitkan semangat dan hiburan rohani dalam suasana yang mencemaskan atau dalam kekwatiran manusia. Kecemasan atau kekhawatiran manusia dapat terjadi di Papua khususnya di pedalaman Papua. Umat manusia cemas dan kwatir atas suasana hidup yang selalu mencekam dan bungkam atas ruang gerak manusia. Salah satu cara yang sedang dikembangkan di Paroki Bomomani adalah melalui devosi. Tujuannya adalah membangun iman umat dalam suasana kekhawatiran karena realita sosial yang semakin berada dalam bahaya atau bencana di era Otsus di Papua. Tujuan lain adalah agar umat dapat mengetahui dan menghayati iman kepada Allah dalam menjalankan doa-doa devosi. Karena sebagian umat tidak mengetahui doa-doa devosi. Oleh Karen itu saya secara pribadi dapat mengusulkan pentingnya untuk mengembangkan doa-doa devosi kepada Yesus, Bunda Maria, dan kepada semua orang Kudus di Surga. Jika dapat mengembangkan doa-doa devosi, maka dibutuhkan sebuah rumah atau kapel ditiap Kring atau stase. Rumah atau kapel kecil menjadi tempat sacral atau tempat mengembangkan doa-doa devosi dari umat Allah di Paroki ini.
Jadi ketika saya mencermati dalam situasi di Papua seperti ini, perlu dikembangkan dua hal ini: Pertama; karya sosial “komisi/bidel sosial atau HAM” di Paroki Bomomani. Komisi/bidel ini tugasnya jelas bahwa membicarakan dan merumuskan segala peristiwa negative maupun positif, lalu mencari solusinya sesuai konteks setempat. Juga memberikan pemahaman kepada umat untung dan rugi, dampak negatif dan positif serta diakhiri dengan sebuah solusinya dalam konteks itu. Jika komisi/bidel sosial ini, tidak menanggapi cepat, maka saya pikir banyak sumber daya alam akan terkuras atau dirampas atau dicuri tanpa mempertimbangkan atau memahami untung dan rugi atau dampak negatif dan positif. Saya menekankan hal ini karena daerah Mapiha sedang baru mencium dunia luar atau modern. Dan menjadi penekanan karena berpotensinya sumber daya alam yang melimpah di daerah Mapiha. Bukan hanya itu, ada banyak masalah sosial yang sedang dan akan dihadapi oleh umat Allah dalam era Otsus di Papua. Oleh karena itu, komisi/bidel sosial ini perlu dibentuk segera mungkin. Kedua; Doa-doa devosi di Paroki Bomomani. Doa-doa devosi ini, pentingnya untuk penghayatan dan menumbuhkan iman umat serta mengembirakan dalam suasana negatif yang sedang dan akan dialami umat Allah dalam era Otsus di Papua. Saya hanya mau menarik kedua solusi ini dalam suasana hidup di Papua dan di Paroki Bomomani. Jadi, saya berpikir bahwa kedua solusi ini sangat penting dibuat segera dan dikembangkan. Saya tidak mengabaikan karya pengembangan Paroki ini tetapi sangat mendukung pula semua karya pengembangan pastoral yang sedang dikembangkan oleh Pastor-pastor dari Keuskupan Agung Jakarta (KAJ) di Paroki Bomomani-Mapiha Keuskupan Timika.
d. Kolegialitas
Pada bagian ini, saya akan menjelaskan sedikit tentang hidup sebagai saudara dalam sebuah tim kerja Pastoral. Jadi fokus penekanan pada hidup dalam Tim Pastoral, relasi dengan Pastor dan juga dengan Keuskupanku. Maka uraiannya sebagai berikut:
1.      Hidup dalam Tim Pastoral
Saya merasakan bahwa hidup dalam team sangat menyenangkan. Karena dapat meringankan sebuah pekerjaan dan pelayanan dalam pewartaan Kabar Gembira Yesus Kristus di tengah umat di Papua. Kebanyakan umat dapat mengalami situasi negative. Kenyataan menunjukkan bahwa umat mengalami dan merasakan kemiskinan, pemiskinan, pembodohan, ketidakadilan, perampasan sumber alam, kekerasan, pemerkosaan, dan bahkan pembunuhan umat tak berdosa. Dalam pergumulan seperti ini, saya ditantang untuk bekerja sama dalam sebuah team Pastoral. Guna dapat membicarakan realitas social yang dialami umat Allah di Indonesia dan Papua pada khususnya. Dapat membagi pemahaman realitas social sekaligus mencari solusinya dalam suasana keburukan yang dialami umat Tuhan.
Dalam konteks seperti ini, saya merasa diterima dalam team Pastoral di Paroki maupun di Dekenat. Saya merasa sangat senang karena dapat diterima dalam team Patoral. Akhirnya, saya semakin bertambah semangat menapaki panggilan menjadi imam diosesan. Terjadi karena dapat didukung oleh semua pihak dan dalam team Pastoral Bomomani.  Tetapi juga didukung pula oleh kehendak dan inisiatif yang paling kuat dalam panggilan sejati dari Allah. Namun semuanya itu terjadi menurut kehendak dan rencana Allah. Saya berdoa agar Allah dapat menyelenggarakan dan mempersatukan dalam hidup dan kehidupan di antara Team Pastoral Bomomani dan team Pastoral di Dekenat Kamuu-Mapiha.
2.      Relasi dengan Pastor
Allah Bapa pengasih. Saya memuliakan dan bersyukur kepada-Mu atas kebaikan dan bimbingan-Mu sepanjang menjalani TOP. Saya berterima kasih kepada-Mu atas pemberian Pastor yang baik sehingga saya dapat belajar dan dibimbing dalam menapaki panggilan Allah. Saya mohon semoga dapat menambahkan semangat Roh-Mu atas diri Pastor. Agar Pastor tetap semangat dalam pelayanan dan pewartaan akan Dia. Itulah sebuah doa untuk Pastor pembimbingku di akhir masa TOP di Paroki Bomomani. Jika dibicarakan relasi, maka relasiku dengan Pastor sangat lancar tanpa tersendat-sendat. Relasiku terjadi ketika pembagian tugas torney ke stase-stase. Terjadi ketika membicarakan karya pengembangan pastoral di Paroki ini.
Jadi prinsipnya bahwa orang akan dapat menjadi baik jika menjalin persaudaraan dan relasi yang baik. Terjadi keterbukaan dan relasi yang semakin baik akan menuai buah yang baik. Itulah salah satu prinsipku dalam masa TOP dan di akhir TOP di Paroki ini. Akhirnya, saya mohon berkat dari Allah agar perjalanan selanjutnya dapat terjalin relasi yang baik dengan Pastor siapa saja. Ya, Allah utuslah Roh-Mu dalam hamba-Mu yang hina ini.
3.      Relasi dengan Keuskupan
Saya mengucapkan syukur atas kebaikan dan kemurahan-Mu. Kebaikan dan kemurahan-Mu itu selalu hadir dalam diri masing-masing orang dan semua orang. Kebaikan dan kemurahan Allah hadir di semua pihak. Karena kehadiran-Nya dan dapat mengugah hati ke Keuskupan, maka kebaikan dari semua pihak Keuskupan dapat dirasakan dalam pelayananku di Paroki ini.
Saya berterima kasih atas semua bantuan melalui doa dan pembiayaan (biaya tunjangan uang saku dan makan). Semua bantuan ini, biarlah Tuhan yang membalas atas budi baik. Saya tidak mampu membalas. Jika terjadi kehendak dan rencana-Nya dalam diriku, maka saya akan menyatakan dalam panggilan menjadi Pastor. Rencanaku, tidak mau merugikan semua bantuan dari pihak Keuskupan ini.  Maka dari itu, diharapkan saling mendoakan agar tetap konsisten dengan panggilan dan juga dalam pelayanan di Keuskupan ini. Jadi relasiku sangat lancar dengan pihak Keuskupan. Dari sini, saya berdoa kepada Allah, agar Tuhan Allah hadir dalam tugas pelayanan dan karya-karya yang diusahakan oleh bapak Uskup dan semua pihak di Keuskupan. Saya mohon kepada-Mu, dapat mencurahkan Roh-Mu itu dalam hati dan pikiran bapak Uskup dan semua pihak Keuskupa Timika. Supaya kami pun dapat merasakan dalam pewartaan dan pelayanan dari Uskup. Itulah sebuah doaku untuk bapak Uskup dan semua pihak di Keuskupan Timika.
e. Perkembangan Pribadi
1. Hidup Rohani
Saya yakin bahwa doa dan kerja merupakan penghayatan iman. Ini tidak berarti bahwa doa dan kerja adalah sama saja. Jelas ada perbedaan. Kerja merupakan perwujudan iman, doa adalah sarana untuk menguatkan iman, berkomunikasi dengan Allah. Jadi, segala doa terarah kepada perwujudan iman. Dalam doa, orang membuka untuk kehadiran Tuhan dalam hidupnya. Walau godaan dan tantangan semakin gencar dalam zaman ini. Namun, saya siap bertemu dengan Tuhan Allah dalam keadaan apapun. Apapun juga yang dapat menimpa seseorang atau diriku sendiri, dapat diterima sebagai pemberian Tuhan. Dari doa, orang dapat menimba kekuatan untuk menghadapi tugas hidup sehari-hari. Karena doa, ia dapat menghayati tugas itu sebagai panggilan luhur yang datang dari Tuhan sendiri.
a. Doa Pribadi
Saya merasa penting doa secara pribadi. Karena itu, saya meluangkan waktu doa (Pagi sesudah bangun dari tidur, sebelum dan sesudah makan, jam 18.00 sore dan 21.00 malam serta doa sebelum tidur malam). Doa pribadi sangat lancar dan merasa diri bahwa Allah Tritunggal Yang Maha Kudus selalu hadir dalam masa TOP di Paroki Bomomani.
Hati dan pikiran serta panggilan Allah menjadi seorang imam atau Pastor sedikit terganggu dengan tidak menandatangani laporan ke II dan III dalam masa TOP oleh Pastor Pembimbing. Tetapi, Allah hadir dalam diriku. Ia menguatkan dan meneguhkan saya dalam panggilanku. Ia menyapa saya “Frater, jangan takut, Allah senantiasa hadir dalam suasana apapun”. Ia mengatakan pada diriku: Saya telah memilih anda sebagai pelayan di kebun-Ku. Maka itu, Allah selalu menyapa dan meneguhkan saya, sehingga doa pribadi pun lancar dan tak tersendat-tersendat. Terima kasih Tuhan, Engkau selalu hadir dan menyapaku setiap saat.
b.Doa Bersama
Saya jujur saja bahwa doa bersama kadang-kadang dibuat di Gua Maria. Hidup dalam komunitas sehingga doa bersama hanya diadakan pada bulan April sesudah laporan kedua. Tetapi pada bulan Mei tidak pernah dibuat doa bersama karena bulan Mei setiap tahun adalah bulan Bunda Maria. Niat Paroki ini, dapat membangun devosi-devosi di tengah umat, maka sebagai doa bersama ditiadakan, devosi kepada Bunda Maria dapat dikembangkan selama bulan ini. Oleh karena itu, umat di Paroki ini: Setiap Kring, OMK, dan Anak-anak Misdinar sangat ramai dengan doa Rosario dari rumah ke rumah.
Akhirnya pada penutupan bulan Mei bulan Bunda Maria telah mengadakan pawai dan peragakan peristirwa sedih dalam doa Rosario dari ujung kampung Kring Kogemani menuju ke Pusat Paroki Bomomani. Saya sangat gembira ketika melihat semangat umat dalam bulan Mei ini. Saya senang melihat orang muda katolik dan anak-anak Misdinar di Paroki ini. Begitu semangatnya sangat berkobar-kobar demi memuliakan Allah melalui doa devosi Bunda Maria.
2. Hidup Berpastoral
Dalam hidup berpastoral mendorong dan mempengaruhiku untuk menjadi Pastor di Keuskupan ini. Karena dalam pelayanan dan keterlibatan saya semakin oke. Saya mewartakan Kabar Gembira Yesus di stase-stase, di Kring-Kring dan Orang Muda Katolik (OMK) melalui ibadat bersama. Saya terlibat dan memimpin upacara pemakaman di Kring Paroki. Saya mendampingi bagi calon Komuni Pertama. Keterlibatanku dalam anak-anak Misdinar dan anak-anak muda semakin mantap. Bahkan mengadakan diskusi bersama anak-anak muda di Paroki ini.
Jadi semua kegiatan ini menguatkanku menjadi seorang imam di Keuskupan ini. Saya mengucapkan banyak terima kasih kepada pastor Pembimbing yang menyediakan kesempatan. Sehingga saya selalu terlibat dalam kegiatan berpastoral di Paroki ini. Selalu saya berpikir bahwa kesempatan yang disediakan oleh Pastor Pembimbing itu, saya tidak akan disia-siakan. Justru karena itu, saya harus ikuti dan taati kepada Pastor Pembimbing. Saya harus mengatakan secara jujur bahwa hidup berpastoral di akhir TOP ini sangat bagus. Karena itu, menguatkan saya dalam panggilanku. Saya selalu berdoa kepada Allah agar Ia memberikan semangat Pewartaan Injil dan dapat mengabulkan doaku menjadi seorang imam atau Pastor di Keuskupan Timika.      
3. Hidup Komunitas
Saya selalu berpikir dan bergumul tentang hidup persaudaraan. Karena hidup persaudaraan merupakan sebuah tanda menjalin dan membangun hidup kebersamaan. Hidup bersama mewarnai sebuah hidup persekutuan. Dapat membangun semangat kebersamaan atas dasar keakraban sebagai sesama akan yang lain. Letak hidup bersama sebagai satu komunitas di Paroki ini antara lain: membagi tugas pelayanan plus torney, rekreasi bersama di waktu malam melalui nontong TV bersama, pembagian tugas masak pagi dan malam untuk anak-anak asrama maupun bina tani dan sangat jelas dengan jadwal bulanan sekaligus visi dan misi Paroki ini.
Hidup bersama sebagai satu komunitas semakin akrab. Maka itu, semangat untuk membangun dan menjalin persaudaraan di antara kami, semakin menjamin. Oleh karena itu, saya dapat bergumul bahwa semangat hidup persaudaraan dalam komunitas dapat mewarnai hidup persekutuan dengan Allah Tritunggal Allah di Surga. Kesimpulan bahwa hidup komunitas yang baik dalam pastoral ini, dapat membuka hati dan pikiranku untuk tetap konsisten dengan panggilan sejati dari Allah. Hidup doa pribadi dan bersama, hidup berpastoral, hidup komunitas, relasi dengan pastor dan Keuskupan, membuatku semakin menambah dalam panggilanku. Akhirnya saya dapat mengucapkan terima kasih kepada semua pihak yang mendukungku menjadi imam di Timika.
f. Evaluasi atas Karya Pastoral di Paroki Bomomani
Kiranya saya perlu jelaskan segala persiapan di STFT Abepura. Saya berpikir, segala persiapan yang diadakan di STFT sangat membantu. Persiapan-persiapan di STFT itu dapat mempermudah pelayanan dan pewartaan Kabar Gembira Injil Yesus Kristus di tengah umat di Paroki ini. Persiapan itu sangat membantu dalam menilai dan mengkritisi realitas yang terjadi di umat Paroki dan di tanah Papua. Persiapan-persiapan itu khususnya dalam matakuliah Liturgi, Katekese Umat, Stase Kemasyarakatan, dan Teologi Sosial serta pembinaan-pembinaan yang dibuat di komunitas Seminari Tinggi Interdiosesan Yerusalem Baru Tanah Papua.
 Akhirnya saya akan mengevaluasikan tentang karya pastoral yang sedang diusakan di Paroki Bomomani. Saya berpikir bahwa karya pastoral yang dikembangkan di Paroki sangat bagus dan kontekstual dengan apa yang ada di umat dalam Paroki ini. Hanya caranya melalui jalan modern. Oleh karena itu, saya perlu menjelaskan tentang apa yang dipikirkan oleh umat setempat dan dari Keuskupan Agung Jakarta di Paroki Bomomani-Mapiha.
Gereja universal adalah gereja yang memandang dari segala aspek. Gereja tanpa karya misi dalam pewartaan universal keselamatan adalah mati, demikianlah pemikiran dasar misi Kuskupan Agung Jakarta (KAJ) di Paroki Bomomani-Mapiha. Dengan pemikiran dasar tersebut, Paroki ini dapat mengembangkan semangat misi dalam karya Pewartaan. Tugas perutusannya dapat mengembangkan sebuah misi melalui sebuah karya pastoral yang secara khusus mempersiapkan umat beriman dalam kompetisi ekonomi dan gaya hidup modern.
            Perutusan ini akhirnya membawa Bomomani,Mapiha menjadi sebuah Paroki Pedalaman yang tidak hanya mengembangkan Pastoral seputar altar namun juga mengembangkan pastoral seputar pasar sebagai strategi menyelamatkan semakin banyak jiwa. Kedatangan Pastor-pastor Praja (Pr) dari KAJ memantapkan perutusan misi di daerah-daerah pedalaman atau ke masyarakat lokal untuk mengembangkan budaya agraris khususnya mempromosikan pertanian, peternakan dan pengembangan kopi sebagai pilihan utama orientasi pengembangan ekonomi umat di Paroki Bomomani.
            Setiap orang Mapiha dari wilayah pegunungan yang sangat terisolasi, menemukan gerbang utama untuk berinteraksi sosial, ekonomi, politik dan budaya pada tempat yang terpencil ini. Hal ini membuat Bomomani menjadi titik penting bagi pewartaan Sabda Allah dan penyebaran informasi lainnya. Umat di wilayah Mapiha umumnya adalah petani dalam tingkatan peramu sehingga tidak banyak teknik dasar pertanian dimengerti oleh umat. Baru 74 tahun saja, penduduk asli bertemu dunia luar dengan peradaban modernnya yang menyebabkan kagetnya budaya atau culture shock) bagi seluruh wilayah pegunungan tengah yang rata-rata berada di ketinggian 1500 meter dari permukaan laut.
            Kini, misi KAJ masih akan melanjutkan karya Pastoral di Pedalaman Bomomani Papua. Sambil tetap pada pendirian untuk mempersiapkan umat memasuki dunia modern. Khususnya dalam bidang ekonomi. Misi KAJ untuk pengembangan di daerah-daerah terpencil memusatkan perhatian melalui: 
Visi Paroki Bomomani: Umat menjadi petani Katolik yang sejahtera dan merdeka
Misi KAJ Jakarta: Hendak mewartakan berbagai aspek Kabar Gembira, berdasarkan situasi budaya dan sumber daya setempat kepada umat yang termarginalkan oleh peradaban/modern.
Karya Pengembangan Pastoral:
1.      Pengembangan Karya Pastoral melalui bidang Ekonomi:
-         Pertanian (Memperkenalkan cara bertani modern melalui: buat kompos untuk pupuk tanaman di kebun, rumah koker)
-         Pengembangan Kopi
-         Peternakan (Memelihara babi di kandang dan memberikan makanan dari pabrik)
-         Pemberdayaan masyarakat lokal
-         Perdagangan ini dapat dikembangkan melalui: Koperasi
2.      Pengembangan iman umat dibidang Rohani melalui:
-         Devosi Bunda Maria, dan Jumat Pertama (Adorasi)
-         Doa-doa di Kring
-         Doa-doa kelompok Orang Muda Katolik (OMK)
-         Semangat berliturgi dapat dikembangkan melalui: ciri khas adat-istiadat setempat
3.      Dibidang Sosial:
-         Memperkenalkan media komunikasi: TV, Telpon Satelit,
-         Memperkenalkan gaya hidup modern melalui pembangunan PLTA atau Bangunan Gereja atau bangunan Asrama.
Aktualisasi:
1.     Anak-anak setempat (Anak-anak Bina Tani) malas bekerja, sehingga babi dan kelinci kadang mati;
2.     Walau sebagian kampung tanah subur, tetapi tidak menanam sayur, kopi dan kacang-kacangan;
3.     Walau ada ternak, namun masyarakat setempat tidak mempunyai keahlian memelihara. Ternak dilepas sehingga merusak kebun sendiri atau orang lain akibatnya dituntut denda atau konflik di antara keluarga.
4.     Kadang-kadang tersendat-sendat akibat medang pastoral yang semakin berat dijangkau
5.     Sebagian umat belum mengenal doa Bapa Kami dan salam Maria
Walau aktualisasinya jatuh-bangun, tetapi cita-cita yang hendak dicapai adalah kemandirian masyarakat agraris yang beriman dengan memanfaatkan lahan secara intensif untuk kesejahteraan umum dan perkembangan gereja di tanah Papua. Kuncinya bahwa karya pengembangan pastoral di Paroki ini sangat kontekstual. Paroki hendak mengembangkan apa yang ada di umat melalui cara modern.
Itulah karya pengembangan pastoral baru yang dapat menciptakan habitus baru. Saya telah mengajak umat untuk mengembangkan karya Pastoral melalui pertanian, peternakan, pengembangan kopi dan doa-doa devosi. Saya berpikir bahwa jika ditanam pohon kopi oleh umat di Paroki ini,  maka akan menuai hasil dari generasi ke generasi. Karena kopi bisa bertahan puluhan tahun Generasi berikutnya tidak akan mengalami kesulitan biaya dan ekonomi sekaligus hidup sosialnya aman dan tenang. Tujuannya agar umat menjadi sejahtera dan merdeka. Maka sangatlah tepat sebagaimana Surat Gembala Prapaskah 2011 di Keuskupan Timika-Papua menyatakan: Pentingnya untuk bekerja. Karena bekerja merupakan penemuan jati diri sebagai seorang manusia. Bekerja menanam pohon kopi. Bekerja menanam kacang tanah. Bekerja menanam petatas. Bekerja menanam sayur-sayuran. Jika demikian hidup keluarga tidak akan mengalami kesulitan. Akan mengalami hidup berlimpah.
Apa yang dibuat entah karya pengembangan pastoral maupun semangat umat di Paroki ini, mengantar saya untuk menemukan benih panggilan menjadi seorang imam di Keuskupan Timika. Saya berpikir bahwa saya harus berjalan di jalan Kristus. Mengikuti jalan Kristus berarti berjalan di jalan yang berliku-liku. Berjalan di jalan Kristus berarti pasti akan mengalami kesulitan, penderitaan, kekerasan, penindasan, konflik, godaan dan tantangan, jeritan dan tangisan sebagai umat Allah. Di mana Yesus sendiri memikul salib. Ia mengikuti jalan salib menuju penderitaan, sengsara dan wafat. Ia tolak dan ditantang oleh manusia. Namun Yesus menyatakan akan Kerajaan Allah. Ia mengalahkan maut. Oleh karena itu, percayalah pada Yesus dan mengikuti Dia. Sebagai pengikut-Nya, kita harus memikul salib dan mengalami suasana hidup negatif di bumi Papua ini. Kebanyakan umat Allah sedang mengalami suatu suasana hidup yang  kurang memungkinkan. Suasana hidup itu antara lain: konflik, kekerasan, perampasan, pengurasan sumber alam, illegal logging, penindasan, ketidakadilan, penganiayaan dan bahkan pembunuhan nyawa orang tak berdosa. Itulah kehidupan yang dialami oleh orang asli Papua di era Otsus di tanah Papua. Dalam tantangan seperti ini, kita harus mengikuti jalan yang ditawarkan oleh Allah. Kita mampu bertahan dalam suasana hidup yang mencekam di Papua ini. Dengan begitu, kita pasti akan menang dengan iman dan akan mengalami keselamatan kini dan akhirat bersama Allah di Surga.
            Selanjutnya pokok teologis yang perlu diperhatikan adalah Kabar Gembira. Kabar Gembira adalah Injil Yesus Kristus itu sendiri. Sebab umat mempunyai keyakinan yang kokoh dalam Injil. Karena Injil adalah Kabar Gembira sekaligus kuasa dan kekuatan Allah yang menyelamatkan setiap orang yang percaya (Roma 1:16). Saya mencermati dan menilai penghayatan umat di Paroki adalah Tuhan Yesus adalah Penebus dan Penyelamat bagi kita semua. Selain itu sangat kuat dalam  penghayatan akan Bunda Maria sehingga doa devosi menjadi prioritas pengembangan iman umat di Paroki ini. Mereka (Umat) sangat menghayati akan Tuoye Manaa. Artinya landasan hidup orang Mee yang isinya adalah larangan dan menjaga kekudusan hidup. Maka budaya dan inkulturasi perlu dikembangkan dalam liturgi kontekstual. Agar umat mampu bertahan dalam tantangan dan godaan apapun yang terjadi di lingkungan sekitarnya. Itulah landasan iman umat yang dihayati umat di Paroki Bomomani.
Penutup
Uraian di atas menjelaskan bahwa dalam bidang ekonomi masih terdapat berbagai persoalan dan Otonomi Khusus tidak dapat menyelesaikan persoalan tersebut. Demikian pula dalam bidang sosial dapat disimpulkan pula bahwa masyarakat mengalami “krisis” akan diri sebagai manusia. Peran Otonomi Khusus di satu sisi memberi dampak posistif yakni terjadi perkembangan kota, namun di satu sisi merupakan momok yang membawa bencana bagi Orang Asli Papua. Orang kecil semakin menderita, sedangkan kaum elit semakin bahagia.
Otonomi Khusus lahir dari masalah yang dihadapi oleh orang Papua. Otsus dilihat sebagai suatu strategi yang dapat mengantar orang Papua keluar dari masalah yang dihadapinya. Namun, tidaklah demikian. Otonomi Khusus justru membuat Orang Asli Papua semakin menderita. Oleh karena itu, dikatakan bahwa Otonomi Khusus membawa bencana bagi Orang asli Papua. Justru karena itu, paroki-paroki harus bersikap tegas dan mencari jalan alternatif sesuai konteks dan kebutuhan umat setempat. Semua konteks dan suasana umat diwujudkan dalam karya pengembangan pastoral di tiap paroki. Teristimewa di Paroki Bomomani-Mapiha.
Percayalah bahwa Yesus selalu bersama. Ia selalu menyertai kita. Ia menguatkan dan menemani dalam persoalan dan penderitaan kita. Jadi kita menjadikan Yesus sebagai Kakak kita. Oleh karena itu, pasti kita mampu bertahan dalam persoalan-persoalan yang terjadi di Indonesia dan di era Otsus di Papua.
Demikianlah refleksi yang dapat saya buat dengan besar harapan agar pihak sekolah STFT-Fajar Timur Abepura-Papua dan Keuskupan Timika-Papua agar bisa memberikan dukungan dan motivasi serta doa dalam menjawab panggilan sejati dari Allah yakni menjadi seorang IMAM DIOSESAN TIMIKA dan di Tanah Papua. Akhirnya saya mengucapkan banyak terima kasih atas pengertian dan dukungan dari semua pihak. May the Lord Jesus Christ bless all!

Bomomani, 5 Juni 2011
Teriring: Salam dan Doa
                                                                                                              Toper


Fr. Santon Tekege, Pr

Mengetahui
Pastor Pembimbing



Pastor Paroki Michael Wisnu Agung Pribadi, Pr
Paroki Bomomani, Mapia Dekenat Kamuu-Mapia
Keuskupan Timika-Papua

Tembusan:
1.                  STFT-Fajar Timur Abepura-Papua
2.                  Bapak Mgr. Jhon Philiph Saklil, Pr (Uskup Keuskupan Timika-Papua)
3.                  Arsip


0 komentar: