Jumat, 24 Juni 2011

Yesus Mewartakan Kerajaan Allah (Sebuah Refleksi Pastoral di Papua)

Yesus Mewartakan Kerajaan Allah
(Sebuah Refleksi Pastoral di Papua)
By Santon Tekege

Kita bersyukur atas bimbingan dan rahmat Allah yang melimpah atas setiap Pribadi anda dan saya. Sehingga kita sedikit memandang suasana hidup di Papua. Rahmat dan bimbingan-Nya selalu mengalir dalam hidup anda dan saya, maka kita mampu menjalani kehidupan dan pewartaan Injil Yesus Kristus di tengah suasana hidup yang khaos di Papua. Saya yakin bahwa manusia kadang jatuh-bangun. Karena sakit menimpa dan melihat suasana hidup umat di Papua. Suasana hidup memang sangat khaos di Papua. Suasana kekhaosan ini mendorong anda dan saya untuk lebih bersemangat membelah nilai-nilai Kerajaan Allah dan mewartakan Injil Yesus Kristus. Akhirnya, saya merefleksikan suasana ini dalam refleksi patoral di Papua.
Refleksi Pastoral

Kehidupan manusia zaman ini penuh dengan tantangan dan penderitaan. Memang suasananya semakin khaos. Kekhaosan ini kita bisa cermati dalam kehidupan di Indonesia pada umunya dan Papua pada khususnya. Saling menjatuhkan, merendahkan bahkan saling membunuh satu sama lain. Selain itu, tidak menghargai saudara/i sebagai manusia, tidak mengakui budaya dan identitasnya, perampasan sumber alam, memeras kaum lemah dan miskin. Semua suasana ini, kita cermati dalam beberapa bidang: Masalah di bidang sosial (banyaknya pengangguran, orang muda mondar-mandir ke sana-sini tanpa arah yang jelas). Akhirnya, mental dan habitusnya sebagai orang Papua mengalami krisis karena pengaruh pergaulan dan miras. Bidang ekonomi (orang Papua kehilangan habitus bisnis, orang Papua menjadi penonton misalnya: di pasar dikuasai oleh orang luar Papua, mama-mama pedagang asli Papua termarginalkan oleh karena peradaban modern. Pemerintah tidak mengusahan pasar khusus Mama-mama Pedagang Asli Papua, akibatnya mereka berjualan di pinggiran jalan raya atau emperan ruko-ruko atau toko-toko. Di sana mereka mengalami terik panas, hujan, atau digusur oleh polisi/utusan khusus Bupati/Gubernur). Di manakah kepedulian dan keberpihakan Pemerintah bagi orang asli Papua?. Dibidang pendidikan (para pengajar kurang aktif kehadiran di sekolah akibatnya murid-muridnya tidak tahu membaca, anak-anak selalu mengutamakan uang untuk bersekolah daripada mengutamakan kekuatan dan kemmapuan yang Tuhan berikan. Anak-anak tidak mampu untuk mengatasi kesulitan karena selalu tergantung pada uang. Anak-anak selalu mondar-mandi ke sana-kesini lupa belajar sehingga prestasi selalu menurun atau putus sekolah). Akhirnya, mental untuk mau belajar jatuh-bangun. Dibidang HAM (Adanya pembunuhan, penembakan, illegal logging, selalu menciptakan situasi memanas sehingga selalu menjadikan situasi itu menjadi sebuah proyek dan kepentingan, adanya konflik dan kekerasan selalu terjadi sehingga para penguasa dan pihak keamanan memanfaatkan dengan baik demi kepentingan diri dan kelompok).

Semua suasana ini, kita bisa cermati dalam kehidupan di Indonesia pada umumnya dan Papua pada khususnya. Perjuangan gereja dalam menegakkan: Truth, Peace, Justice and Love Affection. Terinspirasi oleh sikap dan tindakan Yesus sendiri. Ketika Yesus menerima kekerasan sepenuhnya, ketika Yesus digantungkan di kayu Salib, ketika Dia mengampuni mereka menganiaya dan membunuh-Nya. Pada saat itulah kepala pasukan mengatakan:”Sungguh, orang ini adalah Anak Allah (Mrk 15:35) . Pada saat kita memperjuangkan dan membela nilai-nilai di atas, terutama mereka yang kecil dan kaum lemah. Kita menyatakan diri sebagai anak-anak Allah dan serentak menegaskan bahwa Allah bisa temukan dalam keberpihakan akan nilai-nilai Kerajaan Allah tadi. Refleksi ini memberikan spirit bagi anda dan saya dalam menyiapkan jalan bagiku dan sesama di sekitar lingkungan masyarakat di Indonesia pada umumnya dan Papua pada khususnya. Lalu apa dasar keberpihakan dan keterlibatan dalam memperjuangkan nilai-nilai Kerajaan Allah di bumi Papua?

Dasar Keberpihakan Gereja

Dasar keterlibatan dan keberpihakan dalam memperjuangkan nilai-nilai Kerajaan Allah di bumi Papua adalah terletak dalam Ensiklik Rerum Novarum (1891) dan Ensiklik Guadragessimo Anno (1931)berbicara tentang keberpihakan social gereja terhadap kaum buruh sebagai pelayanan pastoral sosial. Dalam dokumen Konsili Vatikan ke-II secara tegas memberikan pendasaran teologis social untuk keterlibatan gereja yang menyeluruh, tak lagi terbatas pada kelas buruh dan persoalannya. Tetapi lebih pada hubungan antara gereja dan dunia. Dalam refleksi ini, gereja memberikan pendasaran teologis terhadap komitmen politisnya sehingga bagian utuh dari keterlibatan dan kehidupan di dunia. Gereja mau menjadi partner dalam dialog bersama umat manusia menuju terciptanya tatanan masyarakat dunia lebih manusiawi, adil dan damai.

Pada tataran ini, gereja sudah harus dan terus-menerus berusaha mendefinisikan diri dalam menghadapi berbagai persoalan sosial yang muncul di dalam maupun di luar jemaat beriman. Gereja pada dasarnya menolak segala bentuk penindasan dan gila akan kekuasaan politis yang melebihi kekuasaan Allah. Atas dasar refleksi ini, maka gereja selalu terlibat dalam menyuarakan nilai-nilai Kerajaan Allah di Indonesia pada umumnya dan di Papua pada khususnya. Keterlibatan dan keberpihakan gereja terhadap kehidupan manusia ditegaskan kembali dalam dokumen ”Gaudium Et Spes art.1 yang berbunyi: Kegembiraan dan harapan, duka dan kecemasan manusia dewasa ini, terutama yang miskin dan terlantar adalah kegembiraan dan harapan, duka dan kecemasan bersama sebagai anak-anak Allah pula”. Akhirnya, dokumen-dokumen gereja ini menjadi titik pijak keterlibatan dalam memperjuangkan nilai-nilai Kerajaan Allah di bumi Papua. Keterlibatan dan keberpihakan kita dalam berbagai persoalan sosial merupakan penerapan “teologi terlibat” yakni merefleksikan iman dalam tawaran manusia atas tawaran diri Allah demi keselamatan manusia. Akhirnya, menggapai tujuan ini, kita perlu membuka diri untuk keterlibatan dan keberpihakan dalam memperjuangkan nilai-nilai Kerajaan Allah di bumi Papua.

Saya teringat bahwa Gereja merayakan orang sakit sedunia pada, 11 Februari setiap tahun. Disitu gereja hendak menyatakan bahwa sesungguhnya Gereja peduli terhadap orang-orang yang menderita. Kini anda dan saya diajak untuk ikut serta di dalamnya. Kita perlu menyadari bahwa penderitaan yang mereka alami adalah penderitaan anda dan saya bersama. Jika matahari menerangi untuk orang baik dan jahat, jika hujan turun untuk orang yang berpenghasilan dan kaum lemah dan miskin, maka cinta kasih Allah juga untuk semua orang. Kasih Allah untuk orang baik dan orang berdosa. Orang jahat dan orang yang benar. Oleh karena itu, cinta kasih adalah milik bersama. Penderitaan mereka adalah penderitaan kita. Lalu apa sikap anda dan saya ketika orang lain menderita? Dimanakah keberpihakan kita seorang yang beragama? Apakah kita nonton saja tanpa keberpihakan dan kepedulian kita terhadap kaum lemah dan miskin?

Kita sebagai orang yang beragama bukan bersikap cuek dan tidak mau tahu dengan suasana orang lain. Di sini mengantar kita untuk membangun sikap kepedulian terhadap sesama dan saling menolong. Karena jika manusia, mereka juga manusia. Jika kita makan, maka mereka juga membutuhkan makan untuk memperoleh kehidupan dan kekuatan hidup dalam tugas dan karya dalam setiap hari. Jadi banyak orang mengalami suasana hidup negatif seperti di Papua: tidak tenang, cemas, kekhawatiran, duka, menderita, pencobaan, tantangan, godaan, siksaan, penderitaan, kemiskinan dan pemiskinan, pemerasan, perampasan, ketidakadilan, pembodohan pelanggaran HAM bahkan pembunuhan nyawa orang tak berdosa.

Realita hidup berbicara kepada kita bahwa kehidupan di Indonesia pada umumnya dan Papua pada khususnya memperlihatkan suatu suasana yang semakin khaos. Kekhaosan realitas ini disebabkan oleh sikap dari manusia yang gila akan kuasa, uang dan jabatan. Dalam rangka menggapai tujuan ini, berbagai cara dihalalkan, termasuk mengorbankan nyawa orang-orang yang tak berdosa di Indonesia dan di Papua.

Dapat kita lihat dan temukan di media massa, orang lain, atau bahkan melihat langsung di lapangan segala perlakuan yang dibuat oleh sekelompok manusia yang menamakan diri sebagai petugas, pejabat, pemimpin, penguasa, dan keamanan. Mereka menjadikan masyarakat yang tak bersalah sebagai objek kesenangan dan keselamatan pribadi. Karena itu, tidak heran apabila di sana-sini selalu saja terjadi konflik, kekerasan, penindasan, pemerkosaan, peperangan, perampasan sumber daya alam, hingga pembunuhan nyawa manusia di era Otsus di tanah Papua. Suasana seperti ini, menggugah hati anda dan saya untuk melihat, mengamati dan mengangkat serta refleksi atas segala realita di era Otsus di Papua ini. Dengan realita hidup ini, menpengaruhi kita untuk pentingnya mewartakan dan memperjuangkan Kerajaan Allah di Indonesia pada umumnya dan Papua pada khususnya. Sekaligus mendorong setiap kita untuk mengkritis, membelah dan mencari jalan keluar atas masalah-masalah yang ada di Papua.

0 komentar: