Masyarakat Teluk Bintuni menginginkan akuntabilitas dalam proyek Tangguh
Peserta menyiapkan daftar rekomendasi untuk disampaikan ke BP dalam lokakarya bulan November 2012 di Bintuni. (Foto: Mnukwar)
DTE 95, Maret 2013
Komunitas mengkritik kurangnya transparansi dan janji-janji yang tidak dipenuhi dalam proyek gas Tangguh di Papua Barat yang dioperasikan oleh BP, sebuah perusahaan multinasional yang berbasis di Inggris.
Dalam sebuah lokakarya tiga hari yang diadakan di Bintuni, Papua Barat, baru-baru ini, masyarakat yang terkena dampak proyek gas Tangguh menuntut agar BP dan pemerintah Indonesia mendengarkan keluhan mereka dan memberi mereka kesempatan untuk berpendapat akan hidup mereka, penghidupan dan masa depan wilayah Teluk Bintuni.
Dalam kunjungan kenegaraan ke Inggris pada bulan November 2012, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono menerima gelar kehormatan dari Ratu Inggris yang menandai hubungan yang lebih erat antara kedua negara. Selama di Inggris Presiden SBY juga menandatangani berbagai kesepakatan dalam bidang perdagangan, pertahanan keamanan serta pendidikan. Paling menyolok di antaranya adalah penandatanganan kesepakatan senilai US$12,1 milyar (setara dengan Rp109 trilyun) untuk perluasan produksi BP dalam ekstraksi gas dan pemrosesan gas alam cair (LNG) di Teluk Bintuni, Papua Barat (lihat kotak untuk informasi lebih rinci)[1].
Baru-baru ini Presiden SBY kembali dijamu oleh salah satu negara Eropa yang menghasilkan antara lain sebuah perjanjian yang berkaitan dengan eksploitasi sumber daya alam di Papua Barat. Perusahaan besar Jerman, Ferrostaal akan membangun pabrik pemrosesan petrokimia senilai US$2 milyar (sekitar Rp18 trilyun) di Teluk Bintuni, yang menggunakan gas dari Tangguh sebagai bahan mentahnya[2]. Tahun lalu sebuah kesepakatan awal untuk membangun pabrik petrokimia di Teluk Bintuni telah ditandatangani dengan LG dari Korea Selatan[3].
Pengembangan sektor minyak dan gas di Papua Barat adalah salah satu target MP3EI (Masterplan Percepatan dan Pengembangan Pembangunan Ekonomi Indonesia), sebuah inisiatif pemerintah pusat yang mengundang banyak kritik karena mengabaikan masalah-masalah keberlanjutan sosial dan lingkungan serta perubahan iklim[4]. Setidaknya di Papua Barat MP3EI berjalan cepat.
Masyarakat setempat, yang tanah adat dan sumber daya alamnya menjadi target rencana-rencana pembangunan semacam itu, sulit untuk memahami apa yang terjadi di wilayah mereka dan bagaimana menyampaikan pendapat mereka. Mereka menyaksikan orang lain datang melakukan eksploitasi terhadap sumber daya kayu mereka sejak bertahun-tahun lamanya. Gelombang eksploitasi yang terbaru ini tampaknya sama sekali berbeda skalanya.
Menyuarakan keprihatinan
Keprihatinan masyarakat akan proyek Tangguh diangkat dalam lokakarya 3 hari yang diselenggarakan di kota kecil Bintuni, Papua Barat, antara tanggal 21-23 November 2012. Lokakarya tersebut berjudul “Pengelolaan Sumber Daya Alam yang Berkeadilan dan Menghargai Hak Masyarakat Adat di Era Otonomi Khusus”. Mengingat eksploitasi sumber daya alam yang meningkat di Teluk Bintuni, tidak heran jika wakil komunitas lokal datang ke lokakarya dengan sikap skeptis. Tampak jelas peserta lokakarya sudah bosan mendengar berbagai janji dan inisiatif yang berjalan di tempat, bahkan sebaliknya semakin menjajah kehidupan mereka.
Lokakarya disusun seputar pembahasan laporan DTE “Tangguh, BP dan Standar Internasional” dengan masyarakat yang bermukim di kawasan Teluk Bintuni[5]. Pengeboran gas BP dan proyek gas alam cair berlokasi di pantai selatan Teluk Bintuni, sedangkan Bintuni, kota terdekat, berada di pantai utara. Sejak awal nyata benar bahwa harapan utama masyarakat hadir dalam lokakarya ini adalah untuk memanfaatkan kesempatan bertemu dan berdiskusi mengenai dampak-dampak proyek serta pembangunan lainnya. Pada hari terakhir lokakarya diskusi melibatkan staf BP dan wakil pemerintah daerah.
LP3BH, sebuah organisasi pembela HAM di Manokwari, dan Jaringan Advokasi LSM Papua Barat adalah penanggungjawab utama lokakarya ini, sedangkan fasilitasi dilakukan bersama-sama oleh LP3BH, Bin Madag Hom dan DTE.
Lokakarya ini dihadiri oleh sekitar 70 orang wakil komunitas dan kelompok perempuan, organisasi antar agama dan pemuda, baik dari wilayah pantai utara maupun selatan. Mereka semua mengalami dampak pembangunan proyek Tangguh. Menurut mereka, ini untuk pertama kalinya sebuah lokakarya diselenggarakan oleh ornop bagi masyarakat, dimana para peserta dapat berbicara terbuka, duduk sama rata dengan perusahaan dan wakil pemerintah daerah.
Pada hari pertama, para peserta membagikan pengalaman mereka tinggal di sekitar proyek Tangguh. “Kami hidup harmonis sebelum ada proyek Tangguh,” kata salah seorang peserta. “Sejak ada proyek, kehidupan kami berubah. Tumbuh kecemburuan, terutama antara komunitas di selatan dan utara, juga di antara mereka yang mendapat fasilitas lebih baik dan yang tidak.”
Wakil masyarakat juga menyatakan bahwa mereka tidak suka melihat orang luar mendapat pekerjaan lebih baik di proyek sedangkan masyarakat setempat hanya menjadi pekerja kasar. Dampak terhadap akses untuk mencari ikan juga menjadi keluhan serius. Selain itu sejumlah komunitas di pantai selatan mengeluhkan akibat yang mereka tanggung setelah tergusur proyek pemrosesan LNG[6]. Di balik ini semua, kita tahu bahwa kehidupan masyarakat di sekitar Teluk Bintuni sedang berubah akibat pengaruh dari luar yang terjadi di luar kendali mereka. Perubahan-perubahan ini menuju ke sebuah masa depan yang tidak menunjukkan tanda-tanda yang membawa perbaikan taraf kehidupan. Salah satu contoh yang disebutkan peserta adalah ketiadaan listrik yang memadai di Kabupaten Bintuni, seperti yang pernah dijanjikan kepada masyarakat.
Pada hari kedua, lokakarya membahas isi laporan DTE, yang merupakan kumpulan janji-janji proyek Tangguh dalam hal sosial, HAM dan lingkungan. Sebagian besar peserta tidak tahu akan adanya dokumen-dokumen penting BP tersebut yang menguraikan standar sosial dan lingkungan dari pembangunan proyek Tangguh. Dalam proses Amdal di awal proyek, masyarakat sudah memberikan pandangan mereka kepada perusahaan, sebagian besar mengharapkan adanya perbaikan penghidupan. Namun hingga saat ini mereka masih menunggu harapan-harapan tersebut dipenuhi.
Atas permintaan masyarakat dan ornop penyelenggara lokakarya, hari terakhir lokakarya diisi dengan diskusi antara wakil BP dan Badan Perencanaan Pembangunan Daerah (Bappeda). Diskusi berlangsung sangat jujur dan terbuka. Peserta perwakilan masyarakat mengkritik kinerja BP dan Bappeda secara terbuka. Hal ini menunjukkan kuatnya rasa akan adanya hubungan yang tidak setara antara masyarakat setempat dan lembaga yang berkuasa serta perusahaan yang melakukan eksploitasi sumber daya alam di Teluk Bintuni.
Lokakarya ini menghasilkan sejumlah rekomendasi bagi BP dan pemerintah daerah setempat (lihat rekomendasi).
Proses dialog antara komunitas dan perwakilan BP yang berlangsung selama lokakarya dibawa ke dalam pertemuan TIAP (Panel Penasehat Independen Tangguh) yang kebetulan berlangsung 2 minggu setelah lokakarya. Rekomendasi dari peserta lokakarya secara resmi disampaikan kepada wakil BP dan pemerintah daerah, juga kepada panel TIAP oleh wakil LP3BH.
Pengembangan proyek Tangguh
Perluasan proyek Tangguh, yang disepakati secara resmi di London, mencakup pembangunan ‘kereta produksi’ (train) ketiga yang direncanakan akan beroperasi secara penuh pada tahun 2018. Hal ini akan meningkatkan kapasitas produksi kilang Tangguh sebesar 3,8 juta ton LNG per tahun, menjadi total 11,4 juta ton per tahun. Sebagai bagian dari kesepakatan pembangunan kereta ketiga ini, sejumlah besar gas akan memasok kebutuhan pasar domestik Indonesia melalui PT PLN selain juga untuk memasok pabrik petrokimia yang telah disebut di atas.
BP adalah operator proyek Tangguh dan memiliki 37,16% sahamnya[7]. Mitra BP adalah MI Berau BV dari Jepang, yang memegang 16,3% saham; CNOOC Ltd dari Cina (13,9%), Nippon Oil Exploration (Berau) Ltd dari Jepang (12,23%), KG Berau/KG Wiriagar dari Jepang (10%), LNG Japan Corporation (7,35%) dan Talisman dari Australia (3,06%)[8]
|
Apakah BP akan mendengarkan?
Dari berbagai keprihatinan yang disampaikan masyarakat mengenai penghidupan mereka dalam lokakarya, dapat disimpulkan bahwa BP belum mampu menanggulangi dampak operasi mereka saat ini di Teluk Bintuni secara memadai. Sekarang mereka bahkan memperluas proyek Tangguh dan kemungkinan besar akan menimbulkan dampak yang lebih besar lagi. Masyarakat sipil Papua sudah berulangkali menyampaikan kekuatiran mereka, baik di Papua, di Indonesia maupun di forum internasional. Sekarang masyarakat setempat sudah menyampaikan keprihatinan mereka secara langsung kepada perusahaan dan pemerintah daerah.
Dalam beberapa tahun terakhir BP telah dipaksa untuk mengakui dampak-dampak negatif operasinya di beberapa lokasi, misalnya, pasca ledakan di Deepwater Horizon dan kecelakaan tumpahnya minyak di laut di Amerika Serikat, saat ini BP memperkirakan perlu menanggung biaya pembersihan dan kompensasi sebesar US$42 milyar (sekitar Rp378 trilyun)[9]. Masih perlu kita lihat bagaimana BP akan menanggapi tuntutan untuk bertanggunggugat di Papua Barat.
[1] Lihat The Jakarta Globe, 2 November 2012 'Indonesia and Britain ink deals on trade, defence, education' http://www.thejakartaglobe.com/home/indonesia-and-britain-ink-deals-on-trade-defense-education/553799 (artikel dalam bahasa Inggris)
[2] Surat Pernyataan Kehendak (LoI) atau kesepakatan awal, lihat The Jakarta Globe, 6 Maret, 2013. 'Ferrostaal to build US$2b plant In W.Papua', http://www.thejakartaglobe.com/business/ferrostaal-to-build-2b-plant-in-w-papua/577270, dan http://investing.businessweek.com/research/stocks/private/snapshot.asp?privcapId=875008 (artikel dalam bahasa Inggris)
[4] Lihat ‘Rencana Besar untuk Papua’ http://www.downtoearth-indonesia.org/id/story/rencana-besar-untuk-papua seperti di atas.
[5] Lihat BP Tangguh, Teluk Bintuni dalam konteks Papua http://www.downtoearth-indonesia.org/id/story/bp-tangguh-teluk-bintuni-dalam-konteks-papua
[6] Sebuah kampung digusur demi pembangunan pabrik pemrosesan LNG dalam pembangunan proyek Tangguh. BP membangun sebuah kampung pemukiman baru untuk masyarakat yang tergusur tersebut. Pabrik LNG itu sendiri secara resmi beroperasi pada tahun 2004. Lihathttp://www.downtoearth-indonesia.org/id/story/bp-tangguh-teluk-bintuni-dalam-konteks-papua.
[7] Lihat The Guardian, 22 Feb 2013. 'BP and government lawyers prepare for battle over environmental cost of spill' (artikel dalam bahasa Inggris)
[8] Lihat The Financial Times, 1 Nov 2012. 'BP wins approval for Tangguh expansion' (artikel dalam bahasa Inggris)
[9] Lihat The Jakarta Post, 7/Sep/2012, ‘BP to sell 40% of third LNG train’s output to PLN’, http://www.thejakartapost.com/news/2012/09/07/bp-sell-40-third-lng-train-s-output-pln.html (artikel dalam bahasa Inggris)
0 komentar:
Posting Komentar