Sabtu, 03 Mei 2014

INDONESIA: KETEGANGAN ANTAR AGAMA DI TANAH PAPUA



INDONESIA : KETEGANGAN ANTAR AGAMA DI PAPUA

I. PENDAHULUAN
Hubungan antara Muslim dan Kristen di Papua saat ini sedang tegang dan kemungkinan memburuk karena faktor demografi, dakwah yang agresif oleh elemen-elemen garis keras dari kedua belah pihak, politisasi sejarah agama dan perkembangan di luar Papua yang memperkuat persepsi bahwa agama lain adalah musuh. Dua kali di tahun 2007, satu di Manokwari, satu lagi di Kaimana, konflik antar agama hampir menjelma menjadi kekerasan di wilayah Kepala Burung di bagian barat laut pulau Papua Nugini. Walaupun pertempuran fisik yang nyaris terjadi berhasil dihindarkan, bentrokan lain semacam itu mungkin bisa terjadi, terutama dimana ketegangan antar agama menjadi tersangkut dalam pertikaian politik setempat. Ada mediator yang bisa dimanfaatkan, yaitu Majelis Muslim Papua (MMP), sebuah organisai orang Muslim asli Papua yang memiliki hubungan baik dengan pendatang Muslim dan penduduk asli Kristen. Dengan memperkuat lembaga ini mungkin bisa membantu mencegah terjadinya konflik terbuka, namun demikian menangani sumber perselisihan yang mendasari mungkin akan lebih berat. Masalah yang paling besar yaitu demografi: proporsi jumlah penduduk Muslim semakin bertambah, dan sebagian besar adalah pendatang dari daerah lain di Indonesia.
Untuk analisa sebelumnya mengenai Papua, lihat Crisis mempercayai angka tersebut. Pemimpin gereja menilai bahwa jumlah Muslim sengaja dihitung lebih sedikit dari yang sebenarnya, supaya tidak menimbulkan kekhawatiran. Sementara itu sejumlah Muslim menuduh pemerintah menggabung jumlah penganut animisme dengan Protestan untuk mengingkari posisi Islam yang sebenarnya sebagai agama yang dominan. Kedua belah pihak percaya, namun dengan alasan yang berbeda, bahwa kemungkinan sebenarnya jumlah penduduk Muslim sudah melebihi Protestan, yang mana berdasarkan statistik jumlahnya sekitar 50 sampai 60 persen dari jumlah total penduduk Papua. Bagi banyak penduduk Kristen, hal ini menjadi bukti kebijakan “Islamisasi” dan “Nonpapuanisasi” pemerintah yang terencana untuk menjadikan mereka sebagai minoritas di tanah mereka sendiri; bagi sejumlah Muslim, hal ini memperlihatkan kebutuhan untuk berkonsentrasi mendapatkan pengaruh yang sesuai dengan jumlah mereka. Ketegangan diperburuk dengan kecenderungan pendatang Muslim yang sangat mengaitkan diri dengan pemerintah pusat dan menganggap penduduk Kristen sebagai separatis, sementara itu banyak penduduk asli Kristen dan pemimpin gereja yang cenderung untuk mengaitkan diri dengan nasionalisme Papua – begitu juga dengan banyak dari penduduk asli yang Muslim. Hubungan ras dan etnis yang saling berkaitan dengan agama di Papua semakin mempersulit penanganan konflik.  Selain itu, datangnya elemen baru yang lebih militant dari kedua agama di Papua selama sepuluh tahun belakangan, yang mengakibatkan ketegangan inter dan antar agama, semakin memperburuk keadaan. Di pihak Muslim, Hizb ut-Tahrir  dan Muslim salafi memberi tampilan keagamaan yang lebih keras kepada Islam yang selama ini lebih dipengaruhi oleh dua organisasi Muslim terbesar di Indonesia, yaitu Nahdlatul Ulama dan Muhammadiyah, keduanya cukup moderat. Di pihak Kristen, kelompok pantekosta baru dan karismatik menyerukan kebenaran mereka sebagai satu-satunya kebenaran dan melihat ekspansi dakwah pihak Muslim sebagai tantangan terbesar bagi mereka.  Selain itu, di seluruh Indonesia kelompok-kelompok Muslim secara antusias mempelajari sejarah Islam di Papua, menyebut Papua dengan nama Nu Waar, yaitu sebutan yang diberikan oleh para pedagang dari Arab. Meskipun penduduk Kristen sudah lama menerima bahwa agama Kristen masuk ke Papua tahun 1855,yaitu ketika dua orang Jerman Protestan tiba di Manokwari, Muslim diluar Papua baru-baru ini baru mengetahui bahwa Islam sudah masuk ke Papua beberapa abad sebelumnya – dan pengetahuan ini dipakai untuk menambah rasa keberhakan terhadap tanah dan kekuasaan, terutama di sepanjang pesisir barat. Yang terakhir, kedua masyarakat dipengaruhi oleh perkembangan yang berlangsung di luar Papua. Masa paling buruk untuk hubungan antar agama baru-baru ini adalah tahun 1999-2002, ketika euphoria politik paska Soeharto dan pengorganisiran gerakan proindependen di Papua bersamaan dengan meletusnya konflik antar agama di Maluku, arah barat Papua.
Laskar Jihad, milisi Muslim Yang dibekingiTNI dan bertekad untuk memerangi separatis Kristen di Maluku, tiba di Papua pada saat pasukan pro-Jakarta, yang Merekrut banyak pendatang, sedang berusaha memadamkan demonstrasi Papua merdeka yang bermunculan di seluruh Papua. Lebih dari sebelumnya, para pendatang Muslim diasosiasikan dengan pemerintah dan menjadi sasaran kemarahan penduduk asli. Saat ini, aksi penyerangan terhadap gereja di daerahdaerah lain di Indonesia dan persepsi bahwa pemerintah pusat sedang bergerak menuju sebuah Islam yang monokultur, telah memperdalam perasaan terancam di kalangan penduduk Papua Kristen, menambah ketakutan bahwa mereka akan dipinggirkan, dan membuat mereka menjadi ingin menunjukkan bahwa mereka adalah Papua Kristen. Dalam konteks inilah ketegangan di Manokwari dan Kaimana hampir meletus tahun 2007 kemarin, dan membuat kemungkinan meletusnya konflik di masa depan menjadi lebih nyata. Dan dalam konteks ini pula konflik lain yang mungkin terjadi sedang mendidih.  Kekerasan, jika itu terjadi, kemungkinan akan terjadi tidak secara menyeluruh; kerusuhan di Manokwari tidak berarti akan menyebar hingga ke Merauke. Selain itu, meskipun persoalan yang mendasari terjadi di seluruh Papua, daerah-daerah yang rawan konflik hanya di beberapa daerah yang sebagian besar  terpusat di daerah perkotaan Papua Barat, dimana  jumlah Muslim dan Kristen lebih seimbang dari pada di pedalaman. Tetapi ketegangan yang meningkat bisa membawa akibat lain. Ketidaksenangan dengan cara pemerintah lokal menangani persoalan agama dapat memperkuat sentimen separatis di beberapa daerah atau di lain pihak mendorong untuk minta bantuan kepada elemen radikal dari luar Papua. Laporan ini berdasarkan sejumlah wawancara yang lengkap dan menyeluruh di Manokwari, Sorong, Kaimana dan Jayapura pada bulan Februari, Maret dan April 2008. Laporan ini mengkaji perkembangan di dua wilayah yang hampir terjadi konflik danmeningkatnya ketegangan.  



II. MANOKWARI
Manokwari, yaitu sebuah kabupaten yang terletak di bagian ujung timur laut dari wilayah Kepala Burung,adalah tempat masuknya agama Kristen di Papua pada tangal 5 Februari 1855. Dua misionaris Jerman,Carl Ottow dan Johan Gottleib Geissler, menginjakkan kaki mereka pertama kali di pulau Mansinam, di pesisir Manokwari, dan menyatakan wilayah ini sebagai tanah suci. Sejak itu, Manokwari secara tidak resmi dikenal sebagai “Kota Injil”, dan belakangan setiap tahun diadakan perayaan untuk memperingati peristiwa itu. Sebuah persengketaan atas pembangunan sebuah mesjid di Manokwari dan upaya pihak Kristen selanjutnya untuk merancang sebuah peraturan daerah yang akan menanamkan nilai-nilai Kristen dalam kehidupan masyarakat mendorong terjadinya perpecahan yang belum pernah terjadi antara kedua belah pihak masyarakat. Meskipun akibatnya peraturan tersebutkelihatannya menjadi ditangguhkan, sebuah draft baru tiba-tiba muncul pada akhir bulan Mei 2008 yang mengancam akan menyulut ketegangan.

A. MESJID RAYA
Pada akhir tahun 2005, penduduk Muslim setempat memutuskan untuk embangun sebuah Mesjid Raya dan Islamic Centre di Manokwari, di sebuah tanah seluas empat hektar. Kompleks mesjid dan Islamic Center yang diusulkan ini jauh lebih besar dari gereja manapun di daerah itu. Kemudian merebak isu di masyarakat Kristen bahwa Islamic Center ini akan menjadi Islamic Center yang terbesar di Asia Tenggara, dan bahwa Muslim punya agenda tersembunyi untuk mengubah Manokwari menjadi kota Muslim.  Bagi para pemimpin gereja, keputusan untuk membangun Islamic Center adalah tidak bijaksana dan yang paling buruk sangat menyinggung status Manokwari sebagai “Kota Injil”. Mereka tidak percaya bahwa yang akan menjadi gedung terbesar di daerahnya adalah sebuah mesjid. Mereka mengatakan hal itu akan seperti membangun gereja paling besar di Tatanama administratif agak membingungkan di Papua. Di daerah lain di Indonesia, district biasanya diterjemahkan sebagai “kabupaten”, dan unit dibawahnya yaitu subdistrict (kecamatan). Tapi di Papua, unit dibawahnya itu dikenal sebagai distrik. Untuk menghindari kebingungan, istilah  kabupaten yang dipakai di laporan ini, bukan terjemahan bahasa Inggris langsungnya. Wawancara Crisis Group, aktivis gereja, Manokwari, Februari 2008. Juga lihat Binsar A. Hutabarat, “Kontroversi Perihal Perda Manokwari Kota Injil”, makalah yang tidak dipublikasikan, wilayah Aceh yang sangat Islami. Dan mengapa, tanya mereka, Muslim membutuhkan sebuah mesjid besar padahal mereka sudah punya banyak tempat ibadah? Sementara penduduk Kristen mencurigai bahwa rencana pembangunan mesjid ini sudah dibicarakan secara rahasia sejak beberapa tahun yang lalu. Sebenarnya gagasan ini baru muncul sekitar September 2005, pada saat para politikus lokal sedang bersiap-siap untuk pemilihan langsung yang pertama kali untuk posisi gubernur Irian Jaya Barat, yang rencananya akan diselenggarakan pada bulan Maret 2006. Salah seorang kandidat wakil gubernur, Rahimin Kacong, sedang mencari dukungan dari pemilih Muslim dan mengusulkan pembangunan Islamic Center. Gagasan ini disambut hangat, dan Kacong menjadi ketua panitia pembangunan mesjid, dan mulai mencari donatur-donatur pribadi. Untuk memfasilitasi para penyumbang, panitia mengusulkan sebuah sistem “wakaf per meter”, yaitu: para penyumbang bisa membeli tanah seluas satu atau dua meter persegi, kemudian menyumbangkannya sebagai wakaf untuk mesjid. Penduduk Muslim setempat menanggapi dengan sangat antusias dan dalam hitungan dua minggu, panitia telah berhasil menggalang dana sebesar Rp 500 juta – termasuk sumbangan sebesar lebih dari Rp 100 juta dari satu buah masjid sehabis shalat Jum’at.Tetapi rencana pembangunan Islamic Center menghadapi masalah. Pada tanggal 4 Oktober 2005, panitia menyerahkan sebuah permohonan resmi kepada bupati, meminta ijin untuk membangun mesjid. Prosedur ini sesuai dengan “Dekrit Dua Menteri” tahun 1969 dari Menteri Agama dan Menteri Dalam Negeri yang menyatakan untuk membangun tempat ibadah perlu persetujuan kepala daerah atau pejabat pemerintahan dibawahnya yang dikuasakan untuk itu.
Sebelum jawaban diterima – Pada saat itu, sebuah perdebatan sengit terjadi di seluruh Indonesia mengenai usulan revisi terhadap SKB Menteri Agama dan Menteri Dalam Negeri 01/BER/MDN/ MAG/1969. Sebagian besar pemimpin Kristen ingin SKB itu  dicabut, bukan direvisi, karena selama ini dipakai sebagai dasar untuk melakukan penyerangan-penyerangan terhadap gereja, terutama di Jawa Barat, oleh kelompok Muslim setempat yang mengklaim bahwa persetujuan dari masyarakat yang harus diperoleh sebelumnya belum pernah diberikan. Tahun 2006, SKB ini direvisi sedemikian yang tidak  tapi yakin jawabannya akan positif – panitia menjadwalkan sebuah upacara peletakan batu pertama kali pada tanggal 21 Oktober. Beberapa hari menjelang upacara, penduduk Manokwari Kristen mulai mengadakan aksi protes, dan spanduk-spanduk berisi penolakan terhadap pembangunan mesjid bermunculan di seluruh kota. Pada tanggal 19 Oktober, pemimpin gereja, melalui Badan Kerjasama Antar Gereja Kabupaten Manokwari (BKAG), mengeluarkan sebuah pernyataan bersama “keprihatinan yang mendalam” atas pendirian pemerintah yang “diskriminatif dan tidak adil” terhadap perkembangan agama Kristen di Indonesia. Mereka mengutip 991 aksi penyerangan terhadap gereja gereja di seluruh Indonesia sejak kemerdekaan Indonesia tahun 1949 hingga hari ini; pola intimidasi terhadap Kristen dan penyerangan terhadap para pendeta dan gereja-gereja; kerugian aterial yang dialami gereja-gereja dan sekolah-sekolah Kristen; trauma yang diderita oleh warga Kristen di wilayah konflik seperti di Ambon dan Poso; dan diskriminasi hokum lewat “SKB Dua Menteri”. Kedatangan Injil pada tanggal 5 Februari 1855 di pulau Mansinam, tutur pernyataan bersama tersebut menjadi “ tonggak sejarah dimulainya peradaban baru di tanah Papua, membuka sebuah “tabir gelap” dan menanamkan keyakinan lewat pengorbanan dan kemartiran para misionaris. Kemajuan, perkembangan dan integrasi Irian Barat ke Indonesia tidak bisa dipisahkan dari peran gereja,lanjut pernyataan tersebut, dan hanya gereja, lewat prinsip damainya, yang telah mampu menyelesaikan konflik politik di Papua.
Manokwari adalah sebuah kota bersejarah dimana agama Kristen pertama kali tiba di Papua, dan statusnya perlu dilestarikan dan dihormati oleh semua masyarakat agama dan etnis. Karena itu, tutup pernyataan tersebut, para pemimpin gereja dan masyarakat Kristen di Manokwari menolak rencana pembangunan mesjid Raya. Ironisnya, mereka mengutip SKB yang sama yang mereka sesalkan dalam pernyataan mereka sebagai landasan hukum penolakan mereka. Di hari yang sama, bupati Manokwari, Dominggus Mandacan, menulis kepada panitia pembangunan mesjid, menolak ijin pembangunan dan menyebutkan membuat senang siapapun, yaitu persetujuan masyarakat setempat masih diperlukan, tapi lewat sebuah panitia antar  agama yang terdiri dari perwakilan yang proporsional dari setiap agama yang dianut dalam lingkungan masyarakat tersebut. “Pernyataan Bersama Pemimpin dan Tokoh Serta Umat Kristen di Kabupaten Manokwari”, 19 Oktober 2005. keberatan pemimpin gereja dan merekomendasikan panitia untuk melakukan pembicaraan lebih lanjut dengan mereka. Namun ternyata surat tersebut belum cukup bagi para penduduk Kristen Manokwari. Sebulan kemudian, pada tanggal 17 November, ribuan orang yang mewakili 30 aliran gereja, melakukan protes di jalanan terhadap pembangunan Mesjid Raya. Pendeta Herman Awom, seorang anggota Dewan Presidium Papua yang pro-kemerdekaan yang saat itu juga menjadi wakil ketua Sinode GKI (Gereja Kristen Indonesia) ikut dalam aksi protes. Mereka menuntut DPRD segera mengeluarkan sebuah peraturan daerah yang secara resmi menyatakan Manokwari sebagai “Kota Injil”. Demonstrasi yang sejenis juga berlangsung di Jayapura, dimana sekitar 100 orang, sebagian besar mahasiswa, yang menyebut diri mereka sebagai “Solidaritas Mahasiswa dan Masyarakat Kristen di Tanah Papua” berunjuk rasa mendukung mereka yang menolak pembangunan Mesjid Raya. Aksi demonstrasi tersebut hampir menjadi aksi kekerasan, ketika para peserta marah karena di wilayah Kotaraja polisi berusaha menghentikan mereka, dan para peserta mengancam akan membakar mesjid kalau tidak dibolehkan melanjutkan aksi unjuk rasa mereka.
Para mahasiswa mengeluarkan pernyataan menolak Mesjid Raya; menuntut pemerintah daerah untuk melindungi aset Kristen dan mendukung sekolah Kristen; dan menuntut pemerintah daerah untuk memberi perlindungan dari semua ancaman “secara sengaja atau tidak sengaja yang diciptakan oleh kelompok tertentu” dan mengesahkan sebuah peraturan daerah yang melindungi penduduk asli Papua dari para pendatang. Sebagian besar Muslim sangat marah dengan tindakan umat Kristen tersebut; beberapa mengancam untuk melancarkan jihad. Anggota Majelis Ulama Indonesia (MUI) berusaha mencari jalan tengah. Dalam surat tertanggal 30 November ke Majelis Rakyat Papua, sebuah lembaga yang dibentuk untuk  melindungi hak-hak dan budaya asli rakyat Papua, mereka mengatakan bahwa Manokwari sudah dikenal sebagai ibukota propinsi baru Irian Jaya Barat, nama Papua Barat sebelumnya. Surat itu melanjutkan bahwa pembangunan Mesjid Raya sejalan dengan keputusan menteri agama tahun 2004 yang menetapkan bahwa harus ada sebuah Mesjid Raya di setiap ibukota propinsi. Biasanya hal ini ditetapkan oleh gubernur dan kantor urusan agama tingkat propinsi. Tapi karena di Manokwari belum ada, maka sudah cukup yang menolak ijin adalah bupati.
Meskipun begitu, karena ibukota propinsi seharusnya dapat mengakomodasi kepentingan berbagai kelompok sosial, dan MUI-Papua mengakui status kota Manokwari sebagai tempat lahirnya agama Kristen di Papua, jalan keluarnya yaitu dengan memindahkan ibukota propinsi ke Sorong. Tetapi hal ini tidak realistis, dan kemarahan masyarakat masih tetap tinggi. Pendapat Muslim yang menganggap tidak ada yang salah dengan mendirikan sebuah Islamic Center yang besar di tempat lahirnya agama Kristen di Papua terkait dengan pengetahuan baru bahwa Islam telah berakar di Papua jauh sebelum kedatangan misionaris. Dipopulerkan oleh sebuah buku, Islam atau Kristen gama Orang Papua?, yang ditulis oleh Ali Athwa, seorang wartawan dari majalah Suara Hidayatullah, fakta-fakta yang dikemukakan bukanlah hal baru, tapi untuk pertama kali, gagasan bahwa Islam adalah agama terbesar pertama di Papua mendapat banyak pendengar di seluruh Indonesia. Menanggapi larangan terhadap pembangunan Mesjid Raya, seorang pemimpin Muslim di Manokwari berkata dengan marah,”Islam agama asli Papua, Kristen hanya tamu; punya hak apa tamu melarang tuan rumah?” Banyak hadits yang menyatakan bahwa membangun  mesjid – rumah Allah – adalah amal yang utama. Allah menganggap hal itu sebagai amal jariah, sebuah perbuatan yang pahalanya akan terus mengalir walaupun si pemberi sedekah telah wafat, karena selama Muslim beribadah di mesjid, yang membangunnya akan terus mendapat pahala. Pembangunan mesjid juga berhubungan dengan status sosial, yang melambangkan kekayaan dan kesalehan. Konsep “wakaf per meter” tiba-tiba memungkinkan siapapun memperoleh status itu dan menjadi sumber kebanggaan yang amat sangat, terutama karena hasilnya bukan cuma sebuah rumah ibadah biasa tapi sebuah Mesjid Raya. Hampir setiap pendatang Muslim di Manokwari menyumbang. Kemudian, tiba-tiba, proyek itu dihentikan oleh umat Kristen, merampas para donor dari status yang sangat mereka harap-harapkan.
Setelah spanduk-spanduk yang menolak pembangunan mesjid muncul, sejumlah Muslim siap untuk menggunakan kekerasan untuk mempertahankan rencana mereka terhadap pembangunan mesjid, bahkan bersedia mati untuk itu, terutama karena menurut ajaran Islam, membela rumah Allah dari serangan musuh adalah bentuk jihad yang dibenarkan. “Saya tidak pernah shalat lima waktu, saya sering berbuat dosa, kapan lagi saya punya kesempatan untuk masuk surga tanpa khawatir mengenai masa lalu saya?” kata seorang Muslim setempat. Kemarahan mereka hanya bisa diredakan setelah aparat keamanan, yang khawatir akan terjadi kekerasan, melobi pemimpin masyarakat Muslim. Pemerintah menjanjikan bahwa setelah pilkada, rencana pembangunan mesjid bisa diteruskan; dan Rahimin Kacong memanfaatkan hal ini sebagai janji kampanyenya. Sementara itu, kontroversi masalah ini menarik perhatian kelompok-kelompok jihadi di luar Papua. Tiga orang dari Jawa, yang menurut sebuah sumber di Manokwari digambarkan sebagai “pengikut Abu Bakar Ba’asyir”, tiba di Papua bulan Desember 2005, menawarkan bantuan ke masyarakat Muslim lewat seorang kontak disana jika konflik pecah. Mereka membuat daftar berisi 38 nama dan alamat para pendeta yang memimpin kampanye menolak pembangunan Mesjid Raya, tampaknya sebagai kemungkinan sasaran. Tapi penghubung mereka disana menolak bantuan yang ditawarkan, dan mereka segera kembali ke Jawa. Sekitar tiga minggu kemudian, sebuah delegasi jihadi dari Maluku menghubungi orang yang sama, juga menawarkan bantuan kalau terjadi konflik dan delegasi ini juga ditolak dengan sopan.

B. RANCANGAN PERATURAN DAERAH (RAPERDA)
Bulan Februari 2006, GKI yang mengadakan rapat di Wamena, di pegunungan tengah Papua, membahas situasi di Manokwari dan sepakat bahwa sebuah peraturan daerah (perda) perlu diimplementasikan untuk mempertahankan status kota Manokwari sebagai “Kota Injil”. Namun pada saat yang sama, pilkada di Irian Jaya Barat terus berjalan. Pasangan Abraham Atururi dan Rahimin Kacong mengantongi 61.3 persen suara dan dilantik bulan Juli. Penduduk Muslim berharap bahwa Kacong akan memegang janjinya untuk mengijinkan pembangunan mesjid.
Tetapi pemerintah daerah menyadari bahwa melanjutkan pembangunan padahal penduduk Kristen sangat menentang rencana itu akan membawa konflik yang lebih serius, sehingga pada akhirnya rencana pembangunan mesjid tetap terkatung-katung. Menjelang akhir tahun, mulai beredar isu di tengahtengah masyarakat Kristen bahwa Laskar Jihad, milisi salafi yang mendatangkan kerusakan di Maluku dari tahun 2000 hingga 2002, sedang melakukan pelatihan militer di sebuah wilayah transmigrasi yang dikenal dengan nama Satuan Pemukiman (SP) di asmi, di luar Manokwari, dengan tujuan memerangi Kristen yang telah menentang pembangunan mesjid. Ketakutan masyarakat mereda setelah diketahui bahwa ternyata para pemuda yang terlibat, hampir seluruhnya pendatang, bukan anggota Laskar Jihad tapi anggota sebuah organisasi pencak silat yang tidak ada kaitannya.
Dengan politik maupun agama. Tapi untuk pihak Kristen, keberhasilan menghentikan pembangunan Mesjid Raya memberi perasaan berkuasa bagi pemimpin setempat, dan mereka mulai mendorong untuk melarang mesjid dan organisasi Muslim yang lain di daerah Manokwari. Pada 11Desember 2006, lebih dari setahun kemudian, BKAG mengirim surat ke ketua Yayasan Islam al-Hidayah, menolak kehadiran yayasan ini di kabupaten Ransiki dan pembangunan sebuah mesjid dekat Abreso. Kalau Muslim mau sembahyang, katanya, mereka sebaiknya ikut dengan mesjid di kota Ransiki daripada membangun mesjid baru. “Terima kasih”, tutup surat tersebut, “dan mudah-mudahan surat ini dapat diindahkan sebagai suatu toleransi antar umat beragama di distrik Ransiki”. Kemudian, tanggal 1-2 Februari 2007, para pemimpin  gereja menyelenggarakan sebuah seminar bertema “Menjadikan Mansinam dan Manokwari sebagai Kota Injil”, di gereja Elim Kuali, Manokwari. Beberapa peserta seminar mengutarakan kekhawatiran mereka atas penyebaran agama Islam di Papua. Pendeta Phil Erari, seorang tokoh nasional, memperingatkan bahwa Manokwari, kota suci bagi Papua Kristen, sedang menghadapi nasib yang sama seperti Nazareth, Betlehem dan Capernaum. Betlehem yang merupakan tempat kelahiran Yesus sekarang dikuasai oleh Muslim, katanya. Pemerintah perlu mengambil tindakan proaktif untuk mempertahankan Manokwari sebagai kota Kristen.
Pada tanggal 7 Maret, pemimpin gereja menguraikan kota yang mereka inginkan dalam sebuah rancangan perda berjudul “Penyelenggaraan Pembinaan Mental dan Spiritual”, yang lebih dikenal sebagai “Perda Injil”. Ide dasarnya adalah untuk menanamkan nilainilai Kristen di dalam masyarakat Manokwari, dan beberapa ketentuan mau tidak mau membawa kekhawatiran bagi masyarakat Muslim. Raperda ini mendefinisikan Injil sebagai “kabar baik yang mengatakan bahwa kedatangan Yesus Kristus adalah permulaan dari pemerintahan Allah di bumi, member kehidupan baru bagi nilai-nilai kasih, perdamaian, persaudaraan, kesejahteraan, keadilan, persekutuan dan keterbukaan”. Program pembinaan Spiritual akan didedikasikan untuk menyebarkan nilai-nilai tersebut. Pasal 25 dari Raperda itu berbunyi:
Kegiatan pembinaan mental spiritual diselenggarakan dengan memperhatikan, nilai-nilai sejarah, budaya, adat istiadat dan kearifan local yang berlaku dalam masyarakat local, terutama mayoritas orang asli atau penduduk asli Papua yang menganut agama Kristen. Pasal 26 berbunyi pemerintah dapat memasang symbol agama di tempat umum dan perkantoran, karena agama Kristen adalah agama hampir seluruh warga asli Papua. Pasal 28 menetapkan hari Minggu sebagai hari ibadah, dimana seluruh kegiatan bisnis dilarang, setidaknya untuk setengah hari. Hal ini menyebabkan kekhawatiran yang luarbiasa karena pelabuhan Manokwari biasanya sangat sibuk pada hari Minggu. Kota Manokwari akan menjadi kota bebas maksiat: perjudian, prostitusi serta produksi dan distribusi minuman alkohol akan dilarang. Raperda ini juga berisi ketentuan-ketentuan yang kelihatannya merupakan tanggapan langsung terhadap ketakutan terhadap islamisasi. Pasal 37 sebenarnyamelarang perempuan mengenakan jilbab di tempat-tempat umum, sekolah dan kantor pemerintah, dengan melarang busana yang menonjolkan symbol keagamaan di daerah ini; jilbab tampaknya dianggap sebagai sebuah cara untuk menyebarluaskan agama. Pasal 30 mewajibkan tempat-tempat ibadah memperoleh ijin dari 150 tokoh adat dan individu di lingkungan terkait dan sebetulnya mencegah pembangunan mesjid di daerah yang penduduk aslinya sudah dilayani oleh gereja. Raperda tersebut segera dikecam oleh para pemimpin Muslim maupun Kristen. Para pemimpin Muslim lokal mengirim surat protes ke bupati. Tapi tidak seperti pertikaian Mesjid Raya yang hanya menjadi persoalan setempat, masalah raperda meluap menjadi persoalan nasional. Media-media muslim besar menggambarkan hal ini sebagai diskriminasi terhadap Islam – dan memang betul.
Pada tanggal 15 Maret 2007, organisasi Islam utama di Indonesia, termasuk Majelis Ulama Indonesia, Muhammadiyah, dan Nahdlatul Ulama mengeluarkan sebuah pernyataan yang menolak raperda tersebut. Hidayat Nur Wahid, ketua Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) dan ketua Partai Keadilan Sejahtera (PKS), mengatakan raperda ini dapat memecah belah Indonesia. Bahkan kota Roma tidak menyatakan dirinya sebagai “Kota Injil”, meskipun Roma adalah pusat agama Katolik, katanya. Organisasi garis keras Forum Umat Islam mengatakan raperda tersebut memperlihatkan sifat asli Kristen, yaitu kalau mereka kecil, mereka menuntut, dan kalau besar, mereka menindas. Dan mereka mengklaim bahwa raperda tersebut merupakan langkah awal untuk mengusir Muslim dari Papua. Ketua KWI dan PGI juga menolak rancangan peraturan daerah tersebut. Keduanya mengatakan menolak peraturan daerah manapun yang berbasis agama, sebuah sindiran yang tidak terlalu ditutupi terhadap puluhan perda yang terinspirasi syariah Islam yang diadopsi oleh daerah-daerah mayoritas Muslim di Indonesia.
Pemerintah Manokwari kaget demi melihat protes yang bertubi-tubi. Sekretaris Daerah Propinsi mengatakan kepada wartawan bahwa raperda tersebut hanya merupakan sekumpulan saran dari pemimpin gereja dan tidak memiliki kekuatan hukum. Segala sesuatunya harus didiskusikan terlebih dahulu dengan tim DPRD, dan ia yakin ketentuan yang diskriminatif akan  Masalahnya adalah media yang sama tidak memperlihatkan ketertarikan yang sama terhadap ketentuan diskriminatif peraturan daerah yang dirancang untuk menanamkan prinsip-prinsip Islami di wilayah mayoritas Muslim. Memang banyak sumber yang berpendapat perda Syariah menjadi inspirasi perda Manokwari.
Pada bulan Mei, bupati Dominggus Mandacan, mengatakan bahwa walaupun mewakili aspirasi mayoritas, raperda tersebut masih perlu perbaikan sebelum dapat disampaikan secara resmi ke DPRD kabupaten, dan tim DPRD akan mempertimbangkan akibat sosial negatif yang akan dihadapi kalau penetapan Manokwari sebagai “Kota Injil” dilanjutkan.

C. REAKSI MUSLIM
Namun, kerusakan sudah terjadi. Bulan Agustus 2007, tiga anggota MUI kabupaten Manokwari menyampaikan sebuah surat pernyataan kepada rapat MUI Daerah V yang meliputi Papua, Sulawesi dan Maluku yang isinya layak dikemukakan disini karena kegetirannya. Pernyataan tersebut mengemukakan bahwa sebuah kelompok, atas nama agama tertentu, sedang berusaha untuk menentang keberadaan Muslim di Tanah Papua dan terutama di Manokwari, mencoba untuk merusak persatuan negara Indonesia dan menjadikan agama sebagai komoditas politik. Akses yang setara terhadap Muslim diingkari, katanya, sementara Kristen mengklaim bahwa tanah “mereka” bukan milik Muslim, walaupun peradaban Islam sudah mendahului Kristen di Papua lebih dari 200 tahun yang lalu. Undang Undang Otonomi Khusus tahun 2001 untuk Papua digambarkan sebagai sebuah “musibah yang sangat dasyat” yang bisa mengakibatkan perpecahan di Indonesia. Kalau umat dibelenggu, dipojokan, direkayasa untuk menghilangkan keutuhan umat, maka sudah saatnya Umat Islam bangkit dan bersatu padu dan berjihad menegakan ajaran Allah di negeri ini. Untuk kepentingan memastikan perdamaian dan menghindari konflik antar agama seperti yang terjadi di Ambon dan Poso, MUI mendesak rapat daerah untuk membentuk sebuah panitia khusus untuk mengkaji persoalan ummat di wilayah bagian timur Indonesia dan bahwa rekomendasi yang disusun akan disampaikan ke pemerintah pusat, lewat MUI nasional.
Sejumlah kelompok jihadi juga sudah siap membela agama mereka di Manokwari, dengan mengirimkan tim peninjau untuk memeriksa situasi. Kelompok- kelompok seperti Laskar Jundullah dari Sulawesi Selatan membicarakan tentang memulai jihad baru disana. Di kalangan ini, teori konspirasi sangat populer, antara lain seperti bahwa raperda Injil merupakan rencana pihak asing untuk  Mengkristenkan” wilayah timur Indonesia, atau raperda Injil adalah bagian dari agenda Kristen untuk mendirikan “Negara Kristen Arafuru Raya” yang akan meliputi Maluku dan Papua. Kemudian hal ini dikaitkan dengan isu yang beredar sejak awal tahun 2004 yang menyebutkan bahwa Gloria Macapagal-Arroyo, presiden Filipina, telah menulis surat kepada presiden AS George Bush, meminta bantuannya untuk mendirikan sebuah kerajaan Kristen di Asia Tenggara.
Di rapat MUI Daerah V, di Manado, Sulawesi Utara, Haji Adnan Arsal, pemimpin Muslim radikal dari Poso yang sekolahnya menjadi pusat kegiatan JI di Poso, menurut laporan telah menawarkan bantuan dari para mujahidinnya jika konflik pecah di Manokwari. Tetapi para pemimpin setempat terus menolak bantuan apapun dari luar.
Beberapa umat Kristen di Manokwari merasa tidak perlu mundur dari raperda, yang mereka anggap sebagai keharusan yang mutlak untuk melindungi dari perkembangan Islamisasi yang pesat. Bagi mereka, ketentuan yang dianggap oleh Muslim sebagai hal yang diskriminatif bukanlah larangan melainkan batasan. Tentang ketentuan yang berhubungan dengan jilbab, “kita tidak melarangnya, tapi sebaiknya hanya dipakai di tempat-tempat yang tepat”, kata salah seorang dari mereka, “dan terutama bagi pegawai negeri yang wajib memakai baju seragam, kenapa ada yang boleh kelihatan berbeda?” Mereka tidak melarang adzan, yang mereka larang penggunaan pengeras suara karena mengganggu orang-orang dari agama lain.
Akhir bulan Mei 2008, rancangan yang kedua perda Injil muncul. Yang ini jauh lebih baik dari yang pertama dan sebagian besar ketentuan-ketentuan yang kontroversial sudah dihilangkan, tetapi judulnya “Raperda Tentang Penetapan Kampung-Kampung Sebagai Perkampungan Penginjilan/Pembinaan Mental Spiritual”.
 Bagi sebagian besar Muslim, kata penginjilan berarti dakwah yang bertujuan untuk memurtadkan Muslim, dan karena itu memicu kemarahan. Rancangan yang kedua juga tetap memuat ketentuan yang mewajibkan ijin dari masyarakat sekitar untuk membangun rumah ibadat – hal yang membuat khawatir Katolik dan juga Muslim, karena keduanya adalah agama minoritas di daerah itu. Polarisasi agama kelihatannya akan terus berlanjut.

III. KAIMANA
Dengan mendinginnya situasi di Manokwari, suhu di Kaimana, yaitu sebuah kabupaten di bagian barat daya pulau Papua yang dimekarkan dari Fakfak pada tahun 2002, meningkat. Bertahun-tahun Kaimana dikenal karena hubungan yang harmonis antara Kristen dan Muslim; tahun 2006, seorang pendeta setempat menulis referensi standar mengenai topik itu, menekankan komitmen dari kedua belah pihak masyarakat terhadap pluralisme dan hidup berdampingan.
Oleh karena itu ketegangan di akhir tahun 2007 sangat mengejutkan, tetapi ketegangan ini sudah menumpuk sejak beberapa lama, terutama sejak konflik di Ambon.  Tahun 2005, kabupaten Kaimana berpenduduk 37,469 orang. Sebagian besar adalah warga Papua asli dari beberapa kelompok etnis termasuk Koyway, Irarutu, Mairasi dan Madewana. Para pendatang, sebagian besar bekerja sebagai pedagang kecil dan di sector transport, berasal dari Jawa, Maluku, Sulawesi Tenggara, Selatan dan Utara; tidak ada angka jumlah total mereka. Jumlah penganut Protestan lebih dari setengah jumlah penduduk seluruhnya; Muslim diurutan yang kedua, yaitu sekitar 40 persen, sebagian besar Papua asli, dan Katolik 9.5 persen.
Keharmonisan kehidupan beragama di Kaimana merupakan hasil dari norma-norma adat yang kuat yang menekankan solidaritas marga dan keluarga lintas agama. Banyak dari marga-marga seperti Werfete, Tanggarofa, Kamakaula, Amerbay, Jaisono, Feneteruma dan Waita, yang menjadi penganut kedua agama. Warga Kristen sering duduk dalam kepanitiaan pembangunan mesjid dan ikut dalam pembangunan gedung baru; warga Muslim membantu membangun gereja. Selama bulan Ramadhan, warga Kristen sering membantu menyiapkan sahur bagi tetangga Muslimnya dan membangunkan mereka untuk makan sahur.
Yayasan pendidikan Kristen membangun sekolah di lingkungan Muslim dan mempekerjakan guru Muslim untuk mengajarkan  pelajaran agama dan membaca al-Qur’an. Sebagian warga Muslim mengikuti cara-cara beribadah yang sama dengan organisasi Muslim terbesar di Indonesia, Nahdlatul Ulama. Protestan terdiri dari  “Propinsi Papua Barat dalam Angka”, Badan Pusat Statistik, 2006 . Sisanya pemeluk agama Hindu dan Buddha. yang dulunya Gereja Protestan Maluku, sekarang GPI (Gereja Protestan Indonesia) di Papua, dan GKI (Gereja Kristen Injili), aliran terbesar di Papua. Konflik yang hampir pecah muncul sebagian karena datangnya elemen baru yang kurang berpikiran terbuka dari kedua agama.






A. KETEGANGAN KARENA KONSER  DAN POHON NATAL
Ketegangan ini dimulai bulan Oktober 2007, dipicu oleh keputusan GPI untuk mengadakan konser menggalang dana untuk pembangunan sebuah gereja. Acara seperti ini biasa di Kaimana, tapi konser ini, yang mendatangkan penyanyi dari Maluku, akan diadakan dalam bulan Ramadhan dan akan mulai jam 7 sore, hampir sama dengan waktunya Muslim shalat tarawih, yaitu shalat malam yang dilakukan pada bulan puasa. Selain itu, konser ini akan diselenggarakan di sebuah SD Kristen yang lokasinya terletak diantara dua mesjid (Sabililah dan Cendrawasih) di lingkungan kota Cenderawasih. Mendengar rencana itu, banyak Muslim yang marah dan menuduh Kristen tidak menghiraukan perasaan Muslim. Pemimpin Muslim berusaha menenangkan mereka dengan mengatakan warga Kristen mungkin tidak memahami ada shalat tarawih. Tetapi sebuah kelompok menganggap hal itu tak masuk akal: bagaimana mungkin Kristen tidak tahu pentingnya Ramadhan atau tidak tahu tentang shalat tarawih? Akhirnya panitia konser mengalah dan merubah jam konser jadi jam 9 malam. Bentrokan dapat dihindarkan, tapi pada pertengahan bulan Desember, ketegangan naik lagi. Kali ini dipicu oleh pemasangan sebuah menara besi yang berbentuk Pohon Natal, dan dipuncaknya bukan salib (yang lebih umum di Papua) yang dipasang, tapi Star Of David, bintang bercabang enam, sebuah simbol yang sensitif di Indonesia yang sering dipakai oleh kelompok karismatik. Menara ini dipasang permanen di Taman Hiburan Rakyat (THR) tidak jauh dari pusat kota. Sekali lagi, GPI, yang anggotanya banyak dari Maluku dan Sorong, tapi juga dari Ayamaru, merencanakan sebuah upacara, tanpa kordinasi baik dengan anggota aliran Kristen yang lain maupun dengan tetangga Muslimnya. GKI mengklaim mereka tidak tahu tentang pohon natal tersebut, tapi GPI bersikeras untuk terus memasangnya, dan mengatakan bahwa mereka sudah punya ijin dari wakil bupati Kaimana, Mathias Mayruma, yang datang menghadiri pemasangan menara tersebut. Hasan Achmadi, bupati Kaimana, menurut laporan tidak tahu bahwa menara pohon natal ini dipasang permanen, lengkap dengan pondasi semennya.
Warga Muslim setempat sangat marah. Di lingkungan tempat tinggal seperti Kampung Seram, Anda Air, Bungsur dan Kaki Air, massa mulai berkumpul, menunggu komando untuk membongkar pohon natal itu. Di wilayah-wilayah Kristen seperti Cenderawasih, Jalan Sisir dan Kebon Kelapa, kelompok-kelompok mulai menggalang massa setelah mendengar isu bahwa pohon natal akan dihancurkan dan lingkungan mereka akan diserang. Di Kampung Baru, Muslim mulai menyiapkan truk-truk untuk membawa massa ke kota Kaimana. Suasana panik timbul, beberapa orang bersiap-siap untuk mengungsi kalau konflik pecah. Di Arguni, sebuah lingkungan tempat tinggal Kristen, beberapa orang bersembunyi ke hutan.
Bupati turun tangan tanggal 14 Desember 2007, menghimbau kepada Muslim untuk tidak menyalahkan Kristen atas ketegangan yang terjadi, tapi kepada dirinya yang telah memberikan ijin. Pernyataannya meredakan situasi panas, dan keesokan harinya ia mengadakan rapat dengan para pemimpin agama dari kedua belah pihak. Disepakati bahwa pohon natal bisa tetap dipasang sampai tanggal 21 Januari 2008 dan setelah itu akan dibongkar.
Sampai tanggal 28 Desember tidak terjadi apa-apa. Kemudian, tiba-tiba, anggota GPI mengundang para pemimpin dari aliran lain untuk rapat dan mengumumkan bahwa mereka telah mendengar bahwa Muslim berencana untuk menyerang Kristen hari berikutnya, dan untuk mencegah hal ini terjadi, mereka memutuskan untuk membongkar pohon natal segera. Namun anehnya, GPI mengumumkan bahwa sebelum membongkar pohon natal, mereka akan melakukan sembahyang bersama dan sebuah kebaktian, yang mana para pendeta diminta memakai jubah mereka. GKI menolak gagasan itu, dan percaya hal itu hanya akan menyulut konflik: kelihatannya akan seperti undangan kepada semua warga Kristen untuk menghadiri layaknya kebaktian gereja resmi, tapi kalau mereka lihat pohon natal dibongkar, hal itu akan membawa reaksi emosional, karena dimata warga Kristen, menara ini merupakan simbol suci. Anggota GKI menjadi bertambah khawatir setelah pemimpin GPI mengatakan orang-orang Kristen dari Tual, di bagian tenggara Maluku, arah selatan Kaimana, sudah siap membantu kalau konflik pecah. Tetapi upacara pembongkaran menara tidak terjadi – polisi membubarkan rapat dan memanggil ketua dioses GPI untuk menjelaskan kenapa itu terjadi.
Pada tanggal 1 Januari 2008, sebuah kapal dari Tual tiba di pelabuhan Kaimana, menyulut isu bahwa orang-orang Kristen dari Tual sudah datang, namun Kaimana tetap tenang. Ketegangan meningkat tanggal 21 Januari, yaitu pada saat batas waktu pembongkaran menara. Muslim mulai berkumpul, menuntut menara dibongkar. Sekali lagi Kristen takut diserang. Pemimpin GPI menolak kalau mereka yang harus membongkar menara, dan mengatakan itu tugas bupati. Hasan Achmad tidak siap, karena tahu itu akan membuat Kristen marah. Akhirnya disepakati jalan tengah yaitu GPI yang akan membongkar menara tapi kemudian dipindahkan ke salah satu gereja mereka. Untungnya konflik tak meletus, tapi banyak anggota masyarakat yang kaget karena sudah nyaris sekali.
Bagaimanapun juga, perselisihan agama di Kaimana tidak bercampur dengan persoalan etnis dan ekonomi seperti yang terjadi di tempat lain. Walaupun kelompok-kelompok etnis dari Sulawesi Selatan (Bugis, Buton dan Makasar) mendominasi pasar di Kaimana seperti juga di daerah lain di Papua, tapi tidak ada perselisihan pribumi-pendatang yang serius.
Di mesjid-mesjid, Muslim dari berbagai latarbelakang, Papua asli dan non-Papua, selama ini selalu mudah membaur; cara beribadah yang paling umum mengikuti Mazhab Syafi’i, yang akrab bagi banyak pendatang dari Jawa, juga ikut membantu. Begitu juga di pihak Kristen, interaksi yang bersahabat menjadi cirri hubungan pendatang-pribumi.

B. PENGARUH ALIRAN AGAMA BARU
Yang berubah di Kaimana yaitu masuknya elemen baru yang lebih fundamentalis di kedua agama sekitar tahun 2000. Gereja-gereja evangelis muncul, termasuk Jemaah Jalan Suci, sebuah kelompok karismatik, bersama dengan gereja-gereja Bethel dan Bethany. Gereja-gereja Pantekosta ini sering mengadakan apa yang mereka sebut sebagai KKR (Kebaktian Kebangunan Rohani), sering berbentuk kebaktian akbar di tempat-tempat umum, tapi juga menampilkan kesaksian dari para bekas Muslim yang baru masuk Kristen. Banyak Muslim yang menganggap KKR sebagai penghinaan terhadap agama mereka dan memutuskan untuk melakukan tindakan balasan, secara terbuka mempertanyakan ajaran dasar agama Kristen, seperti ketuhanan Yesus.
Menjelang Natal 2006, muncul persoalan. Tiba-tiba, dan tanpa ijin dari pemuka adat, kelompok karismatik Jalan Suci memasang salib besar di sebuah bukit di Bungsur, wilayah Muslim. Penduduk Muslim menurunkan salib itu.  Tidak hanya gereja-gereja baru yang menimbulkan masalah; sebuah aliran radikal juga mulai muncul di dalam GPI di sekitar waktu yang sama. Dulunya GPI bernama Gereja Protestan Maluku. Jemaahnya sudah lama ada di Kaimana, dibawa oleh orang-orang Maluku yang bekerja sebagai birokrat atau guru setelah integrasi Irian Barat tahun 1969. Hubungan dengan Muslim setempat pada umumnya baik-baik saja, sampai meletusnya konflik di Ambon tahun 1999 dan tak lama kemudian di Tual. Banyak warga Kristen yang mengungsi dari konflik ini pergi ke Kaimana, membawa cerita kekejaman yang dilakukan oleh pasukan Muslim disana. Banyak dari cerita mereka yang didukung oleh media masa, khususnya media TV. Bahkan setelah konflik berkurang, beberapa warga Maluku masih terus datang, termasuk beberapa pendeta, dimana salah seorang dari mereka menjadi ketua classis GPI. Kedatangannya menandai memburuknya hubungan Kristen-Muslim dengan kedatangan pendeta itu. Sebuah fenomena pembaharuan agama juga terjadi di pihak Muslim. Tapi tidak seperti elemen baru dalam agama Kristen yang dibawa oleh orang luar, Islam “yang baru” dibawa oleh warga Papua asli yang belajar diluar. Salah satunya yaitu Ahmad Nausrau, sekarang tokoh Partai Keadilan Sejahtera disana, yang belajar agama Islam ke Timur Tengah. Ketika ia kembali ke Kaimana, ia bergabung dengan Al Fatih Kafah Nusantara (AFKN), yang dipimpin oleh Fadzlan Garamatan, ketua Hizb ut-Tahrir Papua. AFKN dengan cepat menarik banyak pengikut dari daerah setempat, karena mereka tidak hanya memberi ceramah tapi juga pelayanan sosial seperti sunat masal, dan menawarkan beasiswa bagi anak-anak Muslim untuk belajar di pesantren dan institusi-institusi di luar Papua.
Perkembangan di bidang teknologi, khususnya penggunaan handphone yang ada dimana-mana, juga berperan mengubah hubungan antara kedua masyarakat agama. Handphone dengan teknologi canggih “3G” digunakan untuk endownload film dan video yang menyebarkan kebencian yang dilakukan oleh pihak masyarakat yang satu ke pihak yang lain. Sebuah kumpulan video yang beredar memperlihatkan kekejaman terhadap Muslim di Ambon dan Poso. Beberapa dari video tersebut dibuat oleh Seyam Reda, warga Jerman keturunan Mesir yang diduga terkait al-Qaeda
Bagi banyak Muslim, gambar-gambar tersebut membawa kesan Kristen adalah jahat. Video mengenai pemenggalan kepala tawanan di Iraq juga beredar, meninggalkan kesan di warga Kristen bahwa Islam adalah agama kekerasan. Sama seperti di Manokwari, kelompok-kelompok jihadi di luar Papua mendengar tentang ketegangan yang terjadi dan dalam posisi menunggu, siap untuk ikut campur kalau kekerasan meletus. Pada akhirnya, hal ini bisa dihindarkan, tetapi pondasi untuk terjadinya konflik sudah tertanam.  dan ditangkap di Jakarta tahun 2002 karena kasus pelanggaran imigrasi, dan akhirnya dideportasi ke Jerman.

IV. KEGADUHAN MENGENAI KAMPUS MUSLIM DI JAYAPURA
Pada awal tahun 2007, sebuah persoalan baru muncul di Jayapura. Sekolah Tinggi Agama Islam Negeri (STAIN), bermaksud mendirikan sebuah kampus di Bumi Perkemahan, di wilayah Waena. Di seluruh Indonesia, tanpa terkecuali, institut-institut ini telah menjadi kekuatan yang moderat dan rumah bagi beberapa ulama yang paling progresif di Indonesia.
Di Papua, pendukungnya percaya bahwa institute seperti itu akan menghasilkan ulama-ulama asli dari Papua, mengurangi ketergantungan pada guru-guru non-Papua dan memastikan bahwa nilai-nilai Islam yang universal disampaikan dengan cara-cara yang harmonis dengan tradisi budaya rakyat Papua.
Tetapi Asosiasi Pendeta Indonesia (API) mengeluarkan sebuah surat yang menentang proyek itu, walaupunsudah disetujui oleh GKI, aliran Protestan terbesar di Papua, karena berpikir bahwa hal ini juga merupakan tanda-tanda lain berkembangnya “Islamisasi”. Pribumi Muslim yang paling marah. “Muhammadiyah dan Nahdlatul Ulama saja tidak pernah mengontrol kita”, kata salah seorang pemimpin Muslim lokal, menyebut organisasi Islam terbesar di Indonesia, “kemudian tiba-tiba saja API yang menolak kita”.
Kenyataan bahwa API didominasi oleh warga nonPapua semakin menambah Kekesalan mereka. Surat API ditembuskan ke gubernur, DPRD dan  MRP, yang mana kelompok kerja bidang agamanya membahas hal ini dan mendukung posisi API. Pada tanggal 1 Maret 2007, MRP mengeluarkan pernyataan mereka, yang menolak pembangungan kampus. Arobi Achmad Airtuarauw, seorang anggota MRP Muslim, tidak hadir dalam sesi pembahasan. Pada pertengahan April 2007, Muktamar Majelis Muslim Papua yang dipimpinnya, mengatakan bahwa pernyataan itu telah “sangat melukai perasaan Muslim pada umumnya, dan pribumi Muslim pada khususnya” dan meminta MRP untuk meminta maaf.
Ada tiga tingkatan institusi, yaitu STAIN, setingkat perguruan tinggi dengan masa kuliah dua tahun; Institut Agama Islam Negeri (IAIN), perguruan tinggi dengan masa belajar empat tahun; dan Universitas Islam Negeri (UIN), sebuah universitas dengan program S1.
Banyak anggota API di Papua yang berasal dari Menado (Sulawesi Utara), Toraja  Sulawesi Selatan) dan Sumatra Utara.  Rekomendasi Majelis Muslim Papua, Bidang Otonomi Khusus dan Pemerintah Daerah, no. 4 dan 5, dan Bidang Sosial Budaya (Pendidikan) dalam Hasil-Hasil Pelaksanaan . Pada akhirnya, pembangunan berlanjut dan kampus sekarang berdiri di lokasi seluas 1 hektar di Waena, tetapi peristiwa ini meninggalkan perasaan tidak enak di semua pihak.


V. MENJELASKAN KETEGANGAN: DEMOGRAFI
Ketegangan yang terjadi di Manokwari dan Kaimana juga terlihat di daerah lain di Papua, dan beberapa faktor penyebabnya sama, yaitu: perubahan demografis, imbas dari konflik Maluku, pemahaman baru sejarah Islam di Papua, perkembangan di luar Papua dan teknologi baru.

A. PERTUMBUHAN ISLAM 
Statistik pemerintah memperlihatkan pertumbuhan Islam yang stabil di Papua (lihat tabel di bawah). Jumlah penduduk Muslim banyak sekali yang nonPapua.
Menurut Biro Pusat Statistik tahun 2000, 90.82 persen dari penduduk Muslim adalah para pendatang; dan 9.18 persen adalah Papua asli, sebagian besar dari wilayah Kepala Burung. Secara kontras, 81.24 persen dari pemeluk agama Katolik adalah warga asli Papua, dan Protestan adalah 81persen.Pengaruh para pendatang juga lebih menonjol di kota-kota di Papua. Warga Papua asli hanya 33.9 persen dari jumlah penduduk perkotaan di tahun 2000, berkisar dari 6 persen di kota Sorong sampai 54 persen di Manokwari, sementara di seluruh Papua, lebih dari 60 persen penduduk asli tinggal di pedesaan.
Data statistik di Papua tidak selalu akurat, sebagian karena sulitnya mengumpulkan data, sebagian lagi karena kesalahan dalam tabulasi. Bahkan dalam satu buah dokumen, persentasinya seringkali tidak genap 100, atau dihitung dengan salah. Namun pola waktunya cukup konsisten. Banyak pemimpin agama yang meyakini bahwa jumlah pendatang sebenarnya lebih banyak dari yang diberitakan, dan warga Papua telah menjadi minoritas di tanah mereka sendiri. Sebuah laporan mengemukakan: Komposisi populasi Papua Barat saat ini yaitu 30 persen warga asli Papua Barat dan 70 persen pendatang. Warga asli Papua Barat selama ini terpinggirkan di semua aspek kehidupan. Demikian juga, sebuah artikel di majalah Muslim  konservatif yang dibaca luas menulis bahwa data tahun 2003 (tidak jelas data dari mana) memperlihatkan 40 persen dari populasi penduduk Papua adalah Muslim, membuat Islam sebagai agama yang dominan, karena penganut animisme disatukelompokkan dengan Kristen, sehingga angka ini tidak menggambarkan keadaan yang sebenarnya. Tetapi Muslim menduduki kurang dari 10 persen posisi politik di Papua – hanya bupati di Manokwari dan Kaimana yang beragama Islam – dan ketidakseimbangan ini harus ditanggulangi, lanjut artikel dalam majalah tersebut.


B. “ISLAMISASI” DAN MIGRASI
Banyak warga Papua yang melihat pertumbuhan Islam yang stabil di Papua sebagai hasil kebijakan pemerintah yang telah direncanakan. Hal ini menjadi satu argumentasi dari pendeta Socratez Sofyan Yoman, presiden gereja Baptis di Papua, Yoman menulis:  Merupakan sebuah upaya yang sistematis dan terencana untuk menghapuskan (lewat genosida) penduduk asli Papua dengan cara mengirimkan para transmigran atau pendatang ilegal ke Papua, dengan alasan hanya ada terlalu sedikit warga Papua di daerah-daerah baru yang rencananya akan dilakukan pemekaran – sebuah cara Islamisasi dan Jawanisasi jangka panjang untuk menguasai wilayah Pasifik dan Australia.
Bersama Sendius Wonda, Yoman bisa dikatakan sebagai tokoh paling gencar mengkampanyekan issu genosida dikaitkan dengan migrasi. Wonda sempat menuangkan gagasannya soal genosida dalam bukunya Tenggelamnya Rumpun Melanesia. Buku itu kemudian dilarang oleh pemerintah SBY bulan Desember 2007. Buku tersebut sangat berpihak, tetapi pengarangnya hanya menuliskan apa yang sudah lama diperbincangkan oleh rakyat Papua bertahun-tahun. Ketika GKI mengadakan diskusi tentang pelarangan buku itu di Jayapura, hampir seluruh peserta diskusi mengatakan mereka percaya bahwa rakyat Papua akhirnya akan tersapu oleh migrasi massal.
Statistik populasi memperlihatkan sebuah kenaikan yang sangat dramatis dalam persentasi Muslim antara tahun 1975 dan 1985, ketika program “transmigrasi” yang disponsori oleh pemerintah sedang gencargenrnya. Meskipun alasannya adalah untuk mengurangi kepadatan di pulau Jawa dan mengembangkan pulau-pulau di luar Jawa, juga ada factor keamanan yang kuat di daerah perbatasan seperti Kalimantan dan Papua, dan persepsinya begitu kuat diantara para pemimpin Kristen bahwa Jakarta sedang mendorong migrasi penduduk Muslim, daawa (dakwah) dan pembangunan mesjid-mesjid untuk memperkecil jumlah penduduk asli Papua dan melemahkan gerakan pro-independen.
Ada beberapa pemimpin Organisasi Papua Merdeka (OPM) yang pernah secara terbuka menuntut Jumlah transmigran yang dikirim ke Papua meningkat stabil di tiga REPELITA yang pertama, pada masa pemerintahan Soeharto, yaitu tahun 1969-1973, 1974, 1978, dan 1979-1983.
Pemerintah memindahkan sekitar 10,000 keluarga (41,701 orang), sebagian besar asal Jawa, ke Papua, dan menempatkan mereka di lima daerah: Jayapura, Merauke, Manokwari, Paniai dan Sorong.  Antara tahun 1981 dan 1985, sebanyak 9,772 transmigran, semuanya dari Jawa, sebagian besar Muslim. Karena jumlah tanah di daerah transmigrasi lain berkurang, tahun 1985 Papua telah menjadi tujuan utama untuk semua program transmigrasi pemerintah. Kritik internasional terhadap program transmigrasi di Papua, termasuk kritik bahwa program transmigrasi terkait dengan Islamisasi, membuat pemerintah Soeharto mengubah taktik tahun 1986. Mereka mengeluarkan Dekrit Presiden no. 4/1986, menetapkan pulau Flores, Alor, Sumba dan Timor di Nusa Tenggara Timur, sebagai daerah tujuan transmigrasi. Sejak itu sampai program transmigrasi berhenti seluruhnya tahun 2000, struktur agama para transmigran berubah. Namun pada waktu yang sama, ada kenaikan jumlah migrasi spontan – yaitu perpindahan penduduk secara sukarela oleh perorangan atas biaya sendiri dalam rangka mencari kesempatan ekonomi yang lebih baik, sebagian besar dari mereka berasal dari daerah Muslim Sulawesi Tenggara dan Selatan. Para pendatang sudah datang ke wilayah pesisir Papua selama berabad-abad sebelumnya. Pada tahun 1959 ada sekitar 14,000 pendatang, tetapi jumlah mereka naik tajam setelah pemerintah Indonesia tahun 1970 mempermudah pembatasan untuk bepergian ke sana. Sebagian besar transmigran spontan menetap di daerah perkotaan, dan dengan cepat mengisi posisi kosong di sektor perdagangan dan transportasi. Mereka tidak hanya bekerja di pasar-pasar perkotaan tapi juga menjadi pedagang keliling ke pelosokpelosok daerah di Papua. Dengan banyaknya pegawai negeri dan TNI yang dating ke Papua, jumlah penduduk non-Papua meningkat sangat tajam.
Meskipun program transmigrasi di Papua  menimbulkan kontroversi besar, namun persoalan ekonomi justru menjadi factor utama penarik perpindahan penduduk ke Papua. Bahkan jumlah total migrasi yang tidak disponspori oleh pemerintah sudah melampaui jumlah 560,000 hingga tahun  2000. Perasaan dikecualikan dalam ekonomi memperkuat permusuhan penduduk setempat terhadap para pendatang. Ketika kerusuhan sosial meletus di Papua, pasar yang didominasi oleh para pendatang seringkali menjadi sasaran, seperti yang terjadi di Abepura, diluar Jayapura tahun 1996; Entrop, Jayapura tahun 1999 dan 2000; dan Sentani di pantai utara tahun 2000. Seorang pendatang yang memiliki toko di Abepura mengatakan bahwa setelah terjadinya pengrusakan pasar tahun 1996 disitu, ia menyimpan sepertiga dari keuntungannya di Papua, dan mengirim yang duapertiga ke Sulawesi, karena ia yakin bahwa kalau Papua akhirnya berpisah dari Indonesia, ia dan pendatang yang lain akan diusir dari Papua. Seorang Papua Muslim mengatakan sebagian dari masalahnya yaitu bahwa para pendatang mempunyai sikap yang menunjukkan mereka dari kelompok mayoritas sehingga merasa tidak perlu menyesuaikan diri dengan warga setempat.  Mereka juga melihat bahwa mudah mendapat ijin dari pejabat non-Papua untuk membangun mesjid. Banyak Papua Kristen yang percaya bahwa bantuan pemerintah yang tidak proporsional masuk ke mesjid dan kegiatan-kegiatan Muslim lewat departemen agama dengan mengorbankan  Saat ini pendatang Muslim dari Bugis dan Makassar,  Sulawesi Selatan, mendominasi pasar-pasar di kota-kota besar dan kecil di Papua. Sektor perikanan yang sebelumnya dikuasai oleh warga asli Papua juga telah diambil alih oleh para pendatang dari Sulawesi Selatan dan Tenggara; begitu juga warung-warung makan dan kios-kios serba ada. Hampir semua petugas penjaga keamanan, buruh konstruksi, pedagang kaki lima dan supir taxi adalah bukan warga asli Papua. proyek-proyek Kristen, sehingga di tahun 2003, sebuah makalah yang ditulis oleh para pendukung otonomi mengenai bagaimana menerapkan undangundang otonomi khusus dengan lebih baik, menuntut bahwa bantuan pemerintah terhadap kegiatan-kegiatan agama harus sebanding dengan besarnya Kelompok penerima. Kalau Kristen khawatir dengan Islamisasi, beberapa Muslim di wilayah Islam tradisional khawatir Kristen mengungguli mereka. Di kecamatan Babo dekat Teluk Bintuni, daerah yang terkenal dengan proyek gas alami raksasanya yang dijalankan oleh perusahaan minyak multinasional BP, seorang pengamat menulis bahwa jumlah penduduk Muslim sudah menurun drastis, yang tadinya ada 80 keluarga Muslim di satu desa tahun 1970 an, di tahun 2003 hanya tinggal lima. Ia bilang ini terjadi karena godaan dunia, bertambah lanjut usianya seorang ulama penting, kegiatan misionaris Kristen yang agresif, dan kegagalan Muslim untuk mempertahankan diri dari kegiatan misionaris tersebut. Para kontraktor yang dibawa oleh BP termasuk sejumlah Muslim yang bersedia menyumbang bahanbahan bangunan untuk pembangunan mesjid dan sekolah-sekolah, catatnya, dan harapan bangkitnya Islam lagi di Papua mungkin terletak pada perusahaan.
Itu akhir tahun 2003, sebelum beberapa kelompok advokasi Muslim yang lebih konservatif mulai mengadopsi sebuah agenda anti-globalisasi. Tapi hal ini menjadi pengingat bahwa sebuah faktor bagi pertumbuhan migrasi Muslim selama ini adalah investasi perusahaan, dan meskipun hal ini dianggap sebagai sebuah keharusan bagi pembangunan propinsi, konsekwensi politik dan sosialnya juga harus diperhitungkan.  Faktor lain yang mempengaruhi migrasi adalah pemekaran Papua menjadi daerah-daerah yang lebih kecil. Pada tahun 1999, Papua memiliki satu propinsi dan sembilan kabupaten. Tahun 2008, dua propinsi dan 36 kabupaten.
Beberapa unit baru ini sebelumnya  kekurangan personil yang memenuhi syarat untuk menjalankan daerah-daerah baru ini, sehingga di Boven Digoel, Yahukimo, dan Tolikara (semuanya dibentuk tahun 2002), non-Papua menguasai 84 sampai 85 persen dari jumlah pegawai negeri.
Meskipun khawatir dengan migrasi, kepentingan elit lokal untuk menciptakan jabatan-jabatan tinggi yang baru dan akses ke sumber-sumber daya untuk diri mereka sendiri, atau mendapat kesempatan lebih besar untuk jaringan sosial mereka yang seringkali berbasis marga, memastikan bahwa pemisahan antara pendatang dan pribumi akan terus berlanjut. Patut untuk dikemukakan bahwa di Merauke, kota paling tenggara Papua, dekat perbatasan dengan Papua Nugini, dimana jumlah pendatang sudah melampaui penduduk asli dan jumlah penduduk Muslim sebesar 58 persen dari jumlah total penduduk Merauke, semacam kompromi politik berhasil dicapai. Bupati Merauke adalah Papua asli; wakilnya orang Jawa. Mereka dianggap salah satu tim eksekutif yang efektif di Papua, memberi lebih banyak perhatian kepada kesehatan dan pendidikan, daripada eksekutifeksekutif yang lain. Mereka juga berusaha keras untuk memperoleh sebuah propinsi baru, Papua Selatan, yang akan menambah kesempatan buat patronase. Bukan berarti Merauke bebas dari ketegangan antar agama, tapi dengan sudah lama dilewatinya ambang batas faktor demografi, masalah di sini dipecahkan dengan cara yang berbeda.
Bintuni; Teluk Wondama; Fakfak dan Kaimana. Sejumlah pemekaran lain sedang direncanakan. “Bagaimana Kesejahteraan Masyarakat di Daerah Pemekaran?”, Pada tahun 2001, ketika “Papuan Spring” sedang mencapai puncaknya, warga asli Papua menyerang Pesantren Hidayatullah di Merauke. Beberapa santri terluka dan sejumlah bangunan dirusak. Pesantren ini memiliki hubungan dekat dengan militer setempat, dengan guru-guru dari pesantren memimpin pengajian mingguan di markas Komando Distrik Militer (KODIM 707). Pesantren Hidayatullah didirikan tahun 1989 oleh seorang lulusan Pesantren Hidayatullah yang pertama di Gunung Tembak, Balikpapan, Kalimantan Timur, di desa  Kombe, kecamatan Kurik Merauke, sekitar 20km diluar kota. Sekitar tahun 1994, seorang donatur Muslim mewakafkan sebidang tanah di dalam kota, dan pesantren ini kemudian pindah ke kampus yang baru. Sekarang pesantren ini menjadi salah satu dari beberapa pesantren Hidayatullah di Papua.

VI. IMBAS KONFLIK MALUKU
Dampak konflik Maluku di Papua terhadap peneguhan identitas agama sangat besar, terutama karena waktunya bersamaan dengan dibukanya ruang politik untuk mengekspresikan pandangan pro-independen. Pendatang Muslim menjadi identik dengan proJakarta, kekuatan anti-kemerdekaan, dan penduduk Papua asli yang beragama Kristen identik dengan nasionalisme Papua. Kenyataan bahwa banyak Papua Muslim yang juga mendukung kemerdekaan dan merasa tertindas dibawah kekuasaan Indonesia seringkali tidak dihiraukan, tetapi memperkuat pentingnya potensi mereka sebagai mediator.

A. EUPHORIA PASKA SOEHARTO
Jatuhnya pemerintahan Soeharto pada bulan Mei 1998 segera memicu aksi-aksi demonstrasi di Papua yang menuntut pertanggunganjawaban atas pelanggaran HAM di masa lalu dan eksploitasi sumber daya dan penarikan TNI dari Papua. Saat itu menjadi awal dari apa yang kemudian dikenal sebagai “Papua Spring”.
Tuntutan untuk lepas dari Indonesia meningkat, dan dalam jangka waktu enam bulan, separuh dari seluruh kabupaten di Papua mengibarkan bendera Bintang Kejora, simbol resmi Organisasi Papua Merdeka (OPM). Tahun 2000, para pemimpin pro-independen membentuk Presidium Dewan Papua (PDP), dengan pemimpin adat Theys Eluay sebagai ketua PDP dan Thaha Muhammad al Hamid, seorang Muslim keturunan Yemen, sebagai sekretaris jendralnya. Mereka menyelenggarakan apa yang mereka sebut sebagai Kongres Papua Kedua dari tanggal 29 Mei hingga 4 Juni, yang dihadiri oleh ribuan peserta yang menuntut kemerdekaan. Usulan para pemimpin PDP termasuk sebuah “pilar” untuk para pendatang didalam stuktur pemerintahan untuk memperlihatkan komitmen mereka terhadap keanekaragaman di negara yang akan datang, tapi hal ini tidak pernah terpenuhi, mungkin karena tuntutan baru untuk kemerdekaan dibarengi oleh sebuah sentiment yang menguat terhadap pendatang.
Keadaannya seperti perasaan sakit hati yang sudah lama terpendam ataskehilangan tanah dan kekuasaan ekonomi tiba-tiba mendapat pelepasan. Beberapa menuntut pengusiran; yang lain mendatangi para pendatang dan menuntut rumah yang ditempati atau tanah mereka. Salah seorang berkata: Kita tidak bisa menolak tuntutan mereka; kebanyakan dari kita bilang “ya, ya”. Tapi bukan berarti kita menerima. Kita orang Bugis dan Makasar sepakat bahwa sebelum meninggalkan Papua, kita akan bakar rumah kita. Enak saja mereka meminta rumah dan tanah yang kita beli dengan keringat kita sendiri. Kalau kita diusir, Papua bisa hangus.
Sentimen yang sama juga dirasakan oleh para pendatang  di kota-kota yang lebih besar seperti Jayapura, Timika, Sorong dan Manokwari. Naiknya suhu politik membuat para pendatang khawatir. Beberapa bergabung dengan kelompok-kelompok anti-separatis yang dibekingi oleh TNI, sehingga membuat hubungan dengan warga asli Papua semakin renggang. Pada tanggal 8 Juli 1998 di Sorong misalnya, setelah sejumlah aksi penyerangan terhadap para pendatang di seluruh Papua oleh Satgas Papua (milisi pro-independen), para pendatang yang menyebut diri mereka sebagai Kelompok Pro Persatuan dan Kesatuan Bangsa Kerukunan Keluarga Sulawesi Selatan melakukan sebuah demonstrasi anti-separatis yang provokatif, dengan keamanan disediakan oleh Batalion Infantri 733 dari TNI. Mereka membawa parang, clurit, pipa besi dan senjata lain, dan berteriak, ”Kutuk perusuh!”, “OPM pencuri dan perampok!” dan slogan-slogan yang jauh lebih asar, dan rasis terhadap warga Papua.
Bergabungnya para pendatang dengan gerakan anti-separatis di beberapa daerah hanya memperkeruh situasi. Sikap permusuhan warga Papua asli meningkat, karena mereka menuduh para pendatang tidak saja mencuri tanah mereka dan menguasai ekonomi mereka tapi juga menghalangi lepasnya mereka dari Indonesia. Ketegangan itu meledak di Wamena bulan Oktober 2000. Perkelahian antara polisi dan gerakan proindependen berakhir dengan sebuah serangan oleh ribuan penduduk asli Papua terhadap para pendatang yang mengakibatkan 37 orang tewas, 24 diantaranya adalah pendatang; 89 luka-luka; dan sekitar 13,500 orang ditangkap di duapuluh tempat yang berbeda.
Ribuan pendatang kehilangan rumah dan barangbarang milik mereka dan pergi meninggalkan Wamena, tetapi insiden ini berimbas hingga keluar pegunungan tengah.
Sementara beberapa keluarga di tempat lain mengepak barang-barang mereka dan pergi diamdiam, yang lain memutuskan untuk tinggal dan mempertahankan diri dengan senjata tajam atau senjata rakitan dan beberapa bergabung dengan gerakan antiseparatis.
Agama mempengaruhi pilihan yang diambil oleh kelompok yang terakhir ini. Banyak pendatang Muslim yang melihat pisah dari Indonesia sebagai aspirasi warga Papua Kristen, terlebih karena atribut Kristen seperti salib, kutipan Injil dan lagu-lagu rohani sering dipakai dalam demonstrasi pro-independen. Muslim semakin yakin bahwa jika Papua memperoleh kemerdekaannya, maka mereka akan menderita.
Persepsi bahwa gerakan pro-independen adalah gerakan Kristen tidak hanya kuat diantara para pendatang tapi juga diantara Papua Muslim. Di Kaimana dan Fakfak dimana Papua Muslim adalah mayoritas, sebagian besar menolak berpisah dari Indonesia, dan melihat Kristen sebagai promoter separatisme. Memang, Fakfak menjadi markas milisi pro-pemerintah, yaitu Satgas Merah Putih, yang diketuai oleh Ismail Bauw, seorang aparat pemerintah.  Sebagian besar, tapi tidak semua, anggotanya Muslim. Salah satunya Ismail Yeni, seorang pemimpin marga Yapen Waropen. Pada tahun 1970an, ABRI menarik Ismail sebagai “relawan sipil” dalam program ABRI Masuk Desa. Progam ini dimaksudkan sebagai upaya mengambil hati (hearts-and-minds program) untuk membantu ekonomi setempat tapi kemudian menjadi ungkapan untuk perluasan ABRI ke daerah-daerah pedesaan. Ismail menjadi pegawai negeri yang loyal di kantor Pekerjaan Umum (PU) setempat, dan kemudian, walaupun masih memeluk agama Kristen, dia menjadi salah seorang tokoh di Satgas Merah Putih. Tetapi dia punya empat istri dan 35 anak, dan gereja Protestan hanya mengakui anak-anak dari istri pertamanya. Ismail memutuskan untuk pindah agama, tapi Muslim setempat menolak untuk membantunya  khawatir akan terjadi kerusuhan agama. Ia terbang ke Jakarta, dimana kepindahannya ke agama Islam di tahun 2002 di sebuah mesjid besar di Jakarta disaksikan oleh bekas KASAD Jendral Hartono. Bentrokan antara anggota Satgas Merah Putih dan para pendukung Kristen pro-independen setempat di Wayati, Fakfak, bulan Maret 2000 memperdalam kerenggangan agama-politik, tapi konflik Maluku lah yang membawa dampak yang tidak hilang-hilang.

B. KONFLIK MALUKU DATANG KE PAPUA
Pada bulan Juli 2000, ELSHAM, sebuah organisasi HAM yang berbasis di Jayapura, melaporkan bahwa 100 pemuda pengungsi dari Ceram, Maluku, yang melarikan diri dari pertempuran antar agama disitu sedang diberi pelatihan militer di Sorong, dan memakai beberapa puluh senjata dan bom Molotov. Ada pertanyaan tentang kredibilitas informasi ini, tetapi tidak ada keraguan bahwa banyak warga Papua percaya konflik Maluku menyebar ke Papua. Namun para pemimpin gerakan pro-independen sangat memahami bahwa kalau konflik antar agama meletus di Papua, hal itu bisa merusak perjuangan mereka, dan memerintahkan Satgas Papua untuk menolak setiap pendatang dari Maluku. Korban pertama dari kebijakan ini yaitu 3,000 orang pengungsi Kristen dari Maluku, yang dibawa oleh kapal penumpang, Dobonsolo, ke Papua tanggal 27 Juli 2000.  Awalnya Satgas Papua dan pemerintah setempat mencegah mereka turun dari kapal. Untuk beberapa hari nasib mereka tidak pasti; akhirnya setelah negosiasi yang alot, mereka dibolehkan tinggal dua atau tiga bulan dibawah perlindungan gereja.
Kasus Dobonsolo tidak menghentikan desas-desus bahwa Papua berada di ambang konflik agama, terutama setelah isu kedatangan Laskar Jihad ke Papua. Laskar Jihad adalah milisi yang sebagian besar anggotanya berasal dari Jawa dan diback-up oleh TNI. Mereka diketuai oleh Ja’afar Umar Thalib (berbasis di Yogyakarta) yang telah memimpin penyerangan terhadap masyarakat Kristen di Maluku. Bulan September 2000 Amnesty International, mengutip organisasi HAM lokal, melaporkan bahwa sekitar 300 anggota Laskar Jihad bersenjata telah tiba di Sorong.

Beberapa laporan menyebutkan pasukannya ada yang di Manokwari, Biak, Nabire, Jayapura dan Arso, selain di Sorong, dengan jumlah total mencapai hingga ribuan.

Beberapa dari angka yang lebih dibesar-besarkan tampaknya berdasarkan dilihatnya orang-orang yang memakai turban dan pakaian panjang putih, cara berpakaian tidak hanya milik Laskar Jihad tapi juga Jemaah Tabligh, kelompok misionaris yang sudah lama aktif di Papua, terutama di daerah pantai barat.
Ja’far Umar Thalib mengakui bahwa beberapa orangnya datang ke Papua akhir tahun 2000 – tapi dia tidak bilang berapa orang – sebagai tim peninjau untuk mencari tahu apa yang dibutuhkan oleh Muslim disitu, dan baru setelah selesai dengan survey mereka, yaitu bulan Oktober 2001, ia mengirim sekitar 200 orang. Ia percaya ada konspirasi Kristen di wilayah timur Indonesia, termasuk Maluku dan Papua, untuk memisahkan diri dari Indonesia dan membentuk sebuah negara Kristen. Ia mengatakan Laskar Jihad melihat misi mereka adalah menghancurkan gerakan separatis Papua: Gerakan Papua Merdeka Di Irian Jaya juga memukul genderang Perang Salib dengan cara mulai menteror umat Islam disana. Inipun harus dijawab dengan menerjunkan Mujahidin Ahlussunnah wal Jama’ah disana guna mematahkan semua potensi pemberontakan Kristen Papua. Mujahidin Ahlussunnah wal Jama’ah terpaksa memfungsikan dirinya sebagai pengawal Negara Kesatuan Republik Indonesia, karena institusi Hamkam sedang diborgol oleh berbagai issue pelanggaran HAM atau diopinikan sebagai musuh demokrasi.
Pasukan Laskar Jihad diterima dengan baik oleh beberapa orang di masyarakat pendatang Muslim, tapi tidak oleh Muslim Papua; H. Zubeir Hussain, ketua MUI Papua, dengan tegas menolak kehadiran milisi Muslim apapun, karena khawatir hal ini hanya akan menyulut konflik agama.
Pada umumnya selama di Papua, anggota Laskar Jihad lebih fokus ke dakwah daripada ke pelatihan militer, dan sebagian besar, tapi tidak semua, meninggalkan Papua setelah Laskar Jihad dibubarkan bulan Oktober 2002.
Tapi kekhawatiran mengenai kegiatannya tidak hilang. Bulan Februari 2003, seorang pengusaha alafi, Haji Muhamad Koya, kepala perusahaan kurir PT Bina Tirta, ditangkap di Sorong, setelah polisi menemukan di gudang kantornya sebuah tempat penyimpanan senjata kecil berisi bom rakitan, bahanbahan peledak dan anak panah dengan ujungnya didesain untuk dicelupkan kedalam bensin. Pemimpin gereja, yang percaya bahwa ia menyimpan itu semua Untuk Laskar Jihad, mengirim surat kekhawatiran kepada polisi. Meskipun dekat dengan Ja’far Umar Thalib, menurutnya ia menyimpan senjata-senjata itu untuk melindungi diri. Ia dijatuhi hukuman atas kepemilikan senjata, tapi hubungannya dengan Laskar Jihad tidak pernah terbukti.
Dengan semakin berkurangnya konflik di Maluku dan Poso, dan perkembangan lain menjadi lebih penting di Papua, ketegangan antar agama juga berkurang, tapi kecurigaan tetap ada. Konflik Maluku hingga hari ini terus dijadikan pengingat hal yang tidak boleh terjadi di Papua di acara-acara besar di kedua komunitas agama.

 VII. KELOMPOK ISLAM DAN KRISTEN BARU
Pengaruh agama baru di Papua telah membawa sebuah doktrin yang tidak toleran yang memperumit hubungan antar agama. Di pihak Muslim, mengalir masuk kelompok-kelompok Islamis, termasuk Hizb ut-Tahrir dan kelompok-kelompok salafi, beberapa, seperti Wahdah Islamiyah yang berbasis di Makassar, memiliki kaitan dengan kelompok-kelompok militan. Di pihakKristen  kelompok pantekosta dan karismatik telah menggalang kekuatan. Masing-masing yakin dengan kebenaran masing-masing yang tak tergoncangkan dan cenderung untuk melihat agama lain sebagai musuh.

A. HIZB UT-TAHRIR
Hizb ut-Tahrir adalah salah satu contoh. Sebuah organisasi internasional yang didirikan pertama kali di Yerusalem tahun 1953, ia mulai beroperasi secara sembunyi-sembunyi di Indonesia pada awal tahun 1980an; baru setelah Soeharto lengser Hizb ut-Tahrir keluar menggunakan namanya. Cabang di Indonesia, Hizb ut-Tahrir Indonesia (HTI), dibawa ke Papua awal tahun 2000an oleh para aktivis dari Jawa dan Sulawesi yang datang untuk bekerja di Papua dan tumbuh dengan cepat. Salah satu indikasi yaitu kekuatan kontingen Papua – sekitar 300 orang – di Konferensi Kalifah Internasional HTI bulan Agustus 2007 di stadion utama di Jakarta. Di Jayapura, anggota HTI membentuk sayap mahasiswa, Gerakan  Mahasiswa Pembebasan.  Anggota HTI berperan aktif dalam diskusi-diskusi mengenai Papua, meskipun mereka cenderung menganut teori konspirasi. Contohnya, menurut pendapat mereka separatisme disebabkan oleh dua faktor. Pertama, Amerika dan sekutu-sekutunya seperti Australia, Singapura dan Filipina, ingin memperlemah dan memecah belah Indonesia; salah satu cara untuk melakukan hal itu adalah dengan mendorong separatisme Papua. Menurut teori ini, Amerika takut kalau Indonesia dan Malaysia bersama-sama akan menjadi sebuah kekuatan Islam baru, yang anti Amerika, di Asia Tenggara, jadi langkah pencegahan perlu diambil. Kunjungan Eni Faleomavaega (anggota kongres dari Amerika Samoa) dan Hina Jilani (Perwakilan Khusus PBB pembela HAM) ke Papua tahun 2007 dilihat sebagai bagian dari strategi AS untuk merebut Papua dari Indonesia.
Penyebab separatisme Papua yang lain, menurut HTI, adalah tidak meratanya distribusi sumber daya ekonomi, sehingga meskipun Papua memiliki kekayaan yang luarbiasa, rakyatnya tetap miskin. Tambang tembaga raksasa Freeport adalah sebuah contoh bagaimana kapitalisme mengeksploitasi sumberdaya lokal dengan sepuas-puasnya, praktek-praktekekonomi Islam, secara kontras, akan membawa keadilan bagi semua.  Akhir Mei 2008, cabang HTI Papua memimpin demonstrasi di Jayapura menentang kenaikan harga BBM, dan mengatakan sumber daya alam seperti minyak dan gas adalah milik rakyat, tapi dengan naiknya harga BBM, pemerintah membuat rakyat menderita. Ajaran HTI tidak hanya berhasil membawa pengaruh  diantara para pendatang tapi juga diantara warga Papua asli, atas jasa Mohamed Zaaf Fadzlan Garamatan. Seorang warga asli Papua yang lahir di Patipi, Fakfak, tahun 1969, ia menjadi pelopor HTI di antara masyarakat Muslim asli Papua. Setelah menyelesaikan sekolah di Fakfak, ia berangkat ke Universitas Hasanudin di Makassar untuk belajar ekonomi dan aktif di berbagai organisasi mahasiswa Muslim. Setelah lulus, ia membentuk sebuah yayasan Islam di Pondok Hijau, Bekasi, diluar Jakarta, yang ia sebut Al Fatih Kaafah Nusantara (AFKN), untuk mendukung dakwah di Papua dan memberi pendidikan gratis bagi ratusan murid Papua, sebagian besar di pesantrenpesantren di Jawa, Sumatra dan Makassar. AFKN juga memberi beasiswa universitas kepada Muslim Papua; mereka mengklaim bahwa 29 dari penerima beasiswa telah mendapat gelar Sarjana.  Mereka juga “Strategi Imperialisme Amerika Memecahbelah Indonesia:
Waspadalah, Wahai Kaum Muslim!”, pernyataan Hizbut Tahrir Indonesia, 5 Juli 2007, di www.hizbut-tahrir.or.id/ 2007/07/13/strategi-imperialisme-amerika-memecahbelahindonesia-waspadalah-wahai-kaum-muslim/.
“Mewaspadai Gerakan Separatisme”, Pernyataan HizbutTahrir Indonesia, 12 Juli 2007. “Kecewa Harga BBM Maik, Gema Datangi DPRD”, Tiga pesantren di Jakarta dengan murid dari AFKN adalah Pesantren Assafi’iyah di Jatiwaringin, serta Pesantren Maslakul Irafan dan Tasfiyah di Jatibening, Pondok Gede. Fadzlan sendiri mengklaim telah membantu menyekolahkan lebih dari 1,400 anak-anak Papua, tapi yang lain mengatakan jumlahnya jauh lebih sedikit. Irian, Bumi Allah yang semakin terang oleh cahaya tauhid, wakaf-alquran.org, 12 November 2007. membantu warga Papua naik haji: Fadzlan mengatakan bahwa tahun 2007, ia mengirim tujuh orang pemimpin warga ke Mekkah.
Ia pun punya hubungan kuat dengan organisasi Islam  di Jakarta. Selain HTI, ia juga dekat dengan Forum Umat Islam (FUI) yang diketuai oleh Mashadi, mantan politikus PKS yang berada di garis depan kampanye untuk menegakkan Syariah Islam dan melarang “aliran sesat”. Kalau mengenai kontak politiknya, ia dekat dengan Mochtar Ngabalin, anggota Partai Bulan Bintang dari Papua; ia sendiri berkeinginan untuk menjadi anggota DPR di tahun 2009.
Dalam sebuah wawancara dengan koran tabloid milik Hizb ut-Tahrir tahun 2007, Fadzlan mengklaim bahwa Muslim Papua lah yang memimpin perjuangan melawan penjajah di Papua dan bahwa pusat gerakan anti penjajah Belanda di Kaimana dan Fakfak bekerja sama dengan pemerintah Indonesia untuk merebut kembali Irian Barat ke Republik Indonesia. Ia mengatakan Kristen berusaha bekerja sama dengan OPM membentuk sebuah negara Kristen, sementara Muslim bekerja sama untuk memperdalam keyakinan mereka dan rasa nasionalisme mereka,”untuk memperlihatkan bahwa Muslim Papua berpikir seperti orang Indonesia”. Ia juga mengklaim bahwa Muslim sekarang 65 persen dari jumlah penduduk Papua, termasuk pendatang (muhajirin) dan warga asli (yang ia sebut anshar), dan bahwa Kristen mengklaim sebagai mayoritas hanya karena memasukkan pemeluk animisme ke dalam kelompok statistik mereka.
Enam dari tujuh orang itu adalah Ust. Abdul Kahar (Jeri Pele) dari marga Araboda, Wamena; Abdul Karim Ogar; Abdul Qadir Qurita, pemimpin marga Irarutu, Kaimana; Husein Sayyor; Mansur Garamatan; dan Abdul Salam Peawei. AFKN memperoleh dana untuk kegiatan dakwahnya dari banyak organisasi Islam di Jakarta. Sumbangan terbesar sejauh ini berasal dari Baitul Maal Muamalat (BMM), divisi sosial dari bank Islami terbesar di Indonesia. Bersama dengan BMM, Fadzlan memulai bisnis penjualan produkproduk dari Papua, seperti ika asin dan manisan, ke supermarket-supermarket di Jakarta seperti Carrefour, dengan label AFKN-BBM. Ia percaya mesjid seharusnya berfungsi sebagai pusat usaha untuk ummat.

B. SALAFI DI PAPUA
Rakyat Papua pertama kali mengetahui tentang salafisme, atau neo-wahabi lewat Ja’far Umar Thalib dan Laskar Jihad. Manhaj yang sangat puritan dalam mempraktekkan Islam tumbuh dengan pesat di Indonesia tahun 1990an, atas hasil kembalinya para lulusan dari universitas-universitas di Arab Saudi dan Yemen.
Kekhawatiran atas peran dan reputasi Laskar Jihad tahun 2002 menyebabkan perpecahan di dalam gerakan ini, dan akhirnya pembubaran Laskar Jihad. Akibatnya sebagian besar anggota mereka kembali ke Jawa; dan hampir seluruh dari yang tinggal di Papua bergabung dengan faksi salafi saingan, yang dipimpin oleh Umar Sewed, seorang ustadz yang berbasis di Cirebon. Masyarakat salafi berkembang, tapi tidak secepat  HTI. Para pendakwahnya tidak terlalu berhasil diantara penduduk asli Papua Muslim; sebagian besar anggotanya pendatang. Mereka mendirikan yayasan Islam di kota-kota untuk mendukung kegiatan dakwah. Di Sorong, basis dari bekas Laskar Jihad ada sebuah sekolah yang didirikan oleh Yayasan Ta’dhimus Sunnah; beberapa mesjid disana mengadakan pengajian salafi.
 Di Jayapura, masyarakatnya belum berhasil mendirikan yayasan atau sekolah tapi punya forum publik berkala dan kelompok-kelompok pengajian kecil di rumah Abu Zahwaa (Ustadz salafi terkemuka disana), dan di salah satu mesjid utama di Jayapura. Jumlah ustadz salafi sangat sedikit disana sehingga salafi Jayapura sering menghadirkan ustadz dari Jawa lewat telepon untuk diskusi-diskusi, termasuk Umar Sewed dari Cirebon, Abu Hamzal Yusuf al-Atsary dari Bandung, dan Usama bin Faishol Mahri dari Malang. Tidak seperti HTI, para salafi tidak pernah mengangkat Papua sebagai masalah politik di diskusi-diskusi mereka. Mereka fokus pada prinsip-prinsip agama dan memerangi pemujaan terhadap berhala dan kesesatan. Meskipun begitu, sebagian besar dari mereka percaya bahwa Papua Kristen ingin berpisah dari Indonesia untuk membentuk negara Arafuru Kristen.
Namun rekan-rekannya tidak tertarik lagi dengan jihad. “Tidak ada lagi jihad”, katanya datar,” atau paling tidak jihad kita tidak lagi lewat perang tapi lewat penyebaran pengetahuan”. Mereka tetap sangat berpegang teguh pada prinsip al-wala wal bara (cinta dan benci di dalam Islam), atau dalam istilahnya, mencintai Islam dan membenci kafir.

C. JEMAAH TABLIGH
Organisasi pendakwah Muslim, Jemaah Tabligh patut untuk dikemukakan disini, bukan sebagai kelompok garis keras, karena Jemaah Tabligh memang bukan garis keras, tapi karena banyak warga Papua yang tidak bisa membedakan tablighi, demikian anggotanya disebut, dengan Laskar Jihad karena cara berpakaian mereka yang sama: wanitanya kerapkali memakai cadar, dan laki-lakinya sering berjenggot dan mengenakan baju panjang putih dan turban. Sebuah gerakan internasional yang non-politis, dan tidak menganut kekerasan yang didirikan tahun 1920an di Lucknow, India, dan masuk ke Indonesia tahun 1952, Jemaah Tabligh bertujuan untuk memperbaiki karakter moral kaum Muslim dan mengajak Muslim mempraktekkan agama Islam dengan lebih baik.
Ia toleran dengan agama lain, kegiatannya hanya ditujukan kepada umat Islam dan tidak tertarik menarik umat dari agama lain masuk Islam. Seperti agama Mormon, anggotanya wajib melakukan tugas dakwah (menurut istilah mereka: keluar); tablighi wajib keluar (melakukan tugas dakwah ke lapangan) selama 40 hari setiap tahun, biasanya satu kelompok terdiri dari lima hingga limabelas anggota.
Banyak orang Indonesia yang pergi ke Malaysia, Bangladesh atau India, dan banyak tablighi dari Asia Selatan yang datang ke Indonesia, terutama ke wilayah timur Indonesia. Bulan Januari 2002, media Indonesia memberitakan penangkapan enam orang dari Afghanistan yang mungkin terkait dengan al-Qaeda di Sorong;
Jemaah Tabligh mulai berkembang di Indonesia pada tahun 1970an atas upaya seorang ustadz Indonesia dan bekas perwira Angkatan Darat, Muhammad Zulfakar. Sekarang mereka memiliki dua markas utama, satu di daerah Kebun
Jeruk di Jakarta, yang kedua di Pesantren al-Fatah di Temboro, Magetan, Jawa Timur. ternyata mereka adalah tablighi dari Pakistan yang sedang menjalankan tugas dakwah mereka.
Tablighi, seperti salafi, percaya bahwa Rasul memberi panutan bagi Muslim untuk diikuti, dan mereka berusaha mencontoh segala sesuatu yang dilakukan oleh Nabi Muhammad, tanpa menyesuaikan waktu atau tempat. Contohnya, mereka menggosok gigi bukan dengan sikat gigi plastik tapi dengan batang kayu kecil yang disebut siwak, sama dengan yang katanya digunakan oleh Rasul jaman dulu. Karena ada hadits yang mengatakan bahwa Rasul makan dengan menggunakan tiga jari, tablighi juga mengikuti, walaupun agak lebih sulit disini karena budaya makan nasi dibandingkan dengan budaya makan roti di Arab pada abad ketujuh. Mereka menolak berdebat mengenai Fikih, yang hanya akan memecah belah ummat, dan mereka menolak diskusi yang topiknya dianggap kontroversial, seperti politik atau jihad. Jemaah Tabligh tiba di Papua tahun 1988, setelah sekelompok tablighi yang mengadakan pertemuan di Jakarta memutuskan untuk mengirim sepuluh orang anggotanya ke Jayapura selama tiga bulan.
Mereka mendirikan sebuah basis di sebuah mesjid di wilayah Hamadi dan memberi nama “Serambi Madinah”. Sejak saat itu tempat ini menjadi markas mereka di Papua. Dua basis mereka yang lain yaitu di Sorong dan Kampung Makassar di Manokwari. Seorang anggota Jemaah Tabligh memperkirakan ada sekitar 1,000 anggota mereka di Jayapura dan Sorong, dan sekitar 500 di Manokwari. Dan jumlah yang lebih kecil di Kaimana, Fakfak, Nabire, Merauke dan Wamena. Sebagian besar tablighi di Papua adalah pendatang, tapi sejumlah penduduk asli Papua Muslim juga ikut bergabung, terutama di sekitar Kaimana dan Fakfak.Tidak ada diskusi mengenai politik Papua di pertemuan-pertemuan tablighi; anggotanya percaya hal itu hanya akan mengganggu misi mereka. Jemaah Tabligh mengadakan pertemuan secara terbuka dan siapa saja bisa ikut, tetapi masih banyak orang yang salah paham mengenai mereka dan tidak bisa membedakan mereka dengan kelompok-kelompok Islam yang lebih militan. “Keresahan Warga Kristen di Papua – Papua Ambon III?”, 2 April 2002, at www.geocities.com/kariu67/jk050402.htm. Pertemuan tersebut dipimpin oleh seorang tablighi
bernama Dr A.A. Noor di Rumah Sakit Paru-Paru, dekat
Tanjung Priok, Jakarta.


D. PANTEKOSTA DAN KHARISMATIK
Papua juga menyaksikan datangnya gereja-gereja kelompok pantekosta dan karismatik, yang disebut juga sebagai pantekosta baru (neo-pantekosta), belakangan ini. Gereja-gereja dan kelompok ini dikenal kontroversial, bukan saja karena mereka mengklaim menarik Muslim pindah ke agama mereka, sehingga membuat mereka berselisih dengan masyarakat Muslim, tapi juga karena kadang-kadang mereka mendapat sokongan dari pemerintah atau militer, sehingga menjauhkan mereka dari kelompok-kelompok gereja setempat.
 Aktif di beberapa kota di Papua, dalam hal doktrin dan praktek agama, gerakan karismatik dan pantekosta hampir mirip, dan mereka mempraktekkan “sebuah kualitas cara ibadah ekspresif yang dinamis dan secara fisik demonstratif”.
Dalam hal bentuk organisasi, mereka berbeda. Gereja-gereja punya lokasi dan jemaat yang tetap, sementara karismatik cenderung untuk bertemu dalam sel-sel atau kelompok-kelompok sembahyang yang berpindahpindah dari satu tempat ke tempat lain; contohnya Yayasan Filadelfia dan Full Gospel Businessman’s Fellowship yang berbasis di California.
Sel-sel tersebut dipakai untuk merekrut anggota baru, seperti halnya kelompok-kelompok Muslim radikal bergantung pada kelompok-kelompok pengajian kecil untuk mengidentifikasi anggota yang mungkin bisa direkrut. Ketika mencapai jumlah anggota yang cukup, mereka bisa mendirikan sebuah gereja. Sebagian besar karismatik menganggap diri mereka bersifat antar-denominasi, jadi mereka ingin organisasi yang lebih formil.
Karismatik menekankan pada Roh Kudus dan penyembuhan Ilahi. Mereka percaya Roh Kudus memasuki orang-orang setelah mereka dibaptis dan memberi karunia berbahasa lidah (speaking in tongues), dimana seseorang tiba-tiba mengeluarkan kata-kata yang asing atau bahasa yang belum pernah dipelajari.
Namun beberapa warga Papua pindah ke kelompok baru ini untuk melarikan diri dari aparat, dan sebagai kesempatan untuk memiliki hubungan tanpa perantara dengan Tuhan. Farhadian mengemukakan bahwa meskipun semua penganut pantekosta adalah karismatik, tidak semua penganut karismatik adalah pantekosta; mereka mungkin bagian dari jemaat lain.
Sebuah contoh kejadian yang sering dikutip yaitu kejadian  Agnes N. Oznan, yang setelah dibaptis di AS katanya tiba-tiba langsung bisa berbahasa China dengan lancar, sementara cahaya, yang dianggap sebagai bukti kehadiran Roh Kudus, terlihat di sekitar wajah dan kepalanya. Karunia roh kudus juga dipercaya menyebabkan mukjizat-mukjizat, seperti membuat yang buta jadi bisa melihat, yang lumpuh bisa berjalan dan yang tuli bisa mendengar. Mereka juga mengajarkan “teologi sukses”, yang menghubungkan keyakinan dengan kekayaan dan kesuksesan. Orang yang beriman adalah orang yang kaya; kemiskinan, penyakit atau penderitaan adalah tanda kurang beriman. Seperti yang digambarkan oleh seorang pendeta,” kalau orang yang berdosa punya mobil Toyota, maka yang saleh pasti akan mendapat mobil BMW”.
Salah satu penjelasan mengapa doktrin ini populer di Papua adalah karena doktrin ini sangat bertautan dengan agama Melanesia orang-orang Papua asli. Penginjilan yang agresif dari kedua kelompok tersebut telah menimbulkan perasaan tidak senang di kalangan denominasi Protestan mainstream, yang anggotanya banyak yang pindah ke gerakan ini. Juga ada tuduhantuduhan bahwa kelompok-kelompok evangelis didorong oleh motivasi ekonomi. Mereka berkhotbah bahwa setiap anggota harus berzakat, dengan memberikan sepersepuluh dari penghasilan mereka kepada gereja, jadi lebih banyak anggota berarti lebih banyak pendapatan bagi para pengkhotbah. Kelompok ini juga menujukan dakwah mereka kepada  non-Kristen, sehingga menimbulkan kemarahan diantara pemeluk agama lain, terutama ketika ada kesan bahwa boleh menggunakan cara apapun untuk menarik pemeluk agama lain ke agama mereka. Dalam sebuah kasus yang banyak diberitakan di tahun 2003, dua pendeta gerakan karismatik, Muhammad Filemon, yang dulunya Muslim, dan Fachli Bachriudin, menyebarkan VCD-VCD berisi khotbah-khotbah mereka. Filemon mengklaim bahwa ia telah membaptis salah seorang da’i terkenal di Indonesia, Zainuddin MZ, sementara Fachli mengaku pernah membaptis 68 kiai dan 400 lebih anggota Laskar Jihad di Sukabumi, Jawa Barat. Klaim tersebut menimbulkan badai reaksi, terutama setelah sebuah investigasi oleh majalah Kepercayaan penduduk asli kadang digambarkan sebagai “pemujaan barang”, yang menghubungkan kedatangan orang asing dengan harapan untuk mendapat akses ke barang-barang dan keselamatan spiritual.
Gatra memperlihatkan bahwa pengakuan mereka tersebut tidak benar. Sejak akhir tahun 1980an – lama sesudahnya di  tempat-tempat seperti Kaimana – kelompok ini mengadakan Kebaktian-kebaktian Kebangunan Rohani (KKR) di Papua. Gereja Bethel Indonesia (GBI) dan Gereja Bethani adalah dua pengorganisir KKR yang paling aktif. Pada bulan April 2008, GBI ROCK (singkatan dari Representatives of Christ Kingdom/Utusan Kerajaan Kristus) mengadakan sebuah KKR di Sorong, menghadirkan pendeta Timotius Arifin, seorang “teologis sukses” dari Surabaya.
Tokoh Gereja Bethel lain yang aktif mengadakan KKR di Jayapura dan yang paling akhir di bulan Februari 2008 di Sorong, adalah pendeta Kirenius Bole dari Yayasan Filadelfia Indonesia (YFI) yang berbasis di Jakarta. Bole adalah seorang pendeta dari Jayapura yang juga sekretaris YFI. Pada bulan Februari 2007, bekerja sama dengan Pondok Daud (kelompok yang menurut seorang cendekiawan Protestan digambarkan sebagai “karismatik ekstrim”), ia mengadakan Kebaktian Pujian dan Penyembuhan Ilahi di lapangan Papua Trade Centre di Entrop, Jayapura. Ribuan orang berbondong-bondong dating untuk mendengar tim suami istri pendeta Jacob B.Sumbayak dan pendeta Susan Sumbayak, pendiri yayasan Pondok Daud. Kelompok ini menjadi topik berita utama di tahun 2005 di sebuah majalah mingguan terkemuka yang membahas apa yang mereka sebut sebagai praktek-praktek pemujaan.
Kelompok karismatik lain yang pengaruhnya semakin bertambah di Papua adalah Full Gospel BusinessMen’s Fellowship International. Berbasis di Irvine, California, mereka mengklaim memiliki 5,000 cabang di 160 negara dan lebih dari satu juta anggota. Presiden kelompok ini untuk seluruh Indonesia adalah H.B.L.
Mantiri, pensiunan jendral angkatan darat dan bekas duta besar Indonesia untuk Singapura; cabang di Papua diketuai oleh Julius T. Subay. Pada bulan Mei 2007, kelompok ini menghadirkan seorang evangelis Amerika, John Hartman, dan sebuah tim dari Television Crusade with Gospel Overseas Television Network ke Papua untuk menyelenggarakan sebuah KKR di Jayapura. Seperti di acara Pondok Daud tiga bulan yang lalu, diperkirakan sekitar 20,000 orang memenuhi lapangan Papua Trade Centre untuk mendengarkan khotbah mereka.
Mungkin evangelis dari luar negri yang paling terkenal di Papua adalah pendeta Peter Youngren dari Kanada, yang sudah bolak-balik ke Papua selama tujuh tahun, mengadakan KKR di Jayapura, Manokwari dan Merauke. Pertumbuhan kelompok-kelompok karismatik ini tidak bisa dipisahkan dari dukungan kuat yang mereka peroleh dari beberapa pejabat lokal dan aparat keamanan. Satu ciri dari kelompok karismatik yaitu bahwa mereka condong ke pusat kekuasaan politik dan ekonomi. Oleh karena itu, tidak seperti kelompok-kelompok Katolik atau Protestan mainstream, mereka diam mengenai masalah politik Papua atau aktif mendukung pemerintah, yang mereka khotbahkan sebagai wakil Tuhan di bumi; jadi kalau mengkritik pemerintah berarti mengkritik Tuhan. Pada tahun 2001, hampir seluruh biaya penyelenggaraan sebuah KKR besar berjudul Festival Papua 2001, dengan dihadiri pendeta Youngren, ditanggung oleh pemerintah daerah, termasuk biaya perjalanan seluruh peserta, menurut Dr. Benny Giay, seorang pastor Protestan mainstream terkenal.
 Ia mengatakan aparat keamanan menyiapkan 40 truk untuk membawa para peserta dari seluruh Papua. Festival ini berlangsung hanya beberapa hari setelah TNI membunuh seorang pemimpin gerakan pro-independen dan pemimpin adat, Theys Eluay, yang saat itu ketua Dewan Presidium Papua. Giay mengatakan Youngren mencoba meredakan kemarahan rakyat Papua atas pembunuhan itu dengan mengklaim bahwa kematian Theys adalah rencana Tuhan, bukan pelanggaran HAM oleh negara Indonesia. Kalau Youngren benar-benar bisa memperlihatkan mukjizat dari Tuhan, kata Giay, harusnya dia memanggil suara Theys Eluay dari kubur untuk menjelaskan ke para peserta bagaimana dia dibunuh dan oleh siapa.
Kecenderungan acara-acara KKR yang memamerkan orang-orang yang baru pindah agama juga menyebabkan perselisihan dengan umat Muslim. Orang-orang ini bersaksi terhadap agama baru mereka dihadapan massa, di tempat-tempat publik, seringkali dengan menggunakan pengeras suara, dengan cara yang sangat menyinggung perasaan pemeluk agama yang ditinggalkan mereka. Contohnya di bulan Februari 2008 di Sorong, seorang perempuan dari Madura, Siti Muslika, tampil di sebuah KKR dan bersaksi bagaimana sebelumnya ia adalah Muslim dan sekarang bahagia karena telah menemukan Kristus. “Pindah agama seharusnya adalah urusan pribadi, bukan sesuatu yang dilakukan di depan umum untuk menjelek-jelekkan Islam. Itu buat kita marah”, kata seorang Muslim di Sorong.

VIII. KESADARAN BARU SOAL SEJARAH
Penemuan kembali oleh pengamat Muslim mengenai kehadiran Islam yang sudah lama di Papua akan menjadi sebuah perkembangan positif kalau hal ini mendorong dilakukannya riset akademis mengenai sejarah awal Papua. Tetapi sejarah mudah dipolitisir, dan beberapa pengamat Muslim menggunakan fakta tentang pedagang Muslim yang sudah ada di Papua sebelum misionaris Kristen, untuk menunjukkan bahwa Islam adalah agama asli Papua, sama seperti gerakan “Balik Islam” di Filipina. Apakah Islam dibawa ke “Nu Waar” oleh pedagang dari Gujerati tanggal 17 Juli 1214, klaim seorang ustadz Papua; oleh seorang pedagang Hadrami, menurut yang lain; atau lewat kesultanan Bacan di Maluku Utara tahun 1569, tidak penting buat para pengamat ini.
Tanpa menyelidiki sejauh mana Islam masuk antara abad ketigabelas dan sembilanbelas, implikasinya terhadap sejarah populer yang baru yaitu bahwa misionaris asing bertanggung jawab atas Kristenisasi di sebuah tanah Muslim; bahwa penjajah Kristen kemudian melenyapkan semua jejak Islam di Papua; dan bahwa tidak hanya Papua Muslim saja tapi juga seluruh warga Muslim Indonesia harus melipatgandakan upaya untuk merebut kembali posisi yang hilang dan melaksanakan kekuasaan yang sudah menjadi hak mereka. Seminar-seminar sejarah sekarang menjadi acara  tambahan yang populer di acara-acara Muslim di Papua. Seminar yang paling akhir berlangsung tanggal 23 April 2008 di Fakfak terkait dengan acara Musabaqah Tilawatil Qur’an (MTQ) di stadiun olahraga setempat.
Seminar yang berjudul “Geliat Muslim Irian: Antara Sejarah, Kiprah dan Tantangannya”, adalah satu dari Gerakan Balik Islam (Return to Islam) berpendapat bahwa warga Filipina Kristen yang masuk Islam, banyak dari mereka setelah bekerja sebagai pekerja di Timur Tengah, sebenarnya balik ke agama asli mereka. Lihat Crisis Group  Asia Report NÂș110, Philippines Terrorism: The Role of Militant Islamic Converts, 19 December 2005. Untuk referensi mengenai Islam sebagai agama asli Papua, lihat “Kiprah Misionaris di Papua”, Hidayatullah, 6 Januari 2006.
Bahkan mereka yang menerima tanggal waktu yang lebih belakangan berargumentasi bahwa Papua termasuk dalam kerajaan Hindu Majapahit, dari Jawa, oleh karena itu sudah  dari dulu Papua menjadi bagian dari Indonesia, bukan merupakan konstruksi penjajah yang kemudian dilampirkan menjadi bagian dari Republik Indonesia. 
“Sejarah Islam di Papua”, Republika, 18 April 2008, serangkaian kegiatan yang didanai oleh AFKN (dari Hizb ut-Tahrir) bersama dengan pemda kabupaten Fakfak. Bupati mengatakan kepada para wartawan bahwa salah satu alasan diselenggarakannya program ini adalah untuk “membuka mata dunia bahwa Irian tak identik dengan non Muslim”. Di saat yang sama, bupati menekankan bahwa 25 persen dari tim panitia untuk acara ini adalah warga Kristen setempat, dan spanduk-spanduk yang digelar di seluruh kabupaten berbunyi “Satu Keluarga, Tiga Agama” (Islam, Katolik dan Protestan). Partisipasi antar agama di acara ini di satu pihak adalah sebuah tanda toleransi tradisional di Fakfak, tapi kenyataan bahwa hal ini harus begitu digembar-gemborkan kepada umum memperlihatkan tingkat perseteruan yang lebih tinggi.
Sementara itu, pada tanggal 26 April 2008, di pulau Biak dan Supiori, bagian barat Manokwari, umat Kristen merayakan 100 Tahun Pekabaran Injil (PI) di Teluk Maudori, Kabupaten Supiori, Papua, dengan pernyataan Supiori sebagai “Pulau Injil” – sebuah tindakan yang pasti selanjutnya akan menjadi topik bahasan dalam diskusi-diskusi sejarah agama di Papua.

 IX. MEREDAM KETEGANGAN?
Di tengah-tengah ketegangan ini, sebuah lembaga baru lahir yang mungkin bisa memainkan peran mediator di masa mendatang. Pada tanggal 13 April 2007, Majelis Muslim Papua (MMP) didirikan di Jayapura sebagai lembaga Muslim asli Papua yang bertekad untuk menegakkan identitas budaya rakyat Papua dan nilai-nilai universal Islam. Lembaga ini adalah hasil perkembangan dari Solidaritas Muslim Papua, sebuah kelompok yang didirikan tahun 1999 yang pendirinya termasuk beberapa Muslim dari gerakan pro-independen.
MMP mengumumkan di dalam Muktamar Pertamanya bahwa anggota MMP terdiri dari Muslim yang berasal dari “Tujuh wilayah adat di Papua” yang bertekad untuk menegakkan prinsip-prinsip moderat, toleran, tegak, seimbang, dialog, demokrasi, dan aturan hokum dan HAM.  Secara spesifik, MMP menyatakan bahwa tujuannya adalah “membangun jamaah yang tidak eksklusif, tidak juga untuk melancarkan Islamisasi, apalagi untuk membangun fundamentalisme agama yang bisa menjurus pada gerakan-gerakan radikal, tapi untuk bergandengan tangan dengan Pemerintah Daerah untuk menegakkan keadilan dan kemakmuran rakyat”.

 A. REKOMENDASI-REKOMENDASI DARI MAJELIS MUSLIM PAPUA
Rekomendasi-rekomendasi yang lahir dari Muktamar MMP termasuk komentar yang jitu mengenai situasi sosial dan politik di Papua. Dikatakan bahwa gerakan reformasi saat ini sedang “terancam oleh kelompokkelompok politik dengan kecenderungan menggunakan intimidasi fisik, anarki dan premanisme politik” untuk mencapai tujuan mereka dengan cara yang merusak kebebasan berekspresi dan berorganisasi – sebuah sindiran terhadap beberapa kelompok Islam garis keras yang menyebabkan kekhawatiran diantara umat Kristen di Papua. Rekomendasi ini mengutarakan keprihatinan atas tanda-tanda politik antar agama yang mengancam ke arah “perpecahan horisontal” di tingkat daerah maupun nasional. “Perkembangan di Papua”, lanjut rekomendasi tersebut, “tidak bisa tidak seperti kelompok-kelompok Muslim lain yang didominasi oleh para pendatang, MMP menyebut UU Otonomi Khusus 2001 untuk Papua merupakan “sebuah peristiwa yang penting dan bersejarah”, walaupun belum diimplementasikan secara efektif.
Mereka mendesak pemerintah pusat, pemerintah daerah, DPRD dan Majelis Rakyat Papua (MRP) –seperti yang sudah dikemukakan diatas, MRP adalah lembaga yang didirikan untuk melindungi budaya Papua – untuk melakukan yang terbaik untuk menjadikan otonomi khusus menjadi sebuah rahmat, bukan kutukan. Mereka secara tajam mengkritik MRP karena telah menjadi terlalu dipolitisir dan berpihak –meskipun kenyataannya ketua umum MMP, Arobi Achmad Airtuarauw, adalah anggota MRP. Dan mereka menutup rekomendasinya dengan mendesak
pemerintah untuk menegakkan hukum dan undangundang dan melindungi HAM, termasuk mendirikan sebuah pengadilan HAM di PAPUA dan membentuk sebuah komisi kebenaran dan rekonsiliasi di Papua.
MMP meneruskan membangun cabang-cabang di hampir setiap kabupaten di Papua. Tapi ironisnya, gagal di Fakfak, wilayah dimana Muslim asli Papua paling banyak, kelihatannya karena bupatinya mendukung Hizb ut-Tahrir dan AFKN – kedua organisasi ini melihat MMP sebagai separatis. Tapi meskipun MMP mungkin tidak mengklaim Fadzlan Garamatan sebagai salah satu anggotanya, anggota MMP termasuk beberapa tokoh yang dianggap sebagai pro-Indonesia. Ketika ketegangan naik di Kaimana, beberapa anggotanya memainkan peran
penting dalam meredakan emosi di kedua belah pihak.

B. INSTITUSI-INSTITUSI LAIN
Sejumlah kecil institusi lain, apakah itu LSM, lembaga agama atau badan-badan pemerintah, tampaknya punya pengaruh untuk mengurangi ketegangan. Beberapa pengamat Papua jangka panjang berpendapat bahwa Rekomendasi Majelis Muslim Papua, Bidang Hukum dan  Hak Asasi Manusia, no.1, in Hasil-Hasil, op. cit. hal. 50.
Ketentuan yang paling akhir dari rekomendasi di bagian hak asasi manusia merupakan desakan kepada Presiden Yudhoyono untuk “menghentikan dukungan kepada AS yang mengintervensi hak intelektual Iran dalam mengembangkan program nuklirnya”.
Sebuah kemungkinan yaitu gerakan Zona Perdamaian, yang dimulai tahun 2002 oleh Sekretariat Keadilan dan Perdamaian (SKP) yang berbasis di Jayapura dari Gereja Katolik. Meskipun tujuan utamanya adalah memastikan solusi non-militer terhadap konflik politik diantara negara Indonesia dan gerakan proindependen Papua, sebuah kertas kerja yang disiapkan untuk sebuah pertemuan di tahun 2003 Menggarisbawahi pentingnya toleransi dan kebutuhan untuk mencegah diskriminasi, menghilangkan sentiment “primordial” berdasarkan ras, agama dan etnis, dan memulai dialog diantara para pemimpin agama.
Masalahnya adalah meskipun SKP punya kontak sangat bagus di akar rumput Katolik, tapi kemampuannya untuk menjangkau hingga ke para elit dari kelompok agama yang lain agak terbatas. Selain itu, fokusnya selama ini yaitu pada apa yang dilihat sebagian besar rakyat Papua sebagai konflik yang lebih penting, bukan ketegangan antar-agama.
Kelompok kerja (pokja) agama MRP terdiri dari delapan pemimpin agama Protestan, empat Katolik dan dua Islam, satu dari Kaimana dan satu lagi dari Wamena di pegunungan tengah, tapi mereka tidak memainkan peran apapun ketika ketegangan di Manokwari dan Kaimana mencapai tahap kritis. Komisi Perdamaian Papua, yang didirikan tahun 2002 sebagai hasil dari perkembangan gerakan “zona perdamaian”, juga tidak bisa menjadi pilihan. Bertujuan untuk mengakhiri kekerasan di Papua diantaranya dengan cara advokasi menarik pasukan TNI, komisi ini menyadari pentingnya mencegah konflik antara pendatang dan warga asli Papua. Tetapi di tahun 2004, ketua komisi, Benny Giay, menggambarkan upaya mereka seperti “sebuah upaya merebus batu yang tidak pernah akan matang”, karena kurang dukungan dari TNI, dan sejak itu komisi ini tidak terdengar lagi.
Kalau pilihan lain tidak ada, mungkin sebaiknya dibentuk yang baru. Salah satu model yang mungkin, meskipun dibentuk dalam situasi yang sangat berbeda, yaitu Maluku Media Centre, yang dibentuk di Ambon sebagai forum bagi para wartawan yang menulis untuk koran Kristen dan Muslim untuk berbagi informasi dan memastikan tulisan yang lebih berimbang disampaikan kepada pembaca. Masyarakat di Papua tidak tersegregasi seperti di Maluku pada saat konflik, tapi gagasan untuk memakai pendekatan berbasis media untuk memulihkan konflik, dengan melibatkan jurnalis dari kedua belah pihak masyarakat dan menjangkau pendengar massal lewat media cetak, radio dan TV, patut diberi perhatian.

X. KESIMPULAN

Potensi konflik antar agama di Papua tinggi karena kedua belah pihak menganggap dirinya sebagai korban. Warga Papua asli yang Kristen merasa terancam dengan mengalir masuknya pendatang Muslim; pendatang Muslim merasa demokrasimungkin menuju ke arah tirani kelompok mayoritas, dimana dalam jangka panjang mereka akan menghadapi diskriminasi atau bahkan pengusiran. Meskipun ada keretakan dan perpecahan yang signifikan di kedua belah pihak masyarakat, terutama mengenai nasionalisme yang bersaing (Indonesia vs Papua), perkembangan di Manokwari dan Kaimana mungkin menjadi pertanda lebih banyak bentrokan yang akan terjadi. Perubahan dalam demografi adalah bagian dari persoalan, tapi bahkan kalau besok para pendatang dari luar Papua disetop datang, polarisasi antar agama mungkin akan terus berlanjut karena perkembangan lain.
Warga Papua Kristen sangat menyadari terjadinya penyerangan-penyerangan terhadap gereja-gereja di daerah lain di Indonesia dan melihat Indonesia secara keseluruhan bergerak menuju dukungan yang lebih banyak kepada ajaran Islami. Muslim dari luar Papua mudah sekali digalang untuk membela apa yang mereka lihat sebagai penghinaan terhadap sebuah masyarakat yang diserang dan memperkuat jumlah masyarakat Islam lewat dakwah dan bentuk dakwah yang lain. Dengan terus bertambahnya kabupaten-kabupaten baru sebagai akibat proses desentralisasi di Indonesia, kemungkinan sentiment antar agama dimobilisasi untuk kepentingan politik local sangat tinggi. Para pemimpin di semua tingkatan pemerintah harus waspada terhadap ketegangan yang sedang terjadi saat ini dan melakukan segala hal dengan kekuasaan mereka untuk memastikan setidaknya keadaan ini tidak semakin memburuk.










RINGKASAN IKHTISAR DAN REKOMENDASI

Di Papua, Indonesia, bentrokan antara pendukung gerakan pro-kemerdekaan dengan aparat keamanan kerap terjadi. Namun, konflik antara umat beragama yaitu umat Islam dan Kristen juga bisa terjadi bila tak ditangani secara efektif. Pada 2007 kekerasan yang nyaris terjadi dapat dihindari di Manokwari dan Kaimana di propinsi Papua Barat. Tapi, tetap saja ketegangan itu menyisakan perasaan sakit hari di kedua belah pihak. Penyebab utamanya yaitu perpindahan penduduk Muslim dari daerah lain di Indonesia ke Papua yang terus berlangsung; munculnya kelompok-kelompok baru yang bersifat eksklusif di masyarakat Islam maupun Kristen yang telah memperkuat persepsi bahwa agama yang lainadalah musuh; dampak yang tidak hilang-hilang dari konflik Maluku; dan pengaruh dari perkembangan di luar Papua. Pemerintah daerah maupun pusat perlu memastikan bahwa tidak ada peraturan daerah yang diskriminatif yang dijadikan undang-undang dan tidak ada kegiatan oleh organisasi agama yang eksklusif yang dibantu oleh dana pemerintah. Peristiwa Manokwari, yang terjadi dalam selang waktu lebih dari dua tahun, memperlihatkan beberapa perubahan-perubahan tersebut. Dimulai pada tahun 2005, ketika masyarakat Kristen menggalang massa untuk mencegah dibangunnya sebuah Islamic Centre dan mesjid di daerah dimana misionaris Jerman membawa agama Kristen masuk ke Papua pada pertengahan abad kesembilanbelas. Kemarahan masyarakat Muslim merembet hingga keluar Papua; banyak warga Muslim di Indonesia, yang baru mengetahui tentang sejarah pedagang Muslim di  aerah tersebut, melihat Islam sebagai agama asli penduduk Papua dan menganggap penolakan pembangunan mesjid disitu sebagai hal yang tidak dapat ditolerir. Para pemuka gereja setempat demi melihat reaksi tersebut percaya bahwa mereka harus memperkuat identitas Kristen Manokwari, sehingga pada tahun 2007 membuat rancangan peraturan ke  DPRD yang menanamkan nilai-nilai dan simbolsimbol Kristen ke dalam pemerintah daerah dan mendiskriminasikan Muslim dalam prosesnya.
Rancangan peraturan tersebuthingga saat ini akhirnya tidak pernah diundangkan tetapi telah memicu kemarahan diantara masyarakat Muslim di seluruh Indonesia dan semakin menambah perasaan terancam di kedua belah pihak. Masih perlu dilihat bagaimana tanggapan terhadap rancangan undang-undang baru yang baru mulai diedarkan akhir bulan Mei 2008. Namun tidak di Manokwari saja yang masyarakatnya merasa terancam. Banyak penduduk asli Kristen yang merasa bahwa mereka secara perlahan tapi pasti bakal tersingkir terancam oleh banjir migrant Muslim ke Papua, pada saat yang sama pemerintah pusat dipandang mendukung terhadap Islam yang lebih konservatif. Sementara itu, beberapa pendatang percaya bahwa mereka menghadapi diskriminasi atau bahkan pengusiran dalam sebuah sistem demokratis dimana warga Kristen bisa melakukan “tirani kelompok mayoritas”.
Perpecahan antar agama ini diwarnai oleh politik: Banyak warga Papua Kristen yang menganggap otonomi daerah belum berjalan cukup jauh, sementara banyak pendatang Muslim yang melihat otonomi daerah sebagai sebuah bencana dan menjadi pendukung kekuasaan terpusat dari Jakarta. Di beberapa daerah, ketegangan yang terpendam selama ini dikendalikan dengan memasang bupati asal Papua yang beragama Kristen dengan wakil bupati dari luar Papua yang beragama Muslim, dan kekuasaan politik dan ekonominya dibagi sesuai dengan komposisi tersebut. Pengaturan ini mungkin bisa berjalan di wilayah seperti Merauke, dimana populasi pendatangnya sudah lebih dari 50 persen, tetapi hal ini bukan jalan keluar bagi daerah yang penduduk mayoritasnya merasa terancam.
Didaerah dimana resiko konfliknya tinggi, penduduk asli Papua Muslim, yang sebagian besar terkonsentrasi di wilayah Kepala Burung di bagian barat laut pulau Papua, bisa memainkan peran untuk menjembatani kedua belah pihak, terutama lewat sebuah organisasi baru bernama Majelis Muslim Papua. Organisasi ini secara tegas bertekad untuk menerapkan nilai-nilai Islam yang universal dan juga sangat berakar pada budaya dan tradisi Papua. Mereka memiliki kemampuan  yang terbukti untuk meredakan ketegangan antar  agama, bekerja sama dengan rekan Kristen mereka.Tetapi masyarakat asli Muslim pun sedang terpecah, karena semakin banyak warga yang memiliki kesempatan untuk belajar tentang Islam ke luar Papua dan pulang dengan pandangan-pandangan yang bertentangan dengan kebiasaan dan tradisi asli. Akan menjadi kepentingan banyak pihak untuk mendukung sebuah jaringan Sekolah Tinggi Agama Islam Negeri di Papua yang bisa menghasilkan ulama-ulama dari warga asli dan mendorong karakteristik moderat yang sudah lama dianut oleh Muslim Papua. Ada beberapa mekanisme yang bisa dipakai untuk  melakukan dialog antar para pemuka agama di Papua, termasuk kelompok kerja (Pokja) bidang agama Majelis Rakyat Papua, yaitu sebuah lembaga yang dibentuk untuk melestarikan hak dan tradisi warga Papua, tapi mereka tidak punya dampak ke akar rumput. Yang lebih efektif  ungkin lewat programprogram yangdirancang untuk mengidentifikasi wilayah-wilayah rawan konflik dan menyusunprogram-programnon-agama yang bisa member manfaat bagi kedua masyarakat.







REKOMENDASI-REKOMENDASI
KEPADA:
Pemerintah Pusat:
1.Hindari mendukung kegiatan-kegiatan berbasis  agama yang jelas-jelas memiliki agenda politik, sehingga tidak memperburuk persoalan yang sudah ada, dan  enginstruksikan TNI dan Polri untuk memastikan bahwa para personil yang bertugas di Papua tidak dilihat berpihak kepada salah satu pihak.
2. Mengidentifikasi pendekatan-pendekatan baru untuk menangani ketegangan antar agama di tingkat akar rumput, lebih dari sekedar kampanye dialog antar agama diantara para elit yang seringkali tidak efektif.
3. Bekerja sama dengan pemerintah propinsi untuk mendukung STAIN (Sekolah Tinggi Agama Islam Negeri) di Jayapura dan memfasilitasi hubungany ang dekat dengan UIN (Universitas Islam Negri) di Jakarta untuk memastikan bahwa Papua mengembangkan ulama-ulama dan para guru dari daerahnya sendiri yang mampu menafsirkan nilai-nilai Islam yang universal dengan cara-cara yang lebih harmonis daripada bertentangan dengan adat dan tradisi Papua.

Pemerintah Daerah:
4. Memastikan bahwa pendanaan atau sumbangan keuangan pemerintah terhadap kegiatan-kegiatan agama dilakukan secara transparan dan diaudit secara independen, dimana informasi mengenai jumlah dan para penerima dana bisa dilihat dengan mudah di situs-situs atau di dokumen publik.
5. Menghindari mendanai kelompok-kelompok yang menyerukan eksklusivitas atau permusuhan terhadap agama lain.
6. Memastikan debat publik mengenai persentase lapangan kerja bagi warga asli Papua dan dan dampak lebih jauh dari imigrasi penduduk dari luar Papua ke Papua sebelum menyetujui pembagian daerah administratif lebih lanjut.
7. Menolak peraturan daerah yang diskriminatif.
8. Bekerja sama dengan para donor untuk mengidentifikasi daerah-daerah yang rawan konflik dimana konflik mungkin bisa diredakan dengan proyek-proyek non-agama yang melibatkan kerjasama untuk keuntungan bersama bagi seluruh masyarakat. 

Para Donor:
9.Mendukung pelatihan resolusi-konflik bagi  organisasi-organisasi yang berbasis di Papua, termasuk Majelis Muslim Papua dan kelompok kerja bidang agama Majelis Rakyat Papua.  
International Crisis Group (ICG), Jakarta/Brussels, 16 Juni 2008




0 komentar: