Selasa, 05 Juli 2011

HIDUP BEBAS SEBAGAI ANAK-ANAK ALLAH (Tinjauan Teologi Sosial)


BAB I
PENDAHULUAN
                                                  
1. LATAR BELAKANG       
       Mengapa saya mengatakan bahwa Hidup Bebas sebagai Anak-anak Allah? Pertanyaan ini muncul karena ada banyak ketidakadilan dan kekerasan terhadap anak-anak Allah notabene MANUSIA di dunia khusus di Tanah Papua. Korban ketidakadilan ini menyebabkan kebanyakan manusia mengalami korban yang pada akhirnya belum menikmati kebebasannya sebagai ana-anak Allah. Begitu pun pihak penguasa yang mengorbankan ketidakadilan terhadap orang kecil, miskin, menderita, sakit, kelaparan dan kehausan, kekerasan di dalam Rumah Tangga, di dalam kantor Kerja, di Paroki, di Keuskupan, Kabupaten, Propinsi, dan Negara ini semua belum menikmati kebebasannya sebagai anak-anak Allah. Siapakah pihak-pihak penguasa yang mengorbankan ketidakadilan dan kekerasan tanpa mempedulikan dan tak keberpihakan bagi rakyat kecil dan miskin itu? Pihak penguasa ialah Presiden, TNI, POLRI, BIN, BAIS, MILISI, Gubernur, bupati dan camat, Kardinal, para Uskup, para pastor, para bruder, para suster biarawati, serta para Frater dan semua orang yang tidak menghayati dan merenungkan tentang kebebasan sebagai anak-anak Allah.
            Dengan demikian para korban ketidakadilan maupun para penguasa sebagai pelaku ketidakadilan dan kekerasan, sungguh belum menikmati dan merasakan hidup kebebasan sebagai anak-anak Allah. Oleh sebab itu, kedua belah pihak ini perlu dibebaskan sebagai anak-anak Allah yang bebas. Kedua belah pihak itu perlu merefleksikan dan merenungkan serta memahami arti dan makna kebebasan sebagai anak-anak Allah.  Dikatakan kebebasan sebagai anak-anak Allah, maka manusia menghargai kebebasan manusia lain karena manusia mempunyai kehendak bebas.
            Manusia dari kodratnya memiliki sifat kurang puas akan dirinya, akan lingkungan dan keadaan sosial di sekitarnya. Hal ini disebabkan oleh anak-anak Allah yang menyadari akan dirinya yang mempunyai sifat yakni Kehendak Bebas. Kehendak bebas sebagai anak-anak Allah itu, kadang bersikap atau bertindak bahwa dalam kehidupan ini hanya dia, hanya pemikirannya yang benar serta sikap dan perbuatannya yang paling benar dan baik. Keadaan seperti ini dapat menyebabkan situasi kehidupan menjadi banyak jeritan tangisan, penderitaan, Sengsara dalam kehidupan sebagai anak-anak Allah yang bebas berkehendak dan bebas itu. Hal ini disebabkan karena adanya kenafsuan atau kenikmatan, ketidakadilan dan kekerasan di dunia ini. Jadi  penting untuk merefleksikan dan merenungkan tentang kebebasan sebagai anak-anak Allah. Hal yang penting kita hayati sebagai anak-anak Allah adalah hidup yang aman dan nyaman, tenang, damai, benar, adil, sejahtera, tanpa perang, bertanggung jawab, menghargai identitas orang lain, menghargai budaya orang lain, tanpa membedakan oh ini orang gunung, Oh ini orang pantai, oh ini dari Papua, oh ini dari orang luar Papua, oh ini orang berkulit putih, oh ini orang berkulit hitam, oh ini dari kampung itu, atau kampung ini, atau oh ini ras ini dan itu”. Kita (manusia) ini sama-sama sebagai anak-anak Allah yang kehendak bebas. Orang yang bebas adalah orang yang menghargai martabat dan jati diri manusia lain sebagai manusia yang telah bebas sebagai anak-anak Allah, anak-anak Allah itu: hidup aman dan nyaman dalam keluarga, hidup sejahtera, adanya keadilan dan kebenaran, orang yang peduli dengan realitas sosial, keberpihakan pada orang kecil dan miskin, orang sakit, kerasukan roh jahat, menghargai agama lain, menghargai lingkungan hidup, menghargai sumber daya alam karena mereka juga ciptaan Allah yang perlu dibebaskan, menghargai dan menghormati laki-laki dan perempuan, peduli dengan orang jompo, orang yang peduli dengan orang yang gila, orang yang peduli dengan binatang piaraan maupun binatang buruan (baik yang di darat, laut, maupun di udara). Kalau memang manusia belum bebas dari semua ini, maka perlu dibebaskan dari semua ini. Saya yakin akan situasi ini mengantar kita untuk  kepedulian dan keprihatinan dari kita.
            Dan orang yang bebas adalah orang yang menghargai dan melindungi hutan, pepohonan, air (laut, danau, dan sungai serta mata-mata air dari gunung maupun dari sumur), bebatuan, rerumputan, dan lain-lain karena mereka semua ini sebagai  ciptaan Allah sebagai anak-anak Allah yang bebas, maka perlu kita merenungkan dan merefleksikan dan mengangkat semua ciptaan dari Allah ini sebagai saudara-saudara kita yang bebas sebagai anak-anak Allah. Saya mengatakan demikian karena memang adanya problem dalam kehidupan realitas di dunia ini. Bahkan hingga kini semua manusia di bumi ini, belum merefleksikan dan merenungkan dirinya sebagai anak-anak Allah yang bebas. Orang yang belum merenungkan dan merefleksikan hidup bebas sebagai anak-anak Allah yang bebas, kita mengantar dan mengarahkan mereka, agar mereka merenungkan dan merefleksikan dirinya sebagai anak-anak Allah dalam dunia ini.  
            Keadaan ketidakadilan masyarakat boleh dikatakan menyesengsarakan dan memiskinkan mayoritas masyarakat tersisih dan tak berdaya. Hal ini lebih banyak disebabkan  karena ketidakadilan dan kekerasan yang sengaja diciptakan oleh para penguasa. Ada berbagai bentuk ketidakadilan: misalnya sikap diskriminasi, ketidakadilan dan kekerasan terhadap perempuan, kekerasan dalam rumah tangga, kekerasan dalam di tempat kerja (di kantor), kekerasan terhadap lingkungan hidup, pengrusakan hutan, tidak ada keberpihakan pada orang miskin dan menderita sakit, kelaparan, tidak mengangkat dan membicarakan tentang ketidakadilan dan kekerasan terhadap orang kecil dan miskin, (malah dibiarkan mereka menderita, sakit, lapar, ditindas), supaya dianniaya, diintimidasi, dan dibunuh, disiksa, tidak dihargai identitas diri mereka, (malah diludahi, distigma, diejek, telanjang, dijauhi . Dengan keadaan seperti itu kedua belah pihak, baik orang yang korban ketidakadilan maupun pihak yang memperlakukan ketidakadilan itu belum menikmati kebebasan sebagai anak-anak Allah yang bebas. Oleh sebab itu, saya mencoba  menawarkan sebagai pihak penengah  untuk memperjuangkan kebebasan sebagai anak-anak Allah di tengah dunia ketidakadilan ini menuju KEBEBASAN RADIKAL.  Kita semua dipanggil untuk memberikan teladan hidup kepada Allah dan dunia untuk mencintai dan menghargai sesama, khususnya orang kecil, miskin, tertekan, menderita, jeritan dan tangisan, terabaikan, tersisih dan tersingkir dalam masyarakat menuju kebebasan radikal yaitu kebebasan sebagai anak-anak Allah, kemandirian, dan kedewasaan.[1] Dengan keadaan seperti itu saya mengangkat topik tentang: HIDUP KEBEBASAN SEBAGAI ANAK-ANAK ALLAH (Sebuah Tinjauan Teologis Sosial). Saya mengangkat topik ini karena banyak ketidakadilan, tangisan dan jeritan di atas tanahnya sendiri di dunia ini. Maka dari realitas dunia ini, penulis merefleksikan semua ketidakadilan dan kekerasan dari aspek teologis sosial karena orang belum merefleksikan dan merenungkan tentang realitas yang dialami oleh anak-anak Allah sebagai anak-anak bebas menuju kebebasan mutlak di dunia khususnya di tanah Papua.

2. PERUMUSAN MASALAH
Adapun masalah yang hendak kami angkat dalam penelitian ini adalah sebagai berikut:
2.1. Mengapa manusia belum menikmati dan merasakan kebebasan sebagai
        anak-anak Allah di bumi ini?
2.2. ….........................

3. TUJUAN  PENELITIAN
            Tujuan yang hendak diraih dalam penelitian ini, yaitu:
               3.1. Agar dapat mewartakan konsep Kristiani dari kebebasan sebagai
                      anak- anak Allah dalam dunia ini.
               3.2.  Agar dapat merefleksikan situasi ketidakadilan dan penindasan bagi
                       anak-anak Allah dalam kehidupannya dalam dunia.

5. Tinjauan Pustaka
            Saya menulis penulisan ini dari berbagai buku. Buku-buku yang mendukung saya untuk menuliskan sesuai dengan judul: HIDUP KEBEBASAN SEBAGAI ANAK-ANAK ALLAH DI TANAH PAPUA (Sebuh Tinjauan Teologis Sosial). Buku-buku itu telah uraikan tentang bagaimana saya dapat merefleksikan dan merenungkan tentang kebebasan mutlak sebagai anak-anak Allah. Semua buku yang saya gunakan dalam penulisan ini mendukung agar saya menafsirkan realitas yang dialami dalam umat Perjanjian Lama dan Perjanjian Baru untuk pada saat ini. Kehidupan umat Perjanjian Lama dan Perjanjian Baru itu penuh dengan ketidakadilan dan kekerasan terhadap orang kecil, perampasan dan  pengurasan yang banyak terhadap orang kecil dan tersisih, orang yang tidak berdaya. Situasi yang ada dalam Kitab Suci ini dapat manfsirkan dalam situasi pada saat ini. Oleh sebab itu dalam pembagian bab dalam penulisan ini dibagikan dalam beberapa bab. Semua korban ketidakadilan dan kekerasan ini menyebabkan semua manusia mengalami korban yang pada akhirnya belum menikmati kebebasannya sebagai ana-anak Allah. Begitu pun pihak penguasa yang mengorbankan ketidakadilan terhadap orang kecil, miskin, menderita, sakit, kelaparan dan kehausan, kekerasan di dalam Rumah Tangga, di dalam kantor Kerja, di Paroki, di Keuskupan, di  di Kabupaten, Propinsi, dan Negara ini semua belum menikmati kebebasannya sebagai anak-anak Allah. Siapakah pihak-pihak penguasa yang mengorbankan ketidakadilan dan kekerasan tanpa mempedulikan dan tak keberpihakan bagi rakyat kecil dan miskin itu? Pihak penguasa ialah Presiden, TNI, POLRI, BIN, BAIS, MILISI, Gubernur, bupati dan camat, Kardinal, para Uskup, para pastor, para bruder, para suster biarawati, serta para Frater dan semua orang yang tidak menghayati dan merenungkan tentang kebebasannya sebagai anak-anak Allah. Dengan demikian para korban ketidakadilan maupun para penguasa sebagai pelaku ketidakadilan dan kekerasan, sungguh belum menikmati dan merasakan kebebasannya sebagai anak-anak Allah. Memang dikatakan kebebasan sebagai anak-anak Allah, karena manusia menghargai kebebasan manusia lain, sekaligus kita mengetahui bahwa manusia mempunyai kehendak bebas. Manusia dari kodratnya memiliki sifat kurang puas akan dirinya, akan lingkungan dan keadaan sosial di sekitarnya. Hal ini disebabkan oleh anak-anak Allah yang menyadari akan dirinya yang mempunyai sifat yakni Kehendak Bebas. Kehendak bebas sebagai anak-anak Allah itu, kadang bersikap atau bertindak bahwa dalam kehidupan ini hanya dia, hanya pemikirannya yang benar serta sikap dan perbuatannya yang paling benar dan baik. Keadaan seperti ini dapat menyebabkan situasi menjadi kehidupan yang banyak jeritan tangisan, penderitaan, Sengsara dalam kehidupan sebagai anak-anak Allah yang bebas berkehendak dan bebas. Hal ini sebabkan karena adanya ketidakadilan dan kekerasa di dunia ini. Jadi maksud saya tentang kebebasan sebagai anak-anak Allah adalah
hidup yang aman, tenang, damai, benar, adil, sejahtera, tanpa perang, bertanggung jawab, menghargai identitas orang lain, menghargai budaya orang lain, tanpa membedakan: oh ini orang gunung, oh ini dari pantai, oh ini dari Papua, oh ini orang bukan Papua, oh ini orang berkulit putih, oh ini orang berkulit hitam, oh ini dari kampung itu, atau kampung ini, atau oh ini ras ini dan itu”.
Kita manusia ini sebagai anak-anak Allah sebagai orang yang bebas. Orang yang bebas adalah: “orang yang menghargai martabat dan identitas manusia lain sebagai manusia yang telah merdeka sebagai anak-anak Allah, hidup aman dalam keluarga, hidup sejahtera, adanya keadilan dan kebenaran, orang yang peduli dengan realitas sosial, keberpihakan pada orang kecil dan miskin, orang sakit, kerasukan roh jahat, menghargai agama lain, menghargai lingkungan hidup, menghargai sumber daya alam karena mereka juga ciptaan Allah yang perlu dibebaskan dan dimerdekakan, menghargai dan menghormati laki-laki dan perempuan, peduli dengan orang jompo, orang yang peduli dengan orang yang gila, orang yang peduli dengan binatang piaraan maupun binatang buruan (baik yang di darat, laut, maupun di udara) karena mereka ini adalan saudara-saudara kita yang perlu dimerdekakan, orang yang peduli dan prihatin dengan janda dan duda, melindungi tempat-tempat keramat,  dan orang yang merdeka adalah orang menghargai dan melindungi hutan, pepohonan, air (laut, danau, dan sungai serta mata-mata air dari gunung maupun dari sumur), bebatuan, rerumputan, dan lain-lain”.
            Dikatakan demikian karena mereka sebagai  ciptaan Allah sebagai anak-anak Allah. Kalau memang kini belum mengetahui dan menghayati arti kebebasan ini, maka kini menjadi waktunya untuk kita semua di dunia. Dengan itu, maka kita perlu merenungkan dan merefleksika serta mengangkat semua ciptaan dari Allah ini sebagai saudara-saudara kita yang kebebasan sebagai anak-anak Allah.
Saya mencermati (contohnya) segala permasalahan di tanah Papua dari berbagai bidang sosial (kekerasan dalam rumah tangga, kekerasan terhadap perempuan, dan kekerasan terhadap orang Papua semakin dirasakan karena di dalamnya banyak diludahi, diejek, bodoh, telanjang, penindasan terhadap rakyat kecil, ruang gerak masyarakat dibatasi, kemiskinan, dan pelanggaran HAM. Dalam bidang-bidang sosial ini banyak terjadi ketidakadilan dan kekerasan terhadap anak-anak Allah  sehingga peneliti ingin mengkaji secara mendalam.
            Dengan semua permasalahan yang terjadi di dunia ini, menjadi dasar bagi anak-anak Allah untuk kebebasan mutlak yaitu hidup bebas sebagai anak-anak Allah, mandiri serta kedewasaan sendiri, maka muncul keinginan sebagai manusia yaitu berkehendak untuk hidup kebebasan Sebagai Anak-anak Allah. Semua permasalahan ini dapat saya refleksikan dalam tinjauan teologi sosial. Sebagai contoh saja bahwa semua pengalaman ketidakadilan dan kekerasan terhadap anak-anak Allah di tanah Papua ini, identik juga dengan peristiwa sebelum kedatangan Yesus sebagai Anak Allah di dunia ini, bangsa Israel dijajah oleh bangsa lain, yaitu bangsa Persia, bangsa Yunani, dan terakhir oleh bangsa Romawi.
            Selain ditindas oleh para penjajah tersebut, bangsa Israel juga ditindas oleh para pemimpin-pemimpin sendiri. Kebebasan para budak sangatlah penting untuk membebaskannya. Adanya pemakluman pembebasan bagi mereka yang budak dari bangsa atau secara pribadi demi kepentingan baik laki-laki maupun perempuan, sebagai orang bebas, tetapi dalam kedua situasi tertindas seperti ini kerinduan dan harapan akan datangnya seorang Mesias demi keselamatan bagi manusia bangsa Israel dan anak-anak Allah Papua ini telah nampak dalam lubuk hati orang Papua. Sudah jelas bahwa YESUS sebagai Anak Allah, Dialah sebagai raja Penyelamat manusia di dunia ini. YESUS KRISTUS merupakan tokoh universal bagi manusia di seluruh dunia. YESUS sebagai tokoh yang andal dan paling tinggi yang selalu keberpihakan pada orang miskin dan tertindas, sakit, kerasukan roh jahat, lapar dan haus, peduli dengan orang-orang janda dan duda, orang-orang buta, tuli, yang dianiaya, disiksa.
            Namun Dia dibunuh, disiksa, sengsara, wafat dan dibangkitkan oleh Allah Bapa-Nya sebagai Anak Allah yang bebas demi keselamatan manusia secara universal. Yesus memberikan contoh dan teladan agar kita manusia juga keberpihakan pada manusia yang mederita, sakit, kelaparan dan haus, penyakitan agar disembuhkan, disiksa, diintimidasi, menjadi korban ketidakadilan dan kekerasan. Jadi saudara-saudari, kita telah dibebaskan oleh Anak Allah YESUS KRISTUS dengan penyerahan diri secara penuh bagi manusia (kita ini) supaya kita bebas. Pertanyaan refleksi saja: APAKAH HIDUP KEBEBASAN SEBAGAI ANAK-ANAK ALLAH ITU SEDANG DIREFLEKSIKAN DAN DIHAYATI DALAM KEHIDUPAN INI?. Saya mengatakan bahwa belum dihayati dan mengalami sebagai anak-anak Allah dalam kehidupannya di Papua. Dengan demikian anak-anak Allah merindukan dan harapan akan keselamatan dan kebebasan manusia secara universal baik dari segi Jiwa maupun Raga akan kebebasan sebagai anak-anak Allah. Oleh sebab itu peneliti mengangkat topik yaitu: “hidup bebas sebagai anak-anak Allah di tanah Papua (Sebuah Tinjauan Teologis Sosial)”.
            Apa artinya Kebebasan itu? Kebebasan artinya orang yang melakukan akan kebenaran, keadilan dan kebebasan, karena ketiga nilai itu dapat membebaskan anak-anak Allah. “Jikalau kamu tetap dalam Firman-Ku, kamu benar-benar adalah murid-Ku dan kamu akan mengetahui kebenaran, dan kebenaran itu akan membebaskan kamu” (Kebenaran bisa disalahkan, tetapi tidak dikalahkan). Saudara-saudari kamu dipanggil untuk hidup bebas, tetapi bukan kebebasan sebagai titik-pangkal untuk daging.[2] Dikatakan demikian karena anak-anak Allah sungguh-sungguh bebas: Kristus telah membebaskan kita sebagai anak-anak Allah. Hal ini menjadi nyata bahwa perjuangan anak-anak Allah untuk kebebasan dari ketidakadilan dan kekerasan dalam pribadi kita masing-masing sebagai anak-anak Allah. Kemudian hal ini menunjukkan bahwa iman akan Yesus Kristus telah menujukkan bahwa Yesus Kristuslah tokoh Pembebas: Pusat iman bagi anak-anak Allah yang mengalami ketidakadilan dan kekerasan sehingga merindukan akan kebebasan mutlak yakni kemerdekaan, otonom, kemandirian dan kedewasaan bagi setiap pribadi manusia[3].
   Keadaan ketidakadilan masyarakat, boleh dikatakan menyesengsarakan dan memiskinkan mayoritas masyarakat seperti di Papua. Hal ini lebih banyak disebabkan adanya sistem dan struktur sosial, politik, ekonomi, budaya, kemiskinan yang sengaja diciptakan oleh pihak penguasa. Ada berbagai bentuk ketikdakadilan.[4] Dengan keadaan seperti itu tugas kita sebagai anak-anak Allah dipanggil untuk memperjuangkan keadilan dan kebenaran yang datang dari Allah. Kebenaran akan membebaskan hidup bebas bagi anak-anak Allah. Hal ini sangat penting hubungan yang intim dengan Tuhan. Dipertegas lagi bahwa cinta Allah yang setia dapat dipercaya dan dapat diandalkan. Kalau kita bersandar pada Allah, maka Allah akan menerima diriku betapa berdosapun aku, maka aku sungguh-sungguh seorang yang bebas. Allah mengatakan 'amin' akan eksistensi kita, berarti Tuhan menyetujui dan menerima kita.[5] Panggilan kita telah diukir oleh Allah di dalam hati setiap orang. Semua dipanggil untuk memberikan teladan hidup kepada Allah dan dunia untuk mencintai dan menghargai sesama, khususnya orang kecil, miskin, tertekan, menderita, jeritan dan tangisan, terabaikan, tersisih dan tersingkir dalam masyarakat menuju kebebasan mutlak yaitu kemerdekaan, kemandirian, dan kedewasaan. Dengan keadaan seperti itu, saya mengangkat topik tentang HIDUP BEBAS SEBAGAI ANAK-ANAK ALLAH DI TANAH PAPUA (Sebuah Tinjauan Teologis Sosial). Saya mengangkat topik ini karena banyak ketidakadilan, tangisan dan jeritan di Papua ini, sehingga situasi seperti ini, perlu berbicara dari perspektif teologis sosial.
Memandang sepintas perjalanan kehidupan manusia dari jaman ke jaman selalu ada dalam ketidakadilan, ketidakbenaran, kekerasan, penindasan, dan ruang gerak kebebasan dibatasinya, sehingga belum menikmati hidup kebebasannya sebagai anak-anak Allah di dunia ini. Penguasaan di dunia ini semakin merajalelah. Hal ini identik juga dengan masa Perjanjian Lama dimana peristiwa sebelum kedatangan Yesus, bangsa Israel dijajah oleh bangsa lain, yaitu bangsa Persia, bangsa Yunani, dan terakhir oleh bangsa Romawi. Selain ditindas oleh para penjajah tersebut, bangsa Israel juga mengalami ketidakadilan dan kekerasan serta ruang gerak kebebasan mutlak dibatasi oleh para penguasa sendiri. Dalam kedua situasi ini dapat mengalami banyak ketidakadilan, kekerasan dan tertindas. Situasi seperti ini anak-anak Allah notabene manusia merindukan dan harapan akan datangnya seorang Mesias demi kebebasan dan keselamatan bagi manusia bangsa Israel dan anak-anak Allah di dunia ini. Hal itu telah nampak dalam lubuk hati setiap manusia di dunia ini khususnya di tanah Papua.
Dalam situasi yang tak mungkin bagi anak-anak Allah (manusia), mereka merindukan dan harapan akan keselamatan, keadilan, kebenaran, kebebasan manusia secara universal baik dari segi Jiwa maupun Raga sebagai anak-anak Allah yang bebas. Namun anak-anak Allah harus memikul salib seperti Anak Allah Yesus yang memikul salib yang berat demi penebusan dan kebebasan bagi anak-anak Allah di bumi ini. Manusia sebagai Anak-anak Allah juga memikul salib, oleh karena banyak ketidakadilan, kekerasan, penindasan, dan ruang gerak kebebasan dibatasi dalam pribadi setiap manusia baik pihak korban maupun pihak yang mengorbankan terhadap orang-orang tersisih, miskin dan menderita. Kedua belah pihak belum mengalami dan merasakan hidup kebebasan sebagai anak-anak Allah. Di dalam tiap pribadi manusia itu belum bebas sebagai anak-anak Allah sehingga penulis memberikan sebuah penawaran agar penting untuk menghayati dan merefleksikan hidup kebebasan sebagai anak-anak Allah demi kebenaran, keadilan dan perdamaian bahkan pembebasan mutlak yakni kemerdekaa, otonom, mandiri, dan kedewasaan setiap pribadi kita sebagai anak-anak Allah tanpa adanya ketidakadilan, kekerasan dan penindasan serta ruang gerak kebebasannya dibatasi baik di rumah maupun di masyarakat secara publik. Dikatakan demikian karena anak-anak Allah mempunyai kebebasan yang bebas, mandiri dan kedewasaan.
Dengan demikian orang yang bebas dan adil adalah orang yang bebas dari segala ketidakadilan dan kekerasan di bumi. Arti orang yang bebas, telah diuraikan dalam latarbelakang ini. Semua konteks yang terjadi sekarang di bumi ini, sama hal juga dengan Perjanjian Lama maupun Perjanjian Baru pada zaman Yesus. Walaupun YESUS telah membebaskan bagi kita (manusia) secara universal, tetapi kini manusia belum menikmati hidup kebebasannya sebagai anak-anak Allah, sehingga perlu untuk direfleksikan dan merenungkan tentang keadilan, kebenaran, dan kebebasan mutlak yaitu kemerdekaan, kemandirian, dan kedewasaan sebagai anak-anak Allah. Oleh sebab itu, penulisan ini dapat dibagi menurut beberapa bab yakni: bab pendahaluan, yang mengungkapkan latarbelakang masalah, perumusan masalah, tujuan penulisan, landasan teoritis, metode dan teknik penelitian, dan sistematika penulisan, selain itu bab berikutnya berisikan tentang Analisa Sosial Politik Papua, Refleksi Teologis tentang Hidup Bebas sebagai Anak-Anak Allah,  kesimpulan dan saran serta rancangan Pastoral. Itulah uraian saya tentang penulisan saya dan akan dijadikan sebagai penulisan akhir di sekolah ini. Demikianlah penulisan, semoga saudara-saudari dan bapak dosen dapat mendukungnya. Atas perhatian dan dukungan, saya mengucapkan banyak terima kasih.


6. METODE DAN TEKNIK  PENELITIAN
           6.1. Metode Kepustakaan
           Melalui studi ilmu Teologis Sosial ini, penulis akan berupaya mengembangkan tulisan ini untuk mengintegrasikan antara data-data yang diperoleh di lapangan dengan buku-buku referensi yang tersedia di perpustakaan guna menjamin bobot ilmiah.

             6.2. Metode Observasi Partisipasi
             Dalam bagian ini peneliti akan menggunakan teknik obsevasi partisipasi. Dikatakan demikian karena peneliti menilai bahwa observasi adalah pengamatan langsung kepada sebuah obyek yang akan diteliti. Observasi tidak selalu menuntut suatu bentuk yang sistematik dan ia hanya merekam peristiwa, kelakuan, dari obyek yang terjadi dalam lingkungan sosial. Kemudian akan mengadakan study yang mendalam. Tempat observasi yang saya lakukan adalah dalam kehidupan nyata baik di seminari, di STFT-Fajar Timur, di seluruh kota Jayapura dan Kab. Jayapura maupun dimedia massa (lokal, nasional dan Internasional). Di samping itu peneliti akan langsung partisipasi dalam kehidupan sosial di kota Jayapura dan Kab. Jayapura tetapi di seluruh Papua yang bisa kontak lewat via telephon atau terlibat langsung di lapangan penelitian kemudian mengadakan studi yang mendalam. Saya pikirkan bahwa saya bisa buat sejauh saya bisa dan mampu untuk mengadakan penelitian di perpustakaan dan di Kab. Jayapura serta Kota Jayapura.
         6.3. Teknik Wawancara
             Interview sebagai sebuah percakapan dengan maksud tertentu dalam memperoleh keterangan yang akurat, maka selanjutnya peneliti akan menggunakan teknik ini, guna memperkuat validitas data yang diperoleh melalui angket. Dalam teknik wawancara ini, peneliti akan gunakan 12  orang/lembaga yaitu: 10 orang masyarakat adat Papua, 2 orang tokoh lembaga kemanusiaan dalam Gereja melalui: SKP Keuskupan Jayapura dan KPKC Kingmi Papua. Kedua lembaga keagamaan ini peneliti akan mewawancarai. Dengan teknik ini peneliti dapat melakukan verifikasi terhadap data langsung di lapangan. Dari panduan data wawancara peneliti akan berupaya mengembangkan menjadi bahan tambahan pemahaman tulisan ilmiah dan bukan sebagai bahan untuk dituliskan di dalam tulisan ini.

7. SISTEMATIKA PENULISAN
         Tulisan ini terdiri dari lima bab yang langkah demi langkah mengemukakan pikiran-pikiran yang melandasi, yang merupakan tujuan penelitian ini. Maka sesaran sistematis penelitian ini akan tersusun sebagai berikut:

Bab I, adalah bab pendahaluan, yang mengungkapkan latarbelakang masalah, perumusan masalah, tujuan penulisan, landasan teoritis, metode dan teknik penelitian, dan sistematika penulisan.
Bab II, Berisikan tentang Analisa Sosial Politik Papua.
Bab III, Bab ini berisikan tentang Refleksi Teologis tentang Hidup Bebas sebagai Anak-Anak Allah.
Bab IV. Penutup: berisikan kesimpulan dan saran
Bab V. Rancangan Pastoral.








BAB II
ANALISA SOSIAL POLITIK PAPUA
            Dalam kesempatan ini, penulis memandang persoalan-persoalan konflik kemanusiaan di belahan bumi ini khususnya di tanah Papua. Semua situasi konflik tidak manusiawi itu, mengantar orang untuk menyadari akan pentingnya refleksi terus-menerus sebagai anak-anak Allah dalam realitas yang terjadi di Tanah Papua. Dengan kesadaran ini, maka manusia dapat menemukan nilai mana yang perlu dikembangkan dan diangkat ke permukaan untuk mengatasi dan mengurangi penderitaan, konflik, penindasan bagi kaum lemah dan miskin itu. Dengan hal ini, maka mengantar kita mengalami cinta kasih Allah yang melandasi nilai keadilan dan perdamaian demi keselamatan manusia. Bagaimana caranya mengantar orang untuk menemukan diri mereka sebagai anak-anak Allah dalam realitas sosial itu?
2.1. Akar Penyebab Penderitaan
            2.1.1. Keamanan
            Keamanan merupakan hal yang tak terpisahkan dari kekuasaan. Demi stabilitas kekuasaan, keamanan dijadikan sebagai lokomotif dan main kekuatan dasyat penyelenggaraan pemerintahan. Embirio kebijakan keamanan di Papua berasal dari konsepsi antara kepentingan kekuasaan Jakarta dan ekspansi idiologis Amerika serikat. Embiro ini kemudian lahir untuk memenangkan PEPERA melalui kebijakan pemerintah Indonesia, Direktorat Sosial Politik dan Lembaga Operasi Khusus Irian jaya Barat (OPSUS). Kebijakan ini pada mulanya diimplementasikan oleh komando Mandala dengan kegiatan penyerbuan infiltrasi dan penyerbuan.[6] Setelah itu dilanjutkan dengan Komando Militer Irian Jaya (KODAM) XVII terbentuk dilanjutkan juga dengan operasi militer lain dan banyak daerah di seluruh tanah Papua dijadikan sebagai Daerah Operasi Militer (DOM) tahun 1969-1980-an tetapi juga hingga kini ada banyak operasi di daerah seluruh tanah Papua demi kekuasaan dan keamanan serta keutuhan NKRI. Operasi militer menggunakan doktrin binomial militer yakni stabilitas dan pembangunan. Unsur yang menyertai stabilitas ialah KEAMANAN, dan karena itu militer dikerahkan untuk mengamankan Papua agar pembangunan dapat berlangsung dengan langsung lancar. Dari sisi rakyat Papua, kebijakan menyebabkan menjadi dua kubu, yakni kubu (Pro Papua Merdeka) dan anti merdeka (Pro Indonesia). Pro Indonesia menjadi semakin tajam dan mengarah ke bentrok fisik langsung. Militer pasti merangkul kelompok pro Indonesia. Konflik antara kedua kubu ini, bukan lagi hanya bersifat laten, diplomasi politis, dan jargon-jargon, tetapi sudah mengarah ke tindakan-tindakan  anarkhis yang paling menghancurkan dan saling mengabaikan satu sama lain sebagai manusia. Akhirnya nilai kemanusiaan itu telah diambang pintu maut dan kemusnahan.
            Pembangunan segalanya yang ada di Papua selalu dengan pendekatan keamanan, ini di satu sisi bersifat destruktif, sungguh-sungguh luar biasa destruktif, karena dihancurkan bukan saja material saja tetapi hal yang substansial yakni cara berpikir dan tata nilai orang asli Papua. Militer berusaha secara sistematis dan terencana untuk membrantas rakyat Papua yang memiliki perspektif berpikir politik berbeda dengan pendekatan-pendekatan militer dalam segala pembangunan di tanah Papua. Akibatnya  kurang adanya kebebasan ekspresi dan menyampaikan pendapat, menyuarakan realitas ketidakadilan, kekerasan, perampasan SDA, penangkapan, dan lain-lain, bahkan selalu dinilai OPM dan separatis di tanah Papua. Akhirnya tinggallah penderitaan demi penderitaan, jeritan demi jeritan, dan tangisan demi tangisan di tanahnya sendiri di Tanah Papua. Disebabkan karena, dengan pendekatan kekerasan senjata dan stigma separatis dan OPM, maka rakyat tidak berdaya dan mengikuti keinginan pemegang kekuasaan dan pemilik senjata. Tata nilai rakyat setempat, mengalami kehancuran karena pembangunan tidak memperhitungkan kultur setempat berkaitan dengan kosmos (lingkungan alam, komunitas-komunitas orang Papua menjadi kehancuran) dan sesama sebagai manusia. Rakyat terpasung oleh kekuasaan dan tenggelam dalam nilai baru yang dipaksakan tanpa filter sehingga rakyat kehilangan identitas aslinya atau identitas budaya asli Papua akibat kekuasaan dan keamanan militerisme di tanah Papua.
            Pendekatan binominal menciptakan politik adu domba di antara rakyat Papua.[7] Mereka yang mendukung dirangkul dengan diberi jabatan (meski dengan kontrol ketat), ditugasbelajarkan, ditingkat basis diberi barang-barang konsumtif (beras, makanan, kaleng, pakaian, tape, radio). Mereka yang menolak ditangkap, diinterogasi, diintimidasi, diteror, mengalami pelecehan seksual dan kekerasan fisik bahkan di bunuh.[8] Dampak negatifnya adalah terjadi kecurigaan di antara rakyat Papua, mereka takut keluar rumah untuk melakukan kegiatan harian (di rumah, di halaman rumah, di kebun, di butan untuk mencari kayu, mencari kuskus, mencari bahan kayu untuk pembuatan rumah, dan lain-lain), ada yang pengungsian besar-besaran ke PNG, pelarian suaka ke Australia dan lain-lain. Kekerasan di tanah Papua menimbulkan korban berjatuhan di kalangan rakyat yang tidak berdosa, data pasti tentang korban sulit ditemukan karena takut dipublikasikan dan kalau dipublikasikan di publik, maka ujungnya ditangkap atau dibunuh oleh militer Indonesia. Apa yang terjadi? Marilah kita sama-sama melihat uraian di bawah ini.
            2.1.2. Pelanggaran HAM
            Saya melihat bahwa sumber konflik di Tanah Papua adalah Integrasi sejarah Papua ke dalam wilayah NKRI dan Identitas politik orang Papua, kekerasan politik dan pelanggaran HAM, Gagalnya pembangunan di Papua, dan inkonsistensi pemerintah dalam implementasi Otsus serta marjinalisasi orang asli Papua. Secara historis, penafsiran terhadap sejarah integrasi, status politik, dan identitas politik Papua muncul sebagai hasil pertarungan politik kekuasaan pada masa dekolonisasi Papua. Sedangkan kekerasan politik dan kegagalan pembangunan merupakan implikasi dari rezim otoritarianisme orde baru. Sementara itu, inkonsistensi pemerintah dalam implementasi Otsus lebih prihatin persoalan yang muncul pada masa pasca-orde Baru.[9]
            Dengan keadaan itu, manusia menjadi korban berjatuhan demi melancarkan keutuhan NKRI dan Kekuasaan di tanah Papua. Kita sudah melihat sama-sama realitas di lapangan bahwa banyak manusia korban. Letak korban selalu berlainan, ada yang memang karena di tembak mati, ada yang melalui racun makanan dan minuman biasa maupun berakohol, ada yang pemerkosaan, kekerasan fisik maupun kekerasan untuk membunuh psikologis orang asli Papua, Intimidasi, penganiayaan, terorisme,  dan melalui penyakit AIDS. Dengan cara-cara itu, maka banyak masyarakat Papua yang korban dan pelanggaran HAM pun meningkat setiap hari, dengan tujuannya bahwa demi menjaga keamanan dan Keutuhan NKRI sehingga banyak melancarkan kekerasan terhadap manusia di tanah Papua. Semuanya ini dapat merangkul dalam empat pokok permasalahan di tanah Papua ini. Keempat hal tersebut dapat digambarkan dalam tabel berikut ini:

Persoalan, Konteks, dan Kontradiksi Pemikiran (sebuah refleksi realitas sosial)
Persoalan
Konteks
Pemikiran Dominan
(Nasionalis Indonesia)
Pemikiran Tandingan
(Nasionalis Papua)
Sejarah Integrasi, Status Politik, dan Identitas Politik
Peralihan Kekuasaan dari Belanda Ke Indonesia dan Perang Dingin
Teritori Papua bagian dari NKRI (Papua Harga Mati DI NKRI),
Status politik sudah sah melalui PEPERA dan resolusi PBB,
Integrasi=Pembebasan dari Kolonialisme Belanda
Orang Papua bukan bagian dari NKRI karena Melanesia,
PEPERA tidak sah karena banyak kecurangan dan ketidakadilan secara manusiawi dan tidak reprentasikan aspirasi seluruh rakyat di wilayah Papua,
Integrasi=Kolonialisme Indonesia
Kekerasan Politik dan Palanggaran HAM
Rezim otoritarisme Orde Baru dan Kapitalisme Internasional
Kekerasan dan Pembunuhan secara tersembunyi dan transparan=Cara untuk menjaga keutuhan NKRI
Kekerasan dan Pembunuhan transparan dan tersembunyi=Pelanggaran HAM di tanah Papua
Kegagalan Pembangunan
Rezim otoritarisme Orde Baru dan Kapitalisme Internasional
Pembangunan=Upaya Modernisasi orang Papua di tanah Papua
Pembangunan=Migrasi tenaga Kerja dari luar Papua dan Marjinalisasi orang Asli Papua dari berbagai aspek sosial.
Inkonsistensi Kebijakan Otsus dan Marjinalisasi Orang Asli Papua
Reformasi dan Demokrasi
Otsus=Diletakkan dalam konteks Integrasi Nasional dan Pembangunan
Otsus=Pelurusan Sejarah Papua, Perlindungan Hak-hak Orang Asli Papua, Pembangunan untuk Orang Asli Papua, dan Repapuanisasi.

            Setelah kita membaca tabel ini, pasti kita pikirkan bahwa ada nampak yang berbahaya pada manusia. Otoritarisme maupun kebijakan segala pembangunan yang ada di tanah Papua adalah tanpa memprihatinkan dan kepedulian tentang MANUSIA. Dikatakan demikian karena manusia yang dapat mengalami dampak yang berbahaya dari aspek kekuasaan demi HARGA MATI NKRI dan KEUTUHAN NKRI dan Kebijakan Pembangunan oleh Pemerintah Indonesia di tanah Papua ini.  Hal ini sangat tidak berpihak pada manusia sehingga harkat dan martabat manusia sebagai manusia direndahkan dan tak hargainya dan sungguh-sungguh berbahaya pada manusia yang sedang tertindas dan saya pikir akan terjadi genocide di tanah Papua ini. Maka, kalau prediksinya demikian, sehingga perlu ada peruntukkan bagi manusia asli Papua. Dengan menyadari akan konteks realitas ini, harus selesaikan dan menegakkan KEADILAN melalui jalan PERDAMAIAN dan melalui jalan DIALOG untuk penyelesaian kedua pemikiran di atas ini. Karena semua kebijakan dan segala perekonomian selalu memarjinalisasi bagi orang asli Papua sehingga menjadi miskin di atas tanahnya sendiri. Masalah kemiskinan ini saya akan uraikan di bawah ini.
            2.1.3. Kemiskinan
            Sangat-sangat menarik bagi kita untuk mencermati realitas kemiskinan, dengan mengamati realitas kemiskinan itu, dapat menunjukkan pengalaman di kota-kota dan desa-desa di Papua ini. Sejak tahun 2007 dan 2008; pada satu sisi di kota-kota (Propinsi dan Kabupaten) terjadi peningkatan jumlah kendaraan bermotor (bermotor dan mobil) baik yang berplat nomor Papua maupun luar Papua (khususnya dari Sulawesi dan Jawa) entah dinas, pribadi, maupun umum.[10] Selain itu, bertumbuh pula rumah toko (Ruko), demikian juga peningkatan transportasi udara ke daerah-daerah pedalaman serta ke luar Papua baik frekwensi maupun armada penerbangan, bertambahnya frekwensi dan armada transportasi laut baik intern Papua untuk kota-kota pesisir pantai maupun ke luar Papua. Ternyata pada sisi lain, mayoritas rakyat Papua di pedalaman tidak tercukupi kebutuhan pokok untuk menjalani hidup meraka. Terjadi jurang yang lebar antara mayoritas rakyat Papua yang tidak memiliki apa-apa dengan minoritas orang yang menumpuk kekayaan itu.
            Realitas kemiskinan orang Papua dapat kita bisa melihat melalui kolerasi antara keterbelakangan orang asli Papua dengan kekayaan sumber daya alam yang melimpah ini. Berlimpahnya kekayaan sumber daya alam Papua, menjadi daya tarik tersendiri bagi investor asing. Investor asing itu, akan menanamkan modal di tanah Papua dengan membuka perusahan-perusahan tanpa peruntukkan bagi orang asli Papua. Kita dapat melihat bahwa prinsip perusahan adalah mencari keuntungan, lembaga komersial pasaran, modal dan bukan sebagai kelembagaan sosial yang dapat berpihak pada manusia. Perusahan-perusahan itu dapat mengharapkan dan dapat menyerap tenaga kerja yang kompoten dari segi pengetahuan, ketrampilan (skill) dan afeksi terutama relasi sosial dan etos kerja orang asli Papua. Mereka yang memiliki keahlian dan ketrampilan pada umumnya berasal dari luar Papua. Mereka ini mendapatkan tanggung jawab yang besar dan mendapatkan sejumlah fasilitas serta gaji yang tinggi. Sedangkan orang asli Papua menjadi penonton saja, pemberian jasa atas kerja yang tidak memadai, tidak memberikan pelatihan-pelatihan dan kursus-kursus dalam bidang perbengkelan, dan bidang lain-lain sesuai dengan konsep pemerintah Indonesia. Dengan  demikian tingkat kesejahteraan orang asli Papua pun semakin baik dari waktu ke waktu. Harga pasaran semakin mahal sehingga mendorong orang asli Papua untuk menjual segala kekayaan yang ada demi kebutuhan pokok maupun biaya pendidikan dan kesehatan bila sakit.
            Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa realitas kemiskinan orang Papua di tanah Papua pertama-tama bukan kemiskinan yang bersifat individual sebagai akibat dari perilaku individual, juga bukan karena faktor alam yang tandus dan kering. Kemiskinan di Papua sudah merupakan kemiskinan struktural. Kemiskinan yang dialami rakyat Papua karena distrukturkan oleh sistem ekonomi-sosial-politik masyarakat dan negara sehingga sebagian orang asli Papua tidak menggunakan sumber pendapatan yang tersedia oleh alam bagi mereka. Struktur itu dimanfaatkan oleh para penentu kebijakan (Policy Makers) yang memiliki kekuasaan, (misalnya: eksekutif, legislatif) dan mereka yang memiliki penentu kebijakan seperti pengusaha/kapitalisme (pemilik modal), elite-elite militer (pemilik senjata) dan keluarga-keluarganya serta kroni-kroninya untuk kepentingan mereka sendiri.
            Pengolahan SDA di Papua masih bersifat ekstrak, berupa bahan mentah atau setengah jadi, sehingga tidak membutuhkan struktur ekonomi yang berkualitas di kalangan rakyat dan tidak mempengaruhi tingkat kesejahteraan orang asli Papua secara langsung. Redistribusi dari pusat ke daerah tidak langsung kepada rakyat tetapi melalui pusat kekuasaan eksekutif di daerah, baik di propinsi maupun kota/kabupaten. Mekanisme demikian merupakan hal yang wajar, namun menjadi tidak efektif dan sangat tidak efektif karena ada tuntutan kepentingan elite birokrasi, dari pihak pembuat peraturan daerah (legislatif), kelompok yang mengklaim berjasa dalam mengorbitkan kepala daerah (partai politik, pengusaha) menuntut untuk mendapatkan bagian, maka terjadilah sah di antara mereka. Tali temali yang demikian menghasilkan mental koruptif di kalangan pejabat dan penentu kebijakan.[11] Akhirnya rakyat hanya mendapatkan ampas saja atau terbelakang atau termarjinalisasi di tanhanya sendiri.
            2.1.4. Pendidikan dan Kesehatan
            Selain masalah pelanggaran HAM dan kemiskinan, juga terdapat masalah pendidikan dan kesehatan. Masalah pendidikan telah berakar dalam diri manusia. Manusia yang menjadikan masalah. Akhirnya masalah pendidikan itu tidak bisa diatasi. Dikatakan demikian karena manusia ingin menguasai seluk beluk dunia pendidikan dan ingin berkuasa atas dunia pendidikan lokal. Karena tidak mengangkat pendidikan lokal, dipaksakan model pendidikan luar, maka akibatnya hilanglah model pendidikan lokal yang bersifat substansial bagi eksistensial masyarakat asli atau lokal. Pendidikan luar dipaksakan kepada masyarakat lokal tanpa adanya sarana dan prasarana yang memadai. Pendidikan yang baik adalah pendidikan yang berlandaskan pada pendidikan lokal dan tersedianya sarana dan prasarana yang memadai di sekolah-sekolah baik yang di kota-kota maupun di kampung-kampung.          Bukan hanya itu tetapi juga perlu tersedianya juga tenaga-tenaga pengajar yang bermutu dan handal sesuai standar Internasional. Kalau kurangnya pendidikan bermodel lokal, kurangnya tersedianya sarana dan prasarana, dan tenaga-tenaga pengajar, maka akibatnya para murid mengalami kurang bersaing dengan dunia modern. Saya mau katakan bahwa berikanlah kebebasan berpikir dan bertindak dalam pendidikan lokal agar mampu bersaing dengan dunia modern sehingga perlu meningkatkan pendidikan yang bermodel lokal. Perlu dibutuhkan kini dan saat ini adalah orang yang bisa memberikan model pendidikan sesuai pendidikan local selain sarana dan prasarana agar ia “berpikir secara lokal dan bertindak secara global”.
            Lain hal lagi adalah Masalah kesehatan. Masalah kesehatan juga paling dominan dalam dunia kini dan saat ini. Masalah kesehatan sedang berada dalam kehancuran. Letak kehancuran berada dalam komunitas hidup manusia baik secara substansial maupun eksistensi bagi manusia secara bersamaaan. Nilai dan perwujudan eksistensi manusia sebagai yang bernilai dan bermakna sebagai hasil-hasil budaya sedang dimusnahkan oleh perilaku manusia yang bersifat liberation. Nilai-nilai religius yang menjadi pedoman dan dasar hidup manusia dalam hidup bersama yang diungkapkan dalam tabu terhadap dunia bebas notabene hubungan seks di luar perkawinan dilanggar. Akhirnya virus penyakit AIDS ini menjadi dampaknya yang membahayakan bahkan mengorbankan bagi manusia. 
            Bukan hanya masalah AIDS saja, tetapi juga gizi buruk, busum kelaparan, wabah kolera, penyakit-penyakit lain seperti batuk, ginjal, kudis, TBC, tumor, hepatitis,  yang dapat mematikan bagi manusia. Semua masalah ini terus berlanjut terus-menerus dalam kehidupan manusia di bumi ini. Oleh sebab itu diharapkan agar pemegang kekuasaan dapat meningkatkan pelayanan kesehatan bukan saja di kota-kota saja tetapi lebih prihatin di kampung-kampung di seluruh daerah Papua. Pemerintah jangan hanya berkotek-kotek bersuara dibalik meja saja, coba lihatlah disekelilingmu ada banyak penderitaan kesehatan, busum kelaparan, gizi buruk dan penyakit-penyakit yang dapat mematikan itu. Namun kenyataannya tidak relevan walau berteriak dan menangis untuk minta perlindungan dan keselamatan, malah dibiarkan begitu saja seperti binatang saja. Jangan hanya berkata dan omong-omong saja tetapi nyatakanlah dalam perwujudan agar masyarakat dirasakan pelayanan dalam hal kesehatan. Jangan ada ingin berkuasa dan membiarkan manusia lain berkorban, tetapi taatlah pelayanan kesehatan. Dan jangan lagi pelayanan kesehatan menjadikan sebagai bisnis dan usaha melalui apotik-apotik dan rumah-rumah pelayanan lain. Janganlah minta dana berobat dan perawatan lebih dari apa yang sedang didapatinya dan cukupkanlah dengan gajimu dan jangan menagih dan memeras rakyat kecil.
            2.1.5. Penindasan: Para Feodal dan Eskploitasi Para Kapitalis
            Gambaran hidup orang beriman tumbuh subur dalam berbagai bentuk penindasan. Kita pun jangan melihat bahwa agar iman bagi seseorang tumbuh dan subur, maka kita ciptakan konflik dan menindas. Berbagai bentuk penindasan yang terjadi di belahan bumi ini. Bentuk penindasan itu berasal dari: Penindasan dari kaum feodal. Para kaum feodal ini, menindas bagi kaum lemah dan miskin akhirnya penderitaan terus berlannjut.
            Dalam keadaan itu, para kaum lemah dan miskin tidak mengalami dan merasakan dirinya sebagai anak-anak Allah. Dikatakan demikian karena, selalu hidup dengan penderitaan, konflik, sakit-sakitan, lapar, dan merasakan diri mereka sebagai orang yang terlupakan oleh pemerintah dan para feodal dan kaum kapitalis. Ketika terjadi penyebaran dan merajarela kaum kapitalis, maka terjadi pengurasan dan perampasan sumber daya alam yang selalu di beck-up oleh keamanan militer.
            Kini menjadi catatan penting adalah masalah Papua jika dilihat secara abstraksi terjadi sebagai akibat dari jarinan erat antara Negara dengan kekuatan modal. Jalinan lahir dari proses hubungan kepentingan yang bersifat timbal-balik antar keduanya, yang secara bersamaan akibat praktiknya melahirkan esklusi terhadap hak-hak asasi rakyat Papua sebagaimana dapat kita berbagai kasus kekerasan, peminggiran, hingga pencerabutan hak asasi rakyat Papua selama bertahun-tahun. Dalam kaitan ini, keberadaan Negara (pemerintah) yang seharusnya menjamin dan memenuhi hak asasi rakyatnya malah menjadi “pelayan” setia bagi kepentingan modal asing daripada rakyatnya sendiri. Gambaran ini bila dikaitkan dan mengkaji persoalan Papua secara umum, terutama eksistensi PT. Freeport Indonesia di Timika dan Migas di Sorong serta perusahan kelapa sawit, perusahan lain di Papua. Dalam keadaan itu, penindasan menjadi makanan harian bagi orang Papua. Akibat kebanjiran para feudal dan para kapitalis di seluruh Papua sehingga rakyat menjadi tak berdaya dan dikuras dan perampasan secara besar-besaran di tanah Papua. Secara singkatnya dikatakan bahwa terjadi perselingkuhan Negara dan Kekuatan Modal dalam bingkai keamanan dengan ujungnya terjadi penindasan manusia di tanah Papua.
            2.1.6. Perampasan Sumber Daya Alam
            Ketika perkembangan semakin maju, dan terus maju, maka Para feodal dan kapitalisme pun menyebarluas di seluruh jagad raya. Segala sumber alam menjadi korban bukan karena dimanfaatkan secara baik, tetapi secara gila alam dirusakan dan dipaksakan untuk menghabiskan segala sumber daya alam (emas, minyak bumi, gas alam, tembaga, nikel, dan timah). Semua perampasan ini terjadi karena gila uang dan gila politik penguasaan bagi sesama yang lain khususnya bagi kaum lemah dan miskin. Misalnya PT. Freeport Indonesia di Timika dan Migas di Sorong Papua.
            Selain itu kita bisa cermati dalam perusahan-perusahan kecil dan perusahan illegal yang ada di Papua. Kita bisa sebut saja bahwa Perusahana pendulangan emas illegal di Degeuwo-Paniai, Pendulangan emas illegal di Bouwo Kab. Deiyai, Pendulangan emas illegal di Topo Nabire dan Pencurian kayu di Lopong Nabire bahkan rencana Gubernur Papua untuk membangun Pembangkit Listrik Tenaga Air (PLTA) di dua lokasi yang kini masih perawan di Papua yakni Papua bagian Utara di hutan berantara Mambramo dan Papua bagian Selatan di hutan belantara di Kapiraya Kab. Deiyai.[12] Semua ini berdampak pada pengrusakan lingkungan notabene komunitas hidup oleh orang Papua. Masyarakat asli menjadi penontong sekaligus korban dari perusahan tersebut. Mudah untuk mendatangkan orang luar Papua di tempat kerja itu. Oleh sebab itu, gampang dibuat dan mendatangkan para transmigrasi di Papua.
            2.1.7. Transmigrasi
            Ketika munculnya kepadatan penduduk di mana-mana, orang mencari tempat yang layak dan bisa dihuni manusia. Orang mulai mencari dan terus mencari tempat yang layak perlindungan baginya. Jika menemukan tempat yang layak, orang mulai berbondong-bondong menampung ke daerah yang memang layak dihuni manusia.
            Kata transmigrasi[13] ini, sangat baik bila dipakai di tanah Papua. Dikatakan demikian karena Papua itu lahannya banyak kosong dan bisa huni manusia. Kebanyakan orang luar Papua berbondong-bondong datang di tanah Papua untuk mencari daerah yang layak hidup bagi mereka. Mencari nafkah hidup yang baik baginya. Mencari tempat berlindung dan bertahan hidupnya karena tanah Papua merupakan tanah yang kaya akan kesuburan dan berlimpah sumber daya alam. Akhirnya dikatakan bahwa tanah Papua merupakan tanah “surga kecil” atau tanah yang diberkati oleh Tuhan.

2.2. Dampak-Dampak Penderitaan Di Tanah Papua
            2.2.1. Papua: Penderitaan dan Pembunuhan Terus Berlanjut
            Jeritan dan tangisan penderitaan manusia dalam dunia ini lebih khusus di tanah Papua adalah sebuah kebenaran fakta, bukan dirahasiakan lagi dan semua perlakuan dan semua intimidasi ini ada di depan mata manusia. Kekerasan dan pembunuhan, penganiayaan, ketidakadilan dan konflik berlanjut ini adalah fakta dan memang kebenaran sehingga perlu ditegakkan dengan kata “KEADILAN dan PERDAMAIAN”. Pihak penguasa sengaja diperketat dengan hukum untuk menyembunyikan segala tindakan kekerasan dan pembantaian manusia Papua. Aturan dan hukum dipandang lagi seperti seorang yang mampu menyelamatkan bagi manusia di dunia ini lebih khusus di tanah Papua. Karena demi menjaga keutuhan dan melindungi kestabilan publik, maka pihak penguasa diperlakukan manusia Papua dengan sewena-wena, dipaksakan, menindas orang kecil dan lemah, menangkap masyarakat sipil dan aktivis mahasiswa demi hukum dan aturan belaka itu. Tujuan hukum dan aturan agar manusia aman dan tentram, namun dapat menuai dengan problem yang terus belanjut di tanah Papua. Hukum dan aturan yang dibuat oleh pemerintah dan militerisme itu semua tidak berpihak pada manusia lebih khusus orang lemah dan orang kecil, sehingga membahayakan manusia yang tidak berdaya ini dan ketidakadilan merajalelah di tanah Papua.
            2.2.2. Orang asli Papua: Hidup di Persimpangan Jalan di Tanahnya Sendiri
            Kita sudah tahu bahwa marjinalisasi di Tanahnya sendiri itu bukan hal baru tetapi memang sudah dari awal tahun 1961-2009 ini telah, sedang, dan akan terjadi marjinalisasi dan tersingkir di tanahnya sendiri di tanah Papua. Letak marjinalisasi dan tersingkir di tanahnya sendiri dari segala aspek yakni ekonomi, politik, penindasan budaya, krisis identitas manusia, sosial, krisis keamanan diri, kesehatan, pendidikan dan krisis tanah dan lingkungan akibat penebangan hutan dan perusahan kelapa sawit di daerah-daerah yang bercocok tanam kelapa sawit  di seluruh tanah Papua. Segala pembangunan dan perusahan yang ada di tanah Papua tidak memberdayakan orang asli Papua. Pemerintah sengaja tidak menyediakan lapangan kerja yang cocok dan sesuai dengan keinginan masyarakat Papua. Lapangan kerja yang ada saja itu, tidak memberikan bobot dan nilai yang baik, belum menyediakan pelatihan-pelatihan dan penyuluhan-penyuluhan. Walau ada pelatihan-pelatihan namun meminta biaya yang sangat mahal malah memeras apa yang dimilikinya dengan tuntutan ekonomi pasar yang sangat mahal-mahal di pasaran.
Contoh yang baik yang kita cermati adalah dalam era Otsus di Papua. Dalam UU No.21 thn 2001 tentang Otsus di mana di dalamnya ada satu point yang sangat menekankan adalah Hak-hak Dasar dan Identitas Orang Asli Papua perlu dilindungi dan ditegakkan. Memang kita akui bahwa bunyi atau teori atau tulisan di kertas ada tetapi sangat disayangkan karena tidak realisasikan atau diwujudnyatakan dalam tindakan dan aksi tentang apa yang dirumuskan dalam UU Otsus itu. Saya percaya tidak akan terwujud karena di dalam pikiran dan hati penguasa itu telah dikuasai untuk menguasai manusia lain.
            Semua kebijakan dan pembangunan di tanah Papua adalah upaya untuk bersaing dan meningkatkan kapasitas dalam dunia modern dan mencari keuntungan yang besar-besaran (demi kapitalisme). Apabila adanya pembangunan, maka akan adanya pula transmigrasi ke seluruh tanah Papua dengan kebijakan dapat menguntungkan bagi pada transmigran di tanah Papua sehingga tenaga kerja dan keterlibatan dalam perusahan dan pembangunan terlihat hanya orang migran atau orang luar Papua. Dengan demikian orang asli Papua menjadi penonton yang setia dan taat di tanahnya sendiri. Mau berteriak atas tangisan dan jeritan serta penderitaan, tersingkirnya dan juga hidup dipersimpangan jalan di tanah Papua, namun telah dan akan dijerat dengan undang-undang dan kebijakan pemerintah Indonesia yang tidak diper-UNTUK-kan bagi orang asli Papua.
            Akhirnya yang hanya ada di tanah Papua adalah tersingsir dan hidup dipersimpangan jalan di tanahnya sendiri, kasihan ini. Itulah akibat dari para pengguasa, para kaum feodal dan para kapitalisme yang ingin menguasai orang lemah dan kaum miskin. Militer juga bermain keras untuk menindas kaum lemah dan miskin. Hal ini dapat dikatakan bahwa apabila ada sebab, maka akan menuai akibatnya. Akibat-akibat penderitaan kaum lemah dan miskin di bumi ini dan lebih khusus di tanah Papua adalah disebabkan oleh karena pihak penguasa, militer, Negara yang menjujung tinggi nilai perjanjian dan kontrak sosial, adanya keinginan (nafsu belaka, gila uang dan politik). Untuk menguasai manusia kaum lemah dan miskin notabene mempunyai adanya sumber kekayaan alam yang berlimpah, merencanakan berbagai kebijakan Negara demi kepentingan negaranya dan diri pribadi para penguasa dan militer. 
“Di sinilah letak untuk melawan semua penindasan, kekerasan, ketidakadilan oleh para penguasa, militer dan Negara dengan nilai KEADILAN. Untuk mencapai pada puncak sukacita itu orang membutuhkan nilai perdamaian, nilai perdamaian akan terjadi apabila keadilan itu ditegakkan dalam semua penderitaan, jeritan dan tangisan kaum lemah dan miskin, tersingkir di tanahnya sendiri, pelanggaran HAM, kekerasan dan penindasan, dan ketidakadilan itu”.
Dengan demikian, maka ditantang manusia agar orang memahami, menghayati dan mewujudkan pentingnya nilai keadilan dalam semua lini kehidupan di dunia ini.
            2.2.3. Lunturnnya Nilai-Nilai Injili
            Ketika ada banyak pengaruh dan nilai-nilai baru dari luar masuk ke dalam daerah, masyarakat mulai waspada dan kekwatiran yang sangat mendalam. Kita mencermati bahwa Papua merupakan salah satu contoh medan konflik yang sangat-sangat subur di Indonesia. Konflik, penderitaan dan penindasan dari berbagai segi kehidupan mulai dari kehidupan umat (yang berbeda suku, agama, budaya bahkan lunturnya nilai-nilai Injili. Tetapi juga konflik antar kehidupan keluarga, konflik lingkungan tempat kita bekerja dan konflik kita bergaul dan bermain bersama. Realitas seperti kadangkala mencipatakan rasa kecemasan dan ketakutan yang luar biasa dalam khidupan bersama setiap hari.
            Setiap perubahan biasanya membawa serta suasana baru. Sesuatu yang disayangi dan dipertahankan akan nilai-nilai baru itu, ketika diubah berpotensi memunculkan protes. Orang protes karena takut akan dunia baru akan perubahan budaya. Dengan perubahan baru itu, orang asli merasa dan mengalami direndahkan, ditindas, dan tidak menghormati dan dihargai bukan lagi pemilik budayawan dan memikili nilai-nilai budaya sendiri. Tanpa memandang dan memikirkan akan hal ini, orang luar masuk begitu saja bahkan menyebarkan nilai-nilai budayanya (orang luar) tanpa mengangkat budaya dan nilai-nilai setempat.
            Hal yang serupa ini, dirasakan dan dialami oleh orang asli Papua. Orang asli Papua merasa direndahkan dan dilecehkan akan nilai-nilai budaya yang diyakininya ditanahnya sendiri. Dan juga merasa tidak hargai akan budayanya. Dalam perkembangan selanjutnya itu, baik oleh pemerintah maupun Gereja belum sepenuhnya mengangkat akan nilai-nilai budaya setempat. Akibatnya orang asli Papua minder di tanahnya sendiri[14] dan bahkan tak pernah aktif di Gereja atau belum pernah ambil bagian atau bertugas dalam Gereja. Itulah buktinya dan kita bertanya: mengapa orang asli Papua  kurang  aktif dalam Gereja? Karena gereja belum pernah mengajarkan teologinya berdasarkan nilai-nilai Injili yang diyakininya. Gereja kurang mengangkat nilai-nilai Injili dalam pewartaan dan dalam pewartaan tidak kontekstual sesuai dengan nilai-nilai Injili setempat. Akhirnya yang terjadi adalah malas, kurang aktif di Gereja, dan tetapi minder dan merasa direndahkan. Secara kemanusiaannya itu, hal ini melanggar dan memperlakukan orang setempat bukan lagi sebagai manusia. Karena nilai-nilai Injili dan budaya sudah ada bersama manusia dan dihidupi dalam kehidupannya sebagai manusia.
2.2.4. Analisis Teologi Sosial
            Semua situasi ketidakadilan, penderitaan dan penindasan,  kaum lemah dan miskin sebagai titik tolak, kaum terlupakan sebagai dialog dan ilmu-ilmu realitas yang berhubungan dengan sosial sebagai sarana pemahaman dan memperlihatkan semua realitas sosial dunia ini adalah realitas konflik. Konflik itu menyangkut perbedaan kepentingan antara “kaum penindas” dan “kaum tertindas”. Bagi kaum tertindas konflik menimbulkan ketergantungan. Sedangkan bagi kaum penindas konflik mendorong mereka (penguasa, para feodal, dan para kapitalis) untuk mempertahankan dominasi atas kaum tertindas.
            Dengan realitas ini dapat dinilai sebagai kondisi konflik dan ketidakadilan. Kondisi ini sebagai sasaran analisis, teologi dengan pandangan dari bawah melihat bahwa kejahatan itu sifatnya tidak hanya persoalan-individual, melainkan sistematik.[15] Hal ini menjadi ancaman bagi kebanyakan manusia. Bukan hanya ancaman tetapi malah mengalami kesulitan karena menuntut pengorbanan dan jatuh-bangun. Meskipun demikian, hal ini merupakan tuntutan utama jika dalam beriman, harapan dan cinta kasih kita akan Allah menjadi target bersama dalam dimensi praktis sosial.
Dengan demikian, saya ingin menggambarkan kondisi ini dalam bentuk “siapa yang untung banyak dan siapa yang rugi”. Dengan cara itu, kita diantar untuk memilih mana yang terbaik bagi kita kini dan masa yang akan datang.
           1). Siapa yang diuntungkan?
            Kebanyakan manusia notabene anak-anak Allah mengalami dan merasakan marginalisasi, penindasan dan ketidakadilan dimana-mana. Kini penindasan dan penderitaan serta ketidakadilan bagi  anak-anak Allah mulai terasa di Papua. Hal terjadi karena penindasan dari kolonial, penindasan dari para feudal, eksploitasi sumber daya alam oleh para kapitalis dan penjajah. Dalam kondisi ini, rasa akan kemanusiaan sangat dangkal dan mengabaikan orang-orang asli Papua karena para kapitalis mengutamakan keuntungan dan kepentingan diri dan keluarga.
            Para penindas yang selalu mencari keuntungan dan kepentingan bahkan memeras rakyat kecil, selalu mencari jalan untuk memakai pendekatan-pendekatan lahiriah.
Contohnya: dibujuk dengan berbagai perjanjian (dana akan dibagi keseimbangan, akan perhatian pada pendidikan, kesehatan, dan jaminan sosial), namun kesepakatan itu, tidak berjalan baik atau menjadi  penipuan saja dan semua aktivitasnya selalu dibeck-up oleh para penguasa dan penindas. Selain itu, waktu adalah uang sehingga waktu bukanlah uang tetapi pribadi manusia untuk memeras sekaligus menjadikan budak dari para penguasa dan penindas.
Ketika perkembangan modernisme ini sangat maju, maka para kapitalisme, berlomba-lomba untuk mencari kesempatan untuk membuka lahan kerja baru (buka proyek, membuka perusahan di mana ada sumber alam dan sumber manusia untuk menguras  sekaligus memerasnya. 
            Para kapitalisme dan kolonial bersenang-senang untuk mencari dimana ada madu dan sumber penghasilan yang baik baginya. Ia akan terus mencari demi kepentingan dan keuntungan. Ia akan membuka kesempatan dan ruang baginya demi mencapai target keuntungan. Ia akan mengabaikan kepentingan-kepentingan pihak lain termasuk hak-haknya. Ia akan memeras dan menguras apa saja yang ada termasuk sumber daya alam.[16] Tenaga-tenaga manusia menjadi sumber bagi penguasa atau para kapitalis, ketika tenaga-tenaganya dipekerjakan sebagai karyawan/ti di tempat kerja.[17]
            Dalam konteks seperti itu, yang paling menguntungkan adalah para kapitalis dan penguasa bahkan para neokolonialisme. Untuk mencapai keuntungan yang sangat besar, ia akan memakai berbagai pendekatan-pendekatan seperti di atas ini. Akhirnya orang kecil pun terpancing dengan pendekatan-pendekatan para feodal, kapitalis dan penguasa kelas kakap dunia.
             (2).  Siapa yang dirugikan?
            Jika kita mencermati dengan realitas di atas ini, maka ada ruang pemisah. Ruang pemisah ini, terjadi antara atasan dan bawahan.  Dikatakan demikian karena, adanya perbudakan, marginalisasi, merendahkan martabat manusia, ketidakadilan dan penindasan terhadap orang bawahan. Siapa-siapakah orang bawahan itu?
            Dikatakan orang bawahan adalah orang yang tak berdaya, kaum lemah dan miskin, orang yang kena imbas dari penguasa kelas kakap dunia, orang yang sakit, orang yang menderita, orang yang perlu bantuan dari pihak kita, orang yang lapar dan haus, orang yang kena musibah longsor, banjir, badai dan gempa bumi, orang yang tersisih, para janda dan duda, dan para kaum fakir miskin terlantar. Orang-orang itulah yang disebut dengan orang-orang bawahan notabene anak-anak Allah dalam dunia ini. Dengan demikian, hidup bebas sebagai anak-anak Allah itu, belum dihayati dan dipahami sehingga mengantar orang untuk pentingnya merefleksikan dan merenungkan bahwa kita semua adalah anak-anak Allah baik atasan maupun bawahan. Masalah-masalah seperti ini, kita bisa cermati dalam problem yang terjadi di seluruh tanah Papua. Berkaitan dengan itu, maka siapa yang prihatin dengan realitas seperti ini?
2.2.5. Keprihatinan Bersama
            Kalau kita bicara mengenai keprihatinan adalah keprihatinan akan realitas sosial diri kita maupun di lingkungan kita. Bukan kita bicara hanya sebagian keprihatinan dan parsial saja, tetapi kita bicara menyangkut segala hal akan realitas sosial yang menjadi keprihatinan kita bersama. Bukan lagi keprihatinan diri sendiri, bukan juga keprihatinan kelompok atau lembaga, bukan keprihatinan suatu instansi. Namun semua realitas kehidupan manusia di dunia ini adalah keprihatinan bersama secara universal.
            Beriman kepada Allah lantas akan dipahami sebagai jarak terhadap dunia. Karena dunia dianggap sebagai yang jahat, cenderung menjauhkan manusia dari Allah. Secara realitas sosial-politis pemahaman terhadap dunia sebagai jahat, yang cenderung menjauhkan diri dari masalah-masalah sosio-politik yang ada di sekitar kita.[18] Dalam permasalahan dan realitas yang tak mungkin bagi manusia itu, kita diantar oleh pemahaman Gereja Katolik, khususnya Konsili Vatikan II, mengenai keberadaan manusia yang beriman ditengah realitas yang  kacau-balau di dunia ini, sebab dikatakan:
“Kegembiraan dan harapan, duka dan kecemasan manusia dewasa ini, terutama yang menderita miskin dan terlantar, adalah kegembiraan dan harapan, duka dan kecemasan murid-murid Kristus pula”.[19]
            Dalam konsili ini memberikan pemahaman dan mendorong agar  keberpihakan dan keprihatinan kita akan semua masalah kemanusiaan notabene anak-anak Allah, menjadi tugas dan keprihatinan bersama. Dikatakan demikian, karena Allah mengutus kita notabene anak-anak-Nya di dunia  ini, agar kita saling menyuarakan sebagai pengikut murid-murid Yesus Kristus dan menyelamatkan bagi mereka yang lemah dan miskin, tertindas dan direndahkan martabatnya sebagai manusia. Juga menyuarakan ketidakadilan menuju keadilan dan menyuarakan kekerasan menuju perdamaian. Dengan demikian, kita dituntut agar keterlibatan kita secara radikal dalam rangka menyatakan keselamatan Allah yang dinyatakan melalui Yesus Kristus menjadi tugas perutuasan kita. Menjadi tanggung jawab kita sebagai anak-anak Allah sebagai manusia. Yesus menjadi tokoh penggerak kita adalah dengan perutusan-Nya untuk memproklamasikan Kerajaan Allah, yakni anugrah kasih yang menuntut perjuangan kebebasan anak-anak Allah untuk membangun masyarakat yang adil dan damai secara khusus dalam pilihan mendahulukan kaum lemah dan miskin, tertindas, mengalami dan merasa direndahkan martabatnya sebagai manusia, dan merasa marginalisasi dari segala aspek sosial. Itulah yang menjadi keprihatinan dan target bersama untuk menghadirkan wajah Kerajaan Allah dalam dunia kini khususnya di tanah Papua.
BAB III
REFLEKSI TEOLOGIS TENTANG HIDUP BEBAS SEBAGAI
 ANAK-ANAK ALLAH

3.1. ARTI KEBEBASAN
            Arti bebas adalah kemampuan untuk menentukan tindakannya sebagai anak-anak Allah. Bebas adalah kemampuan untuk menggerakkan anggota tubuh (kebebasan fisik), keadaan yang bebas dari larangan atau kewajiban hukum (kebebasan normatif), tetapi juga kemampuan untuk menentukan sendiri apa yang dipikirkan dan dikehendakinya olehnya. Kebebasan berarti tidak terikat pada sesuatu, tidak terhalang dalam gerak-gerik, tidak adanya pembatasan, tidak adanya pintu keluar. Seseorang yang dapat dikatakan  bebas, apabila ia (manusia) dapat menentukan sendiri apa yang hendak diperbuatnya, apabila ia (manusia) luput dari segala macam perintah atau paksaan dari luar. Kebebasan tak sama dengan kemungkinan berbuat sewenang-wenang, berbuat sewenang-wenang berarti menurutkan hawa-nafsu. Seseorang yang berbuat sewenang-wenang pada hakekatnya masih diperintahi oleh hawa nafsunya. Jadi ia (manusia) belum bebas, belum bebas sebenarnya. Kebebasan yang tulen berdasarkan pada akal budi, maksudnya seseorang yang betul-betul bebas mengindahkan pula kebebasan orang lain.[20]
            Manusia dikatakan bebas mengandung dua pengertian, yakni pertama, ia mampu menentukan diri sendiri dan ia (manusia) tidak dibatasi oleh orang lain atau masyarakat dalam kemungkinnya untuk menentukan diri itu. Kedua, pengertian kebebasan itu yakni pertama bersifat positif: sebagai suatu kemampuan yang ada pada manusia. Kebebasan yang kedua bersifat negatif: sebagai tidak adanya pembatasan, ketika adanya terhalang atau terimpit dari segala arah.[21]
3.1.1. Arti Kebebasan secara Etimologis
            Pada bagian ini, saya mau membagi dua jenis kebebasan. Kedua jenis kebebasan ini dapat kita lihat dalam kebebasan yang bersifat umum dan mendasar, lalu kebebasan yang bersifat khusus.[22] Kedua jenis kebebasan ini dapat kita lihat masing-masing di bawah ini. Pertama, arti kata bebas pada umumnya dan pada dasarnya adalah tiadanya penghalang atau pembatas, paksaan atau halangan beban atau kewajiban. Hal ini tetap berlaku, juga kalau orang lebih suka menekankan “bebas untuk” daripada “bebas dari”. Kebebasan untuk berbuat sesuatu pada dasarnya dimungkinkan oleh kebebasan dari apa yang membatasi, dipaksa, beban atau kewajiban atau penghalang orang berbuat demikian. Contohnya bahwa saya mendampingi orang lain dalam sidang di pengadilan ini. Maksudnya orang berkata itu  demikian karena ia (manusia) bebas dari tugas kewajiban atau dari halangan apa saja yang kiranya dapat menjadi rintangan baginya untuk mendampingi yang bersangkutan dalam sidang itu.[23]       Dalam ikatakan oleh POERWADARMINTA dalam Kamus Umum Bahasa Indonesia untuk menjelaskan arti kata “bebas” yakni
(1).  Lepas sama sekali (tidak terhalang, terganggu, tidak nyaman, sempitnya ruang gerak,    sehingga boleh gerak, bercakap, berbuat, dengan leluasa).
(2).  Lepas dari (Kewajiban, tuntutan, ketakutan, kekwatiran, kecemasan, penderitaan, kehusan, kelaparan dan penyakit ynng dapat memngbahayakan bagi manusia) sehingga tidak dikenakan (Pajak, hukuman, penderitaan, kehausan, kelaparan dan penderitaan); tidak terikat atau terbatas;
(3).  Kebebasan (tidak diperintah atau sangat dipengarui oleh negara lain).[24]
            Dalam arti yang paling umum, kata “bebas” bisa menunjuk pada keadaan “lepas dari kewajiban atau tuntutan apa pun. Di sini “bebas” artinya leluasa, sesuka hati, sesuka budaya yang dianutnya,  sesuai dengan prinsip dan konsep hidup yang disukainya, sesuka pikiran karena bersifat otoritas atau militeristik, sewenang-wenang, membiarkan naluri dan hawa nafsu tak tertekang. Seorang manusia atau negara yang mencita-citakan kebebasan macam itu, taraf hidupnya dalam hal ini sama atau bahkan melebihi taraf hewan. Dalam arti ini seekor anjing pun dapat “bebas” berkeliling (tidak terikat oleh tali), burung terbang “bebas” (tidak terkurung dalam sangkar) dan binatanng buas berkeliaran hutan secara “bebas”.
            Selain itu “bebas” dalam arti lepas dari segala kesusahan, ketakutan, beban, dan gangguan, berkat “sistem jaminan sosial yang sempurna”. Kebebasan semacam ini patut kita dicita-citakan daripada yang tadi, tetapi belum juga merupakan idaman hakekat yang paling tinggi manusia sebagai makhluk berbudi dan tanggungjawab. Paham kebebasan dalam arti ini kiranya sama dengan keadaan yang terhindar dari kekwatiran. Tetapi keadaan yang demikian itu merupakan kebebasan seorang anak yang di bawah ummur yang belum mampu bertanggung jawab. Bebas dari kekwatiran adalah ketentraman anak-anak asrama atau penghuni asrama.[25] Manusia dalam merenungkan arti dan makna kebebasannya, manusia tidak berhenti pada arti yang paling umum dan mendasar, telah dikembangkannya dalam arti-arti khusus untuk menemukan arti hakekat kebebasannya bagi manusia. Kedua, arti Kebebasan Khusus, ada beberapa bagian dalam arti-arti kebebasan Khusus ini yakni Kesempurnaan Eksistensi, Kebebasan Kehendak dan Kebebasan dalan arti Sosio-Politik.[26]
1). Kesempurnaan Eksistensi
            Kalau kita katakan bahwa setiap manusia dalam hatinya menginginkan kebebasan bagi dirinya sendiri, maka yang dimaksudkan dengan pernyataan ini bukanlah kebebasan dalam arti “lepas dari segala kewajiban atau kekwatiran dan tanggung jawab”, melainkan kebebasan sebagai makna keberadaan kita sekalu manusia. Kita manusia ini, baik diri sendiri maupun negara/bangsa, merasa terdorong oleh kecenderungan yang tiada habisnya untuk melaksanakan diri pribadi sebagai manusia. Tujuan kecenderungan ini adalah kemerdekaan, otonomi, dan kedewasaan. Cita-cita kepribadian yang bebas dan berdiri sendiri itulah yang dimaksudkan dengan kata “kebebasan” dalam arti yang luhur. Kebebasan sebagai arah dan tujuan hidup manusia adalah sifat yang kepribadian sehingga manusia bebas dari beraneka ragam pembatasan dan penekanan, bebas pula untuk kehidupan yang utuh, tak bercelah, berdikari dan kreatif. Oleh sebab itu manusia dapat berpuncak pada kebebasan sebagai kesempurnaan eksistensi kita sebagai manusia. Apa yang secara umum disebut “halangan, ikatan, paksaan, beban, itu disini dikhususkan sebagai alienasi yang menekan manusia sedemikian sehingga menghalangi pelaksanaan dirinya sebagai manusia yaang utuh dan berdikari”.
2). Kebebasan Kehendak
            Dikatakan kebebasan adalah kehendak manusia sebagai manusia di bumi ini. Manusia ikut menentukan kehendaknya sendiri, nasibnya sendiri dan hidupnya sendiri. Dengan demikian kebebasan merupakan suatu kemampuan manusia, khususnya kemampuan untuk memberikan arti dan arah kepada hidup dan karyanya. Kemampuan untuk menolak dan menerima kemungkinan-kemungkinan dan nilai-nilai yang terus-menerus ditawarkan kepada kita oleh hal ihwal kehidupan di dunia ini. Dengan keadaan ini kita diantar pada: apakah saya akan bertindak atau tidak, kalau memutuskan untuk bertindak: apakah akan berbuat begini atau begitu, maka pentingnya kita sebagai manusia ini harus mempunyai: “Motivasi”, “Keputusan”, dan “Pelaksanaa dalam sebuah AKSI” dalam kehidupan harian dan sosial di masyarakat secara publik. Ketiga hal ini saya dapat menilai bahwa satu dan sama dunia realitas kehidupan manusia sebagai manusia.
3). Kebebasan dalam Sosio-Politik
            Akhirnya istilah “kebebasan” dipakai juga untuk menunjuk kepada syarat-syarat fisik, sosial dan politik yang harus terpenuhi supaya manusia dapat menghayati dan melaksanakan secara konkret kebebasannya dalam arti pertama dan kedua tadi, yakni kesempurnaan eksistensi dan kebebasan kehendaknya. Mengingat syarat yang harus terpenuhi itu bukan hanya satu, maka orang biasanya memakai istilah “kebebasan demokrasi atau the democratic liberaties”. Di samping itu ada dua hal lain yang digunakan juga dalam kebebasan Sosio-Politik adalah
(1). Kebebasan Demokrasi
            Akhirnya istilah “kebebasan” dipakai juga untuk menunjuk kepada syarat-syarat fisik, sosial dan politik yang harus terpenuhi supaya manusia dapat menghayati dan melaksanakan secara konkret kebebasannya dalam arti kesempurnaan eksistensi dan kebebasan kehendaknya. Oleh sebab itu dapat mengantar saya untuk menghayati arti kebebasan dalam demokrasi. Kebebasan demokrasi adalah kebebasan berpikir, bertempat tinggal dan berpindah, kebebasan berhimpun, kebebasan beragama, kebebasan pers dan lain sebagainya.[27] “Kebebasan” yang bersifat syarat, entah di bidang fisik (bebas dari penindasan dan kesengsaraan), entah dibidang ekonomi (bebas dari kemiskinan), entah dibidang sosio-politik (bebas mengeluarkan pendapat) yang harus terpenuhi agar kemungkinan-kemungkinan dan bakat-bakat yang ada pada manusia, dapat diaktualisasikan dalam rangka pelaksanaan diri manusia, baik sebagai orang perorangan maupun sebagai bangsa.
            Kalau dikatakan kebebasan demokrasi berarti juga bahwa keyakinan akan berdaulatan rakyat: rakyat berhak untuk mengurus diri sendiri, hak atas hidup, keutuhan jasimani, kebebasan bergerak, kebebasan dalam memilih jodoh, kebebasan beragama, perlindungan terhadap hak milik, hak untuk tidak ditahan sewenang-wenang, hak atas perlindungan perempuan, hak atas perlindungan hukum, sehingga negara adalah hak urusan seluruh masyarakat. Di sini termasuk hak untuk memilih dengan bebas siapa yang akan mewakili kita dalam badan yang berwenang untuk membuat undang-undang dan hak untuk secara langsung atau tidak langsung menentukan siapa yang memimpin negara. Termasuk juga hak untuk menyatakan pendapat, kebebasan pers, hak untuk berkumpul dan untuk membentuk berserikat.

(2). Kebebasan Situasi dan Kondisi
            Arti “kebebasan” di atas semua ini dapat menjelma menjadi dan bersituasi dan kondisi. Dikatakan demikian karena kejasmanian kita sebagai manusia ini, maka kebebasan insani bukanlah kebebasan mutlak, bukan tak terbatas kemampuan kreatifnya, melainnkan kebebasan dalam situasi tertentu dan pada hakikatnya terbatas. Situasi itu bersifat ruang dan waktu, sehingga dapat tergantung pada lingkungan di mana kita bertumpu dan memainkan peranan kita sebagai manusia kita berada. Kita  sebagai manusia ini dapat mewujudkan diri kita dalam lingkungan fisik, ekonomi, sosial, politik dan historis dalam mejalani kehidupan ini. Jadi kebebasan kita sebagai manusia ini dapat dipengaruhi oleh lingkungan dan zaman yang kita yang sedang berkembang, sehingga kebebasan akan berkembang kalau lingkungan kita dapat menguntungkan bagi kita sebagai manusia di dunia ini.
4). Kebabasan dan Hukum
            Kita membicarakan hubungan antara paham kebebasan dalam arti sosiologi ini, di satu pihak dan dunia hukum di lain pihak, kita harus membedakan antara paham kebebasan yang bersifat “hukum kodrat” dengan istilah yang dipakai HAM (Hak Asasi Manusia) dengan paham kebebasan yang bersifat “Hukum Positif”. Ada kaitan antara kebebasan dan Hak Asasi Manusia. Memang hal ini identik secara tradisonal diberi nama”Hukum Kodrat”, tetapi sekarang ini orang lebih suka memakai istilah “maratabat Pribadi Manusia”.
            Dalam arti ini “kebebasan”dipahami sebagai keseluruhan kemungkinan-kemungkinan untuk beertindak dengan bebas (tak diganggu) yang sedemikian erat hubungannya dengan martabat manusia sebagai “person” dan dengan perkembangan pribadinya yang harmonis, sehingga sekali-kali tidak boleh diambil darinya oleh masyarakat atau pemerintah. Kebebasan dalam arti ini seakan-akan sudah menjadi milik manusia “sebelum” ia memasuki masyarakat, sebagai semacam hak yang tidak bisa diganggu gugat dan tidak boleh diambil darinya oleh manusia siapapun. Hal ini telah dirumuskan dalam hukum universal bagi seluruh dunia ini “Universal Declaration of Human Rights” yang pada tanggal, 10 Desember 1948 yang disahkan dalam sidang umum PBB (48 Negara memberi “PRO”, tidak satu negara pun yang “KONTRA” dan 8 Negara “ABSTAIN” diproklamasikan beberapa kebebasan dari perbudakan (art.4) dan Penyiksaan (art.5), kebebasan berpindah dan bertempat tinggal (art.13), kebebasan untuk kawin dan tidak kawin (art.16), kebebasan berpikir, berhati nurani dan beragama (art.18), kebebasan mengeluarkan pendapat (art.19), kebebasan berhimpun (art.20), kebebasan memilih sendiri pekerjaan (art.23).
            Dalam kalangan agama pun terdapat pengakuan yang sama. Pimpinan Gereja Katolik pada tanggal, 7 Desember 1965 mengeluarkan Deklarasi tentang kebebasan beragama, yang sebutannya “Dignitatis Humanae”, artinya “Martabat Pribadi Manusia”. Di dalamnya dikatakan bahwa sumber kebebasan beragama ialah martabat pribadi manusia, bukan kebenaran obyektif keyakinan-keyakinan keagamaan. Bahkan keinginan untuk mencapai kebenaran obyektif itu bukanlah syarat orang yang bersangkutan berhak atas kebebasan beragama. Hak ini berurat berakar dalam martabat yang ada pada tiap-tiap pribadi sekali lagi.[28]
3.1.2. Arti Kebebasan menurut Teologis Sosial
            Saya dapat menandaskan bahwa kebebasan berarti “hidup baik”, “hidup dalam suasana adil”, “hidup dalam suasana damai”, “Pembebasan Sosial”,  “hidup dalam suasana yang aman dan nyaman serta terkendali dari berbagai godaan dan tantangan”, pembebasan dari struktur-struktur sosial yang adil, bebas dari hal yang merusak manusia. Struktur-struktur itu bersifat politik, ekonomi, sosial, maupun budaya. Struktur-sturktur itu lahir dan tumbuh dari sikap dan tingkalaku manusia yang tidak beres yang berdasarkan pada ras, kelas, bangsa, jenis kelamin, kepentingan kelompok maupun ikatan primordial tertentu. Struktur-struktur yang demikian dapat bersifat juga gerejawi dan bukan struktural. Struktur-struktur sosial ini dapat mengakibatkan hidup yang tidak aman, tidak nyaman, suasana tidak adil, suasana yang tidak damai, dan  hidup dalam kkecemasan dan kekwatiran. Dalam lingkungan teologi pembebasan, hal penting dan perlu untuk perhatian utama situasi di atas ini karena adanya ketidakbebasan manusia karena struktur sosial yang dianutnya akhirnya manusia lain menjadi korban dari struktur sosial sehingga tumbuhlah kepribadian manusia yang tak utuh, sangat ditantang untuk menegakkan teologi pembebasan itu dalam konteks dan situasi yang penuh konflik akibat struktur sosial itu.
            Pembebasan dari kekuatan nasib, pembebasan dari kuatnya nasib perasaan ini bahwa situasi yang dialami oleh seseorang telah ditentukan sebelumnya. Terdapat anggapan terhadap situasi yang dialaminya, sehingga manusia merasa tidak buat apa-apa. Ada beberapa orang yang mencoba mengatasi situasi ini, namun dikatakan bahwa “nilainya kurang beruntung”, “nilainya pincang”, bahkan dikatakan “sombong”. Anggapan semacam ini, mendukung anggapan lain bahwa kalau seseorang itu miskin, ia memang dilahirkan untuk miskin, sebaliknya juga berlaku untuk orang kaya. Untuk itu akibatnya, orang kaya dapat mempertahankan status quonya, sedang orang miskin bersikap “pasrah” dalam menghadapi kemalangan hidupnya karena dari sananya atau nasibnya memang begitu.
            Dalam hal pasrah atau nasib ini, gereja juga berpandangan bahwa itu penyelenggaraan ilahi atau kehendak Allah, yang justru manusia menerima nasib apa adanya, karena Tuhan nanti akan balas semuanya ini setelah mati. Padahal dalam Kitab Suci: Allah terus berkarya secara aktif untuk mengubah:  ketidakadilan menjadi...........keadilan dan mengundang semua manusia sebagai manusia untuk perjuangan demi keadilan. Dengan demikian, istilah yang tepat bukan lagi “nasib” melainkan “harapan”. Pada titik akhir ini manusia harus bebas dari lingkaran nasib, dan masuk ke dalam dunia harapan. Kegembiraan dan harapan, duka dan kecemasan manusia dewasa ini, terutama yang miskin dan terlantar, adalah kegembiraan dan harapan, duka dan kecemasan murid-murid Yesus Kristus pula.[29] Kita sebagai anak-anak Allah dan sebagai murid Kristus ini didorong agar sungguh-sungguh melihat dunia realitas dan kehidupan manusia yang gelap menuju terang, penindasan dan ketidakadilan menuju dunia yang lebih adil dan baik, hidup yang nyaman, tenteram, indah, damai dan benar, maka KEINGINAN DAN KEHENDAK KEBEBASAN ITU berpihak pada manusia secara menyeluruh dialaminya. Kita harapkan agar terlibat aktif dalam perjuangan keadilan dan perdamaian demi semua manusia agar dapat dirasakan kebebasanya sebagai anak-anak Allah dalam dunia ini.
            Pembebasan dari kesalahan dan dosa pribadi itu, kita memandang Yesus Kristus sebagai sang pembawa warta kebebasan. Kristus adalah penyelamat yang membebaskan manusia dari dosa, yang adalah akar dari segala kesalahan dalam persahabatan antar manusia dan semua ketidakadilan dan penindasan yang ada di negara-negara ini. Kristus telah membuat kita sebagai manusia ini menjadi bebas, Kristus telah membuat manusia mampu hidup dalam kesatuan dengan-Nya. Inilah dasar bagi semua persaudaraan umat manusia. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa KEBEBASAN merupakan suatu proses menyeluruh yang menyentuh setiap kehidupan manusia di dunia ini.

3.2. MAKNA KEBEBASAN
            Setelah kita lihat, mengetahui dan memahami apa arti kebebasan itu, maka berikut ini kita akan bersama-sama memahami tentang makna bebas sebagai anak-anak Allah dalam dunia ini. Ada lima hal yang saya uraikan yakni makna kebebasan fisik bagi manusia, kebebasan dalam psikis bagi manusia, makna kebebasan normatif, makna kebebasan bagi hati nurani manusia, dan makna sikap hidup baru. Mari kita sama-sama melihat uraian di bawah ini!
3.2.1. Makna Kebebasan Fisik bagi Manusia
            Bagian ini saya mau bicara tentang perlakuan manusia terhadap manusia yang lain, perlakuan sesama terhadap perlakuan terhadap sesama yang lain. Kebebasan fisik terjadi apabila kemungkinan kita untuk bertindak. Dalam tindakan kita sebagai manusia ini, maka tidak dibatasi dalam tindakan saya dan anda oleh paksaan fisik.[30] Artinya bahwa saya dan anda bebas untuk menggerakkan anggota tubuh kita. Kebebasan fisik manusia dilanggar oleh paksaan fisik, kerja paksa, oleh pemerkosaan, perampasan sumber daya alam dan kekerasan fisik lain: pemukulan secara sewenang-wenang, ditahan, diborgol, disiksa dan dibunuh.
            Dalam keadaan seperti ini, maka makna kebebasan sebagai anak-anak Allah telah sirna dan hilang ditengah perbuatan paksaan dan kekerasan fisik dari manusia ke manusia yang lain. Saya dan anda adalah kita sama-sama MANUSIA. ALLAH punya manusia dan ALLAH ini hadir dalam MANUSIA. Manusia sebagai sarana kehadiran dan wajah Allah sendiri, sehingga tidak perlu lagi paksaan fisik dan kekerasan fisik bagi manusia kepada manusia lain.
3.2.2. Makna Kebebasan dalam Psikis Manusia
            Saya dan anda adalah manusia. Kita sama-sama manusia. Kita sama-sama bicara tentang kebebasan psikis. Kebebasan psikis ini, terjadi apabila saya dan anda mampu untuk menentukan sendiri apa yang kita sama-sama pikirkan dan apa yang kita sama kehendaki.
            Kebebasan psikis berbeda dengan kebebasan fisik dan tidak dapat secara langsung dilanggar oleh orang lain atau sesama yang lain. Meskipun tubuh kita dirantai, atau kita ditekan untuk menyesuaikan diri kita secara lahiriah, namun apa yang kita pikirkan dalam hati, apa yang kita junjung tinggi dan apa yang kita anggap hina, tidak dapat dipaksakan oleh orang lain. Akan tetapi, secara tidak langsung kebebasan psikis dapat saja dikurangi dan dikacaukan.[31] Ada beberapa cara yang digunakan, yaitu: melalui manipulasi informasi yang kita peroleh, dan terutama melalui tekanan psikis seperti: ancaman, siksaan, sugesti, intimidasi, teror, berbagai pembauran obat bius dan menjatuhkan semangat orang lain. Hal ini juga manusia perlakukan manusia lain sebagai saudara dan saudari, jadi pentingnya memahami dan menghayati kebebasan psikis bagi manusia sebagai anak-anak Allah. Bukan hanya sebatas memahami dan menghayati saja, tetapi perlunya menghormati dan melindungi martabat saudara/i sebagai manusia. Kita sama-sama manusia dan kita semua anak-anak Allah.
3.2.3. Makna Kebebasan dalam Normatif
            Cara ketiga untuk membatasi kebebasan manusia adalah melalui larangan atau pewajiban. Orang tidak larangan dan tidak berada di bawah suatu kewajiban adalah bebas dalam arti normatif. Normatif karena orang tidak berada di bawah sebuah norma yang mengharuskan manusia untuk melakukan ini atau tidak melakukan itu.[32]
            Normatif itu memang baik dan bagus agar manusia taat dan disiplin. Namun manusia diikatkan dalam normatif itu. Apa yang terjadi? Ruang gerak bagi manusia sempit, ditutupi oleh pihak penguasa demi hukum atau normatif. Kebebasan sebagai manusia itu, tidak ada lagi. Demi normatif dan hukum, sehingga manusia diperlakukan secara sewenang-wenang, dibunuh, dilecehkan, dianiaya, diintimidasi, ditangkap, disiksa dan diborgol. Apakah itu semua normatif yang baik dan dapat diper-UNTUK-kan bagi anak-anak Allah notabene manusia? Atau malah merugikan bagi manusia, tidak adanya penghargaan sebagai harkat dan martbat manusia, tidak berpihak pada manusia, tidak melindunginya baik pemerintah maupun oleh sesama manusia sebagai manusia. Oleh sebab itu, pentingnya untuk kebebasan dan perlu ditegakkan dan dinampakkan wajah hukum dalam dunia ini dengan cara dan sikap yang berpihak pada manusia. Dikatakan demikian karena manusia adalah anak-anak Allah yang perlu dibebaskan dari normatif atau hukum. Bukan hukum ada untuk manusia, tetapi ada hukum untuk manusia atau manusia untuk hukum.
3.2.4. Makna Kebebasan Hati Nurani yang Tertindas bagi Manusia
            Kebebasan itu sangat berarti bagi manusia. Dikatakan demikian karena kebebasan itu yang membedakan manusia dari binatang. Binatang ditentukan oleh perangsang dari luar dan insting-insting dari dalam, sedangkan manusia menentukan sendiri bagaimana ia bereaksi terhadap segala perangsang dan bahkan terhadap naluri dalam dirinya sendiri: manusia dapat menentukan dirinya sendiri.
            Makna kebebasan hati nurani manusia adalah tanda harkat dan martabat manusia. Manusia sebagai makhluk yang tidak hanya alamiah dan terikat pada kekuatan-kekuatan alam, melainkan yang karena akal budinya mengatasi keterbatasan alam. Setiap paksaan atau manipulasi tidak hanya buruk dan menyakitkan, melainkan juga menghina manusia. Oleh sebab itu saya dan anda merasa paling terhina atau kalau sesuatu dipaksakan kepada kita dengan ancaman atau bujukan, sehingga pembebasan hati nurani bagi manusia itu kurang nampak dan nyata dalam hidup dan kehidupan di bumi ini. Tanpa adanya pemulihan, tekanan hati nurani karena halangan dan tantangan dari luar atau sesama/ pemerintah, tetap terbawa terus-menerus. Untuk itu, saya dan anda sebagai manusia, mengantar kita pada pentingnya untuk menghormati harkat dan martabat manusia pertama-tama berarti berarti menghormati kebebasannya, pemulihan dan rekonsiliasi kembali agar hati nurani bagi manusia tertindas itu,  merasakan kebebasannya dan pulih kembali demi keselamatan dan kemuliaan Allah.
            Yesus adalah seorang Pembebas bagi hati nurani yang tertindas oleh beban bagi manusia.[33] Demi pembebasan bagi manusia yang tertindas karena hukum yang tertahankan itu, maka Yesus mengajukan protes keras terhadap perbudakan manusia model itu. Hari sabat diadakan untuk manusia dan bukan manusia untuk hari sabat, demikian pula normatif atau hukum diadakan untuk demi pembebasan bagi manusia, dan bukan manusia untuk normatif atau hukum. Hal yang paling diutamakan oleh Yesus adalah bukan hukum, tetapi cinta kasih. Cinta kasih itu dapat menyelamatkan bagi manusia yang terbelenggu dan terbebas bagi hati nurani manusia. Cinta kasih itu mencakup keseluruhan manusia. Cinta kasih itu mengatasi keseluruhan dan segalanya.[34] Bukan normatif atau hukum belaka itu. Sikap dasar Yesus tampak jelas di sini: mendukung kebebasan terhadap hukum, namun harus kebebasan yang baik dan kesewenang-wenangan. Yesus tidak melawan sesuatupun. Yesus hanya memihak cinta kasih, spontanitas, dan kebebasan. Demi hal-hal positif ini Yesus terpaksa melawan sesuatu. Segala sesuatu yang bukan berasal dari cinta kasih adalah dosa. Dengan maksud Yesus bahwa untuk dapat membebaskan manusia dari kebiasaan atau aturan/hukum sosial yang tak berdampak baik bagi manusia.
Contohnya: karena, pada masa Yesus, laki-laki berhak untuk memilih beberap istri dan berhak juga menceraikannya, apabila seseorang mengambil seorang perempuan dan menjadi suaminya, dan jika kemudian ia tidak menyukai lagi perempuan itu, sebab didapatinya yang tidak senonoh padanya, lalu menulis surat cerai dan meyerahkannya ke tangan perempuan itu, sesudah itu menyuruh dia pergi dari rumahnya.
            Hukum dan kebiasaan zaman itu, hal-hal yang membuat seorang istri tidak berkenan di mata suaminya adalah dia tidak lagi cantik, tidak dapat memasak, tidak mendapat anak, dan istilah sekarang adalah perempuan itu adalah pengatur tiga UR : dap-UR, di atas kas-UR, dan sum-UR.[35] Apa yang diikat oleh Allah, tak dapat diceraikan oleh manusia. Perkataan-perkataan Yesus itu, memperlihatkan keagungan Yesus untuk melawan ketidakadilan dan anarkhi yang dilegalisasikan.
            Makna Kabar Baru yang dibawa oleh Yesus adalah agar supaya manusia sungguh-sungguh merdeka, karena Kristus sendiri telah memerdekakan bagi kita sebagai manusia. Oleh karen itu manusia harus berdiri dari dunia penuh dengan ketidakadilan dan kekerasan dan janganlah mengunakan perhambaan, tetapi juga janganlah mempergunakan kemerdekaan atau kebebasan itu sebagai kesempatan untuk hidup dalam dosa, melainkan kepedulian dan keprihatinan bagi sesama yang lain sebagai manusia dengan prinsip cinta kasih. Prinsip cinta kasih ini sangat-sangat jauh dan melampaui segala sesuatu. Seluruh hukum Taurat yang kedua berbunyi: “kasihilah sesamamu manusia seperti dirimu sendiri”. Dengan menghayati dan memahami tetapi juga menyatakan dalam tindakan dan perbuatan dalam realitas sosial, maka hukum cinta kasih ini, merupakan pembaharuan secara universal bagi manusia di dunia ini. Lalu apa makna sikap pembaharuan bagi manusia? Mari kita lihat bersama-sama uraian di bawah ini!

3.2.5. Makna Sikap Hidup Baru
            Sikap hidup baru bagi manusia adalah sebuah makna. Makna ini dapat memaknai sebuah kehidupan baru. Sikap kehidupan baru adalah sebuah tuntutan. Tuntutan agar manusia sungguh-sungguh dapat menyatakan pertobatan secara radikal dan menyeluruh. Pertobatan yang dituntut Yesus dan pembebasan yang dibawa-Nya adalah cinta kasih.[36] Cinta kasih itu, tidak membeda-bedakan, tidak mengenal batas waktu dan tempat, menuntut fantasi yang kreatif. Cinta kasih terwujud dalam hidup dan dalam kesediaan untuk mempedulikan dan keprihatinan sesama yang menderita dalam realitas sosial yang penuh dengan ketidakadilan dan kekerasan bagi manusia.
            Ada banyak normatif atau hukum-hukum yang sengaja diciptakan manusia agar manusia hidup aman, tenang dan tertib serta mengatasi realitas sosial yang kabur dan gelap itu. Namun realitas menunjukkan bahwa malah normatif atau hukum menjadi penjahat utama bagi manusia, walau tujuan baik demi kehidupan manusia supaya teratur. Hal seperti ini bisa kita katakan bahwa “Tahu teori, tetapi prakteknya kosong”, “Tahu berkata-kata, tetapi aksi atau perbuatannya hampa atau kosong”, atau “main lain, praktek lain atau main lain latihan lain”.
            Dengan demikian sikap manusia baru yang bebas, dibebaskan dari Yesus Kristus dan diundang untuk keterlibatan aktif dan partisipasi dalam membangun tatanan baru demi mewujudkan nilai-nilai Kerajaan Allah di dunia ini. Ada dua nilai Kerajaan Allah yang diperjuangkan dalam dunia ini adalah menegakkan KEADILAN dan PERDAMAIAN menuju KEBEBASAN MUTLAK yakni kemerdekaan, kemandirian, dan kedewasaan bagi MANUSIA. Lalu bagaimana kebebasan mutlak ini dimengerti dari aspek Ajaran Sosial Gereja dalam dunia ini? Mari kita sama-sama melihat Bab berikut ini.



3.3.    MAKNA ANAK-ANAK ALLAH
3.3.1.  Bebas dari segala Rintangan Sosial
            Pewartaan Yesus adalah Kerajaan Allah. Dalam Kerajaan Allah itu mengandung nilai-nilai. Nilai-nilai itu antara lain Keadilan, perdamaian, Kebenaran, Kejujuran serta kepedulian dan keprihatinan bagi kaum lemah dan miskin. Pertobatan dan mengajak orang untuk memberi perhatian kepada orang miskin, cacat, lumpuh, buta, dan kebutuhan-kebutuhan lain seperti kelaparan, asing, telanjang, sakit dan bagi mereka yang ada dipenjara. Sikap dan gaya Yesus dalam kehidupan sosial ini, memberikan semangat untuk keprihatinan dan kepedulian bagi kehidupan sosial manusia karena Yesus yakin bahwa mereka ini harus dibebaskan.
            Dalam seluruh Perjanjian Baru mengajak orang untuk memberikan keprihatinan praktis bagi orang-orang yang berkekurangan. Dan memang orang-orang yang terisih adalah orang-orang ada dalam kondisi sosial: janda, anak yatim piatu, orang sakit, para tawanan, miskin menderita, tangisan dan jeritan di tanahnya sendiri. Konsili Vatikan II juga mendorong untuk keprihatinan dalam kehidupan sosial yang tidak adil pada segala tingkatan agar dapat merasakan hidup bebas sebagai anak-anak dalam realitas sosial di masyarakat.
3.3.2. Keadilan melalui Pembebasan
            Ajaran Sosial Gereja itu bukan teori. Prinsip sosial itu masalah praktis. Untuk memperingati delapan puluh tahun Rerum Novarum Paus Paulus VI dalam Octogesima Adveniens  (1971) mendorong pelaksanaan pembaharuan sosial. Paus menyapa khususnya para awam dalam Gereja, supaya secara aktif dan bertangungjawab menjalankan tugas mereka yang demokrasi dan sosial. Pada tahun 1971 itu juga, para wakil Konferensi-Konferensi Uskup yang berkumpul di Roma untuk Sinode Uskup-uskup sedunia ketiga, merangkum hasil perundingan mereka dalam pernyataan mengenai “Keadilan Sosial” (Iustitia in Mundo), 
“Bagi kami, keterlibatan dalam penegakan keadilan dan partipasi dalam perubahan dunia merupakan unsur konstitutif pewartaan kabar gembira, yakni perutusan Gereja untuk penebusan umat manusia dan untuk pembebasannya dari segala penindasan”.
            Gereja dan dunia tidak lagi dilihat sebagai dua bidang tersendiri, yang terpisah satu sama lain. Iman yang diungkapkan dalam Gereja harus diwujudkan dalam dunia. Sinode para uskup juga tidak ingin menggaburkan perbedaan antara Gereja dan dunia. Jadi, sinode mengakui otonomi dunia sepenuhnya dan sekaligus mengingatkan bahwa orang beriman mempunyai tugas konkret atas dasar iman sendiri di dalam dunia. Orang beriman bertugas menegakkan keadilan. Hal ini bisa dicapai hanya dengan perjuangan demi pembebasan. Sangat-sangat mendesaklah tugas membangun suatu budaya pembebasan agar keadilan terjadi dalam kehidupan manusia di bumi teristimewa di tanah Papua.
3.3.3. Penindasan diakhiri dan Pembebasan Dimajukan
            Gereja sendiri harus memulainya dengan membina budaya pembebasan dalam lingkungannya sendiri. Sinode Uskup-uskup sedunia yang berikutnya (1974) membicarakan tema pewartaan. Paus Paulus VI merangkum hasil pembicaraan para uskup dalam himbauan apostolik Evangelii Nuntiandi (1975), yang membahas tugas pewartaan Injil: “Pusat Pewartaan Injil” adalah warta pembebasan. Allah Penyelamat mau terlibat dalam sejarah manusia dan oleh sebab itu Injil harus diwartakan kepada manusia yang bergulat, tangisan dan jeritan dalam masalah realitas sosial. Orang beriman yang menanggapi panggilan Allah, mesti ikut juga memperjuangkan pembebasan, karena yakin akan pembebasan dan penebusan oleh Allah. Allah pembebas itu menentang semua penindasan manusia, dan mengakhirinya semua penindasan itu. Adalah tugas Gereja untuk mewartakan Injil karena Injil itu adalah ragi untuk pembebasan dan perubahan sosial. Dunia Asia memerlukan nilai-nilai Kerajaan Allah dan nilai-nilai yang berasal dari Yesus Kristus, supaya terciptalah perkembangan, keadilan, perdamaian, solidaritas dengan Tuhan di antara bangsa dan semua ciptaan. Semuanya itu dirindukan semua bangsa di Asia agar Penindasan diakhiri dan pembebasan di majukan di mana-mana (Sidang Paripurna Federasi Konferensi para Uskup Asia, Bandung 1990).

3.4. HIDUP  BEBAS SEBAGAI ANAK-ANAK ALLAH DI TANAH PAPUA
     3.4.1. Ciri Bebas Personal
            Penulis menjelaskan dari fakta manusia sebagai makhluk pribadi sekaligus sosial. Dua dimensi ini, ada dalam diri manusia yang tidak bisa terpisahkan satu dari yang lain. Manusia sekaligus otonom   melainkan juga bersifat korelatif.[37] Pembebasan personal itu jangan lagi kita melihat semata sebagai pembebasan dari tekanan-tekanan luar dan bujukan luar yang menjamin pemenuhan diri manusia sebagai anggota kelas sosial, masyarakat atau negara. Jadi pembebasan personal meliputi bidang sosial dan psikologi: bebas dari tekanan atau ikatan dari luar dan bebas untuk mewujudkan diri secara penuh dan mutlak.
            Ciri kebebasan diri harus diperluas kepada semua manusia dalam masyarakat. Hal ini kita jangan berpikir bahwa ini akar untuk memulai individualisme yang melihat kebebasan atau kemerdekaan semata untuk diri sendiri. Kita juga jangan berpikir hanya untuk mengurung diri, mementingkan diri, hanya demi kepuasan diri dan kematangan diri secara penuh. Namun kita mengerti bahwa kebebasan personal adalah puncak perwujudan diri sebagai manusia yang otentik untuk semua manusia di bumi ini. Bukan untuk mencapai kebebasan mayoritas tetapi kebebasan bagi semua orang dan meninggalkan manusia lama menuju manusia baru, notabene sebagai anak-anak Allah.


      3.4.2. Ciri Bebas Sosial
            Pembebasan sosial bertolak dari struktur sosial yang memang tidak adil. Struktur sosial itu dapat mengakibatkan kesenjangan dan kemiskinan dan penindasan yang merajai di jagad raya bumi. Karena itu tatanan sosial yang adil hanya dapat dibangun dengan cara merombak struktur sosial yang ada. Dengan kata lain, masyarakat yang menusiawi hanya dapat dicapai melalui transpormasi sosial melalui cara menjunjung tinggi nilai keadilan dalam jagad raya bumi ini. Jadi, pembebasan sosial berarti transpormasi struktur sosial tidak adil menjadi tatanan masyarakat yang memang sangat-sangat adil dan lebih manusiawi.
            Pembebasan sosial bersifat integral termasuk dimensi sosial dalam kehidupan manusia di dunia ini. Dalam situasi struktur sosial yang represif dan eksploitatif, pembebasan Kristiani menuntut suatu pembebasan sosial demi mewujudkan masyarakat yang ber-keadilan. Iman Kristiani mengaplikasi kritik terhadap sturktur sosial yang korup dan pemakluman tatanan yang manusiawi.
            Pembebasan sosial secara politik, selalu berhadapan dengan realitas konflik dan penindasan dalam masyarakat. Konflik sosial adalah realitas dalam masyarakat yang dibangun di atas ketidakadilan yang menguntungkan bagi segelintir orang, tetapi juga memiskinkan atau menindas kebanyakan rakyat di dunia ini. Dalam situasi Amerika Latin yang dibangun di atas sistem kapitalisme, konflik sosial adalah fakta yang terjadi antara kelas kaya dan berkuasa dengan kelas miskin dan tertindas. Selain itu, di Papua ada banyak penguasa dan militer serta kaum feodalisme untuk menguasai kaum lemah dan miskin, akibatnya kebanyakan masyarakat Papua mengalami kemiskinan dan ketidakadilan serta penindasan di tanahnya sendiri. Dan juga kebanyakan belahan bumi ini, banyak mengalami penderitaan dan penindasan oleh karena kuasa dan hukum. Karena itu, perjuangan kelas tidak diciptakan juga bukan hukum mutlak sejarah tetapi mudah dengan sendirinya ada karena perubahan zaman dalam sebuah struktur sosial yang tidak adil dan merendahkan martabat sebagai manusia.
            Dalam situasi konflik seperti itu, pembebasan sosial berarti perjuangan membangun masyarakat yang adil dengan menghapus status quo yang ada dan menggantikannya dengan struktur masyarakat yang baik dan berpihak pada kaum lemah dan miskin. Dalam rangka itu, perlunya keterlibatan semua pihak demi merubah situasi konflik dan penderitaan menjadi kondisi yang menguntungkan bagi semua pihak dalam tatanan sosial dalam kehidupan manusia di bumi.
            Dengan demikian, pembebasan sosial tidak menciptakan konflik dan penderitaan, tetapi sebaliknya berusaha mengatasi konflik dan penderitaan yang de facto sudah terjadi. Cara mengatasi konflik dan penderitaan yaitu, bukan dengan perdamaian semu yang melanggengkan status quo, tetapi melalui perjuangan radikal guna menghapus akar-akar terdalam konflik atau sumber api (Sumber konflik) tersebut, yakni tidak adanya cinta kasih terhadap sesama sebagai manusia. Pembebasan sosial diinspirasi oleh karena kasih Allah yang mau membangun perdamaian dan keadilan bagi semua manusia di dunia ini.
           3.4.3. Kebebasan yang Sempurna dalam Yesus Kristus
1). Bertolak dari Kaum Miskin
            Dalam kerangka realitas sosial khususnya dalam bidang teologi sosial, selalu berpandangan bahwa dari bawah atau akar rumput masyarakat yang titik tolaknya adalah kaum lemah dan miskin. Dalam istilah “Kaum Lemah dan Miskin” ini melihat secara keseluruhan manusia yang tersisih, tertindas, menjadi korban struktur-struktur sosial masyarakat, termarginalisasi, dan penggurasan berbagai hasil kekayaannya oleh para penguasa dan feodal serta banyaknya kemiliteran di mana-mana. Itu berarti bahwa jutaan orang yang merasa bahwa mereka telah terjerat dalam situasi yang malang, tanpa pilihan lain selain pasrah pada nasib dan kondisi yang memang ada.[38]
            Dalam realitas seperti itu, Allah dalam pendekatan ini terutama dipahami sebagai Allah yang memihak kepada kaum miskin. Inkarnasi Yesus Kristus merupakan puncak pemihakan pada kaum lemah dan miskin itu. Dengan demikian, teologi sosial itu, dari bawah dengan titik tolaknya pada kaum lemah dan miskin yang menjadi upaya dan usaha untuk mengubah realitas terutama realitas yang merugikan pada kaum lemah dan miskin. Usaha-usaha ini menjadi nampak ketika manusia terlibat aktif dalam perjuangan bersama untuk mengubah kondisi yang tidak mungkin menjadi mungkin bagi manusia di dunia ini.
2). Menjadikan Mereka yang Terlupakan sebagai Teman Dialog
            Teologi sosial selalu berbicara mengenai realitas sosial. Dalam arti ini bahwa teologinya selalu mulai dari akar rumput dan menjadi teman dalam pembicaraan selanjutnya yakni dengan orang-orang yang sering terlupakan. Katakanlah di Tanah Papua: mereka yaang berada pada posisi yang menjadi keprihatinan bersama, mereka yang layak diperhatikan dan diangkat dan dihargainya sebagai manusia.[39] Dalam kenyataan sosial itu, mereka ini adalah orang-orang kaum lemah dan miskin, tertindas, yang menderita, termarginal, tersisih dan mereka yang hidup dipersimpangan jalan, di bawah kolong jembatan dan di rumah kumuh.
            Jika di antara para ilmuan, teoretis, atau teolog profesional selalu dengan pertanyaan biasanya berkisar pada masalah-masalah konseptual, teori ilmiah, di kalangan mereka yang terlupakan ini pertanyaan-pertanyaan yang ada berkisar pada masalah konkret ketidakadilan yang secara langsung mereka alami. Kaum terlupakan dengan segala permasalahannya inilah yang menjadi partner dialog dalam akar rumput dari bawah ini. Dengan demikian, bukan hanya sebatas teori-teori ilmiah, melainkan keterlibatan langsung di akar rumput melalui dialog dengan kaum terlupakan oleh sesama yang lain dalam dalam dunia khusus di tanah Papua.
3).Yesus Kristus Pembebas yang Sempurna
            Yesus Kristus merupakan tokoh pembebas bagi kaum lemah dan miskin seperti di atas ini. Tetapi Yesus Kristus Pembebasa menjadi pusat dan puncak akan iman dalam persimpangan dan di pinggiran jalan di dunia ini. Iman yang hidup akan Yesus Kristus mengandaikan komitmen dan keterlibatan radikal demi pembebasan dari segala bentuk ketidakadilan dan penindasan bagi manusia di dunia ini.[40]
            Siapa yang sungguh melibatkan diri (dan karena itu sadar akan posisi sosialnya) akan berupaya menangkap dimensi liberatif dari misteri Yesus Kristus. Dia akan menekankan tindakan Yesus historis yang memerdekakan kemanusiaan, kerena sebagai Putra yang menjadi daging secara manusiawi. Yesus mewartakan kabar gembira dan bersikap sedemikian sehingga tercipta suatu kondisi kebebasan yang benar-benar baru bagi umat-Nya. Pewartaan dan sikap Yesus merupakan titik tolak bagi umat Kristen dalam mengikuti Tuhan, juga dalam suatu konteks penindasan, situasi yang harus diatasi dalam suatu proses pembebasan secara radikal bagi manusia.
            3.4.4. Landasan Teologi Kebebasan yang Dipahami dari “ASG”
            Perjuangan pembebasan bagi anak-anak Allah dilandaskan pada dasar sejarah hidup manusia zaman dahulu. Karya pembebasan bagi umat-Nya merupakan Kehendak dan rahmat Allah bagi manusia sebagai umat pilihan-Nya. Allah dalam Yesus Kristus bertindak membebaskan manusia dari dosa dengan segala akibatnya termasuk penindasan dan ketidakadilan sosial dalam kehidupan di bumi kini dan saat ini. Pembebasan manusia menunjuk pada perjuangan manusia dalam mewujudkan diri secara autentik dan dalam mengatasi struktur sosial yang menindas (represif) dan menghisap (eksploitatif) yang berpangkal pada rahmat pembebasan yang diberikan Allah bagi manusia yakni hamba-hamba atau anak-anak-Nya di dunia ini.
            Rencana dan kehendak Allah bagi manusia, kini dan sekarang Gereja memperjuangkan agar pembebasan atau keselamatan bagi manusia terwujud dinyatakannya dalam dunia ini. Gereja dan dunia tidak dapat dipisahkan lagi, tetapi Gereja ada dalam dunia sehingga wajah Gereja nampak dalam dunia ketika Gereja dapat menyuarakan realitas hidup manusia yakni Jeritan dan Tangisan manusia menantikan keselamatan. Gereja dapat menyuarakan segala pergumulan manusia dalam aspek ajaran sosial Gereja.[41]  Kitab Suci merupakan kitab yang mengisahkan tentang karya penyelamatan Allah bagi manusia dalam sejarah.[42] Inilah yang menjadi dasar pembebasan Kristiani sehingga penyelamatan dapat menunjukkan misteri kehadiran Allah yang dapat membebaskan manusia dalam sejarah bahkan kini pembebasan dari segala keterikatan dan belenggu oleh pihak penguasan dan para feodal dan kapitalis di dunia ini.
 3.4.5. Kebebasan dan Penyelematan bagi Anak-anak Allah
            Bagaimanakah kaitan antara karya penyelamatan Allah dan proses pembebasan manusia dalam sejarah? Atau apakah arti perjuangan mengatasi realitas sosial tak adil dan perwujudan manusia baru dalam terang  sabda Allah? Kedua pertanyaan itu mengartikan bahwa pembebasan Kristiani sebagai seluruh proses perjuangan manusia dalam membangun masyarakat yang adil atau bersaudara dan mewujudkan manusia baru berdasarkan karya penyelamatan Allah bagi manusia sebagai anak-anak-Nya. Karena itu karya penyelamatan Allah adalah dasar bagi pembebasan umat manusia. Jadi dalam kehidupan manusia sebagai anak-anak Allah di bumi ini dapat dinyatakan dalam konteks hidup dan kehidupan yang aman, damai, tenang, jujur, bebas, bebas paksaan, bebas hukuman, bebas dari penindasan, bebas ketidakadilan, bebas pembunuhan, bebas pemerkosaan, bebas pengurasan dan perampasan, bebas dari penculikan, penganiayaan, dihargai sebagai manusia, hargai sebagai teman bukan lawan dan musuh, menghargai para buruh kerja, menghargai hak-hak dasar manusia: hidup, memperoleh tempat yang layak, makan dan minum, berserikat, berkumpul dan menyuarakan aspiranya bukan ditutupi, dibatasi ruang gerak bagi manusia. Dengan sikap dan tindakan itu, maka dapat merasakan hidup dan kehidupannya sebagai anak-anak Allah dalam dunia kini dan saat ini.
 3.4.6. Hidup Bebas Sebagai Anak-Anak Allah dan Ketidakadilan
            Bebas sebagai anak-anak Allah adalah suasana yang sangat-sangat baik, aman, tenang, damai, adil, menghargai harkat dan martabat sebagai manusia, menghargai identitas manusia, menghargai hidup manusia, lingkungan, SDA (Sumber Daya Alam) dan menghargai budaya bukan menindas, tanpa penindasan, tanpa pemerkosaan, tanpa teror, tanpa pengurasan dan perampasan hak milik orang dan tanpa krisis kebutuhan oleh para buruh. Bertolak belakang dengan suasana yang kurang mendukung manusia yakni merejalelah penindasan, ketidakadilan, pembunuhan, penangkapan aktivis mahasiswa dan masyarakat sipil, perampasan SDA, pengrusakkan lingkungan, pemerkosaan, penganiayaan, dan kekerasan dalam rumah tangga. Selain itu, perlakuan yang sengaja dilakukan oleh pihak penguasa: kurang persediaan sarana dan prasarana (Pendidikan dan Kesehatan), Penyebaran penyakit HIV/AIDS, segala perda/perpu yang tidak berpihak pada kaum miskin dan lemah serta semua manusia.
            Kedua konteks kehidupan manusia ini, dapat menyimpulkan bawha manusia berada dalam situasi yang sangat-sangat krisis dan menjadi perhatian utama bagi kita semua. Membawa manusia pada jurang dalam, bukan hanya itu tetapi membawa manusia pada kevakuman yang memang tidak berdayanya. Manusia menjadi gelap dalam menghadapi tembok penguasa itu. Manusia selalu ada dalam api neraka. Dalam realitas seperti ini, manusia sangat-sangat membutuhkan semangat terang sebagai anak-anak Allah. Ya, kita katakan bahwa sebagai anak-anak Allah memikul salib, tetapi perlakuannya oleh pihak penguasa itu sangat sidis dan sangat-sangat tidak menghargai eksistensi manusia. Biarkanlah manusia selalu berada dalam terang tanpa kegelapan manusia.
 3.4.7. Menghargai Martabat Manusia Sebagai Manusia
            Target yang sedang kejar dalam seluruh tulisan ini adalah menghargai martabat manusia sebagai manusia. Dikatakan demikian, karena ia adalah seorang manusia, bukan sekedar material atau sebuah patung yang berbentuk manusia. Oleh karenanya, hidup bebas sebagai anak-anak Allah dalam konteks apapun harus dihargai dan dijunjung tinggi. Bahkan diakui eksistensinya sebagai anak-anak Allah.
            Berkaitan dengan menghargai martabat manusia sebagai manusia, maka tak terlepas dari mengakui hak asasi manusia. Hak asasi manusia berarti hak-hak yang dimiliki manusia bukan karena diberikan kepadanya oleh masyarakat atau pihak keamanan atau negara, melainkan berdasarkan martabat manusia sebagai manusia notabene kebebasan sebagai anak-anak Allah. Sejak seseorang mulai berada dalam rahim ibunya, ia memikili hak-hak asasi dan hidup bebas sebagai anak-anak Allah. Waktu lahir ia sudah memilikinya. Oleh karena itu, martabat manusia menuntut agar segenap anggota masyarakat diperlakukan sebagai manusia. Tetapi apa artinya dalam kehidupan praktis, misalnya kalau seorang ditangkap polisi karena dituduh melakukan pelanggaran? Nampaknya bahwa “martabat manusia” terlalu abstrak.[43] Oleh karenanya, orang yang ditangkap itu: tak boleh disiksa, dipukul, dan menjamin perlindungan bahkan kesejahteraan pun diberikan. Harus diberitahu tuduhan atasnya dia ditahan, harus dihadapkan pada hakim untuk menentukan apakah penahanan itu sah dan berhak untuk mendampingi penasehat hukum.  Walaupun kehidupan praktis itu, martabat sebagai manusia sangat abstrak, namun martabatnya sebagai manusia perlu mengakui dan menghargai kemerdekaannya sebagai anak-anak Allah.
            Dalam rangka menghormati martabat sebagai sebagai manusia, kita bisa cermati dalam piagam PBB tentang hak asasi manusia. Piagam itu dapat digolongkan dalam dua kelompok yakni
Pertama: Hak-Hak Sipil dan Politik
Hak-hak itu menyangkut hubungan warga negara dan pemerintahan, serta menjamin agar setiap warga memperoleh kemerdekaan. Hak-hak ini meliputi: hak atas hidup, hak kebebasa berpikir dan kebebasan menyatakan pendapat, hak kebebasan hati nurani dan agama, serta kebebasan berkumpul atau berserikat; hak atas kebebasan dan kemampuan dirinya; hak atas kesamaan di depan hukum dan hak atas perlindungan hukum di hadapan pengadilan (dalam hal penangkapan, penggeledahan, penahanan, penganiayaan, dan sebagainya); dan hak atas partisipasi dalam pemerintahan (berpolitik).
Kedua: Hak-Hak Ekonomi, Sosial, dan Budaya
Hak-hak pada bagian ini, dapat berbicara menyangkut hidup kemasyarakatan dalam arti luas dan menjamin agar orang dapat mempertahankan kemerdekaan. Hak-hak itu meliputi: hak mendirikan keluarga serta hak atas kerja, hak atas pendidikan, hak atas tingkat kehidupan yang layak bagi dirinya sendiri dan keluarga, dan hak atas jaminan waktu sakit dan di hari tua. Ada pula hak atas lingkungan hidup yang sehat serta hak para bangsa atas perdamaian dan perkembangannya.
            Hak-hak seperti ini, kita bisa cermati dalam perspektif terang Kitab Suci dan Ajaran Sosial Gereja.
 1). Martabat Manusia Dalam Terang Kitab Suci
            Kitab Suci Perjanjian Lama, penulis dapat mengetahui bahwa salah satu pengalaman umat Israel yang sangat menentukan sejarah selanjutnya adalah pengalaman pembebasan ketika martabat manusianya sebagai orang Israel diinjak-injak oleh bangsa Mesir ditegakkan kembali, ketika hak asasinya yang dirampas dikembalikan lagi. Sejak saat itu, sejarah keselamatan, yakni sejarah pembebasan, menjadi perhatian khusus oleh Tuhan Allah bagi kaum lemah dan miskin serta yang tertindas.
            Apa yang dikatakan Tuhan Allah kepada Musa terulang dalam seluruh sejarah keselamatan: “Aku telah memperhatikan dengan sungguh kesengsaraan umat-Ku, dan Aku telah mendengar seruan mereka, ya Aku mengetahui penderitaan mereka. Sebab itu, Aku turun untuk melepaskan mereka”.[44] Memang Tuhan mendengarkan keluhan dan seruan para kaum lemah dan miskin bahkan orang yang tak berdaya. Orang-orang semacam itu, mendapat perhatian khusus dari Allah. Allah mengatahui bahwa mereka yang menderita, ditindas, dan mengalami ketidakadilan bahkan direndahkan martabatnya sebagai manusia adalah anak-anak-Nya. Kemerdekaan sebagai anak-anak-Nya itu, dikacau balaukan dan dibatasi oleh pihak penguasa dan kaum penindas.
            Orang-orang yang menderita dan tak berdaya dinaungi oleh berkat dan rahmat yang dilindungi dari Allah. Oleh karenanya itu, martabat sebagai manusia notabene hak asasi manusia pertama-tama harus diperjuangkan untuk orang lemah dan miskin, direndahkan martabatnya, orang yang tak berdaya dalam masyarakat dan orang yang penindasan dan ketidakadilan. Dasar perjuangan itu adalah tindakan Allah sendiri yang melindungi orang yang tak mempunyai hak dan kekuatan. Kitab Suci mengajarkan bahwa “Allah membuat manusia menurut citra-Nya sendiri”.[45] Maksudnya bahwa kepadanya dikenakan kekuatan yang serupa dengan kekuatan Tuhan sendiri, agar manusia merajai binatang dan unggas. Manusia diciptakan Tuhan sebagai makhluk yang berdaulat, dan semua hak manusia adalah hak mengembangkan diri sebagai citra Allah sebagai anak-anak-Nya.
            Percaya akan Yesus berarti percaya bahwa kebaikan akan menang atas kejahatan, keadilan akan mengalahkan ketidakadilan dan perdamaian akan menang bila ada kekerasan. Betapapun kuat sistem sosial ekonomis orang kaya, penguasa dan para feodal, betapapun besarnya kuasa para penindas, betapapun rumit dan sulit masalah-masalah hidup bersama, manusia dapat dimerdekakan, oleh karena daya kekuatan Allah yang ada di dalamnya. Ini bukan soal organisasi, ini bukan soal institusi. Sebab organisasi berarti melawan satu sistem dengan sistem lain.Padahal dengan jelas Yesus bersabda:
“Raja-raja bangsa-bangsa memerintah rakyat mereka dan orang-orang yang menjalankan kuasa atas mereka disebut pelindung-pelindung. Tetapi kamu tidaklah demikian.[46]
            selain itu, Percaya akan Yesus berarti ikut dengan gerakan Yesus itu. Gerakan yang berpangkal pada semangat Yesus, dan diteruskan oleh Roh-Nya, adalah sebuah sebuah gerakan kemerdekaan kemanusiaan sebagai anak-anak Allah. Percaya pad Yesus bukan berarti memanggil-Nya dengan macam-macam nama. Yesus bukan teori, Yesus bukan ajaran. Yesus adalah praktis hidup sosial. Iman bukan cara berbicara atau cara berpikir, iman berarti cara hidup seperti Yesus. Kembali kepada Yesus mementingkan orthopraxi di atas orthodoxi.[47] Yesus sendiri menghayati hubungan antara Pemerintahan Allah dan ortopraxi itu: Yesus berkeliling di Palestina sambil berbuat baik. Yesus memihak mereka dalam masyarakat tak berdaya dab tak berhak serta orang-orang berdosa. Dalam cara hidup Yesus ini, Kerajaan Allah menjadi konkret dan nyata, yakni dalam keterlibatan Yesus demi kesejahteraan manusia, dalam keprihatinan-Nya demi keutuhan manusia, termasuk keutuhan jasmani: Yesus menyembuhkan penyakit dan mengusir setan.[48]
 2). Hak Asasi Manusia Dalam Terang Ajaran Gereja
            Ajaran Sosial Gereja menegaskan: : “karena semua manusia mempunyai jiwa berbudi dan diciptakan menurut citra Allah, karena mempunyai kodrat dan asal yang sama, serta karena penebusan Yesus Kristus, mempunyai panggilan dan tujuan ilahi yang sama, maka kesamaan asasi antara manusia harus senantiasa diakui”.[49] Dari ajaran ini, nampak pandangan Gereja tentang hak asasi, yakni hak yang melekat pada diri manusia sebagai insani, ciptaan Allah sebagai anak-anak-Nya. Hak ini tidak diberikan kepada seseorang karena kedudukan, pangkat, atau situasi; hak ini dimiliki setiap orang sejak lahir, karena dia seorang manusia. Hak ini bersifat asasi bagi manusia, karena hak ini diambil, ia tidak dapat hidup bebas sebagai anak-anak Allah. Oleh karena itu, hak asasi manusia merupakan tolok ukur dan pedoman yang tidak ganggu-gugat dan harus ditempatkan di atas segala aturan hukum dan kepentingan. Gereja mendesak diatasinya dan dihapuskannya
 “Setiap bentuk diskriminasi, entah yang bersifat sosial atau budaya, entah yang didasarkan pada jenis kelamin, warna kulit, suku, keadaan sosial, bahasa, ataupun agama, karena berlawanan dengan maksud dan kehendak Allah”.[50]
 3). Sejarah Perjuangan dan Kerja Sama Menegakan HAM
3.1. Perjuangan PBB
Pada tanggal, 10 Desember 1948: PBB mengumumkan “Universal Declaration of Human Right”. Pada umumnya, deklarasi ini dapat dilihat sebagai titik tolak untuk semua pemikiran dan rumusan lebih lanjut berhubungan dengan hak asasi manusia.
Sejak tahun 1966, deklarasi tersebut dilengkapi dengan dua pernyataan khusus supaya hak asasi mendapat kekuata yang mengikat. Kedua pernyataan itu ialah
-        Perjanjian Internasional tentang hak-hak ekonomi, sosial, dan budaya
-        Perjanjian Internasional tentang hak-hak sipil dan politik
Tahun 1975 hak-hak asasi dirumuskan lagi secara khusus dalam persetujuan Helsinki
Tahun kemudian 1981 diumumkan piagam Afrika mengenai hak-hak manusia dan bangsa-bangsa.
Pada saat itulah PBB memiliki Panitia hak-hak manusia yang bertugas mengawasi hak-hak manusia itu.
3.2. Perjuangan Gereja
-        Ensiklik Master et Magistra (1961) dan Pacem in Terris (1963) mulai berbicara tentang hak asasi manusia.
-        Konsili Vatikan II (1962-1965) berulang kali berbicara mengenai hak asasi manusia, terutama dalam konstitusi Gaudium et Spes dan Dignitatis Humanae.
-        Tahun 1974 Panitia kepausan “Yustita et Pax” menerbitkan sebuah kertas kerja “Gereja dan hak asasi manusia”.
-        Komisi Teologi Internasional mengeluarkan sejumlah tesis mengenai martabat manusia notabene hak pribadi manusia.
            Dengan modal gagasan-gagasan di atas ini, kita dipanggil untuk bekerja sama menegakkan harkat dan martabat manusia sebagai anak-anak Allah yang bebas merdeka melalui nilai keadilan agar manusia merasakan dirinya sebagai anak-anak Allah dalam dunia ini.

 3.4.8. Menjunjung Tinggi Nilai Keadilan
            Jika kita sudah mendengarkan dan mencermati bahkan kita dipanggil untuk bekerja sama untuk mangangkat dan menegakkan harkat dan martabat manusia yang lemah, kaum miskin, mereka yang tak berdaya, mereka yang mengalami diskriminasi, mereka yang mengalami penindasan dan kekerasan serta ketidakadilan dan martabatnya direndahkan itu, problem para kaum buruh, kemiskinan, masalah pendidikan dan kesehatan, maka kita membutuhkan alat dan sarana untuk menyuarakan semua realitas permasalahan ini. Kita perlu jalan yang terbaik agar mereka merasakan dirinya sebagai anak-anak Allah di hadapan Allah dan manusia lain.
            Di sini saya menawarkan salah satu jalan terbaik mengenai “misi Umat Allah untuk memajukan keadilan dalam dunia”.[51] Saya berpikir dan melalui refleksi bahwa dengan memajukan keadilan itu, bisa menang atas ketidakadilan dan penindasan oleh para penguasa, para kapitalis dan kaum feodal. Hal ini bisa digunakan dalam kehidupan masyarakat di dunia saat ini khususnya di tanah Papua. Dalam memajukan keadilan dunia, kita bisa lihat dalam pernyataan Sinode Para Uskup, tahun 1971.[52]
            Dalam rangka transformasi realitas sosial dan transformasi manusia, kita sebagai anak-anak Allah (baik yang para penindas atau penguasa dan kaum tertindas) kedua belah pihak ini, ditantang untuk merefleksikan dirinya dan kemerdekaannya sebagai anak-anak Allah di dunia. Dengan menyadari akan hal ini, kita mencari jalan keluar situasi keterpurukan menjadi situasi yang adil dan damai bahkan sampai pada kebebasan kemanusiaan secara total tanpa keterikatan dan belenggu atau penghalang keterarahan manusia.
            Refleksi selalu mengantar manusia untuk beraksi atas nama keadilan dan partipasi dalam pengubahan dunia tampak secara penuh kepada anak-anak Allah sebagai sarana dari pewartaan Injil atau dengan kata lain sebagai alat perutusan Gereja bagi penebusan umat manusia dan pembebasannya dari setiap situasi menindas.[53] Ketidakadilan struktural yang menindas manusia dan memajukan kebebasan sebagai anak-anak Allah dalam konteks apapun. Agar supaya martabat manusia nampak kuat, akan tetapi kekuatan memecah belah (perlombahan senjata, ketidakadilan ekonomi, kurangnya partisipasi dan keterlibatan manusia menjadi semakin besar. Juga menegaskan kembali hak untuk berkembang sebagai hak asasi manusia. Selain itu, memerlukan modernisasi yang peka terhadap kebudayaan. Akhirnya pada semua situasi ini, kebanyakan orang yang menderita ketidakadilan tak berdaya, Gereja harus berbicara atas nama mereka. Bukan penonton setia, melihat tetapi tak melihat dan tertawa saja bahkan membiarkan orang lain menderita. Dalam konteks seperti itu dibutuhkan dialog dengan partisifasi semua pihak diperlukan untuk memperbaiki ketidakadilan. Tetapi tidak cukup hanya melalui dialog. Namun hal yang paling baik untuk mengatasi semua permasalahan ini adalah hanya melalui keadilan untuk mengatasi ketidakadilan tak berdaya.
            Demi memajukan keadilan, orang perlu mendengarkan Sabda Allah untuk menanggapi ketidakadilan secara baik. Perjanjian Lama memandang Allah sebagai “Pembebas kaum tertindas dan pembela kaum miskin”.[54] Allah mengutus anak-Nya Yesus Kristus menjadi nampak jelas. Yesus telah memberikan diri-Nya untuk pembebasan dan penyelamatan semua orang dan menggabungkan diri-Nya dengan paling kecil. Selain Yesus, Santo Paulus mengangkat soal cara hidup Kristiani adalah iman yang memercikan cinta kasih dan pelayanan bagi sesama. Cinta kasih Kristiani terhadap sesama dan keadilan tak dapat dipisahkan karena dalam pewartaan Injil menuntut dedikasi pada pembebasan atau keadilan bagi manusia dalam dunia ini.
            Kini peran Gereja dapat mengarah pada pesan Injil untuk memberikan kepada Gereja hak dan kewajiban untuk menyatakan keadilan pada semua tingkat dan mencela hal-hal yang tidak adil.[55] Selain itu, peran Gereja yang hirarkis tidak menawarkan pemecahan masalah yang konkret masalah-masalah khusus, tetapi memperkembangkan martabat dan hak-hak umat setiap orang notabene kemerdekaan sebagai anak-anak Allah dalam dunia.
            Kesaksian Gereja mencakup hak-hak di dalam Gereja bagi semua, khususnya wanita dan awam. Hak-hak tersebut mencakup: gaji yang layak, keamanan, kenaikan jenjang karier kebebasan berpikir dan kebebasan berekspresi, prosedur-prosedur hukum yang wajar, partisipasi dalam proses pengambilan keputusan. Gaya dan prinsip hidup Gereja sebagai lembaga dan segenap anggotanya harus memungkinkannya untuk mewartakan kabar gembira Injil kepada kaum lemah dan miskin bahkan yang tertindas. Dengan demikian setiap orang yang mau maju dan mengangkat bahkan menyuarakan untuk mewartakan keadilan harus bekerja demi keadilan dalam dunia ini.
            Akhirnya Gereja menjadi wajah Kerajaan Allah di tengah dunia ini. Dengan maksud bahwa Gereja hadir dan ada untuk menyuarakan realitas sosial di mana-mana. Mengangkat harkat dan martabat manusia sebagai anak-anak Allah melalui sarana keadilan untuk mengapai perdamaian menuju suka cita abadi yang diimpikan setiap insani manusia khususnya di tanah Papua. Kini menjadi tugas kita bersama dalam rangka merenungkan dan merefleksikan dirinya dan kemerdekaannya sebagai anak-anak Allah. Pentingnya menegakkan keadilan untuk mencapai kemerdekaannya sebagai anak-anak Allah khususnya di Papua. Dikatakan demikian karena banyak problem yang terjadi di Papua tanpa memandang dirinya dan orang lain. Memandang bukan lagi kemerdekaannya sebagai anak-anak Allah, tetapi manusia memperlakukan manusia, manusia membunuh manusia, manusia para penindas menindas manusia lain, manusia yang mengadakan konflik dan kena konflik adalah manusia itu sendiri dan orang lain (manusia).
            Jadi dapat disimpulkan bahwa tugas kita adalah mengantar kedua jenis orang ini, untuk pentingnya merenungkan dan merefleksikan kemerdekaannya sebagai anak-anak Allah. Mencari jalan keluar untuk mengatasi semua masalah ini. Caranya adalah hanya melalui dialog bersama, tetapi ini adalah salah satu bagian untuk mengatasinya. Namun cara lain yang terbaik untuk kita buat saat ini adalah menegakkan keadilan untuk kebebasan manusia secara radikal khususnya di Papua.




















BAB IV
PENUTUP

4.1. KESIMPULAN
            Dari semua uraian di atas, saya mencermati bahwa dengan segala jerih payah dan usahanya, saya mencoba mendorong semua orang yang beriman Kristiani maupun bukan Kristiani untuk terus merefleksikan imannya, terutama kebebasan sebagai anak-anak Allah. Juga mendorong pentingnya memperjuangkan keadilan yang mengandaikan kebebasan radikal dan mutlak sebagai anak-anak Allah dalam praktis sosial. Saya mencoba mendorong agar perlunya menegakkan keadilan untuk mencapai perdamaian di mana-mana khususnya di Papua. Memang saya mengakui bahwa Perdamaian menjadi impian bersama dan tujuannya untuk melawan segala bentuk kekerasan dan pertikaian di mana-mana khususnya di Papua.
            Namun hanyalah sebuah impian, karena di dalamnya banyak praktek ketidakadilan dan diskriminasi, penindasan, merendahkan martabatnya sebagai anak-anak Allah, perampasan sumber alam dan masalah pendidikan dan kesehatan bahkan masalah keamanan. Oleh karena itu, pentingnya menyuarakan keadilan menjadi impian kini dan saat ini sekaligus tugas kita bersama sebagai anak-anak Allah dalam dunia ini, khususnya di tanah Papua. Dengan demikian, saya yakin dan melalui refleksiku bahwa dengan menegakkan keadilan akan mencapai perdamaian, daripadanya kebebassannya sebagai anak-anak Allah semakin dirasakan dan dihayatinya dalam kehidupannya di tanah Papua.
            Akhirnya saya dapat mengatakan dengan hati yang terdalam bahwa merefleksikan dan merenungkan hidup bebas sebagai anak-anak Allah itu, tak mudah dan membutuhan banyak waktu. Tetapi mendesak pada semua manusia noabene anak-anak Allah dituntut untuk pembelaan terhadap kaum lemah atau miskin dan tertindas. Secara konkritnya perjuangan demi penegakan keadilan di tengah masyarakat sangat-sangat membutuhkan banyak waktu dan tenaga demi menciptakan perdamaian di bumi Papua. Dengan demikian, akan mencapai semangat perubahan situasi menuju pembebasan sebagai anak-anak Allah melalui jalan menegakkan keadilan Allah di tengah masyarakat Papua.

4.2. SARAN
            Dengan hati yang terdalam saya menyarankan bahwa menjadi anak-anak Allah itu, tidaklah mudah dan semata-mata menjadi penyembah Yesus dan menyeru “Tuhan, Tuhan”. Arti dan makna menjadi anak-anak Allah dan menjadi pengikut Yesus Kristus terwujudkan dalam turut melakukan apa yang dilakukan oleh Sang Pembebas Yesus.  Menjadi anak-anak Allah, menjadi pengikut Yesus Kristus, berarti masuk dalam gerakan yang sudah dimulai-Nya, berlaku dan bertindak sebagaimana yang dilakukan Yesus sepanjang hidup-Nya.[56]
            Selain itu, disarankan bahwa kita semua adalah anak-anak Allah, maka mempunyai tugas untuk melibatkan diri dalam pembebasan seluruh manusia dari segala macam keterikatan dan belenggu yang meniadakan kemanusiaan. Perjuangan mengatasi ketidakadilan dan kemiskinan  menjadi solidaritas kemanusiaan itu. Karunia, cinta kasih dan teristimewa keadilan Allah seharusnya mewujudkan dalam segala segi kehidupan. Itulah yang terutama dan mendasar untuk merefleksikan dan merenungkan hidupnya dan dirinya sebagai anak-anak Allah di dunia ini khususnya di Papua.
            Kini, kita diantar pada memilih pilihan untuk melakukan tugas pengutusan kita sebagai anak-anak Allah demi pembebasan radikal. Ditanya bahwa misi macam apa yang akan pilih oleh anak-anak Allah? Dalam konteks di Papua, mengatasi kemiskinan dan ketidakadilan dan memperjuangkan keadilan Allah tampak sebagai yang paling utama. Wajah kemiskinan dan ketidakadilan tersebar di antara: karyawan/ti, orang keci, buruh, nelayang, petani, tukang becak, pedagang kecil, dan mama-mama pedagang asli serta orang-orang asli yang diperdaya. Keluhan dan jeritan mereka yang miskin, tersingkir, terhisap, dan diskriminasi dan tertindas, makin sering terdengar. Mereka yang tak berdaya dan dianggap sebagai kelas rendah atau bawahan dalam masyarakat, yang terus tersisih dari masyarakat. Mereka ini mengalami dan merasakan tidak dimanusiakan. Padahal mereka ini adalah anak-anak Allah bahkan kita semua adalah anak-anak Allah tanpa terkecuali.
Lantas di manakah peran dan tugas kita sebagai anak-anak Allah? Layakkah anak-anak Allah disebut sudah melakukan tugas pengabdiannya, tanpa mencoba ikut mengatasi ketidakadilan dan kemiskinan di sekitarnya? Akhirnya kita semua adalah anak-anak Allah, maka kita dipanggil untuk menentukan pilihan mendahulukan yang miskin dan menderita serta yang mengalami ketidakadilan dengan mengabdi dan menguatkan mereka, sehingga mereka menyadari dan mewujudkan martabat mereka sebagai anak-anak Allah. Kita juga diundang untuk menyatukan pewartaan dan pelayanan kita dengan-Nya, yakni memilih untuk mendahulukan kaum lemah dan tersisih, untuk mengatasi ketidakadilan, penindasan dan pemerasan atau perampasan sumber alam, untuk mengembalikan kebebasan martabatnya sebagai anak-anak Allah dalam dunia ciptaan Allah ini.
Ingat bahwa ciptaan Allah itu, tidak khususkan hanya untuk sebagian orang saja, melainkan untuk kebaikan dan kebebasan semua anak-anak Allah dan kebebasan seluruh ciptaan. Allah menghendaki semua anak-anak Allah, semua umat manusia hidup dalam Kerajaan Allah untuk menemukan kebebasannya sebagai anak-anak Allah. Bagaimana langkah-langkah untuk hidup dalam kebebasan sebagai anak-anak Allah?


BAB V.
RANCANGAN PASTORAL

            Akhirnya penulisanku ini berakhir dengan sebuah rancangan pastoral melalui beberapa langkah. Ada beberapa langkah yang dapat dilakukan oleh semua anak-anak Allah dalam memelihara dan mengembangkan hidup bebas sebagai anak-anak Allah demi pembebasan mutlak akan semua manusia baik dalam karya pengabdian di kombas-kombas, di Kring-kring, dan Paroki bahkan di Keuskupan adalah melalui jalan:
5.1. Meditasi dan Kontemplasi
            Meditasi dan kontemplasi dapat dilakukan secara rutin harian. Kedua bentuk doa ini, dapat dilakukan juga secara teratur adalah sangatlah penting untuk mengolah, menyadari dan merasakan keterlibatan pelayanan dari terang Sabda Allah. Saya berpikir bahwa tanpa pengolahan iman dan refleksi hidup bebas sebagai anak-anak Allah atas Sabda Allah, tindakan atau kepedulian sosial pada anak-anak Allah akan kehilangan arah dan kekuatan. Oleh karena itu, doa meditasi dan kontemplasi sangat diharapkan setiap umat manusia notabene anak-anak Allah untuk menghayati dan merefleksikan dirinya sebagai anak-anak Allah yang merdeka.
5.2. Keterlibatan dan Keprihatinan Sosial
            Sabda Allah tidak cukup direnungkan secara pribadi atau kelompok dalam ruang yang tertutup. Sabda Allah ini harus diwujudkan dalam suatu tindakan nyata berupa kepedulian dan keterlibatan sosial. Sabda Allah itu, baru akan menjadi sumber kebebasan dan semangat hidup apabila ia berfungsi menjadi inspirasi bagi setiap kepedulian dan tindakan sosial dalam problem-problem sosial. Mendengarkan Sabda Allah, tetapi tanpa kepedulian dan keterlibatan sosial dapat digambarkan sebagai orang yang mempelajari teori berenang tanpa pernah terjun ke dalam air. Makanya, jangan tunggu waktu tua, kini dan saat ini menjadi waktu bagi anak-anak Allah untuk keprihatinan semua persoalan akan kemanusiaan khususnya di tanah Papua.
            Selain itu, sangatlah penting juga hidup saling menopang. Karena di dalamnya akan ada pertemuan kelompok untuk saling membagi pengalaman pengabdian dan saling menopang sangatlah berguna dalam menghadapi situasi krisis hidup kemanusiaan dan semangat hidupnya sebagai anak-anak Allah. Dengan memilih persekutuan yang dapat membagi suka dan duka dalam pengabdian, anak-anak Allah dapat saling menopang beban dan kesulitan yang dihadapi dalam kepedulian dan keterlibatan sosial demi pembebasan akan kamanusiaan.
5.3. Mempertajam Visi Pengabdian
            Visi yang kaku dan jenuh akan menyebabkan seseorang layu semangatnya. Oleh karena itu, diperlukan upaya untuk mempertajam visi pengabdian akan Kerajaan Allah demi keadilan-Nya dan kebebasan bagi anak-anak Allah. Dapat dibuat melalui beberapa cara misalnya: membaca buku, mendengarkan ceramah, mengadakan seminar dan diskusi sekaligus mengikutinya, dan memulai pewartaan di Kombas-kombas atau di Kring-kring di Paroki dan Keuskupan untuk menyuarakan pentingnya keadilan Allah melawan krisis sosial khususnya di Papua.
5.4. Mencari dan Membangun Teman-teman Seperjuangan
            Dalam menyuarakan keadilan Allah itu, perlunya mencari dan membangun teman-teman seperjuangan. Kesendirian dalam perjuangan sering menyebabkan orang mudah patah semangat. Oleh kerena itu, mencari dan membangun teman-teman seperjuangan adalah sangatlah mendesak dalam pembebasan transfomasi radikal sebagai anak-anak Allah. Dengan demikian teman-teman seperjuangan atau kelompok perjuangan, maka upaya menjalankan misi bukan lagi dikerjakan oleh seorang, tetapi oleh banyak orang.
5.5. Menciptakan Simbol atau Lambang Perjuangan
            Simbol dan tema perjuangan sangat berperan dalam mengembangkan semangat hidup kebebasan sebagai anak-anak Allah melalui jalan keadilan menuju perdamaian untuk kebebasan radikal. Ingat bahwa simbol itu bisa mematikan semangat sebagai anak-anak Allah, apabila simbol itu telah berubah menjadi tujuan dan bukan sarana untuk menyadari dan merasakan perjuangan atau misi. Dengan simbol dan tema, anak-anak Allah bisa diingatkan akan pengalaman masa lampau dan sekaligus panggilan dan tugas pengutusan yang harus dilakukan pada masa kini dan saat ini.
            Dengan simbol dan tema juga diingatkan janji Allah akan kebebasan sebagai anak-anak-Nya masa depan. Anak-anak Allah dapat dituntut ke arah masa depan demi perubahan situasi sosial yang tak mungkin menjadi mungkin bagi anak-anak Allah agar mengalami dan merasakan dirinya sebagai bebas.
5.6. Kerangka Dasar Perjuangan Kebebasan Manusia secara Radikal


Penghayatan Semangat Kebebasan Transpormatif melalui Gerak Refleksi-Aksi Refleksi-Aksi Terus-Menerus

Menyadari Visi         Nilai yang diperjuangkan: Kerajaan Allah,
melalui Refleksi        Penyelamatan,
                                   transpormasi yang membebaskan anak-anak Allah

Melibatkan Diri         Perjuangan untuk: Keadilan, Perdamaian
dalam Aksi                dan Ayii (Keselamatan) dan Mobu
                                  (Kepenuhan, kesempurnaan)
                                            
Bersama-sama           Potensi atau kekuatan
Menguji, Mencari,     Hambatan, dan Kelemahan,
Memperdalam Visi    mana harmonis yang sejati, mana yang palsu
                                            
Aksi Lanjut                Mencari Alternatif dalam tindakan praktis
                                   untuk mengubah situasi yang tidak adil
                                   dan kacau menjadi masyarakat adil
                                   dan damai di dunia khususnya di Papua.


DAFTAR PUSTAKA

Banawiratma J.B, SJ. Dkk. Aspek-Aspek Teologi Sosial. Yogyakarta, Kanisius, 1988.
Broek Theo Van den dan Kambayong Rudolf, Membangun Budaya Damai
 dan Rekonsiliasi Dasar Menangani Konflik di Papua, Tim SKP Jayapura, 2006.
Dister Nico Syukur, Kristologi Sebuah Sketsa. Yogyakarta, Kanisius, 1987.
---------------. Filsafat Kebebasan. Yogyakarta, Kanisius, 1988
---------------. Pengantar Teologi. Yoyakarta, Kanisius, 1991.
G. Van Bremens Peter, SJ. Semangat Kristiani. Yogjakarta Kanisius, 1976.
Jacobs Tom. Iman dan Agama. Kekhasan Agama Kristiani menurut St. Paulus dalan Surat Galatia       dan Roma. Kanisius Yogyakarta, 1992
Knitter Paul F. Menggugat Arogansi Kekristenan. Yogyakarta, Kanisius, 2005.
Kirchberger Georg, SVD dan  Prior John Manford, SVD. Mengendus Jejak Allah. Dialog dengan     Masyarakat Pinggiran. Ende, Flores NTT, Nusa Indah, 1997.
Leonardo Boff. Yesus Kristus Pembebas. Seminari Tinggi Ledalero, Maumere, 1999.
Limen , Jurnal Agama dan Kebudayaan. Th. 4, No. 1, Biro Penelitian
STFT-Fajar Timur Abepura Papua, Oktober 2007.
Peace Brigades International (PBI). Mari Kitorang Ciptakan Hidup Damai. Perayaan Hari Perdamaian          Internasional di Papua, 21 September 2006.
Raweyai Yorrys TH, Mengapa Papua Ingin Merdeka. Presidium Dewan Papua
Kotaraja Jayapura-PAPUA, 2002.
Saltford DR.John, terjem: Dr. Sumule Agus, diedit: Alua A Agus, Keterlibatan
PBB dalam Penentuan Nasib Sendiri di West Papua 1968-1969.
Seri Pendidikan Politik Papua No.5, Sekretariat Dewan Papua Kotaraja
Jayapura Papua, Agustus 2002.
Schultheis J michael, SJ, ed. P. DeBerri, SJ dan Peter, SJ. Pokok-pokok Ajaran Sosial Gereja.           Yogyakarta Kanisius, 1988.
Suseno, Dr. Frans Magnis, SJ. Dkk. Etika Sosial. Jakarta, Gramedia, 1996.
            United Nations, Declaration on the Rights of Indigenius People, terjemh:
Karoba Sem, Sidang Umum Perserikatan Bangsa-Bangsa Sesi Ke-61 New York, 2007.
Widjojo, S Muridan, Editor. Papua Road Map. Negotiating the Past, Improving the Present and            Securing tha Future. LIPI, Yayasan Tifa, dan Yayasan Obor, Jakarta Indonesia, Maret 2009.
Wijngaards John. Yesus Sang Pembebas. Kanisius Yogyakarta, 1994.
















[1] Dister Nico Syukur, Kristologi Sebuah Sketsa. Kanisius Yogyakarta 1987.hlm 46.
[2] Jacobs Tom. Iman dan Agama. Kekhasan Agama Kristiani menurut St. Paulus dalan Surat Galatia dan Roma. Kanisius Yogjakarta, 1992, hlm. 38-42.
[3] Leonardo Boff. Yesus Kristus Pembebas. Seminari Tinggi Ledalero, Maumere, 1999. hal, 15.
[4] Misalnya sikap diskriminasi dan ketidakadilan terhadap perempuan,  penganiayaan,  intimidasi,  dan pembunuhan misterius diberbagai daerah di Papua.
[5] Van Bremens Peter, SJ. Semangat Kristiani. Yogjakarta Kanisius, 1976, hlm.15-16.
[6] Komando Mandala bermarkas di Makasar dan Front Line untuk infiltrasi dan Penyerbuan Papua berpusat di Amahai dan Letfuan, Ambon. Komando ini mengadakan infiltrasi Papua  selama 3 kali dan 5 kali operasi penyerbuan. (Pigay, 2001:223-234).
[7] Bisei, Abdon. Biro Penelitian STFT Fajar Timur Abepura. Limen Jurnal Agama dan Kebudayaan Th.4.No.1,Oktober 2007.halm.29.
[8] Ibid,
[9] Widjojo S. Muridan. Papua Road Map. LIPI.Jakarta 2009.halm 6.
[10] Ibid, Abdon Bisei. Op.Cit,.
[11] Cenderawasih Pos, Koran Lokal Papua edisi 20 November 2007, membuat head line,”Papua Dianggap Propinsi Terkorup nomor dua setelah Riau. Hal ini dikatakan oleh Hussein Rahayaan Ketua Sub Tim II Panitia Ad Hoc IV DPD-RI. Rahayaan mengungkapkan hal itu bedasarkan hasil temuan BPK sejak tahun 2005. terdapat 355 temuan BPK dengan penyelewengan dana oleh instansi terkait sebesar Rp 5,7 trilyun.
[12] Cepos Papua: PLTA Urumuka Kapiraya Kab. Deiyai dan Sungai Mambramo Jadi Primadona Papua Terang. Media Lokal, Edisi, 13 April 2010.
[13]  Kamu Bahasa Indonesia: Transmigraasi artinya perpindahan penduduk dari tempat padat ke tempat yang renggang atau kosong yang bisa dihuni manusia. Dalam arti ini, menunjukkan bahwa orang mencari tempat yang layak dihuni bagi orang, ketikan tempat keberadaannya padat penduduknya. Mencari tempat yang kosong untuk melanjutkan hidup baru tetapi juga ia akan membuka lahan-lahan baru.. Perpindahan penduduk itu, mungkin terjadi akibat padatnya penduduk atau tempat tinggalnya kurang baik bagi hidup orang tersebut atau keluarga atau kelompok masyarakat, tempat keberadaannya kena musibah: entah gempa bumi, entah longsor, entah banjir, dan entah karena wabah penyakit. Orang-orang yang berpindah itu, akan bertemu dengan daerah baru, budaya, alam yang baru, iklim baru dan persekutuan dengan kelompok orang setempat sehingga ia akan beradaptasi dengan budaya dan cara dan gaya hidup setempat sambil mengembangkan dan menyesuaikan dengan cara dan gaya hidup yang dimilikinya. Di kemudian hari, orang-orang yang baru pindah akan merusakan hutan, daerah baru, sehingga sebelumnya yang yakini daerah keramat dirusakan oleh karena perluasan daerah baru demi pertanian atau perkebunan. Selain itu, menindas budaya setempat bahasanya, budayanya sehingga orang setempat mengalami dan merasakan penindasan dan lunturnya nilai-nilai budaya Injili yang dihayati sebelum orang baru masuk di daerah itu. Dengan demikian terjadi pembauran budaya dan bahasa serta nilai-nilai budaya tetapi lebih menonjol dalam konteks di Papua adalah malah menindas dan lunturnya nilai-nilai budaya setempat.
[14]  Pemerintahan Papua belum pernah membangun segala pembangunan berdasarkan nilai-nilai budaya yang yakininya. Akibatnya banyak orang asli menjadi korban karena disalah gunakan dari segala pembangunan oleh pemerintah setempat. Pemerintah Papua berpikir bahwa budaya dan segala pembangunan yang datang dari luar Papua, itulah yang sangat-sangat bagus dengan konsep pembangunan yang dihayatinya oleh orang asli Papua. Dan juga dalam budaya, Pemerintah Papua berpikir bahwa budaya dari luar itulah yang paling baik. Dalam konteks seperti itu, orang asli Papua menjadi minoritas dan direndahkan akan budaya dan nilai-nilai yang yakininya. Oleh sebab itu perlu ada keberpihakan pada orang asli Papua dalam bentuk apa pun. Menjadi pertanyaan: Mengapa pemimpinnya orang asli Papua, tetapi tidak mampu mengangkat nilai-nilai budaya? Karena para pemimpin itu telah dipengaruhi sistem dan struktur sosial yang diatur di pusat dan juga tidak ada keprihatinan dan mungkin terjadi juga karena matanya buta melihat realitas sosial setempat. Kalau demikian, kita bisa katakan bahwa mereka ini sama seperti ikan cakalang di Pasar Yotefa “Mata terbuka, tetapi tidak melihat”.  Hal ini bukan hanya pemerintah saja, tetapi siapa saja yang tidak peduli dan tidak punya keprihatinan akan realitas sosial dan kondisi hidup saat ini. Kondisi hidup itu, antara lain: adanya kaum lemah dan miskin, ketidakadilan, penindasan, kekerasan, pembunuhan, perampasan dan pengrusakan SDA, lunturnya nilai-nilai budaya setempat, dan marginalisasi orang asli setempat.
[15]  Artinya, kejahatan telah melembaga dalam sistem dan struktur-struktur sosial yang ada dalam masyarakat. Tentu saja sistem dan struktur-struktur sosial itu amat mengantungkan kaum penindas, tetapi amat merugikan kaum tertindas. Oleh karena itu, dengan berteologi dengan pandangan bawah, orang akhirnya dituntut untuk melakukan pemihakan (Taking sides), yakni pembelaan terhadap kaum tertindas. Yesus Kristus selalu berpihak pada kaum miskin dan tertindas oleh penguasa. Perutusan Yesus itu, kini menjadi perutusan kita sebagai pengikut-pengikut Yesus Kristus notabene Anak Allah. Kini kita pun menjadi anak-anak Allah dalam dunia ini. Oleh sebab itu, kita ditantang untuk membela dan menyuarakan bagi kaum tertindas agar merasakan dan memahami diri sebagai anak-anak Allah dalam dunia ini.
[16]  Sumber Daya Alam adalah sumber-sumber alam yang memang ada di daerah itu seperti: emas, tembaga, nikel, Minyak bumi dan gas alam, uranium, damar, kayu, dan air sungai dan danau menjadi tercemar limbah atau kotor sehingga ikan atau apa saja yang ada dalam air itu, ikut tercemar dan habitatnya menjadi kurang baik.
[17]  Tempat kerja yang dimaksudkan di sini adalah tempat kerja di: kantor-kantor baik di pemerintahan negeri maupun di swasta, Perusahan-perusahan, dan proyek-proyek bahkan trafficking: perdagangan manusia bisa kita cermati di bar-bar, tempat-tempat karaoke, dan tempat pekerja seks bebas.  
[18]  Artinya bahwa orang beriman untuk menjauhkan diri dari masalah-masalah dan akan cenderung mengambil sikap “ambil-jarak” terhadap segala kerinduan, harapan, kecemasan atau suka-duka manusia ditengah permasalahan dunia. Dengan demikian, orang semacam itu, tidak prihatin dengan masalah-masalah yang ada sekitarnnya. Tak mau tahu, cuek saja, membiarkan orang lain menderita dan disiksa.
[19]  Dokumen Konsili Vatikan II, Gaudium et Spes, artikel 1.
[20] Ensiklopedia Indonesia, Kata Bebas:Merdeka.
[21] Tim Penyusun: Dr. Magnis F. Suseno,  SJ, Dr. Bertens K, MSC, dll. Etika Sosial. PT Gramedia Pustaka Utama, Jakarta  1996 ..hal.18-19.
[22] Dr. Dister Nico Syukur, OFM. Filsafat Kebebasan. Kanisius, Yogyakarta 1998, hal.39.
[23] Ibid,
[24] Cetakan V, Jakarta 1976 (Balai Pustaka).
[25] Ibid, Dister Nico Syukur, OFM .
[26]  Ibid, halm 47
[27]  Ibid.
[28]  Konsili Vatikan II.  Deklarasi tetantang Kebebasan beragama “Dignitatis Humanae”, Tonggak Sejarah Peddoman Arah, Jakarta 1983, hal.353-354.
[29]  Dokumen Konsili Vatikan II, Gaudium et Spes, artikel 1.
[30]  Ibid, Etika Sosial. Halm, 20.
[31]  Ibid,
[32]  Ibid,
[33] Boff, Leonardo. Yesus Kristus Pembebas. Seminari Tinggi Ledalero, Maumere, 1999. halm.66-67
[34] Ibid,
[35] Ikikitaro, Yoseph, Pr. Perempuan di hadapan Cermin Retak. Suara Gaiya Keuskupan Timika, Ed.Agustus-September 2006, halm.48-49.
[36] Ibid, Boff, Leonardo. Op.Cit,. Halm.69.
[37]  Otonom berasal dua kata (dari kata-kata Yunani, Autos: sendiri, dan nomos: hukum; kebebasan personal yang berarti kebabesan yang ada di bawah hukum yang diberikan sendiri). Dalam arti bahwa kebebasan personal itu berarti manusia adalah otonom. Setiap paksaan atau manipulasi tidak hanya buruk dan menyakitkan, melainkan juga menghina manusia. Maka manusia merasa terhina kalau sesuatu dipaksakan kepada manusia dengan ancaman atau bujukan. Walau manusia itu mandiri dan menentukan diri, melainkan manusia dibatasi ruang geraknya oleh pihak luar. Manusia tidak lagi menentukan dari luar dan lingkungan sekitarnya karena manusia bersifat sosial sehingga dapat dikatakan korelatif yang dengan manusia lain dan lingkungan sekitarnya. Namaun demikian, ciri kemerdekaan personal perlu dihargai dan dijunjung tinggi dalam kehidupan ini. Ciri-ciri kemerdekaan personal : diri pribadi, hidupnya, ruang geraknya, kehendaknya, ia itu manusia yang baik, menghargai harkat dan martabat manusia sebagai manusia, manusia itu bernilai dan bermakna, bebas dari segala keterikatan, bebas dari bujukan luar, bebas dari tantangan dan hambatan. Katakanlah: diri manusia itu: mandiri, dewasa dan bebas merdeka.
[38] Wadaya T. Baskara, SJ. Spiritualitas Pembebasan. Refleksi atas Iman Kristiani dan Praktis Pastoral. Kanisius,Yogyakarta 1995. halm 115.
[39]  Ibid, halm 116.
[40] Ibid, Boff. Leonardo. Op.Cit,. Halm 15.
[41]  KWI. Iman Katolik. Buku Informasi dan Referensi, Kanisius, Yogyakarta dan Obor, Jakarta, 1996. hlm. 100
[42] Chen Martin, Pr. Teologi Gustavo Gutierrez. Refleksi dari Praksis Kaum Miskin. Kanisius, Yogyakarta, 2002. halm. 83
[43]  Tim Penyusun, Etika Sosial, Op,Cit,. hal 99.
[44]  Kitab Suci Perjanjian Lama: Keluaran 3:7-8.
[45]  Kitab Suci Perjanjian Lama: Kejadian 9:6.
[46]  Kitab Suci Perjanjian Baru Luk 22:25-26.
[47]  Syukur Nico Dister. Op.Cit,.hal. 64-65.
[48]  Dapat kita cermati bahwa Pewartaan Yesus mengenai Kerajaan Allah mempunyai dua dimensi yang kait-mengait dan tak dapat dipisahkan yakni pertama dimensi ortodoksi artinya pengharapan eskatologis, sebab Yesus mengajak kita untuk percaya dan berharap pada keselamatan dari Allah yang akan datang; Kedua, dimensi ortopraktis, yakni cara hidup yang tepat, sebab Yesus mengajak kita untuk mewujudnyatakan kepercayaan dan pengharapan tersebut dalam tingkalaku yang sesuai dan dalam keterlibatan kehidupan sosial.
[49]  Dokumen Konsili Vatikan II. Gaudium et Spes, art..29.
[50]  Ibid,
[51]  Schulttheis J Michael, SJ. Pokok-Pokok Ajaran Sosial. Kanisius, Yogyakarta 1988, halm. 86.
[52]  Ibid, artinya dalam refleksinya mengenai “misi umat Allah untuk memajukan keadilan di dalam dunia”. Sinode para Uskup menyatakan hak untuk berkembang dengan kepekaan kultur yang tinggi dan demi perkembangan pribadi manusia. Para uskup menegaskan bahwa prinsip-prinsip Injili mengamanatkan keadilan demi pembebasan segenap manusia sebagai ungkapan hakiki dari cinta kasih Kristiani. Gereja harus bersaksi demi keadilan lewat gaya hidupnya sendiri, aktivitas-aktivitas pendidikan dan aksi internasional. Catatan sejarah: Dokumen ini menggambarkan pengaruh kuat dari kepemimpinan para pemuka pribumi gereja-gereja Afrika, Asia, dan Amerika Latin. Dokumen ini merupakan contoh utama dari kolegialitas episkopal sesudah  Konsili Vatikan II dan merefleksikan pengembangan yang realistik, konkret dan kuat dari pernyataan-pernyataan kepausan sebelumnya.
[53]  Ibid, halm.87.
[54]  Ibid,
[55]  Ibid, halm 88.
[56]  Artinya bahwa seluruh perhatian dan keprihatinan Yesus, adalah Kerajaan Allah. Dia memaklumkan Kerajaan Allah sudah dekat, orang-orang mulai merasakan terwujudnya Kerajaan Allah itu, “Orang buta melihat, orang lumpuh berjalan, orang kusta menjadi tahir, orang tuli mendengar, orang mati dibangkitkan dan kepada orang miskin diberitakan kabar gembira” (Mat 11:5). Termasuk “orang miskin” adalah  semua orang yang direndahkan, yang terabaikan martabatnya dan harkatnya sebagai anak-anak Allah, semua orang tidak bisa memancarkan citra Allah dalam dirinya karena berbagai yang membelunggunya.  Yesus membebaskan orang dari segala belenggu yang mengikat kemanusiaan. Yesus menyapa orang, lalu orang itu mengubah jalan hidupnya, dan kemudian memberitakan kabar baik (lihat. Yoh 4:1-30). Dalam Injil Yohanes kita cermati: “makanan-Ku ialah melakukan kehendak Dia yang mengutus Aku, dan menyelesaikan pekerjaan-Nya” (Yoh 4:34). Menjadi hal yang sama berlaku bai semua murid dan rasul-Nya, seluruh pengikut-Nya sebagai anak-anak Allah. Menjadi pengikut Yesus Kristus berarti melakukan kehendak Allah. Kini menjadi tugas kita bersama sebagai anak-anak Allah untuk mewujudkan kebebasan yang radikal bagi semua manusia. 

0 komentar: