Selasa, 05 Juli 2011

INDONESIA: Di Manakah Keprihatinan Pemerintah bagi TAPOL/NAPOL di Papua?


Indonesia: Dimanakah Keprihatinan Pemerintah bagi TAPOL/NAPOL di Papua


http://tabloidjubi.com/images/stories/food/edisi58/opini.jpg

(Sebuah Refleksi di Bawah Pohon Ketapan Seminari Tinggi-Papua)
Oleh : Santon Tekege*

Semua realitas kehidupan di Tanah Papua dapat dilihat saat ini adalah akibat dari kepentingan Negara Indonesia dan para kapitalis dalam mengeruk kekayaan alam Papua. Nafsu perselingkuhan kepentingan ini selalu terjadi timbal-balik antara keduanya. Akibatnya, banyak korban dan penangkapan sewenang-wenang dan mendapat stigma  makar dan separatis dari pihak aparat saat Rakyat Papua berteriak meminta haknya. Pemerintah Indonesia dan Pemerintah Provinsi Papua menjadi buta dan tidak ada keprihatinan terhadap situasi Masyarakat Papua, lebih  khususnya TAPOL (Tahanan Politik) dan NAPOL (Narapidana Politik) yang selama ini meneriakkan nasib Rakyat Papua. Mereka membiarkan rakyatnya menjadi korban yang seolah-olah tak memiliki ayah dan ibu. Di manakah keprihatinan Pemerintah Indonesia dan Pemerintah Provinsi Papua bagi TAPOL/NAPOL di Papua?

Semangat transformatif yang memungkinan manusia dapat membebaskan diri dari segala macam bentuk penindasan bukanlah sekedar milik Pemerintah Indonesia atau Pemerintah Provinsi Papua sendiri, pejabat tertentu,kalapas dan gereja-gereja (kelompok agama) tetapi milik semua orang yang mendambakan keadilan, perdamaian dan keutuhan ciptaan di bumi ini.

Ada yang beranggapan bahwa TAPOL/NAPOL adalah orang-orang yang pasrah pada nasib, mereka tidak lagi memiliki semangat untuk berjuang, tidak memahami hak dan kewajibannya sebagai tahanan. Mereka dibiarkan, dicaci maki, diludahi bahkan dipukuli hingga ada yang jatuh sakit berbulan-bulan bahkan bertahun-bertahun tanpa pengawasan dan perhatian dari pihak manapun.
Perjuangan para TAPOL/NAPOL tidak berjuang hanya sekedar untuk kepentingan diri atau demi nilai diri sendiri tetapi perjuangan yang mereka lakukan untuk menuntut keadilan dan juga ingin mengakhiri penindasan untuk mencapai suatu pembebasan dari situasi keterpurukan yang dialami dan dirasakan oleh banyak orang dunia khususnya di Papua.

Semuanya selalu berakhir dengan kekalahan di pihak mereka karena mereka tidak memiliki strategi perlawanan yang kuat, pemimpin yang karismatis, organisasi yang dijadikan alat perjuangan serta tidak menguasai kemajuan teknologi. Tetapi tidak demikian halnya dengan pengamalan hidup yang mereka jalani selama berada di dalam tahanan.
Kondisi mereka sangat menyedihkan karena di dalam lembaga pemasyarakatan itu mereka mendapat banyak tekanan, mereka tidak diberi ruang gerak, kebebasan, demokrasi, dukungan untuk berekspresi bahkan ketika jatuh sakit, para TAPOL/NAPOL selalu  dibiarkan seperti seorang anak yang seolah-olah tidak memiliki orang tua.

Kalapas dan Pemerintah Indonesia maupun Pemerintah Provinsi Papua sadarlah dari ketidaksadaran ‘aneh’ yang membiarkan penghuni lapas menderita dan sengsara seperti yang sedang dialami oleh Bapak Filep Karma, Ferdinand Pakage dan Yusak Pakage dan kawan-kawan lain yang ada lembaga pemasyarakatan (lapas) di seluruh Tanah Papua.

Kalau memang demikian, sejauh mana keterlibatan serta partisipasi Pemerintah Indonesia dan Pemerintah Provinsi Papua untuk meringankan tekanan fisik dan mental yang dialami oleh para TAPOL/NAPOL ini?
Penulis tidak bermaksud agar pemerintah lebih memperhatikan apa yang menjadi keprihatinan dan kepentingan serta pemberdayaan bagi penghuni lembaga pemasyarakatan juga aparatur pemerintah yang bertugas di dalamnya. Tidak demikian halnya dengan pengadaan barang yang dibutuhkan oleh lembaga pemerintahan itu. Juga tidak berniat agar dana Otsus ini diberikan kepada para tahanan dan para petugas tahanan yang ada di Papua. Namun yang diperlukan saat ini adalah eksistensi diri sebagai TAPOL/NAPOL itu sendiri yang sangat didambakan dan perlu untuk diangkat ke public agar mereka merasakan dirinya diperlakukan sebagai manusia. Mereka juga perlunya  diperlakukan sebagai mana adanya. Ingatlah bahwa di dunia manapun hukum dan aturan itu, tidak pernah menjamin keselamatan dan kebebasan bagi eksistensi manusia itu sendiri.

Akibat Hukum dan aturan yang ada di  Indonesia itu, banyak Rakyat Indonesia yang mengalami ketidakadilan, penindasan dan banyak Rakyat Papua diberi stigma sebagai separatis TPN/OPM atau makar seperti yang dialami oleh para TAPOL/NAPOL untuk melanggengkan kekerasan yang telah dilakukan aparat keamanan selama Papua berintegrasi dengan Indonesia. Warga Indonesia selalu mengalami penderitaan.
Wahai, Pemerintah Indonesia di manakah hati nurani dan perasaanmu terhadap rakyatmu, khususnya para TAPOL/NAPOL yang berada dibalik jeruji-jeruji besi di Papua? Di manakah hukum dan aturan yang dapat menyelamatkan manusia, dalam hal ini para TAPOL/NAPOL di seluruh Papua?
Akhirnya penulis berpikir bahwa para TAPOL/NAPOL yang ditangkap oleh aparat keamanan dan diberi stigma TPN/OPM serta dikenai Pasal Makar oleh ahli hukum bahkan hidupnya berakhir dipenjara oleh Pemerintah Indonesia dan Papua hanyalah sebuah proses perselingkuhan yang dilakukan demi kepentingan ekonomi dan politik balik antara elite-elite politik di kedua belah pihak dengan tujuan untuk menjaga keutuhan dan hukum di negara  yang tak manusiawi ini.

Dengan tujuan itu, telah banyak Orang Papua yang jadi menderita dan bahkan menjadi korban di atas tanahnya sendiri.
Dalam kondisi seperti ini, kebanyakan aktivis mahasiswa mulai tergerak hatinya untuk menyuarakan “Wene” yang artinya adalah kabar atau suara dari ufuk timur, cahaya bagi semua orang khususnya bagi kaum lemah dan miskin. Kaum lemah adalah semua orang yang direndahkan yang telah diabaikan harkat dan martabatnya sebagai manusia, semua orang yang tak mampu memancarkan sinar kebenaran, keadilan dan perdamaian bahkan kasih karena berbagai belenggu dan pembatasan oleh karena hukum dan aturan yang tak membawa keselamatan bagi manusia di Indonesia khususnya di Papua.
Hanya karena perjuangan demi kaum lemah dan miskin ini, banyak aktivis Papua terperangkap dalam jerat hukum dan aturan yang jijik dan kurang manusiawi. Hal yang sama juga dialami oleh para TAPOL/NAPOL di Papua. Mereka ditangkap demi kaum lemah dan miskin.
Mereka berjuangan demi nilai bersama yakni kebenaran, keadilan dan perdamaian bahkan kasih itu sendiri. Mereka berjuang demi eksistensi kemanusiaan di Papua. Namun perjuangan itu, selalu diperhadapkan dengan nafsu perselingkuhan kepentingan antara kaum elite politik lokal Papua dengan Jakarta yang hanya ingin mengeruk kekayaan Papua tanpa mengindahkan Masyarakat Adat Papua yang hidup di atasnya. Akibatnya banyak Masyarakat Papua mengalami penderitaan, penindasan dan kekerasan, ketidakadilan, marginalisasi dan pembunuhan yang masih terus berlanjut.

Pembatasan ruang demokrasi dan kebebasan berekpresi serta pemberian stigma TPN/OPM atau dikenai Pasal Makar. Oleh sebab itu, perlunya mencari jalan keluar dan solusi yang baik bagi Masyarakat Papua. Selain itu, perlu adannya keprihatinan dari semua pihak bagi para TAPOL/NAPOL di seluruh Tanah Papua agar mereka dapat memperoleh kembali eksistensinya sebagai manusia di tanahnya sendiri.

*)Penulis adalah Aktivis Papua pada STFT ”Fajar Timur” Abepura-Papua.

0 komentar: