INDONESIA : KETEGANGAN ANTAR AGAMA DI PAPUA
I.
PENDAHULUAN
Hubungan antara Muslim dan Kristen di
Papua saat ini sedang tegang dan kemungkinan memburuk karena faktor demografi,
dakwah yang agresif oleh elemen-elemen garis keras dari kedua belah pihak, politisasi
sejarah agama dan perkembangan di luar Papua yang memperkuat persepsi bahwa
agama lain adalah musuh. Dua kali di tahun 2007, satu di Manokwari, satu lagi
di Kaimana, konflik antar agama hampir menjelma menjadi kekerasan di wilayah
Kepala Burung di bagian barat laut pulau Papua Nugini. Walaupun pertempuran
fisik yang nyaris terjadi berhasil dihindarkan, bentrokan lain semacam itu
mungkin bisa terjadi, terutama dimana ketegangan antar agama menjadi tersangkut
dalam pertikaian politik setempat. Ada mediator yang bisa dimanfaatkan, yaitu
Majelis Muslim Papua (MMP), sebuah organisai orang Muslim asli Papua yang
memiliki hubungan baik dengan pendatang Muslim dan penduduk asli Kristen.
Dengan memperkuat lembaga ini mungkin bisa membantu mencegah terjadinya konflik
terbuka, namun demikian menangani sumber perselisihan yang mendasari mungkin
akan lebih berat. Masalah yang paling besar yaitu demografi: proporsi jumlah
penduduk Muslim semakin bertambah, dan sebagian besar adalah pendatang dari
daerah lain di Indonesia.
Untuk analisa sebelumnya mengenai Papua,
lihat Crisis mempercayai angka tersebut. Pemimpin gereja menilai bahwa jumlah
Muslim sengaja dihitung lebih sedikit dari yang sebenarnya, supaya tidak
menimbulkan kekhawatiran. Sementara itu sejumlah Muslim menuduh pemerintah
menggabung jumlah penganut animisme dengan Protestan untuk mengingkari posisi
Islam yang sebenarnya sebagai agama yang dominan. Kedua belah pihak percaya,
namun dengan alasan yang berbeda, bahwa kemungkinan sebenarnya jumlah penduduk Muslim
sudah melebihi Protestan, yang mana berdasarkan statistik jumlahnya sekitar 50
sampai 60 persen dari jumlah total penduduk Papua. Bagi banyak penduduk
Kristen, hal ini menjadi bukti kebijakan “Islamisasi” dan “Nonpapuanisasi”
pemerintah yang terencana untuk menjadikan mereka sebagai minoritas di tanah
mereka sendiri; bagi sejumlah Muslim, hal ini memperlihatkan kebutuhan untuk
berkonsentrasi mendapatkan pengaruh yang sesuai dengan jumlah mereka.
Ketegangan diperburuk dengan kecenderungan pendatang Muslim yang sangat
mengaitkan diri dengan pemerintah pusat dan menganggap penduduk Kristen sebagai
separatis, sementara itu banyak penduduk asli Kristen dan pemimpin gereja yang
cenderung untuk mengaitkan diri dengan nasionalisme Papua – begitu juga dengan
banyak dari penduduk asli yang Muslim. Hubungan ras dan etnis yang saling
berkaitan dengan agama di Papua semakin mempersulit penanganan konflik. Selain itu, datangnya elemen baru yang lebih
militant dari kedua agama di Papua selama sepuluh tahun belakangan, yang
mengakibatkan ketegangan inter dan antar agama, semakin memperburuk keadaan. Di
pihak Muslim, Hizb ut-Tahrir dan Muslim
salafi memberi tampilan keagamaan yang lebih keras kepada Islam yang selama ini
lebih dipengaruhi oleh dua organisasi Muslim terbesar di Indonesia, yaitu
Nahdlatul Ulama dan Muhammadiyah, keduanya cukup moderat. Di pihak Kristen,
kelompok pantekosta baru dan karismatik menyerukan kebenaran mereka sebagai
satu-satunya kebenaran dan melihat ekspansi dakwah pihak Muslim sebagai tantangan
terbesar bagi mereka. Selain itu, di
seluruh Indonesia kelompok-kelompok Muslim secara antusias mempelajari sejarah
Islam di Papua, menyebut Papua dengan nama Nu Waar, yaitu sebutan yang
diberikan oleh para pedagang dari Arab. Meskipun penduduk Kristen sudah lama
menerima bahwa agama Kristen masuk ke Papua tahun 1855,yaitu ketika dua orang
Jerman Protestan tiba di Manokwari, Muslim diluar Papua baru-baru ini baru
mengetahui bahwa Islam sudah masuk ke Papua beberapa abad sebelumnya – dan
pengetahuan ini dipakai untuk menambah rasa keberhakan terhadap tanah dan
kekuasaan, terutama di sepanjang pesisir barat. Yang terakhir, kedua masyarakat
dipengaruhi oleh perkembangan yang berlangsung di luar Papua. Masa paling buruk
untuk hubungan antar agama baru-baru ini adalah tahun 1999-2002, ketika
euphoria politik paska Soeharto dan pengorganisiran gerakan proindependen di
Papua bersamaan dengan meletusnya konflik antar agama di Maluku, arah barat
Papua.
Laskar Jihad, milisi Muslim Yang
dibekingiTNI dan bertekad untuk memerangi separatis Kristen di Maluku, tiba di
Papua pada saat pasukan pro-Jakarta, yang Merekrut banyak pendatang, sedang
berusaha memadamkan demonstrasi Papua merdeka yang bermunculan di seluruh
Papua. Lebih dari sebelumnya, para pendatang Muslim diasosiasikan dengan
pemerintah dan menjadi sasaran kemarahan penduduk asli. Saat ini, aksi
penyerangan terhadap gereja di daerahdaerah lain di Indonesia dan persepsi
bahwa pemerintah pusat sedang bergerak menuju sebuah Islam yang monokultur,
telah memperdalam perasaan terancam di kalangan penduduk Papua Kristen,
menambah ketakutan bahwa mereka akan dipinggirkan, dan membuat mereka menjadi
ingin menunjukkan bahwa mereka adalah Papua Kristen. Dalam konteks inilah
ketegangan di Manokwari dan Kaimana hampir meletus tahun 2007 kemarin, dan
membuat kemungkinan meletusnya konflik di masa depan menjadi lebih nyata. Dan
dalam konteks ini pula konflik lain yang mungkin terjadi sedang mendidih. Kekerasan, jika itu terjadi, kemungkinan akan
terjadi tidak secara menyeluruh; kerusuhan di Manokwari tidak berarti akan
menyebar hingga ke Merauke. Selain itu, meskipun persoalan yang mendasari
terjadi di seluruh Papua, daerah-daerah yang rawan konflik hanya di beberapa
daerah yang sebagian besar terpusat di
daerah perkotaan Papua Barat, dimana
jumlah Muslim dan Kristen lebih seimbang dari pada di pedalaman. Tetapi
ketegangan yang meningkat bisa membawa akibat lain. Ketidaksenangan dengan cara
pemerintah lokal menangani persoalan agama dapat memperkuat sentimen separatis
di beberapa daerah atau di lain pihak mendorong untuk minta bantuan kepada
elemen radikal dari luar Papua. Laporan ini berdasarkan sejumlah wawancara yang
lengkap dan menyeluruh di Manokwari, Sorong, Kaimana dan Jayapura pada bulan
Februari, Maret dan April 2008. Laporan ini mengkaji perkembangan di dua
wilayah yang hampir terjadi konflik danmeningkatnya ketegangan.
II. MANOKWARI
Manokwari, yaitu sebuah kabupaten yang
terletak di bagian ujung timur laut dari wilayah Kepala Burung,adalah tempat
masuknya agama Kristen di Papua pada tangal 5 Februari 1855. Dua misionaris
Jerman,Carl Ottow dan Johan Gottleib Geissler, menginjakkan kaki mereka pertama
kali di pulau Mansinam, di pesisir Manokwari, dan menyatakan wilayah ini
sebagai tanah suci. Sejak itu, Manokwari secara tidak resmi dikenal sebagai
“Kota Injil”, dan belakangan setiap tahun diadakan perayaan untuk memperingati
peristiwa itu. Sebuah persengketaan atas pembangunan sebuah mesjid di Manokwari
dan upaya pihak Kristen selanjutnya untuk merancang sebuah peraturan daerah
yang akan menanamkan nilai-nilai Kristen dalam kehidupan masyarakat mendorong
terjadinya perpecahan yang belum pernah terjadi antara kedua belah pihak
masyarakat. Meskipun akibatnya peraturan tersebutkelihatannya menjadi
ditangguhkan, sebuah draft baru tiba-tiba muncul pada akhir bulan Mei 2008 yang
mengancam akan menyulut ketegangan.
A.
MESJID RAYA
Pada akhir tahun 2005, penduduk Muslim
setempat memutuskan untuk embangun sebuah Mesjid Raya dan Islamic Centre di
Manokwari, di sebuah tanah seluas empat hektar. Kompleks mesjid dan Islamic
Center yang diusulkan ini jauh lebih besar dari gereja manapun di daerah itu. Kemudian
merebak isu di masyarakat Kristen bahwa Islamic Center ini akan menjadi Islamic
Center yang terbesar di Asia Tenggara, dan bahwa Muslim punya agenda
tersembunyi untuk mengubah Manokwari menjadi kota Muslim. Bagi para pemimpin gereja, keputusan untuk
membangun Islamic Center adalah tidak bijaksana dan yang paling buruk sangat
menyinggung status Manokwari sebagai “Kota Injil”. Mereka tidak percaya bahwa
yang akan menjadi gedung terbesar di daerahnya adalah sebuah mesjid. Mereka
mengatakan hal itu akan seperti membangun gereja paling besar di Tatanama
administratif agak membingungkan di Papua. Di daerah lain di Indonesia, district
biasanya diterjemahkan sebagai “kabupaten”, dan unit dibawahnya yaitu subdistrict
(kecamatan). Tapi di Papua, unit dibawahnya itu dikenal sebagai distrik.
Untuk menghindari kebingungan, istilah
kabupaten yang dipakai di laporan ini, bukan terjemahan bahasa
Inggris langsungnya. Wawancara Crisis Group, aktivis gereja, Manokwari,
Februari 2008. Juga lihat Binsar A. Hutabarat, “Kontroversi Perihal Perda
Manokwari Kota Injil”, makalah yang tidak dipublikasikan, wilayah Aceh yang
sangat Islami. Dan mengapa, tanya mereka, Muslim membutuhkan sebuah mesjid
besar padahal mereka sudah punya banyak tempat ibadah? Sementara penduduk Kristen
mencurigai bahwa rencana pembangunan mesjid ini sudah dibicarakan secara
rahasia sejak beberapa tahun yang lalu. Sebenarnya gagasan ini baru muncul
sekitar September 2005, pada saat para politikus lokal sedang bersiap-siap
untuk pemilihan langsung yang pertama kali untuk posisi gubernur Irian Jaya
Barat, yang rencananya akan diselenggarakan pada bulan Maret 2006. Salah
seorang kandidat wakil gubernur, Rahimin Kacong, sedang mencari dukungan dari
pemilih Muslim dan mengusulkan pembangunan Islamic Center. Gagasan ini disambut
hangat, dan Kacong menjadi ketua panitia pembangunan mesjid, dan mulai mencari
donatur-donatur pribadi. Untuk memfasilitasi para penyumbang, panitia
mengusulkan sebuah sistem “wakaf per meter”, yaitu: para penyumbang bisa
membeli tanah seluas satu atau dua meter persegi, kemudian menyumbangkannya
sebagai wakaf untuk mesjid. Penduduk Muslim setempat menanggapi dengan sangat
antusias dan dalam hitungan dua minggu, panitia telah berhasil menggalang dana
sebesar Rp 500 juta – termasuk sumbangan sebesar lebih dari Rp 100 juta dari
satu buah masjid sehabis shalat Jum’at.Tetapi rencana pembangunan Islamic
Center menghadapi masalah. Pada tanggal 4 Oktober 2005, panitia menyerahkan
sebuah permohonan resmi kepada bupati, meminta ijin untuk membangun mesjid.
Prosedur ini sesuai dengan “Dekrit Dua Menteri” tahun 1969 dari Menteri Agama
dan Menteri Dalam Negeri yang menyatakan untuk membangun tempat ibadah perlu
persetujuan kepala daerah atau pejabat pemerintahan dibawahnya yang dikuasakan
untuk itu.
Sebelum jawaban diterima – Pada saat
itu, sebuah perdebatan sengit terjadi di seluruh Indonesia mengenai usulan
revisi terhadap SKB Menteri Agama dan Menteri Dalam Negeri 01/BER/MDN/
MAG/1969. Sebagian besar pemimpin Kristen ingin SKB itu dicabut, bukan direvisi, karena selama ini
dipakai sebagai dasar untuk melakukan penyerangan-penyerangan terhadap gereja,
terutama di Jawa Barat, oleh kelompok Muslim setempat yang mengklaim bahwa
persetujuan dari masyarakat yang harus diperoleh sebelumnya belum pernah diberikan.
Tahun 2006, SKB ini direvisi sedemikian yang tidak tapi yakin jawabannya akan positif – panitia
menjadwalkan sebuah upacara peletakan batu pertama kali pada tanggal 21
Oktober. Beberapa hari menjelang upacara, penduduk Manokwari Kristen mulai mengadakan
aksi protes, dan spanduk-spanduk berisi penolakan terhadap pembangunan mesjid
bermunculan di seluruh kota. Pada tanggal 19 Oktober, pemimpin gereja, melalui
Badan Kerjasama Antar Gereja Kabupaten Manokwari (BKAG), mengeluarkan sebuah
pernyataan bersama “keprihatinan yang mendalam” atas pendirian pemerintah yang
“diskriminatif dan tidak adil” terhadap perkembangan agama Kristen di
Indonesia. Mereka mengutip 991 aksi penyerangan terhadap gereja gereja di
seluruh Indonesia sejak kemerdekaan Indonesia tahun 1949 hingga hari ini; pola
intimidasi terhadap Kristen dan penyerangan terhadap para pendeta dan
gereja-gereja; kerugian aterial yang dialami gereja-gereja dan sekolah-sekolah
Kristen; trauma yang diderita oleh warga Kristen di wilayah konflik seperti di
Ambon dan Poso; dan diskriminasi hokum lewat “SKB Dua Menteri”. Kedatangan
Injil pada tanggal 5 Februari 1855 di pulau Mansinam, tutur pernyataan bersama
tersebut menjadi “ tonggak sejarah dimulainya peradaban baru di tanah Papua,
membuka sebuah “tabir gelap” dan menanamkan keyakinan lewat pengorbanan dan
kemartiran para misionaris. Kemajuan, perkembangan dan integrasi Irian Barat ke
Indonesia tidak bisa dipisahkan dari peran gereja,lanjut pernyataan tersebut,
dan hanya gereja, lewat prinsip damainya, yang telah mampu menyelesaikan
konflik politik di Papua.
Manokwari adalah sebuah kota bersejarah
dimana agama Kristen pertama kali tiba di Papua, dan statusnya perlu
dilestarikan dan dihormati oleh semua masyarakat agama dan etnis. Karena itu,
tutup pernyataan tersebut, para pemimpin gereja dan masyarakat Kristen di
Manokwari menolak rencana pembangunan mesjid Raya. Ironisnya, mereka mengutip
SKB yang sama yang mereka sesalkan dalam pernyataan mereka sebagai landasan
hukum penolakan mereka. Di hari yang sama, bupati Manokwari, Dominggus
Mandacan, menulis kepada panitia pembangunan mesjid, menolak ijin pembangunan
dan menyebutkan membuat senang siapapun, yaitu persetujuan masyarakat setempat
masih diperlukan, tapi lewat sebuah panitia antar agama yang terdiri dari perwakilan yang
proporsional dari setiap agama yang dianut dalam lingkungan masyarakat
tersebut. “Pernyataan Bersama Pemimpin dan Tokoh Serta Umat Kristen di
Kabupaten Manokwari”, 19 Oktober 2005. keberatan pemimpin gereja dan
merekomendasikan panitia untuk melakukan pembicaraan lebih lanjut dengan
mereka. Namun ternyata surat tersebut belum cukup bagi para penduduk Kristen
Manokwari. Sebulan kemudian, pada tanggal 17 November, ribuan orang yang
mewakili 30 aliran gereja, melakukan protes di jalanan terhadap pembangunan
Mesjid Raya. Pendeta Herman Awom, seorang anggota Dewan Presidium Papua yang
pro-kemerdekaan yang saat itu juga menjadi wakil ketua Sinode GKI (Gereja
Kristen Indonesia) ikut dalam aksi protes. Mereka menuntut DPRD segera
mengeluarkan sebuah peraturan daerah yang secara resmi menyatakan Manokwari
sebagai “Kota Injil”. Demonstrasi yang sejenis juga berlangsung di Jayapura,
dimana sekitar 100 orang, sebagian besar mahasiswa, yang menyebut diri mereka
sebagai “Solidaritas Mahasiswa dan Masyarakat Kristen di Tanah Papua” berunjuk
rasa mendukung mereka yang menolak pembangunan Mesjid Raya. Aksi demonstrasi
tersebut hampir menjadi aksi kekerasan, ketika para peserta marah karena di
wilayah Kotaraja polisi berusaha menghentikan mereka, dan para peserta
mengancam akan membakar mesjid kalau tidak dibolehkan melanjutkan aksi unjuk
rasa mereka.
Para mahasiswa mengeluarkan pernyataan
menolak Mesjid Raya; menuntut pemerintah daerah untuk melindungi aset Kristen
dan mendukung sekolah Kristen; dan menuntut pemerintah daerah untuk memberi
perlindungan dari semua ancaman “secara sengaja atau tidak sengaja yang
diciptakan oleh kelompok tertentu” dan mengesahkan sebuah peraturan daerah yang
melindungi penduduk asli Papua dari para pendatang.
Sebagian besar Muslim sangat marah dengan tindakan
umat Kristen tersebut; beberapa mengancam untuk melancarkan jihad. Anggota
Majelis Ulama Indonesia (MUI) berusaha mencari jalan tengah. Dalam surat
tertanggal 30 November ke Majelis Rakyat Papua, sebuah lembaga yang dibentuk
untuk melindungi hak-hak dan budaya asli
rakyat Papua, mereka mengatakan bahwa Manokwari sudah dikenal sebagai ibukota
propinsi baru Irian Jaya Barat, nama Papua Barat sebelumnya. Surat itu melanjutkan
bahwa pembangunan Mesjid Raya sejalan dengan keputusan menteri agama tahun 2004
yang menetapkan bahwa harus ada sebuah Mesjid Raya di setiap ibukota propinsi.
Biasanya hal ini ditetapkan oleh gubernur dan kantor urusan agama tingkat
propinsi. Tapi karena di Manokwari belum ada, maka sudah cukup yang menolak
ijin adalah bupati.
Meskipun begitu, karena ibukota propinsi
seharusnya dapat mengakomodasi kepentingan berbagai kelompok sosial, dan
MUI-Papua mengakui status kota Manokwari sebagai tempat lahirnya agama Kristen
di Papua, jalan keluarnya yaitu dengan memindahkan ibukota propinsi ke Sorong.
Tetapi hal ini tidak realistis, dan kemarahan
masyarakat masih tetap tinggi. Pendapat Muslim yang menganggap tidak ada yang
salah dengan mendirikan sebuah Islamic Center yang besar di tempat lahirnya
agama Kristen di Papua terkait dengan pengetahuan baru bahwa Islam telah
berakar di Papua jauh sebelum kedatangan misionaris. Dipopulerkan oleh sebuah
buku, Islam atau Kristen gama Orang Papua?, yang ditulis oleh Ali Athwa,
seorang wartawan dari majalah Suara Hidayatullah, fakta-fakta yang dikemukakan
bukanlah hal baru, tapi untuk pertama kali, gagasan bahwa Islam adalah agama
terbesar pertama di Papua mendapat banyak pendengar di seluruh Indonesia.
Menanggapi larangan terhadap pembangunan Mesjid Raya, seorang pemimpin Muslim
di Manokwari berkata dengan marah,”Islam agama asli Papua, Kristen hanya tamu;
punya hak apa tamu melarang tuan rumah?” Banyak hadits yang menyatakan bahwa
membangun mesjid – rumah Allah – adalah
amal yang utama. Allah menganggap hal itu sebagai amal jariah, sebuah
perbuatan yang pahalanya akan terus mengalir walaupun si pemberi sedekah telah
wafat, karena selama Muslim beribadah di mesjid, yang membangunnya akan terus
mendapat pahala. Pembangunan mesjid juga berhubungan dengan status sosial, yang
melambangkan kekayaan dan kesalehan. Konsep “wakaf per meter” tiba-tiba
memungkinkan siapapun memperoleh status itu dan menjadi sumber kebanggaan yang
amat sangat, terutama karena hasilnya bukan cuma sebuah rumah ibadah biasa tapi
sebuah Mesjid Raya. Hampir setiap pendatang Muslim di Manokwari menyumbang.
Kemudian, tiba-tiba, proyek itu dihentikan oleh umat Kristen, merampas para
donor dari status yang sangat mereka harap-harapkan.
Setelah spanduk-spanduk yang menolak
pembangunan mesjid muncul, sejumlah Muslim siap untuk menggunakan kekerasan
untuk mempertahankan rencana mereka terhadap pembangunan mesjid, bahkan
bersedia mati untuk itu, terutama karena menurut ajaran Islam, membela rumah
Allah dari serangan musuh adalah bentuk jihad yang dibenarkan. “Saya tidak
pernah shalat lima waktu, saya sering berbuat dosa, kapan lagi saya punya
kesempatan untuk masuk surga tanpa khawatir mengenai masa lalu saya?” kata
seorang Muslim setempat. Kemarahan mereka hanya bisa diredakan setelah aparat
keamanan, yang khawatir akan terjadi kekerasan, melobi pemimpin masyarakat
Muslim. Pemerintah menjanjikan bahwa setelah pilkada, rencana pembangunan
mesjid bisa diteruskan; dan Rahimin Kacong memanfaatkan hal ini sebagai janji
kampanyenya. Sementara itu, kontroversi masalah ini menarik perhatian
kelompok-kelompok jihadi di luar Papua. Tiga orang dari Jawa, yang menurut
sebuah sumber di Manokwari digambarkan sebagai “pengikut Abu Bakar Ba’asyir”,
tiba di Papua bulan Desember 2005, menawarkan bantuan ke masyarakat Muslim
lewat seorang kontak disana jika konflik pecah. Mereka membuat daftar berisi 38
nama dan alamat para pendeta yang memimpin kampanye menolak pembangunan Mesjid
Raya, tampaknya sebagai kemungkinan sasaran. Tapi penghubung mereka disana
menolak bantuan yang ditawarkan, dan mereka segera kembali ke Jawa. Sekitar
tiga minggu kemudian, sebuah delegasi jihadi dari Maluku menghubungi orang yang
sama, juga menawarkan bantuan kalau terjadi konflik dan delegasi ini juga
ditolak dengan sopan.
B.
RANCANGAN PERATURAN DAERAH (RAPERDA)
Bulan Februari 2006, GKI yang mengadakan
rapat di Wamena, di pegunungan tengah Papua, membahas situasi di Manokwari dan
sepakat bahwa sebuah peraturan daerah (perda) perlu diimplementasikan untuk
mempertahankan status kota Manokwari sebagai “Kota Injil”. Namun pada saat yang
sama, pilkada di Irian Jaya Barat terus berjalan. Pasangan Abraham Atururi dan
Rahimin Kacong mengantongi 61.3 persen suara dan dilantik bulan Juli. Penduduk
Muslim berharap bahwa Kacong akan memegang janjinya untuk mengijinkan
pembangunan mesjid.
Tetapi pemerintah daerah menyadari bahwa
melanjutkan pembangunan padahal penduduk Kristen sangat menentang rencana itu
akan membawa konflik yang lebih serius, sehingga pada akhirnya rencana
pembangunan mesjid tetap terkatung-katung. Menjelang akhir tahun, mulai beredar
isu di tengahtengah masyarakat Kristen bahwa Laskar Jihad, milisi salafi yang
mendatangkan kerusakan di Maluku dari tahun 2000 hingga 2002, sedang melakukan
pelatihan militer di sebuah wilayah transmigrasi yang dikenal dengan nama
Satuan Pemukiman (SP) di asmi, di luar Manokwari, dengan tujuan memerangi
Kristen yang telah menentang pembangunan mesjid. Ketakutan masyarakat mereda
setelah diketahui bahwa ternyata para pemuda yang terlibat, hampir seluruhnya pendatang,
bukan anggota Laskar Jihad tapi anggota sebuah organisasi pencak silat yang
tidak ada kaitannya.
Dengan politik maupun agama. Tapi untuk
pihak Kristen, keberhasilan menghentikan pembangunan Mesjid Raya memberi
perasaan berkuasa bagi pemimpin setempat, dan mereka mulai mendorong untuk
melarang mesjid dan organisasi Muslim yang lain di daerah Manokwari. Pada
11Desember 2006, lebih dari setahun kemudian, BKAG mengirim surat ke ketua
Yayasan Islam al-Hidayah, menolak kehadiran yayasan ini di kabupaten Ransiki
dan pembangunan sebuah mesjid dekat Abreso. Kalau Muslim mau sembahyang,
katanya, mereka sebaiknya ikut dengan mesjid di kota Ransiki daripada membangun
mesjid baru. “Terima kasih”, tutup surat tersebut, “dan mudah-mudahan surat ini
dapat diindahkan sebagai suatu toleransi antar umat beragama di distrik
Ransiki”. Kemudian, tanggal 1-2 Februari 2007, para pemimpin gereja menyelenggarakan sebuah seminar
bertema “Menjadikan Mansinam dan Manokwari sebagai Kota Injil”, di gereja Elim
Kuali, Manokwari. Beberapa peserta seminar mengutarakan kekhawatiran mereka
atas penyebaran agama Islam di Papua. Pendeta Phil Erari, seorang tokoh
nasional, memperingatkan bahwa Manokwari, kota suci bagi Papua Kristen, sedang
menghadapi nasib yang sama seperti Nazareth, Betlehem dan Capernaum. Betlehem
yang merupakan tempat kelahiran Yesus sekarang dikuasai oleh Muslim, katanya.
Pemerintah perlu mengambil tindakan proaktif untuk mempertahankan Manokwari
sebagai kota Kristen.
Pada tanggal 7 Maret, pemimpin gereja
menguraikan kota yang mereka inginkan dalam sebuah rancangan perda berjudul
“Penyelenggaraan Pembinaan Mental dan Spiritual”, yang lebih dikenal sebagai
“Perda Injil”. Ide dasarnya adalah untuk menanamkan nilainilai Kristen di dalam
masyarakat Manokwari, dan beberapa ketentuan mau tidak mau membawa kekhawatiran
bagi masyarakat Muslim. Raperda ini mendefinisikan Injil sebagai “kabar baik
yang mengatakan bahwa kedatangan Yesus Kristus adalah permulaan dari
pemerintahan Allah di bumi, member kehidupan baru bagi nilai-nilai kasih,
perdamaian, persaudaraan, kesejahteraan, keadilan, persekutuan dan
keterbukaan”. Program pembinaan Spiritual akan didedikasikan untuk menyebarkan
nilai-nilai tersebut. Pasal 25 dari Raperda itu berbunyi:
Kegiatan pembinaan mental spiritual
diselenggarakan dengan memperhatikan, nilai-nilai sejarah, budaya, adat
istiadat dan kearifan local yang berlaku dalam masyarakat local, terutama
mayoritas orang asli atau penduduk asli Papua yang menganut agama Kristen.
Pasal 26 berbunyi pemerintah dapat memasang symbol agama di tempat umum dan
perkantoran, karena agama Kristen adalah agama hampir seluruh warga asli Papua.
Pasal 28 menetapkan hari Minggu sebagai hari ibadah, dimana seluruh kegiatan
bisnis dilarang, setidaknya untuk setengah hari. Hal ini menyebabkan
kekhawatiran yang luarbiasa karena pelabuhan Manokwari biasanya sangat sibuk
pada hari Minggu. Kota Manokwari akan menjadi kota bebas maksiat: perjudian,
prostitusi serta produksi dan distribusi minuman alkohol akan dilarang. Raperda
ini juga berisi ketentuan-ketentuan yang kelihatannya merupakan tanggapan
langsung terhadap ketakutan terhadap islamisasi. Pasal 37 sebenarnyamelarang
perempuan mengenakan jilbab di tempat-tempat umum, sekolah dan kantor
pemerintah, dengan melarang busana yang menonjolkan symbol keagamaan di daerah
ini; jilbab tampaknya dianggap sebagai sebuah cara untuk menyebarluaskan agama.
Pasal 30 mewajibkan tempat-tempat ibadah memperoleh ijin dari 150 tokoh adat
dan individu di lingkungan terkait dan sebetulnya mencegah pembangunan mesjid
di daerah yang penduduk aslinya sudah dilayani oleh gereja. Raperda tersebut
segera dikecam oleh para pemimpin Muslim maupun Kristen. Para pemimpin Muslim
lokal mengirim surat protes ke bupati. Tapi tidak seperti pertikaian Mesjid
Raya yang hanya menjadi persoalan setempat, masalah raperda meluap menjadi
persoalan nasional. Media-media muslim besar menggambarkan hal ini sebagai
diskriminasi terhadap Islam – dan memang betul.
Pada tanggal 15 Maret 2007, organisasi
Islam utama di Indonesia, termasuk Majelis Ulama Indonesia, Muhammadiyah, dan
Nahdlatul Ulama mengeluarkan sebuah pernyataan yang menolak raperda tersebut.
Hidayat Nur Wahid, ketua Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) dan ketua Partai
Keadilan Sejahtera (PKS), mengatakan raperda ini dapat memecah belah Indonesia.
Bahkan kota Roma tidak menyatakan dirinya sebagai “Kota Injil”, meskipun Roma
adalah pusat agama Katolik, katanya. Organisasi garis keras Forum Umat Islam
mengatakan raperda tersebut memperlihatkan sifat asli Kristen, yaitu kalau mereka
kecil, mereka menuntut, dan kalau besar, mereka menindas. Dan mereka mengklaim
bahwa raperda tersebut merupakan langkah awal untuk mengusir Muslim dari Papua.
Ketua KWI dan PGI juga menolak rancangan peraturan daerah tersebut. Keduanya
mengatakan menolak peraturan daerah manapun yang berbasis agama, sebuah
sindiran yang tidak terlalu ditutupi terhadap puluhan perda yang terinspirasi
syariah Islam yang diadopsi oleh daerah-daerah mayoritas Muslim di Indonesia.
Pemerintah Manokwari kaget demi melihat
protes yang bertubi-tubi. Sekretaris Daerah Propinsi mengatakan kepada wartawan
bahwa raperda tersebut hanya merupakan sekumpulan saran dari pemimpin gereja
dan tidak memiliki kekuatan hukum. Segala sesuatunya harus didiskusikan
terlebih dahulu dengan tim DPRD, dan ia yakin ketentuan yang diskriminatif akan
Masalahnya
adalah media yang sama tidak memperlihatkan ketertarikan yang sama terhadap
ketentuan diskriminatif peraturan daerah yang dirancang untuk menanamkan
prinsip-prinsip Islami di wilayah mayoritas Muslim. Memang banyak sumber yang
berpendapat perda Syariah menjadi inspirasi perda Manokwari.
Pada bulan Mei, bupati Dominggus
Mandacan, mengatakan bahwa walaupun mewakili aspirasi mayoritas, raperda
tersebut masih perlu perbaikan sebelum dapat disampaikan secara resmi ke DPRD
kabupaten, dan tim DPRD akan mempertimbangkan akibat sosial negatif yang akan
dihadapi kalau penetapan Manokwari sebagai “Kota Injil” dilanjutkan.
C.
REAKSI MUSLIM
Namun, kerusakan sudah terjadi. Bulan
Agustus 2007, tiga anggota MUI kabupaten Manokwari menyampaikan sebuah surat
pernyataan kepada rapat MUI Daerah V yang meliputi Papua, Sulawesi dan Maluku
yang isinya layak dikemukakan disini karena kegetirannya. Pernyataan tersebut
mengemukakan bahwa sebuah kelompok, atas nama agama tertentu, sedang berusaha
untuk menentang keberadaan Muslim di Tanah Papua dan terutama di Manokwari,
mencoba untuk merusak persatuan negara Indonesia dan menjadikan agama sebagai
komoditas politik. Akses yang setara terhadap Muslim diingkari, katanya,
sementara Kristen mengklaim bahwa tanah “mereka” bukan milik Muslim, walaupun
peradaban Islam sudah mendahului Kristen di Papua lebih dari 200 tahun yang
lalu. Undang Undang Otonomi Khusus tahun 2001 untuk Papua digambarkan sebagai
sebuah “musibah yang sangat dasyat” yang bisa mengakibatkan perpecahan di
Indonesia. Kalau umat dibelenggu, dipojokan, direkayasa untuk menghilangkan
keutuhan umat, maka sudah saatnya Umat Islam bangkit dan bersatu padu dan
berjihad menegakan ajaran Allah di negeri ini. Untuk kepentingan memastikan
perdamaian dan menghindari konflik antar agama seperti yang terjadi di Ambon
dan Poso, MUI mendesak rapat daerah untuk membentuk sebuah panitia khusus untuk
mengkaji persoalan ummat di wilayah bagian timur Indonesia dan bahwa
rekomendasi yang disusun akan disampaikan ke pemerintah pusat, lewat MUI
nasional.
Sejumlah kelompok jihadi juga sudah siap
membela agama mereka di Manokwari, dengan mengirimkan tim peninjau untuk memeriksa
situasi. Kelompok- kelompok seperti Laskar Jundullah dari Sulawesi Selatan
membicarakan tentang memulai jihad baru disana. Di kalangan ini, teori
konspirasi sangat populer, antara lain seperti bahwa raperda Injil merupakan
rencana pihak asing untuk Mengkristenkan”
wilayah timur Indonesia, atau raperda Injil adalah bagian dari agenda Kristen
untuk mendirikan “Negara Kristen Arafuru Raya” yang akan meliputi Maluku dan
Papua. Kemudian hal ini dikaitkan dengan isu yang beredar sejak awal tahun 2004
yang menyebutkan bahwa Gloria Macapagal-Arroyo, presiden Filipina, telah
menulis surat kepada presiden AS George Bush, meminta bantuannya untuk
mendirikan sebuah kerajaan Kristen di Asia Tenggara.
Di rapat MUI Daerah V, di Manado,
Sulawesi Utara, Haji Adnan Arsal, pemimpin Muslim radikal dari Poso yang
sekolahnya menjadi pusat kegiatan JI di Poso, menurut laporan telah menawarkan
bantuan dari para mujahidinnya jika konflik pecah di Manokwari. Tetapi para
pemimpin setempat terus menolak bantuan apapun dari luar.
Beberapa umat Kristen di Manokwari
merasa tidak perlu mundur dari raperda, yang mereka anggap sebagai keharusan
yang mutlak untuk melindungi dari perkembangan Islamisasi yang pesat. Bagi
mereka, ketentuan yang dianggap oleh Muslim sebagai hal yang diskriminatif
bukanlah larangan melainkan batasan. Tentang ketentuan yang berhubungan dengan
jilbab, “kita tidak melarangnya, tapi sebaiknya hanya dipakai di tempat-tempat
yang tepat”, kata salah seorang dari mereka, “dan terutama bagi pegawai negeri
yang wajib memakai baju seragam, kenapa ada yang boleh kelihatan berbeda?”
Mereka tidak melarang adzan, yang mereka larang penggunaan pengeras suara
karena mengganggu orang-orang dari agama lain.
Akhir bulan Mei 2008, rancangan yang
kedua perda Injil muncul. Yang ini jauh lebih baik dari yang pertama dan
sebagian besar ketentuan-ketentuan yang kontroversial sudah dihilangkan, tetapi
judulnya “Raperda Tentang Penetapan Kampung-Kampung Sebagai Perkampungan
Penginjilan/Pembinaan Mental Spiritual”.
Bagi sebagian besar Muslim,
kata penginjilan berarti dakwah yang bertujuan untuk memurtadkan Muslim, dan
karena itu memicu kemarahan. Rancangan yang kedua juga tetap memuat ketentuan
yang mewajibkan ijin dari masyarakat sekitar untuk membangun rumah ibadat – hal
yang membuat khawatir Katolik dan juga Muslim, karena keduanya adalah agama
minoritas di daerah itu. Polarisasi agama kelihatannya akan terus berlanjut.
III. KAIMANA
Dengan mendinginnya situasi di
Manokwari, suhu di Kaimana, yaitu sebuah kabupaten di bagian barat daya pulau
Papua yang dimekarkan dari Fakfak pada tahun 2002, meningkat. Bertahun-tahun
Kaimana dikenal karena hubungan yang harmonis antara Kristen dan Muslim; tahun
2006, seorang pendeta setempat menulis referensi standar mengenai topik itu,
menekankan komitmen dari kedua belah pihak masyarakat terhadap pluralisme dan
hidup berdampingan.
Oleh karena itu ketegangan di akhir
tahun 2007 sangat mengejutkan, tetapi ketegangan ini sudah menumpuk sejak
beberapa lama, terutama sejak konflik di Ambon.
Tahun 2005, kabupaten Kaimana berpenduduk 37,469 orang. Sebagian besar
adalah warga Papua asli dari beberapa kelompok etnis termasuk Koyway, Irarutu,
Mairasi dan Madewana. Para pendatang, sebagian besar bekerja sebagai pedagang
kecil dan di sector transport, berasal dari Jawa, Maluku, Sulawesi Tenggara,
Selatan dan Utara; tidak ada angka jumlah total mereka. Jumlah penganut
Protestan lebih dari setengah jumlah penduduk seluruhnya; Muslim diurutan yang
kedua, yaitu sekitar 40 persen, sebagian besar Papua asli, dan Katolik 9.5
persen.
Keharmonisan kehidupan beragama di
Kaimana merupakan hasil dari norma-norma adat yang kuat yang menekankan
solidaritas marga dan keluarga lintas agama. Banyak dari marga-marga seperti
Werfete, Tanggarofa, Kamakaula, Amerbay, Jaisono, Feneteruma dan Waita, yang
menjadi penganut kedua agama. Warga Kristen sering duduk dalam kepanitiaan
pembangunan mesjid dan ikut dalam pembangunan gedung baru; warga Muslim
membantu membangun gereja. Selama bulan Ramadhan, warga Kristen sering membantu
menyiapkan sahur bagi tetangga Muslimnya dan membangunkan mereka untuk makan
sahur.
Yayasan pendidikan Kristen membangun
sekolah di lingkungan Muslim dan mempekerjakan guru Muslim untuk
mengajarkan pelajaran agama dan membaca
al-Qur’an. Sebagian warga Muslim mengikuti cara-cara beribadah yang sama dengan
organisasi Muslim terbesar di Indonesia, Nahdlatul Ulama. Protestan terdiri
dari “Propinsi Papua Barat dalam Angka”,
Badan Pusat Statistik, 2006 . Sisanya pemeluk agama Hindu dan Buddha. yang
dulunya Gereja Protestan Maluku, sekarang GPI (Gereja Protestan Indonesia) di
Papua, dan GKI (Gereja Kristen Injili), aliran terbesar di Papua. Konflik yang
hampir pecah muncul sebagian karena datangnya elemen baru yang kurang
berpikiran terbuka dari kedua agama.
A. KETEGANGAN KARENA KONSER
DAN POHON NATAL
Ketegangan ini dimulai bulan Oktober
2007, dipicu oleh keputusan GPI untuk mengadakan konser menggalang dana untuk
pembangunan sebuah gereja. Acara seperti ini biasa di Kaimana, tapi konser ini,
yang mendatangkan penyanyi dari Maluku, akan diadakan dalam bulan Ramadhan dan
akan mulai jam 7 sore, hampir sama dengan waktunya Muslim shalat tarawih, yaitu
shalat malam yang dilakukan pada bulan puasa. Selain itu, konser ini akan
diselenggarakan di sebuah SD Kristen yang lokasinya terletak diantara dua
mesjid (Sabililah dan Cendrawasih) di lingkungan kota Cenderawasih. Mendengar
rencana itu, banyak Muslim yang marah dan menuduh Kristen tidak menghiraukan
perasaan Muslim. Pemimpin Muslim berusaha menenangkan mereka dengan mengatakan
warga Kristen mungkin tidak memahami ada shalat tarawih. Tetapi sebuah kelompok
menganggap hal itu tak masuk akal: bagaimana mungkin Kristen tidak tahu
pentingnya Ramadhan atau tidak tahu tentang shalat tarawih? Akhirnya panitia
konser mengalah dan merubah jam konser jadi jam 9 malam. Bentrokan dapat
dihindarkan, tapi pada pertengahan bulan Desember, ketegangan naik lagi. Kali
ini dipicu oleh pemasangan sebuah menara besi yang berbentuk Pohon Natal, dan
dipuncaknya bukan salib (yang lebih umum di Papua) yang dipasang, tapi Star
Of David, bintang bercabang enam, sebuah simbol yang sensitif di Indonesia
yang sering dipakai oleh kelompok karismatik. Menara ini dipasang permanen di
Taman Hiburan Rakyat (THR) tidak jauh dari pusat kota. Sekali lagi, GPI, yang
anggotanya banyak dari Maluku dan Sorong, tapi juga dari Ayamaru, merencanakan
sebuah upacara, tanpa kordinasi baik dengan anggota aliran Kristen yang lain
maupun dengan tetangga Muslimnya. GKI mengklaim mereka tidak tahu tentang pohon
natal tersebut, tapi GPI bersikeras untuk terus memasangnya, dan mengatakan
bahwa mereka sudah punya ijin dari wakil bupati Kaimana, Mathias Mayruma, yang
datang menghadiri pemasangan menara tersebut. Hasan Achmadi, bupati Kaimana,
menurut laporan tidak tahu bahwa menara pohon natal ini dipasang permanen, lengkap dengan pondasi
semennya.
Warga Muslim setempat sangat marah. Di
lingkungan tempat tinggal seperti Kampung Seram, Anda Air, Bungsur dan Kaki
Air, massa mulai berkumpul, menunggu komando untuk membongkar pohon natal itu.
Di wilayah-wilayah Kristen seperti Cenderawasih, Jalan Sisir dan Kebon Kelapa,
kelompok-kelompok mulai menggalang massa setelah mendengar isu bahwa pohon
natal akan dihancurkan dan lingkungan mereka akan diserang. Di Kampung Baru,
Muslim mulai menyiapkan truk-truk untuk membawa massa ke kota Kaimana. Suasana
panik timbul, beberapa orang bersiap-siap untuk mengungsi kalau konflik pecah.
Di Arguni, sebuah lingkungan tempat tinggal Kristen, beberapa orang bersembunyi
ke hutan.
Bupati turun tangan tanggal 14 Desember
2007, menghimbau kepada Muslim untuk tidak menyalahkan Kristen atas ketegangan
yang terjadi, tapi kepada dirinya yang telah memberikan ijin. Pernyataannya
meredakan situasi panas, dan keesokan harinya ia mengadakan rapat dengan para pemimpin
agama dari kedua belah pihak. Disepakati bahwa pohon natal bisa tetap dipasang
sampai tanggal 21 Januari 2008 dan setelah itu akan dibongkar.
Sampai tanggal 28 Desember tidak terjadi apa-apa. Kemudian,
tiba-tiba, anggota GPI mengundang para pemimpin dari aliran lain untuk rapat
dan mengumumkan bahwa mereka telah mendengar bahwa Muslim berencana untuk
menyerang Kristen hari berikutnya, dan untuk mencegah hal ini terjadi, mereka
memutuskan untuk membongkar pohon natal segera. Namun anehnya, GPI mengumumkan
bahwa sebelum membongkar pohon natal, mereka akan melakukan sembahyang bersama
dan sebuah kebaktian, yang mana para pendeta diminta memakai jubah mereka. GKI
menolak gagasan itu, dan percaya hal itu hanya akan menyulut konflik:
kelihatannya akan seperti undangan kepada semua warga Kristen untuk menghadiri
layaknya kebaktian gereja resmi, tapi kalau mereka lihat pohon natal dibongkar,
hal itu akan membawa reaksi emosional, karena dimata warga Kristen, menara ini
merupakan simbol suci. Anggota GKI menjadi bertambah khawatir setelah pemimpin
GPI mengatakan orang-orang Kristen dari Tual, di bagian tenggara Maluku, arah
selatan Kaimana, sudah siap membantu kalau konflik pecah. Tetapi upacara
pembongkaran menara tidak terjadi – polisi membubarkan rapat dan memanggil
ketua dioses GPI untuk menjelaskan kenapa itu terjadi.
Pada tanggal 1 Januari 2008, sebuah kapal dari Tual tiba di
pelabuhan Kaimana, menyulut isu bahwa orang-orang Kristen dari Tual sudah
datang, namun Kaimana tetap tenang. Ketegangan meningkat tanggal 21 Januari,
yaitu pada saat batas waktu pembongkaran menara. Muslim mulai berkumpul,
menuntut menara dibongkar. Sekali lagi Kristen takut diserang. Pemimpin GPI
menolak kalau mereka yang harus membongkar menara, dan mengatakan itu tugas
bupati. Hasan Achmad tidak siap, karena tahu itu akan membuat Kristen marah.
Akhirnya disepakati jalan tengah yaitu GPI yang akan membongkar menara tapi
kemudian dipindahkan ke salah satu gereja mereka. Untungnya konflik tak
meletus, tapi banyak anggota masyarakat yang kaget karena sudah nyaris sekali.
Bagaimanapun juga, perselisihan agama di Kaimana tidak bercampur
dengan persoalan etnis dan ekonomi seperti yang terjadi di tempat lain.
Walaupun kelompok-kelompok etnis dari Sulawesi Selatan (Bugis, Buton dan
Makasar) mendominasi pasar di Kaimana seperti juga di daerah lain di Papua,
tapi tidak ada perselisihan pribumi-pendatang yang serius.
Di mesjid-mesjid, Muslim dari berbagai
latarbelakang, Papua asli dan non-Papua, selama ini selalu mudah membaur; cara
beribadah yang paling umum mengikuti Mazhab Syafi’i, yang akrab bagi banyak
pendatang dari Jawa, juga ikut membantu. Begitu juga di pihak Kristen,
interaksi yang bersahabat menjadi cirri hubungan pendatang-pribumi.
B. PENGARUH ALIRAN AGAMA BARU
Yang berubah di Kaimana yaitu masuknya
elemen baru yang lebih fundamentalis di kedua agama sekitar tahun 2000.
Gereja-gereja evangelis muncul, termasuk Jemaah Jalan Suci, sebuah kelompok
karismatik, bersama dengan gereja-gereja Bethel dan Bethany. Gereja-gereja
Pantekosta ini sering mengadakan apa yang mereka sebut sebagai KKR (Kebaktian
Kebangunan Rohani), sering berbentuk kebaktian akbar di tempat-tempat umum,
tapi juga menampilkan kesaksian dari para bekas Muslim yang baru masuk Kristen.
Banyak Muslim yang menganggap KKR sebagai penghinaan terhadap agama mereka dan
memutuskan untuk melakukan tindakan balasan, secara terbuka mempertanyakan
ajaran dasar agama Kristen, seperti ketuhanan Yesus.
Menjelang Natal 2006, muncul persoalan.
Tiba-tiba, dan tanpa ijin dari pemuka adat, kelompok karismatik Jalan Suci
memasang salib besar di sebuah bukit di Bungsur, wilayah Muslim. Penduduk
Muslim menurunkan salib itu. Tidak hanya
gereja-gereja baru yang menimbulkan masalah; sebuah aliran radikal juga mulai
muncul di dalam GPI di sekitar waktu yang sama. Dulunya GPI bernama Gereja
Protestan Maluku. Jemaahnya sudah lama ada di Kaimana, dibawa oleh orang-orang
Maluku yang bekerja sebagai birokrat atau guru setelah integrasi Irian Barat
tahun 1969. Hubungan dengan Muslim setempat pada umumnya baik-baik saja, sampai
meletusnya konflik di Ambon tahun 1999 dan tak lama kemudian di Tual. Banyak
warga Kristen yang mengungsi dari konflik ini pergi ke Kaimana, membawa cerita
kekejaman yang dilakukan oleh pasukan Muslim disana. Banyak dari cerita mereka
yang didukung oleh media masa, khususnya media TV. Bahkan setelah konflik
berkurang, beberapa warga Maluku masih terus datang, termasuk beberapa pendeta,
dimana salah seorang dari mereka menjadi ketua classis GPI. Kedatangannya
menandai memburuknya hubungan Kristen-Muslim dengan kedatangan pendeta itu.
Sebuah fenomena pembaharuan agama juga terjadi di pihak Muslim. Tapi tidak
seperti elemen baru dalam agama Kristen yang dibawa oleh orang luar, Islam
“yang baru” dibawa oleh warga Papua asli yang belajar diluar. Salah satunya
yaitu Ahmad Nausrau, sekarang tokoh Partai Keadilan Sejahtera disana, yang
belajar agama Islam ke Timur Tengah. Ketika ia kembali ke Kaimana, ia bergabung
dengan Al Fatih Kafah Nusantara (AFKN), yang dipimpin oleh Fadzlan Garamatan,
ketua Hizb ut-Tahrir Papua. AFKN dengan cepat menarik banyak pengikut dari
daerah setempat, karena mereka tidak hanya memberi ceramah tapi juga pelayanan
sosial seperti sunat masal, dan menawarkan beasiswa bagi anak-anak Muslim untuk
belajar di pesantren dan institusi-institusi di luar Papua.
Perkembangan di bidang teknologi,
khususnya penggunaan handphone yang ada dimana-mana, juga berperan mengubah
hubungan antara kedua masyarakat agama. Handphone dengan teknologi canggih “3G”
digunakan untuk endownload film dan video yang menyebarkan kebencian yang
dilakukan oleh pihak masyarakat yang satu ke pihak yang lain. Sebuah kumpulan
video yang beredar memperlihatkan kekejaman terhadap Muslim di Ambon dan Poso. Beberapa
dari video tersebut dibuat oleh Seyam Reda, warga Jerman keturunan Mesir yang
diduga terkait al-Qaeda
Bagi banyak Muslim, gambar-gambar
tersebut membawa kesan Kristen adalah jahat. Video mengenai pemenggalan kepala
tawanan di Iraq juga beredar, meninggalkan kesan di warga Kristen bahwa Islam
adalah agama kekerasan. Sama seperti di Manokwari, kelompok-kelompok jihadi di
luar Papua mendengar tentang ketegangan yang terjadi dan dalam posisi menunggu,
siap untuk ikut campur kalau kekerasan meletus. Pada akhirnya, hal ini bisa
dihindarkan, tetapi pondasi untuk terjadinya konflik sudah tertanam. dan ditangkap di Jakarta tahun 2002 karena
kasus pelanggaran imigrasi, dan akhirnya dideportasi ke Jerman.
IV.
KEGADUHAN MENGENAI KAMPUS MUSLIM DI JAYAPURA
Pada awal tahun 2007, sebuah persoalan
baru muncul di Jayapura. Sekolah Tinggi Agama Islam Negeri (STAIN), bermaksud
mendirikan sebuah kampus di Bumi Perkemahan, di wilayah Waena. Di seluruh
Indonesia, tanpa terkecuali, institut-institut ini telah menjadi kekuatan yang
moderat dan rumah bagi beberapa ulama yang paling progresif di Indonesia.
Di Papua, pendukungnya percaya bahwa
institute seperti itu akan menghasilkan ulama-ulama asli dari Papua, mengurangi
ketergantungan pada guru-guru non-Papua dan memastikan bahwa nilai-nilai Islam
yang universal disampaikan dengan cara-cara yang harmonis dengan tradisi budaya
rakyat Papua.
Tetapi Asosiasi Pendeta Indonesia (API)
mengeluarkan sebuah surat yang menentang proyek itu, walaupunsudah disetujui
oleh GKI, aliran Protestan terbesar di Papua, karena berpikir bahwa hal ini
juga merupakan tanda-tanda lain berkembangnya “Islamisasi”. Pribumi Muslim yang
paling marah. “Muhammadiyah dan Nahdlatul Ulama saja tidak pernah mengontrol
kita”, kata salah seorang pemimpin Muslim lokal, menyebut organisasi Islam
terbesar di Indonesia, “kemudian tiba-tiba saja API yang menolak kita”.
Kenyataan bahwa API didominasi oleh
warga nonPapua semakin menambah Kekesalan mereka. Surat API ditembuskan ke
gubernur, DPRD dan MRP, yang mana
kelompok kerja bidang agamanya membahas hal ini dan mendukung posisi API. Pada
tanggal 1 Maret 2007, MRP mengeluarkan pernyataan mereka, yang menolak
pembangungan kampus. Arobi Achmad Airtuarauw, seorang anggota MRP Muslim, tidak
hadir dalam sesi pembahasan. Pada pertengahan April 2007, Muktamar Majelis
Muslim Papua yang dipimpinnya, mengatakan bahwa pernyataan itu telah “sangat
melukai perasaan Muslim pada umumnya, dan pribumi Muslim pada khususnya” dan
meminta MRP untuk meminta maaf.
Ada tiga tingkatan institusi, yaitu
STAIN, setingkat perguruan tinggi dengan masa kuliah dua tahun; Institut Agama
Islam Negeri (IAIN), perguruan tinggi dengan masa belajar empat tahun; dan
Universitas Islam Negeri (UIN), sebuah universitas dengan program S1.
Banyak anggota API di Papua yang berasal dari Menado (Sulawesi
Utara), Toraja Sulawesi Selatan) dan
Sumatra Utara. Rekomendasi Majelis
Muslim Papua, Bidang Otonomi Khusus dan Pemerintah Daerah, no. 4 dan 5, dan
Bidang Sosial Budaya (Pendidikan) dalam Hasil-Hasil Pelaksanaan . Pada
akhirnya, pembangunan berlanjut dan kampus sekarang berdiri di lokasi seluas 1
hektar di Waena, tetapi peristiwa ini meninggalkan perasaan tidak enak di semua
pihak.
V. MENJELASKAN KETEGANGAN: DEMOGRAFI
Ketegangan yang terjadi di Manokwari dan
Kaimana juga terlihat di daerah lain di Papua, dan beberapa faktor penyebabnya
sama, yaitu: perubahan demografis, imbas dari konflik Maluku, pemahaman baru
sejarah Islam di Papua, perkembangan di luar Papua dan teknologi baru.
A. PERTUMBUHAN ISLAM
Statistik pemerintah memperlihatkan
pertumbuhan Islam yang stabil di Papua (lihat tabel di bawah). Jumlah penduduk
Muslim banyak sekali yang nonPapua.
Menurut Biro Pusat Statistik tahun 2000,
90.82 persen dari penduduk Muslim adalah para pendatang; dan 9.18 persen adalah
Papua asli, sebagian besar dari wilayah Kepala Burung. Secara kontras, 81.24
persen dari pemeluk agama Katolik adalah warga asli Papua, dan Protestan adalah
81persen.Pengaruh para pendatang juga lebih menonjol di kota-kota di Papua.
Warga Papua asli hanya 33.9 persen dari jumlah penduduk perkotaan di tahun
2000, berkisar dari 6 persen di kota Sorong sampai 54 persen di Manokwari,
sementara di seluruh Papua, lebih dari 60 persen penduduk asli tinggal di
pedesaan.
Data statistik di Papua tidak selalu
akurat, sebagian karena sulitnya mengumpulkan data, sebagian lagi karena
kesalahan dalam tabulasi. Bahkan dalam satu buah dokumen, persentasinya
seringkali tidak genap 100, atau dihitung dengan salah. Namun pola waktunya cukup
konsisten. Banyak pemimpin agama yang meyakini bahwa jumlah pendatang
sebenarnya lebih banyak dari yang diberitakan, dan warga Papua telah menjadi
minoritas di tanah mereka sendiri. Sebuah laporan mengemukakan: Komposisi
populasi Papua Barat saat ini yaitu 30 persen warga asli Papua Barat dan 70
persen pendatang. Warga asli Papua Barat selama ini terpinggirkan di semua
aspek kehidupan. Demikian juga, sebuah artikel di majalah Muslim konservatif yang dibaca luas menulis bahwa
data tahun 2003 (tidak jelas data dari mana) memperlihatkan 40 persen dari
populasi penduduk Papua adalah Muslim, membuat Islam sebagai agama yang
dominan, karena penganut animisme disatukelompokkan dengan Kristen, sehingga
angka ini tidak menggambarkan keadaan yang sebenarnya. Tetapi Muslim menduduki
kurang dari 10 persen posisi politik di Papua – hanya bupati di Manokwari dan
Kaimana yang beragama Islam – dan ketidakseimbangan ini harus ditanggulangi,
lanjut artikel dalam majalah tersebut.
B.
“ISLAMISASI” DAN MIGRASI
Banyak warga Papua yang melihat
pertumbuhan Islam yang stabil di Papua sebagai hasil kebijakan pemerintah yang
telah direncanakan. Hal ini menjadi satu argumentasi dari pendeta Socratez
Sofyan Yoman, presiden gereja Baptis di Papua, Yoman menulis: Merupakan sebuah upaya yang sistematis dan
terencana untuk menghapuskan (lewat genosida) penduduk asli Papua dengan cara
mengirimkan para transmigran atau pendatang ilegal ke Papua, dengan alasan
hanya ada terlalu sedikit warga Papua di daerah-daerah baru yang rencananya
akan dilakukan pemekaran – sebuah cara Islamisasi dan Jawanisasi jangka panjang
untuk menguasai wilayah Pasifik dan Australia.
Bersama Sendius Wonda, Yoman bisa
dikatakan sebagai tokoh paling gencar mengkampanyekan issu genosida dikaitkan
dengan migrasi. Wonda sempat menuangkan gagasannya soal genosida dalam bukunya
Tenggelamnya Rumpun Melanesia. Buku itu kemudian dilarang oleh pemerintah SBY
bulan Desember 2007. Buku tersebut sangat berpihak, tetapi pengarangnya hanya
menuliskan apa yang sudah lama diperbincangkan oleh rakyat Papua
bertahun-tahun. Ketika GKI mengadakan diskusi tentang pelarangan buku itu di
Jayapura, hampir seluruh peserta diskusi mengatakan mereka percaya bahwa rakyat
Papua akhirnya akan tersapu oleh migrasi massal.
Statistik populasi memperlihatkan sebuah kenaikan yang sangat
dramatis dalam persentasi Muslim antara tahun 1975 dan 1985, ketika program
“transmigrasi” yang disponsori oleh pemerintah sedang gencargenrnya. Meskipun
alasannya adalah untuk mengurangi kepadatan di pulau Jawa dan mengembangkan
pulau-pulau di luar Jawa, juga ada factor keamanan yang kuat di daerah
perbatasan seperti Kalimantan dan Papua, dan persepsinya begitu kuat diantara
para pemimpin Kristen bahwa Jakarta sedang mendorong migrasi penduduk Muslim,
daawa (dakwah) dan pembangunan mesjid-mesjid untuk memperkecil jumlah penduduk
asli Papua dan melemahkan gerakan pro-independen.
Ada beberapa pemimpin Organisasi Papua
Merdeka (OPM) yang pernah secara terbuka menuntut Jumlah transmigran yang
dikirim ke Papua meningkat stabil di tiga REPELITA yang pertama, pada masa
pemerintahan Soeharto, yaitu tahun 1969-1973, 1974, 1978, dan 1979-1983.
Pemerintah memindahkan sekitar 10,000
keluarga (41,701 orang), sebagian besar asal Jawa, ke Papua, dan menempatkan
mereka di lima daerah: Jayapura, Merauke, Manokwari, Paniai dan Sorong. Antara tahun 1981 dan 1985, sebanyak 9,772
transmigran, semuanya dari Jawa, sebagian besar Muslim. Karena jumlah tanah di
daerah transmigrasi lain berkurang, tahun 1985 Papua telah menjadi tujuan utama
untuk semua program transmigrasi pemerintah. Kritik internasional terhadap
program transmigrasi di Papua, termasuk kritik bahwa program transmigrasi
terkait dengan Islamisasi, membuat pemerintah Soeharto mengubah taktik tahun
1986. Mereka mengeluarkan Dekrit Presiden no. 4/1986, menetapkan pulau Flores,
Alor, Sumba dan Timor di Nusa Tenggara Timur, sebagai daerah tujuan
transmigrasi. Sejak itu sampai program transmigrasi berhenti seluruhnya tahun
2000, struktur agama para transmigran berubah. Namun pada waktu yang sama, ada
kenaikan jumlah migrasi spontan – yaitu perpindahan penduduk secara sukarela
oleh perorangan atas biaya sendiri dalam rangka mencari kesempatan ekonomi yang
lebih baik, sebagian besar dari mereka berasal dari daerah Muslim Sulawesi Tenggara
dan Selatan. Para pendatang sudah datang ke wilayah pesisir Papua selama
berabad-abad sebelumnya. Pada tahun 1959 ada sekitar 14,000 pendatang, tetapi
jumlah mereka naik tajam setelah pemerintah Indonesia tahun 1970 mempermudah
pembatasan untuk bepergian ke sana. Sebagian besar transmigran spontan menetap
di daerah perkotaan, dan dengan cepat mengisi posisi kosong di sektor
perdagangan dan transportasi. Mereka tidak hanya bekerja di pasar-pasar
perkotaan tapi juga menjadi pedagang keliling ke pelosokpelosok daerah di
Papua. Dengan banyaknya pegawai negeri dan TNI yang dating ke Papua, jumlah
penduduk non-Papua meningkat sangat tajam.
Meskipun program transmigrasi di
Papua menimbulkan kontroversi besar,
namun persoalan ekonomi justru menjadi factor utama penarik perpindahan
penduduk ke Papua. Bahkan jumlah total migrasi yang tidak disponspori oleh
pemerintah sudah melampaui jumlah 560,000 hingga tahun 2000. Perasaan dikecualikan dalam ekonomi
memperkuat permusuhan penduduk setempat terhadap para pendatang. Ketika
kerusuhan sosial meletus di Papua, pasar yang didominasi oleh para pendatang
seringkali menjadi sasaran, seperti yang terjadi di Abepura, diluar Jayapura
tahun 1996; Entrop, Jayapura tahun 1999 dan 2000; dan Sentani di pantai utara
tahun 2000. Seorang pendatang yang memiliki toko di Abepura mengatakan bahwa
setelah terjadinya pengrusakan pasar tahun 1996 disitu, ia menyimpan sepertiga
dari keuntungannya di Papua, dan mengirim yang duapertiga ke Sulawesi, karena
ia yakin bahwa kalau Papua akhirnya berpisah dari Indonesia, ia dan pendatang
yang lain akan diusir dari Papua. Seorang Papua Muslim mengatakan sebagian dari
masalahnya yaitu bahwa para pendatang mempunyai sikap yang menunjukkan mereka
dari kelompok mayoritas sehingga merasa tidak perlu menyesuaikan diri dengan
warga setempat. Mereka juga melihat
bahwa mudah mendapat ijin dari pejabat non-Papua untuk membangun mesjid. Banyak
Papua Kristen yang percaya bahwa bantuan pemerintah yang tidak proporsional masuk
ke mesjid dan kegiatan-kegiatan Muslim lewat departemen agama dengan
mengorbankan Saat ini pendatang Muslim
dari Bugis dan Makassar, Sulawesi
Selatan, mendominasi pasar-pasar di kota-kota besar dan kecil di Papua. Sektor
perikanan yang sebelumnya dikuasai oleh warga asli Papua juga telah diambil
alih oleh para pendatang dari Sulawesi Selatan dan Tenggara; begitu juga
warung-warung makan dan kios-kios serba ada. Hampir semua petugas penjaga
keamanan, buruh konstruksi, pedagang kaki lima dan supir taxi adalah bukan
warga asli Papua. proyek-proyek Kristen, sehingga di tahun 2003, sebuah makalah
yang ditulis oleh para pendukung otonomi mengenai bagaimana menerapkan
undangundang otonomi khusus dengan lebih baik, menuntut bahwa bantuan
pemerintah terhadap kegiatan-kegiatan agama harus sebanding dengan besarnya
Kelompok penerima. Kalau Kristen khawatir dengan Islamisasi, beberapa Muslim di
wilayah Islam tradisional khawatir Kristen mengungguli mereka. Di kecamatan
Babo dekat Teluk Bintuni, daerah yang terkenal dengan proyek gas alami
raksasanya yang dijalankan oleh perusahaan minyak multinasional BP, seorang
pengamat menulis bahwa jumlah penduduk Muslim sudah menurun drastis, yang
tadinya ada 80 keluarga Muslim di satu desa tahun 1970 an, di tahun 2003 hanya
tinggal lima. Ia bilang ini terjadi karena godaan dunia, bertambah lanjut
usianya seorang ulama penting, kegiatan misionaris Kristen yang agresif, dan
kegagalan Muslim untuk mempertahankan diri dari kegiatan misionaris tersebut.
Para kontraktor yang dibawa oleh BP termasuk sejumlah Muslim yang bersedia
menyumbang bahanbahan bangunan untuk pembangunan mesjid dan sekolah-sekolah,
catatnya, dan harapan bangkitnya Islam lagi di Papua mungkin terletak pada
perusahaan.
Itu akhir tahun 2003, sebelum beberapa
kelompok advokasi Muslim yang lebih konservatif mulai mengadopsi sebuah agenda
anti-globalisasi. Tapi hal ini menjadi pengingat bahwa sebuah faktor bagi
pertumbuhan migrasi Muslim selama ini adalah investasi perusahaan, dan meskipun
hal ini dianggap sebagai sebuah keharusan bagi pembangunan propinsi, konsekwensi
politik dan sosialnya juga harus diperhitungkan. Faktor lain yang mempengaruhi migrasi adalah
pemekaran Papua menjadi daerah-daerah yang lebih kecil. Pada tahun 1999, Papua
memiliki satu propinsi dan sembilan kabupaten. Tahun 2008, dua propinsi dan 36
kabupaten.
Beberapa unit baru ini sebelumnya kekurangan personil yang memenuhi syarat
untuk menjalankan daerah-daerah baru ini, sehingga di Boven Digoel, Yahukimo,
dan Tolikara (semuanya dibentuk tahun 2002), non-Papua menguasai 84 sampai 85
persen dari jumlah pegawai negeri.
Meskipun khawatir dengan migrasi,
kepentingan elit lokal untuk menciptakan jabatan-jabatan tinggi yang baru dan
akses ke sumber-sumber daya untuk diri mereka sendiri, atau mendapat kesempatan
lebih besar untuk jaringan sosial mereka yang seringkali berbasis marga,
memastikan bahwa pemisahan antara pendatang dan pribumi akan terus berlanjut.
Patut untuk dikemukakan bahwa di Merauke, kota paling tenggara Papua, dekat
perbatasan dengan Papua Nugini, dimana jumlah pendatang sudah melampaui
penduduk asli dan jumlah penduduk Muslim sebesar 58 persen dari jumlah total
penduduk Merauke, semacam kompromi politik berhasil dicapai. Bupati Merauke
adalah Papua asli; wakilnya orang Jawa. Mereka dianggap salah satu tim
eksekutif yang efektif di Papua, memberi lebih banyak perhatian kepada
kesehatan dan pendidikan, daripada eksekutifeksekutif yang lain. Mereka juga
berusaha keras untuk memperoleh sebuah propinsi baru, Papua Selatan, yang akan
menambah kesempatan buat patronase. Bukan berarti Merauke bebas dari ketegangan
antar agama, tapi dengan sudah lama dilewatinya ambang batas faktor demografi,
masalah di sini dipecahkan dengan cara yang berbeda.
Bintuni; Teluk Wondama; Fakfak dan
Kaimana. Sejumlah pemekaran lain sedang direncanakan. “Bagaimana Kesejahteraan
Masyarakat di Daerah Pemekaran?”, Pada tahun 2001, ketika
“Papuan Spring” sedang mencapai puncaknya, warga asli Papua menyerang Pesantren
Hidayatullah di Merauke. Beberapa santri terluka dan sejumlah bangunan dirusak.
Pesantren ini memiliki hubungan dekat dengan militer setempat, dengan guru-guru
dari pesantren memimpin pengajian mingguan di markas Komando Distrik Militer
(KODIM 707). Pesantren Hidayatullah didirikan tahun 1989 oleh seorang lulusan
Pesantren Hidayatullah yang pertama di Gunung Tembak, Balikpapan, Kalimantan
Timur, di desa Kombe, kecamatan Kurik
Merauke, sekitar 20km diluar kota. Sekitar tahun 1994, seorang donatur Muslim
mewakafkan sebidang tanah di dalam kota, dan pesantren ini kemudian pindah ke
kampus yang baru. Sekarang pesantren ini menjadi salah satu dari beberapa
pesantren Hidayatullah di Papua.
VI.
IMBAS KONFLIK MALUKU
Dampak konflik Maluku di Papua terhadap peneguhan identitas agama
sangat besar, terutama karena waktunya bersamaan dengan dibukanya ruang politik
untuk mengekspresikan pandangan pro-independen. Pendatang Muslim menjadi
identik dengan proJakarta, kekuatan anti-kemerdekaan, dan penduduk Papua asli
yang beragama Kristen identik dengan nasionalisme Papua. Kenyataan bahwa banyak
Papua Muslim yang juga mendukung kemerdekaan dan merasa tertindas dibawah
kekuasaan Indonesia seringkali tidak dihiraukan, tetapi memperkuat pentingnya
potensi mereka sebagai mediator.
A.
EUPHORIA PASKA SOEHARTO
Jatuhnya pemerintahan Soeharto pada
bulan Mei 1998 segera memicu aksi-aksi demonstrasi di Papua yang menuntut
pertanggunganjawaban atas pelanggaran HAM di masa lalu dan eksploitasi sumber
daya dan penarikan TNI dari Papua. Saat itu menjadi awal dari apa yang kemudian
dikenal sebagai “Papua Spring”.
Tuntutan untuk lepas dari Indonesia
meningkat, dan dalam jangka waktu enam bulan, separuh dari seluruh kabupaten di
Papua mengibarkan bendera Bintang Kejora, simbol resmi Organisasi Papua Merdeka
(OPM). Tahun 2000, para pemimpin pro-independen membentuk Presidium Dewan Papua
(PDP), dengan pemimpin adat Theys Eluay sebagai ketua PDP dan Thaha Muhammad al
Hamid, seorang Muslim keturunan Yemen, sebagai sekretaris jendralnya. Mereka
menyelenggarakan apa yang mereka sebut sebagai Kongres Papua Kedua dari tanggal
29 Mei hingga 4 Juni, yang dihadiri oleh ribuan peserta yang menuntut
kemerdekaan. Usulan para pemimpin PDP termasuk sebuah “pilar” untuk para
pendatang didalam stuktur pemerintahan untuk memperlihatkan komitmen mereka
terhadap keanekaragaman di negara yang akan datang, tapi hal ini tidak pernah
terpenuhi, mungkin karena tuntutan baru untuk kemerdekaan dibarengi oleh sebuah
sentiment yang menguat terhadap pendatang.
Keadaannya seperti perasaan sakit hati
yang sudah lama terpendam ataskehilangan tanah dan kekuasaan ekonomi tiba-tiba
mendapat pelepasan. Beberapa menuntut pengusiran; yang lain mendatangi para
pendatang dan menuntut rumah yang ditempati atau tanah mereka. Salah seorang
berkata: Kita tidak bisa menolak tuntutan mereka; kebanyakan dari kita bilang
“ya, ya”. Tapi bukan berarti kita menerima. Kita orang Bugis dan Makasar
sepakat bahwa sebelum meninggalkan Papua, kita akan bakar rumah kita. Enak saja
mereka meminta rumah dan tanah yang kita beli dengan keringat kita sendiri.
Kalau kita diusir, Papua bisa hangus.
Sentimen yang sama juga dirasakan oleh
para pendatang di kota-kota yang lebih
besar seperti Jayapura, Timika, Sorong dan Manokwari. Naiknya suhu politik
membuat para pendatang khawatir. Beberapa bergabung dengan kelompok-kelompok
anti-separatis yang dibekingi oleh TNI, sehingga membuat hubungan dengan warga
asli Papua semakin renggang. Pada tanggal 8 Juli 1998 di Sorong misalnya,
setelah sejumlah aksi penyerangan terhadap para pendatang di seluruh Papua oleh
Satgas Papua (milisi pro-independen), para pendatang yang menyebut diri mereka
sebagai Kelompok Pro Persatuan dan Kesatuan Bangsa Kerukunan Keluarga Sulawesi
Selatan melakukan sebuah demonstrasi anti-separatis yang provokatif, dengan
keamanan disediakan oleh Batalion Infantri 733 dari TNI. Mereka membawa parang,
clurit, pipa besi dan senjata lain, dan berteriak, ”Kutuk perusuh!”, “OPM
pencuri dan perampok!” dan slogan-slogan yang jauh lebih asar, dan rasis
terhadap warga Papua.
Bergabungnya para pendatang dengan
gerakan anti-separatis di beberapa daerah hanya memperkeruh situasi. Sikap
permusuhan warga Papua asli meningkat, karena mereka menuduh para pendatang
tidak saja mencuri tanah mereka dan menguasai ekonomi mereka tapi juga
menghalangi lepasnya mereka dari Indonesia. Ketegangan itu meledak di Wamena bulan
Oktober 2000. Perkelahian antara polisi dan gerakan proindependen berakhir
dengan sebuah serangan oleh ribuan penduduk asli Papua terhadap para pendatang
yang mengakibatkan 37 orang tewas, 24 diantaranya adalah pendatang; 89
luka-luka; dan sekitar 13,500 orang ditangkap di duapuluh tempat yang berbeda.
Ribuan pendatang kehilangan rumah dan barangbarang milik mereka
dan pergi meninggalkan Wamena, tetapi insiden ini berimbas hingga keluar
pegunungan tengah.
Sementara beberapa keluarga di tempat lain mengepak barang-barang
mereka dan pergi diamdiam, yang lain memutuskan untuk tinggal dan
mempertahankan diri dengan senjata tajam atau senjata rakitan dan beberapa
bergabung dengan gerakan antiseparatis.
Agama mempengaruhi pilihan yang diambil oleh kelompok yang
terakhir ini. Banyak pendatang Muslim yang melihat pisah dari Indonesia sebagai
aspirasi warga Papua Kristen, terlebih karena atribut Kristen seperti salib,
kutipan Injil dan lagu-lagu rohani sering dipakai dalam demonstrasi
pro-independen. Muslim semakin yakin bahwa jika Papua memperoleh
kemerdekaannya, maka mereka akan menderita.
Persepsi bahwa gerakan pro-independen
adalah gerakan Kristen tidak hanya kuat diantara para pendatang tapi juga
diantara Papua Muslim. Di Kaimana dan Fakfak dimana Papua Muslim adalah
mayoritas, sebagian besar menolak berpisah dari Indonesia, dan melihat Kristen
sebagai promoter separatisme. Memang, Fakfak menjadi markas milisi
pro-pemerintah, yaitu Satgas Merah Putih, yang diketuai oleh Ismail Bauw,
seorang aparat pemerintah. Sebagian
besar, tapi tidak semua, anggotanya Muslim. Salah satunya Ismail Yeni, seorang
pemimpin marga Yapen Waropen. Pada tahun 1970an, ABRI menarik Ismail sebagai
“relawan sipil” dalam program ABRI Masuk Desa. Progam ini dimaksudkan sebagai
upaya mengambil hati (hearts-and-minds program) untuk membantu ekonomi setempat
tapi kemudian menjadi ungkapan untuk perluasan ABRI ke daerah-daerah pedesaan.
Ismail menjadi pegawai negeri yang loyal di kantor Pekerjaan Umum (PU)
setempat, dan kemudian, walaupun masih memeluk agama Kristen, dia menjadi salah
seorang tokoh di Satgas Merah Putih. Tetapi dia punya empat istri dan 35 anak,
dan gereja Protestan hanya mengakui anak-anak dari istri pertamanya. Ismail
memutuskan untuk pindah agama, tapi Muslim setempat menolak untuk membantunya khawatir akan terjadi kerusuhan agama. Ia
terbang ke Jakarta, dimana kepindahannya ke agama Islam di tahun 2002 di sebuah
mesjid besar di Jakarta disaksikan oleh bekas KASAD Jendral Hartono. Bentrokan
antara anggota Satgas Merah Putih dan para pendukung Kristen pro-independen
setempat di Wayati, Fakfak, bulan Maret 2000 memperdalam kerenggangan
agama-politik, tapi konflik Maluku lah yang membawa dampak yang tidak
hilang-hilang.
B.
KONFLIK MALUKU DATANG KE PAPUA
Pada bulan Juli 2000, ELSHAM, sebuah
organisasi HAM yang berbasis di Jayapura, melaporkan bahwa 100 pemuda pengungsi
dari Ceram, Maluku, yang melarikan diri dari pertempuran antar agama disitu
sedang diberi pelatihan militer di Sorong, dan memakai beberapa puluh senjata
dan bom Molotov. Ada pertanyaan tentang kredibilitas informasi ini, tetapi
tidak ada keraguan bahwa banyak warga Papua percaya konflik Maluku menyebar ke
Papua. Namun para pemimpin gerakan pro-independen sangat memahami bahwa kalau
konflik antar agama meletus di Papua, hal itu bisa merusak perjuangan mereka,
dan memerintahkan Satgas Papua untuk menolak setiap pendatang dari Maluku.
Korban pertama dari kebijakan ini yaitu 3,000 orang pengungsi Kristen dari
Maluku, yang dibawa oleh kapal penumpang, Dobonsolo, ke Papua tanggal 27 Juli
2000. Awalnya Satgas Papua dan
pemerintah setempat mencegah mereka turun dari kapal. Untuk beberapa hari nasib
mereka tidak pasti; akhirnya setelah negosiasi yang alot, mereka dibolehkan
tinggal dua atau tiga bulan dibawah perlindungan gereja.
Kasus Dobonsolo tidak menghentikan
desas-desus bahwa Papua berada di ambang konflik agama, terutama setelah isu
kedatangan Laskar Jihad ke Papua. Laskar Jihad adalah milisi yang sebagian
besar anggotanya berasal dari Jawa dan diback-up oleh TNI. Mereka diketuai oleh
Ja’afar Umar Thalib (berbasis di Yogyakarta) yang telah memimpin penyerangan
terhadap masyarakat Kristen di Maluku. Bulan September 2000 Amnesty
International, mengutip organisasi HAM lokal, melaporkan bahwa sekitar 300
anggota Laskar Jihad bersenjata telah tiba di Sorong.
Beberapa
laporan menyebutkan pasukannya ada yang di Manokwari, Biak, Nabire, Jayapura
dan Arso, selain di Sorong, dengan jumlah total mencapai hingga ribuan.
Beberapa dari angka yang lebih
dibesar-besarkan tampaknya berdasarkan dilihatnya orang-orang yang memakai
turban dan pakaian panjang putih, cara berpakaian tidak hanya milik Laskar
Jihad tapi juga Jemaah Tabligh, kelompok misionaris yang sudah lama aktif di
Papua, terutama di daerah pantai barat.
Ja’far Umar Thalib mengakui bahwa
beberapa orangnya datang ke Papua akhir tahun 2000 – tapi dia tidak bilang
berapa orang – sebagai tim peninjau untuk mencari tahu apa yang dibutuhkan oleh
Muslim disitu, dan baru setelah selesai dengan survey mereka, yaitu bulan
Oktober 2001, ia mengirim sekitar 200 orang. Ia percaya ada konspirasi Kristen
di wilayah timur Indonesia, termasuk Maluku dan Papua, untuk memisahkan diri
dari Indonesia dan membentuk sebuah negara Kristen. Ia mengatakan Laskar Jihad
melihat misi mereka adalah menghancurkan gerakan separatis Papua: Gerakan Papua
Merdeka Di Irian Jaya juga memukul genderang Perang Salib dengan cara mulai
menteror umat Islam disana. Inipun harus dijawab dengan menerjunkan Mujahidin
Ahlussunnah wal Jama’ah disana guna mematahkan semua potensi pemberontakan
Kristen Papua. Mujahidin Ahlussunnah wal Jama’ah terpaksa memfungsikan dirinya
sebagai pengawal Negara Kesatuan Republik Indonesia, karena institusi Hamkam
sedang diborgol oleh berbagai issue pelanggaran HAM atau diopinikan sebagai
musuh demokrasi.
Pasukan Laskar Jihad diterima dengan
baik oleh beberapa orang di masyarakat pendatang Muslim, tapi tidak oleh Muslim
Papua; H. Zubeir Hussain, ketua MUI Papua, dengan tegas menolak kehadiran
milisi Muslim apapun, karena khawatir hal ini hanya akan menyulut konflik
agama.
Pada umumnya selama di Papua, anggota
Laskar Jihad lebih fokus ke dakwah daripada ke pelatihan militer, dan sebagian
besar, tapi tidak semua, meninggalkan Papua setelah Laskar Jihad dibubarkan
bulan Oktober 2002.
Tapi kekhawatiran mengenai kegiatannya tidak hilang. Bulan
Februari 2003, seorang pengusaha alafi, Haji Muhamad Koya, kepala perusahaan
kurir PT Bina Tirta, ditangkap di Sorong, setelah polisi menemukan di gudang
kantornya sebuah tempat penyimpanan senjata kecil berisi bom rakitan,
bahanbahan peledak dan anak panah dengan ujungnya didesain untuk dicelupkan
kedalam bensin. Pemimpin gereja, yang percaya bahwa ia menyimpan itu semua
Untuk Laskar Jihad, mengirim surat kekhawatiran kepada polisi. Meskipun dekat
dengan Ja’far Umar Thalib, menurutnya ia menyimpan senjata-senjata itu untuk
melindungi diri. Ia dijatuhi hukuman atas kepemilikan senjata, tapi hubungannya
dengan Laskar Jihad tidak pernah terbukti.
Dengan semakin berkurangnya konflik di
Maluku dan Poso, dan perkembangan lain menjadi lebih penting di Papua,
ketegangan antar agama juga berkurang, tapi kecurigaan tetap ada. Konflik
Maluku hingga hari ini terus dijadikan pengingat hal yang tidak boleh terjadi di
Papua di acara-acara besar di kedua komunitas agama.
VII. KELOMPOK ISLAM DAN KRISTEN BARU
Pengaruh agama baru di Papua telah membawa sebuah doktrin yang
tidak toleran yang memperumit hubungan antar agama. Di pihak Muslim, mengalir
masuk kelompok-kelompok Islamis, termasuk Hizb ut-Tahrir dan kelompok-kelompok
salafi, beberapa, seperti Wahdah Islamiyah yang berbasis di Makassar, memiliki
kaitan dengan kelompok-kelompok militan. Di pihakKristen kelompok pantekosta dan karismatik telah
menggalang kekuatan. Masing-masing yakin dengan kebenaran masing-masing yang
tak tergoncangkan dan cenderung untuk melihat agama lain sebagai musuh.
A. HIZB UT-TAHRIR
Hizb ut-Tahrir adalah salah satu contoh.
Sebuah organisasi internasional yang didirikan pertama kali di Yerusalem tahun
1953, ia mulai beroperasi secara sembunyi-sembunyi di Indonesia pada awal tahun
1980an; baru setelah Soeharto lengser Hizb ut-Tahrir keluar menggunakan
namanya. Cabang di Indonesia, Hizb ut-Tahrir Indonesia (HTI), dibawa ke Papua
awal tahun 2000an oleh para aktivis dari Jawa dan Sulawesi yang datang untuk
bekerja di Papua dan tumbuh dengan cepat. Salah satu indikasi yaitu kekuatan
kontingen Papua – sekitar 300 orang – di Konferensi Kalifah Internasional HTI
bulan Agustus 2007 di stadion utama di Jakarta. Di Jayapura, anggota HTI
membentuk sayap mahasiswa, Gerakan
Mahasiswa Pembebasan. Anggota HTI
berperan aktif dalam diskusi-diskusi mengenai Papua, meskipun mereka cenderung
menganut teori konspirasi. Contohnya, menurut pendapat mereka separatisme
disebabkan oleh dua faktor. Pertama, Amerika dan sekutu-sekutunya seperti
Australia, Singapura dan Filipina, ingin memperlemah dan memecah belah
Indonesia; salah satu cara untuk melakukan hal itu adalah dengan mendorong
separatisme Papua. Menurut teori ini, Amerika takut kalau Indonesia dan
Malaysia bersama-sama akan menjadi sebuah kekuatan Islam baru, yang anti
Amerika, di Asia Tenggara, jadi langkah pencegahan perlu diambil. Kunjungan Eni
Faleomavaega (anggota kongres dari Amerika Samoa) dan Hina Jilani (Perwakilan
Khusus PBB pembela HAM) ke Papua tahun 2007 dilihat sebagai bagian dari
strategi AS untuk merebut Papua dari Indonesia.
Penyebab separatisme Papua yang lain,
menurut HTI, adalah tidak meratanya distribusi sumber daya ekonomi, sehingga
meskipun Papua memiliki kekayaan yang luarbiasa, rakyatnya tetap miskin.
Tambang tembaga raksasa Freeport adalah sebuah contoh bagaimana kapitalisme
mengeksploitasi sumberdaya lokal dengan sepuas-puasnya, praktek-praktekekonomi
Islam, secara kontras, akan membawa keadilan bagi semua. Akhir Mei 2008, cabang HTI Papua memimpin
demonstrasi di Jayapura menentang kenaikan harga BBM, dan mengatakan sumber
daya alam seperti minyak dan gas adalah milik rakyat, tapi dengan naiknya harga
BBM, pemerintah membuat rakyat menderita. Ajaran HTI tidak hanya berhasil
membawa pengaruh diantara para pendatang
tapi juga diantara warga Papua asli, atas jasa Mohamed Zaaf Fadzlan Garamatan.
Seorang warga asli Papua yang lahir di Patipi, Fakfak, tahun 1969, ia menjadi
pelopor HTI di antara masyarakat Muslim asli Papua. Setelah menyelesaikan
sekolah di Fakfak, ia berangkat ke Universitas Hasanudin di Makassar untuk
belajar ekonomi dan aktif di berbagai organisasi mahasiswa Muslim. Setelah
lulus, ia membentuk sebuah yayasan Islam di Pondok Hijau, Bekasi, diluar
Jakarta, yang ia sebut Al Fatih Kaafah Nusantara (AFKN), untuk mendukung dakwah
di Papua dan memberi pendidikan gratis bagi ratusan murid Papua, sebagian besar
di pesantrenpesantren di Jawa, Sumatra dan Makassar. AFKN juga memberi beasiswa
universitas kepada Muslim Papua; mereka mengklaim bahwa 29 dari penerima
beasiswa telah mendapat gelar Sarjana.
Mereka juga “Strategi Imperialisme Amerika Memecahbelah Indonesia:
Waspadalah, Wahai Kaum Muslim!”, pernyataan Hizbut Tahrir Indonesia,
5 Juli 2007, di www.hizbut-tahrir.or.id/
2007/07/13/strategi-imperialisme-amerika-memecahbelahindonesia-waspadalah-wahai-kaum-muslim/.
“Mewaspadai Gerakan Separatisme”,
Pernyataan HizbutTahrir Indonesia, 12 Juli 2007. “Kecewa Harga BBM Maik, Gema
Datangi DPRD”, Tiga pesantren di Jakarta dengan murid dari AFKN adalah
Pesantren Assafi’iyah di Jatiwaringin, serta Pesantren Maslakul Irafan dan
Tasfiyah di Jatibening, Pondok Gede. Fadzlan sendiri mengklaim telah membantu
menyekolahkan lebih dari 1,400 anak-anak Papua, tapi yang lain mengatakan
jumlahnya jauh lebih sedikit. Irian, Bumi Allah yang semakin terang oleh cahaya
tauhid, wakaf-alquran.org, 12 November 2007. membantu warga Papua naik haji:
Fadzlan mengatakan bahwa tahun 2007, ia mengirim tujuh orang pemimpin warga ke
Mekkah.
Ia pun punya hubungan kuat dengan
organisasi Islam di Jakarta. Selain HTI,
ia juga dekat dengan Forum Umat Islam (FUI) yang diketuai oleh Mashadi, mantan
politikus PKS yang berada di garis depan kampanye untuk menegakkan Syariah
Islam dan melarang “aliran sesat”. Kalau mengenai kontak politiknya, ia dekat
dengan Mochtar Ngabalin, anggota Partai Bulan Bintang dari Papua; ia sendiri
berkeinginan untuk menjadi anggota DPR di tahun 2009.
Dalam sebuah wawancara dengan koran
tabloid milik Hizb ut-Tahrir tahun 2007, Fadzlan mengklaim bahwa Muslim Papua
lah yang memimpin perjuangan melawan penjajah di Papua dan bahwa pusat gerakan
anti penjajah Belanda di Kaimana dan Fakfak bekerja sama dengan pemerintah
Indonesia untuk merebut kembali Irian Barat ke Republik Indonesia. Ia
mengatakan Kristen berusaha bekerja sama dengan OPM membentuk sebuah negara
Kristen, sementara Muslim bekerja sama untuk memperdalam keyakinan mereka dan
rasa nasionalisme mereka,”untuk memperlihatkan bahwa Muslim Papua berpikir
seperti orang Indonesia”. Ia juga mengklaim bahwa Muslim sekarang 65 persen
dari jumlah penduduk Papua, termasuk pendatang (muhajirin) dan warga asli (yang
ia sebut anshar), dan bahwa Kristen mengklaim sebagai mayoritas hanya karena
memasukkan pemeluk animisme ke dalam kelompok statistik mereka.
Enam dari tujuh orang itu adalah Ust.
Abdul Kahar (Jeri Pele) dari marga Araboda, Wamena; Abdul Karim Ogar; Abdul
Qadir Qurita, pemimpin marga Irarutu, Kaimana; Husein Sayyor; Mansur Garamatan;
dan Abdul Salam Peawei. AFKN memperoleh dana untuk kegiatan dakwahnya dari
banyak organisasi Islam di Jakarta. Sumbangan terbesar sejauh ini berasal dari
Baitul Maal Muamalat (BMM), divisi sosial dari bank Islami terbesar di
Indonesia. Bersama dengan BMM, Fadzlan memulai bisnis penjualan produkproduk
dari Papua, seperti ika asin dan manisan, ke supermarket-supermarket di Jakarta
seperti Carrefour, dengan label AFKN-BBM. Ia percaya mesjid seharusnya
berfungsi sebagai pusat usaha untuk ummat.
B. SALAFI DI PAPUA
Rakyat Papua pertama kali mengetahui
tentang salafisme, atau neo-wahabi lewat Ja’far Umar Thalib dan Laskar Jihad.
Manhaj yang sangat puritan dalam mempraktekkan Islam tumbuh dengan pesat di
Indonesia tahun 1990an, atas hasil kembalinya para lulusan dari
universitas-universitas di Arab Saudi dan Yemen.
Kekhawatiran atas peran dan reputasi
Laskar Jihad tahun 2002 menyebabkan perpecahan di dalam gerakan ini, dan
akhirnya pembubaran Laskar Jihad. Akibatnya sebagian besar anggota mereka
kembali ke Jawa; dan hampir seluruh dari yang tinggal di Papua bergabung dengan
faksi salafi saingan, yang dipimpin oleh Umar Sewed, seorang ustadz yang
berbasis di Cirebon. Masyarakat salafi berkembang, tapi tidak secepat HTI. Para pendakwahnya tidak terlalu berhasil
diantara penduduk asli Papua Muslim; sebagian besar anggotanya pendatang.
Mereka mendirikan yayasan Islam di kota-kota untuk mendukung kegiatan dakwah.
Di Sorong, basis dari bekas Laskar Jihad ada sebuah sekolah yang didirikan oleh
Yayasan Ta’dhimus Sunnah; beberapa mesjid disana mengadakan pengajian salafi.
Di Jayapura, masyarakatnya
belum berhasil mendirikan yayasan atau sekolah tapi punya forum publik berkala
dan kelompok-kelompok pengajian kecil di rumah Abu Zahwaa (Ustadz salafi
terkemuka disana), dan di salah satu mesjid utama di Jayapura. Jumlah ustadz
salafi sangat sedikit disana sehingga salafi Jayapura sering menghadirkan
ustadz dari Jawa lewat telepon untuk diskusi-diskusi, termasuk Umar Sewed dari
Cirebon, Abu Hamzal Yusuf al-Atsary dari Bandung, dan Usama bin Faishol Mahri
dari Malang. Tidak seperti HTI, para salafi tidak pernah mengangkat Papua
sebagai masalah politik di diskusi-diskusi mereka. Mereka fokus pada
prinsip-prinsip agama dan memerangi pemujaan terhadap berhala dan kesesatan.
Meskipun begitu, sebagian besar dari mereka percaya bahwa Papua Kristen ingin
berpisah dari Indonesia untuk membentuk negara Arafuru Kristen.
Namun rekan-rekannya tidak tertarik lagi
dengan jihad. “Tidak ada lagi jihad”, katanya datar,” atau paling tidak jihad
kita tidak lagi lewat perang tapi lewat penyebaran pengetahuan”. Mereka tetap
sangat berpegang teguh pada prinsip al-wala wal bara (cinta dan benci di dalam
Islam), atau dalam istilahnya, mencintai Islam dan membenci kafir.
C. JEMAAH TABLIGH
Organisasi pendakwah Muslim, Jemaah
Tabligh patut untuk dikemukakan disini, bukan sebagai kelompok garis keras,
karena Jemaah Tabligh memang bukan garis keras, tapi karena banyak warga Papua
yang tidak bisa membedakan tablighi, demikian anggotanya disebut, dengan Laskar
Jihad karena cara berpakaian mereka yang sama: wanitanya kerapkali memakai
cadar, dan laki-lakinya sering berjenggot dan mengenakan baju panjang putih dan
turban. Sebuah gerakan internasional yang non-politis, dan tidak menganut
kekerasan yang didirikan tahun 1920an di Lucknow, India, dan masuk ke Indonesia
tahun 1952, Jemaah Tabligh bertujuan untuk memperbaiki karakter moral kaum Muslim
dan mengajak Muslim mempraktekkan agama Islam dengan lebih baik.
Ia toleran dengan agama lain,
kegiatannya hanya ditujukan kepada umat Islam dan tidak tertarik menarik umat
dari agama lain masuk Islam. Seperti agama Mormon, anggotanya wajib melakukan
tugas dakwah (menurut istilah mereka: keluar); tablighi wajib keluar (melakukan
tugas dakwah ke lapangan) selama 40 hari setiap tahun, biasanya satu kelompok
terdiri dari lima hingga limabelas anggota.
Banyak orang Indonesia yang pergi ke
Malaysia, Bangladesh atau India, dan banyak tablighi dari Asia Selatan yang
datang ke Indonesia, terutama ke wilayah timur Indonesia. Bulan Januari 2002,
media Indonesia memberitakan penangkapan enam orang dari Afghanistan yang
mungkin terkait dengan al-Qaeda di Sorong;
Jemaah Tabligh mulai berkembang di Indonesia pada tahun 1970an
atas upaya seorang ustadz Indonesia dan bekas perwira Angkatan Darat, Muhammad
Zulfakar. Sekarang mereka memiliki dua markas utama, satu di daerah Kebun
Jeruk di Jakarta, yang kedua di Pesantren al-Fatah di Temboro,
Magetan, Jawa Timur. ternyata mereka adalah tablighi dari Pakistan yang sedang
menjalankan tugas dakwah mereka.
Tablighi, seperti salafi, percaya bahwa
Rasul memberi panutan bagi Muslim untuk diikuti, dan mereka berusaha mencontoh
segala sesuatu yang dilakukan oleh Nabi Muhammad, tanpa menyesuaikan waktu atau
tempat. Contohnya, mereka menggosok gigi bukan dengan sikat gigi plastik tapi
dengan batang kayu kecil yang disebut siwak, sama dengan yang katanya digunakan
oleh Rasul jaman dulu. Karena ada hadits yang mengatakan bahwa Rasul makan
dengan menggunakan tiga jari, tablighi juga mengikuti, walaupun agak lebih
sulit disini karena budaya makan nasi dibandingkan dengan budaya makan roti di
Arab pada abad ketujuh. Mereka menolak berdebat mengenai Fikih, yang hanya akan
memecah belah ummat, dan mereka menolak diskusi yang topiknya dianggap
kontroversial, seperti politik atau jihad. Jemaah Tabligh tiba di Papua tahun
1988, setelah sekelompok tablighi yang mengadakan pertemuan di Jakarta memutuskan
untuk mengirim sepuluh orang anggotanya ke Jayapura selama tiga bulan.
Mereka mendirikan sebuah basis di sebuah
mesjid di wilayah Hamadi dan memberi nama “Serambi Madinah”. Sejak saat itu
tempat ini menjadi markas mereka di Papua. Dua basis mereka yang lain yaitu di
Sorong dan Kampung Makassar di Manokwari. Seorang anggota Jemaah Tabligh
memperkirakan ada sekitar 1,000 anggota mereka di Jayapura dan Sorong, dan
sekitar 500 di Manokwari. Dan jumlah yang lebih kecil di Kaimana, Fakfak,
Nabire, Merauke dan Wamena. Sebagian besar tablighi di Papua adalah pendatang,
tapi sejumlah penduduk asli Papua Muslim juga ikut bergabung, terutama di
sekitar Kaimana dan Fakfak.Tidak ada diskusi mengenai politik Papua di
pertemuan-pertemuan tablighi; anggotanya percaya hal itu hanya akan mengganggu
misi mereka. Jemaah Tabligh mengadakan pertemuan secara terbuka dan siapa saja
bisa ikut, tetapi masih banyak orang yang salah paham mengenai mereka dan tidak
bisa membedakan mereka dengan kelompok-kelompok Islam yang lebih militan. “Keresahan
Warga Kristen di Papua – Papua Ambon III?”, 2 April 2002, at
www.geocities.com/kariu67/jk050402.htm. Pertemuan tersebut dipimpin oleh
seorang tablighi
bernama Dr A.A. Noor di Rumah Sakit Paru-Paru, dekat
Tanjung Priok, Jakarta.
D. PANTEKOSTA DAN KHARISMATIK
Papua juga menyaksikan datangnya
gereja-gereja kelompok pantekosta dan karismatik, yang disebut juga sebagai
pantekosta baru (neo-pantekosta), belakangan ini. Gereja-gereja dan kelompok
ini dikenal kontroversial, bukan saja karena mereka mengklaim menarik Muslim
pindah ke agama mereka, sehingga membuat mereka berselisih dengan masyarakat
Muslim, tapi juga karena kadang-kadang mereka mendapat sokongan dari pemerintah
atau militer, sehingga menjauhkan mereka dari kelompok-kelompok gereja
setempat.
Aktif di beberapa kota di
Papua, dalam hal doktrin dan praktek agama, gerakan karismatik dan pantekosta
hampir mirip, dan mereka mempraktekkan “sebuah kualitas cara ibadah ekspresif
yang dinamis dan secara fisik demonstratif”.
Dalam hal bentuk organisasi, mereka
berbeda. Gereja-gereja punya lokasi dan jemaat yang tetap, sementara karismatik
cenderung untuk bertemu dalam sel-sel atau kelompok-kelompok sembahyang yang
berpindahpindah dari satu tempat ke tempat lain; contohnya Yayasan Filadelfia
dan Full Gospel Businessman’s Fellowship yang berbasis di California.
Sel-sel tersebut dipakai untuk merekrut
anggota baru, seperti halnya kelompok-kelompok Muslim radikal bergantung pada
kelompok-kelompok pengajian kecil untuk mengidentifikasi anggota yang mungkin
bisa direkrut. Ketika mencapai jumlah anggota yang cukup, mereka bisa
mendirikan sebuah gereja. Sebagian besar karismatik menganggap diri mereka
bersifat antar-denominasi, jadi mereka ingin organisasi yang lebih formil.
Karismatik menekankan pada Roh Kudus dan penyembuhan Ilahi. Mereka
percaya Roh Kudus memasuki orang-orang setelah mereka dibaptis dan memberi
karunia berbahasa lidah (speaking in tongues), dimana seseorang
tiba-tiba mengeluarkan kata-kata yang asing atau bahasa yang belum pernah
dipelajari.
Namun beberapa warga Papua pindah ke
kelompok baru ini untuk melarikan diri dari aparat, dan sebagai kesempatan
untuk memiliki hubungan tanpa perantara dengan Tuhan. Farhadian mengemukakan
bahwa meskipun semua penganut pantekosta adalah karismatik, tidak semua
penganut karismatik adalah pantekosta; mereka mungkin bagian dari jemaat lain.
Sebuah contoh kejadian yang sering
dikutip yaitu kejadian Agnes N. Oznan,
yang setelah dibaptis di AS katanya tiba-tiba langsung bisa berbahasa China
dengan lancar, sementara cahaya, yang dianggap sebagai bukti kehadiran Roh
Kudus, terlihat di sekitar wajah dan kepalanya. Karunia roh kudus juga
dipercaya menyebabkan mukjizat-mukjizat, seperti membuat yang buta jadi bisa
melihat, yang lumpuh bisa berjalan dan yang tuli bisa mendengar. Mereka juga
mengajarkan “teologi sukses”, yang menghubungkan keyakinan dengan kekayaan dan
kesuksesan. Orang yang beriman adalah orang yang kaya; kemiskinan, penyakit
atau penderitaan adalah tanda kurang beriman. Seperti yang digambarkan oleh
seorang pendeta,” kalau orang yang berdosa punya mobil Toyota, maka yang saleh
pasti akan mendapat mobil BMW”.
Salah satu penjelasan mengapa doktrin
ini populer di Papua adalah karena doktrin ini sangat bertautan dengan agama
Melanesia orang-orang Papua asli. Penginjilan yang agresif dari kedua kelompok
tersebut telah menimbulkan perasaan tidak senang di kalangan denominasi
Protestan mainstream, yang anggotanya banyak yang pindah ke gerakan ini. Juga
ada tuduhantuduhan bahwa kelompok-kelompok evangelis didorong oleh motivasi
ekonomi. Mereka berkhotbah bahwa setiap anggota harus berzakat, dengan
memberikan sepersepuluh dari penghasilan mereka kepada gereja, jadi lebih
banyak anggota berarti lebih banyak pendapatan bagi para pengkhotbah. Kelompok
ini juga menujukan dakwah mereka kepada
non-Kristen, sehingga menimbulkan kemarahan diantara pemeluk agama lain,
terutama ketika ada kesan bahwa boleh menggunakan cara apapun untuk menarik
pemeluk agama lain ke agama mereka. Dalam sebuah kasus yang banyak diberitakan
di tahun 2003, dua pendeta gerakan karismatik, Muhammad Filemon, yang dulunya
Muslim, dan Fachli Bachriudin, menyebarkan VCD-VCD berisi khotbah-khotbah
mereka. Filemon mengklaim bahwa ia telah membaptis salah seorang da’i terkenal
di Indonesia, Zainuddin MZ, sementara Fachli mengaku pernah membaptis 68 kiai
dan 400 lebih anggota Laskar Jihad di Sukabumi, Jawa Barat. Klaim tersebut
menimbulkan badai reaksi, terutama setelah sebuah investigasi oleh majalah
Kepercayaan penduduk asli kadang digambarkan sebagai “pemujaan barang”, yang
menghubungkan kedatangan orang asing dengan harapan untuk mendapat akses ke
barang-barang dan keselamatan spiritual.
Gatra memperlihatkan bahwa pengakuan
mereka tersebut tidak benar. Sejak akhir tahun 1980an – lama sesudahnya di tempat-tempat seperti Kaimana – kelompok ini
mengadakan Kebaktian-kebaktian Kebangunan Rohani (KKR) di Papua. Gereja Bethel
Indonesia (GBI) dan Gereja Bethani adalah dua pengorganisir KKR yang paling
aktif. Pada bulan April 2008, GBI ROCK (singkatan dari Representatives of
Christ Kingdom/Utusan Kerajaan Kristus) mengadakan sebuah KKR di Sorong,
menghadirkan pendeta Timotius Arifin, seorang “teologis sukses” dari Surabaya.
Tokoh Gereja Bethel lain yang aktif
mengadakan KKR di Jayapura dan yang paling akhir di bulan Februari 2008 di
Sorong, adalah pendeta Kirenius Bole dari Yayasan Filadelfia Indonesia (YFI)
yang berbasis di Jakarta. Bole adalah seorang pendeta dari Jayapura yang juga
sekretaris YFI. Pada bulan Februari 2007, bekerja sama dengan Pondok Daud
(kelompok yang menurut seorang cendekiawan Protestan digambarkan sebagai
“karismatik ekstrim”), ia mengadakan Kebaktian Pujian dan Penyembuhan Ilahi di
lapangan Papua Trade Centre di Entrop, Jayapura. Ribuan orang
berbondong-bondong dating untuk mendengar tim suami istri pendeta Jacob
B.Sumbayak dan pendeta Susan Sumbayak, pendiri yayasan Pondok Daud. Kelompok
ini menjadi topik berita utama di tahun 2005 di sebuah majalah mingguan
terkemuka yang membahas apa yang mereka sebut sebagai praktek-praktek pemujaan.
Kelompok karismatik lain yang
pengaruhnya semakin bertambah di Papua adalah Full Gospel BusinessMen’s
Fellowship International. Berbasis di Irvine, California, mereka mengklaim
memiliki 5,000 cabang di 160 negara dan lebih dari satu juta anggota. Presiden
kelompok ini untuk seluruh Indonesia adalah H.B.L.
Mantiri, pensiunan jendral angkatan darat dan bekas duta besar
Indonesia untuk Singapura; cabang di Papua diketuai oleh Julius T. Subay. Pada
bulan Mei 2007, kelompok ini menghadirkan seorang evangelis Amerika, John
Hartman, dan sebuah tim dari Television Crusade with Gospel Overseas
Television Network ke Papua untuk menyelenggarakan sebuah KKR di Jayapura.
Seperti di acara Pondok Daud tiga bulan yang lalu, diperkirakan sekitar 20,000
orang memenuhi lapangan Papua Trade Centre untuk mendengarkan khotbah mereka.
Mungkin evangelis dari luar negri yang
paling terkenal di Papua adalah pendeta Peter Youngren dari Kanada, yang sudah
bolak-balik ke Papua selama tujuh tahun, mengadakan KKR di Jayapura, Manokwari
dan Merauke. Pertumbuhan kelompok-kelompok karismatik ini tidak bisa dipisahkan
dari dukungan kuat yang mereka peroleh dari beberapa pejabat lokal dan aparat
keamanan. Satu ciri dari kelompok karismatik yaitu bahwa mereka condong ke pusat
kekuasaan politik dan ekonomi. Oleh karena itu, tidak seperti kelompok-kelompok
Katolik atau Protestan mainstream, mereka diam mengenai masalah politik Papua
atau aktif mendukung pemerintah, yang mereka khotbahkan sebagai wakil Tuhan di
bumi; jadi kalau mengkritik pemerintah berarti mengkritik Tuhan. Pada tahun
2001, hampir seluruh biaya penyelenggaraan sebuah KKR besar berjudul Festival
Papua 2001, dengan dihadiri pendeta Youngren, ditanggung oleh pemerintah
daerah, termasuk biaya perjalanan seluruh peserta, menurut Dr. Benny Giay,
seorang pastor Protestan mainstream terkenal.
Ia mengatakan aparat keamanan menyiapkan 40
truk untuk membawa para peserta dari seluruh Papua. Festival ini berlangsung
hanya beberapa hari setelah TNI membunuh seorang pemimpin gerakan
pro-independen dan pemimpin adat, Theys Eluay, yang saat itu ketua Dewan
Presidium Papua. Giay mengatakan Youngren mencoba meredakan kemarahan rakyat
Papua atas pembunuhan itu dengan mengklaim bahwa kematian Theys adalah rencana
Tuhan, bukan pelanggaran HAM oleh negara Indonesia. Kalau Youngren benar-benar
bisa memperlihatkan mukjizat dari Tuhan, kata Giay, harusnya dia memanggil
suara Theys Eluay dari kubur untuk menjelaskan ke para peserta bagaimana dia
dibunuh dan oleh siapa.
Kecenderungan acara-acara KKR yang
memamerkan orang-orang yang baru pindah agama juga menyebabkan perselisihan
dengan umat Muslim. Orang-orang ini bersaksi terhadap agama baru mereka
dihadapan massa, di tempat-tempat publik, seringkali dengan menggunakan
pengeras suara, dengan cara yang sangat menyinggung perasaan pemeluk agama yang
ditinggalkan mereka. Contohnya di bulan Februari 2008 di Sorong, seorang
perempuan dari Madura, Siti Muslika, tampil di sebuah KKR dan bersaksi
bagaimana sebelumnya ia adalah Muslim dan sekarang bahagia karena telah
menemukan Kristus. “Pindah agama seharusnya adalah urusan pribadi, bukan
sesuatu yang dilakukan di depan umum untuk menjelek-jelekkan Islam. Itu buat
kita marah”, kata seorang Muslim di Sorong.
VIII. KESADARAN BARU SOAL SEJARAH
Penemuan kembali oleh pengamat Muslim
mengenai kehadiran Islam yang sudah lama di Papua akan menjadi sebuah
perkembangan positif kalau hal ini mendorong dilakukannya riset akademis
mengenai sejarah awal Papua. Tetapi sejarah mudah dipolitisir, dan beberapa
pengamat Muslim menggunakan fakta tentang pedagang Muslim yang sudah ada di
Papua sebelum misionaris Kristen, untuk menunjukkan bahwa Islam adalah agama
asli Papua, sama seperti gerakan “Balik Islam” di Filipina. Apakah Islam dibawa
ke “Nu Waar” oleh pedagang dari Gujerati tanggal 17 Juli 1214, klaim seorang
ustadz Papua; oleh seorang pedagang Hadrami, menurut yang lain; atau lewat
kesultanan Bacan di Maluku Utara tahun 1569, tidak penting buat para pengamat
ini.
Tanpa menyelidiki sejauh mana Islam
masuk antara abad ketigabelas dan sembilanbelas, implikasinya terhadap sejarah
populer yang baru yaitu bahwa misionaris asing bertanggung jawab atas
Kristenisasi di sebuah tanah Muslim; bahwa penjajah Kristen kemudian
melenyapkan semua jejak Islam di Papua; dan bahwa tidak hanya Papua Muslim saja
tapi juga seluruh warga Muslim Indonesia harus melipatgandakan upaya untuk
merebut kembali posisi yang hilang dan melaksanakan kekuasaan yang sudah
menjadi hak mereka. Seminar-seminar sejarah sekarang menjadi acara tambahan yang populer di acara-acara Muslim
di Papua. Seminar yang paling akhir berlangsung tanggal 23 April 2008 di Fakfak
terkait dengan acara Musabaqah Tilawatil Qur’an (MTQ) di stadiun olahraga
setempat.
Seminar yang berjudul “Geliat Muslim
Irian: Antara Sejarah, Kiprah dan Tantangannya”, adalah satu dari Gerakan Balik
Islam (Return to Islam) berpendapat bahwa warga Filipina Kristen yang masuk
Islam, banyak dari mereka setelah bekerja sebagai pekerja di Timur Tengah,
sebenarnya balik ke agama asli mereka. Lihat Crisis Group Asia Report NÂș110, Philippines Terrorism:
The Role of Militant Islamic Converts, 19 December 2005. Untuk referensi
mengenai Islam sebagai agama asli Papua, lihat “Kiprah Misionaris di Papua”, Hidayatullah,
6 Januari 2006.
Bahkan mereka yang menerima tanggal
waktu yang lebih belakangan berargumentasi bahwa Papua termasuk dalam kerajaan
Hindu Majapahit, dari Jawa, oleh karena itu sudah dari dulu Papua menjadi bagian dari
Indonesia, bukan merupakan
konstruksi penjajah yang kemudian dilampirkan menjadi bagian dari Republik
Indonesia.
“Sejarah Islam di Papua”, Republika, 18 April 2008, serangkaian
kegiatan yang didanai oleh AFKN (dari Hizb ut-Tahrir) bersama dengan pemda
kabupaten Fakfak. Bupati mengatakan kepada para wartawan bahwa salah satu
alasan diselenggarakannya program ini adalah untuk “membuka mata dunia bahwa
Irian tak identik dengan non Muslim”. Di saat yang sama, bupati menekankan
bahwa 25 persen dari tim panitia untuk acara ini adalah warga Kristen setempat,
dan spanduk-spanduk yang digelar di seluruh kabupaten berbunyi “Satu Keluarga,
Tiga Agama” (Islam, Katolik dan Protestan). Partisipasi antar agama di acara
ini di satu pihak adalah sebuah tanda toleransi tradisional di Fakfak, tapi
kenyataan bahwa hal ini harus begitu digembar-gemborkan kepada umum
memperlihatkan tingkat perseteruan yang lebih tinggi.
Sementara itu, pada tanggal 26 April
2008, di pulau Biak dan Supiori, bagian barat Manokwari, umat Kristen merayakan
100 Tahun Pekabaran Injil (PI) di Teluk Maudori, Kabupaten Supiori, Papua,
dengan pernyataan Supiori sebagai “Pulau Injil” – sebuah tindakan yang pasti
selanjutnya akan menjadi topik bahasan dalam diskusi-diskusi sejarah agama di
Papua.
IX. MEREDAM KETEGANGAN?
Di tengah-tengah ketegangan ini, sebuah
lembaga baru lahir yang mungkin bisa memainkan peran mediator di masa
mendatang. Pada tanggal 13 April 2007, Majelis Muslim Papua (MMP) didirikan di
Jayapura sebagai lembaga Muslim asli Papua yang bertekad untuk menegakkan
identitas budaya rakyat Papua dan nilai-nilai universal Islam. Lembaga ini
adalah hasil perkembangan dari Solidaritas Muslim Papua, sebuah kelompok yang
didirikan tahun 1999 yang pendirinya termasuk beberapa Muslim dari gerakan
pro-independen.
MMP mengumumkan di dalam Muktamar
Pertamanya bahwa anggota MMP terdiri dari Muslim yang berasal dari “Tujuh
wilayah adat di Papua” yang bertekad untuk menegakkan prinsip-prinsip moderat,
toleran, tegak, seimbang, dialog, demokrasi, dan aturan hokum dan HAM. Secara spesifik, MMP menyatakan bahwa
tujuannya adalah “membangun jamaah yang tidak eksklusif, tidak juga untuk
melancarkan Islamisasi, apalagi untuk membangun fundamentalisme agama yang bisa
menjurus pada gerakan-gerakan radikal, tapi untuk bergandengan tangan dengan
Pemerintah Daerah untuk menegakkan keadilan dan kemakmuran rakyat”.
A.
REKOMENDASI-REKOMENDASI DARI MAJELIS MUSLIM PAPUA
Rekomendasi-rekomendasi yang lahir dari
Muktamar MMP termasuk komentar yang jitu mengenai situasi sosial dan politik di
Papua. Dikatakan bahwa gerakan reformasi saat ini sedang “terancam oleh
kelompokkelompok politik dengan kecenderungan menggunakan intimidasi fisik,
anarki dan premanisme politik” untuk mencapai tujuan mereka dengan cara yang
merusak kebebasan berekspresi dan berorganisasi – sebuah sindiran terhadap
beberapa kelompok Islam garis keras yang menyebabkan kekhawatiran diantara umat
Kristen di Papua. Rekomendasi ini mengutarakan keprihatinan atas tanda-tanda
politik antar agama yang mengancam ke arah “perpecahan horisontal” di tingkat
daerah maupun nasional. “Perkembangan di Papua”, lanjut rekomendasi tersebut,
“tidak bisa tidak seperti kelompok-kelompok Muslim lain yang didominasi oleh
para pendatang, MMP menyebut UU Otonomi Khusus 2001 untuk Papua merupakan “sebuah
peristiwa yang penting dan bersejarah”, walaupun belum diimplementasikan secara
efektif.
Mereka mendesak pemerintah pusat,
pemerintah daerah, DPRD dan Majelis Rakyat Papua (MRP) –seperti yang sudah
dikemukakan diatas, MRP adalah lembaga yang didirikan untuk melindungi budaya
Papua – untuk melakukan yang terbaik untuk menjadikan otonomi khusus menjadi
sebuah rahmat, bukan kutukan. Mereka secara tajam mengkritik MRP karena telah
menjadi terlalu dipolitisir dan berpihak –meskipun kenyataannya ketua umum MMP,
Arobi Achmad Airtuarauw, adalah anggota MRP. Dan mereka menutup rekomendasinya
dengan mendesak
pemerintah untuk menegakkan hukum dan undangundang dan melindungi
HAM, termasuk mendirikan sebuah pengadilan HAM di PAPUA dan membentuk sebuah
komisi kebenaran dan rekonsiliasi di Papua.
MMP meneruskan membangun cabang-cabang
di hampir setiap kabupaten di Papua. Tapi ironisnya, gagal di Fakfak, wilayah
dimana Muslim asli Papua paling banyak, kelihatannya karena bupatinya mendukung
Hizb ut-Tahrir dan AFKN – kedua organisasi ini melihat MMP sebagai separatis.
Tapi meskipun MMP mungkin tidak mengklaim Fadzlan Garamatan sebagai salah satu
anggotanya, anggota MMP termasuk beberapa tokoh yang dianggap sebagai
pro-Indonesia. Ketika ketegangan naik di Kaimana, beberapa anggotanya memainkan
peran
penting dalam meredakan emosi di kedua belah pihak.
B. INSTITUSI-INSTITUSI LAIN
Sejumlah kecil institusi lain, apakah
itu LSM, lembaga agama atau badan-badan pemerintah, tampaknya punya pengaruh
untuk mengurangi ketegangan. Beberapa pengamat Papua jangka panjang berpendapat
bahwa Rekomendasi Majelis Muslim Papua, Bidang Hukum dan Hak Asasi Manusia, no.1, in Hasil-Hasil,
op. cit. hal. 50.
Ketentuan yang paling akhir dari rekomendasi di bagian hak asasi
manusia merupakan desakan kepada Presiden Yudhoyono untuk “menghentikan
dukungan kepada AS yang mengintervensi hak intelektual Iran dalam mengembangkan
program nuklirnya”.
Sebuah kemungkinan yaitu gerakan Zona
Perdamaian, yang dimulai tahun 2002 oleh Sekretariat Keadilan dan Perdamaian
(SKP) yang berbasis di Jayapura dari Gereja Katolik. Meskipun tujuan utamanya
adalah memastikan solusi non-militer terhadap konflik politik diantara negara
Indonesia dan gerakan proindependen Papua, sebuah kertas kerja yang disiapkan
untuk sebuah pertemuan di tahun 2003 Menggarisbawahi pentingnya toleransi dan
kebutuhan untuk mencegah diskriminasi, menghilangkan sentiment “primordial”
berdasarkan ras, agama dan etnis, dan memulai dialog diantara para pemimpin
agama.
Masalahnya adalah meskipun SKP punya
kontak sangat bagus di akar rumput Katolik, tapi kemampuannya untuk menjangkau
hingga ke para elit dari kelompok agama yang lain agak terbatas. Selain itu,
fokusnya selama ini yaitu pada apa yang dilihat sebagian besar rakyat Papua
sebagai konflik yang lebih penting, bukan ketegangan antar-agama.
Kelompok kerja (pokja) agama MRP terdiri
dari delapan pemimpin agama Protestan, empat Katolik dan dua Islam, satu dari
Kaimana dan satu lagi dari Wamena di pegunungan tengah, tapi mereka tidak
memainkan peran apapun ketika ketegangan di Manokwari dan Kaimana mencapai
tahap kritis. Komisi Perdamaian Papua, yang didirikan tahun 2002 sebagai hasil
dari perkembangan gerakan “zona perdamaian”, juga tidak bisa menjadi pilihan.
Bertujuan untuk mengakhiri kekerasan di Papua diantaranya dengan cara advokasi
menarik pasukan TNI, komisi ini menyadari pentingnya mencegah konflik antara
pendatang dan warga asli Papua. Tetapi di tahun 2004, ketua komisi, Benny Giay,
menggambarkan upaya mereka seperti “sebuah upaya merebus batu yang tidak pernah
akan matang”, karena kurang dukungan dari TNI, dan sejak itu komisi ini tidak
terdengar lagi.
Kalau pilihan lain tidak ada, mungkin
sebaiknya dibentuk yang baru. Salah satu model yang mungkin, meskipun dibentuk
dalam situasi yang sangat berbeda, yaitu Maluku Media Centre, yang dibentuk di
Ambon sebagai forum bagi para wartawan yang menulis untuk koran Kristen dan
Muslim untuk berbagi informasi dan memastikan tulisan yang lebih berimbang
disampaikan kepada pembaca. Masyarakat di Papua tidak tersegregasi seperti di
Maluku pada saat konflik, tapi gagasan untuk memakai pendekatan berbasis media
untuk memulihkan konflik, dengan melibatkan jurnalis dari kedua belah pihak
masyarakat dan menjangkau pendengar massal lewat media cetak, radio dan TV,
patut diberi perhatian.
X. KESIMPULAN
Potensi konflik antar agama di Papua
tinggi karena kedua belah pihak menganggap dirinya sebagai korban. Warga Papua
asli yang Kristen merasa terancam dengan mengalir masuknya pendatang Muslim;
pendatang Muslim merasa demokrasimungkin menuju ke arah tirani kelompok
mayoritas, dimana dalam jangka panjang mereka akan menghadapi diskriminasi atau
bahkan pengusiran. Meskipun ada keretakan dan perpecahan yang signifikan di
kedua belah pihak masyarakat, terutama mengenai nasionalisme yang bersaing
(Indonesia vs Papua), perkembangan di Manokwari dan Kaimana mungkin menjadi
pertanda lebih banyak bentrokan yang akan terjadi. Perubahan dalam demografi
adalah bagian dari persoalan, tapi bahkan kalau besok para pendatang dari luar
Papua disetop datang, polarisasi antar agama mungkin akan terus berlanjut
karena perkembangan lain.
Warga Papua Kristen sangat menyadari
terjadinya penyerangan-penyerangan terhadap gereja-gereja di daerah lain di
Indonesia dan melihat Indonesia secara keseluruhan bergerak menuju dukungan
yang lebih banyak kepada ajaran Islami. Muslim dari luar Papua mudah sekali
digalang untuk membela apa yang mereka lihat sebagai penghinaan terhadap sebuah
masyarakat yang diserang dan memperkuat jumlah masyarakat Islam lewat dakwah
dan bentuk dakwah yang lain. Dengan terus bertambahnya kabupaten-kabupaten baru
sebagai akibat proses desentralisasi di Indonesia, kemungkinan sentiment antar
agama dimobilisasi untuk kepentingan politik local sangat tinggi. Para pemimpin
di semua tingkatan pemerintah harus waspada terhadap ketegangan yang sedang
terjadi saat ini dan melakukan segala hal dengan kekuasaan mereka untuk
memastikan setidaknya keadaan ini tidak semakin memburuk.
RINGKASAN IKHTISAR DAN REKOMENDASI
Di Papua, Indonesia, bentrokan antara
pendukung gerakan pro-kemerdekaan dengan aparat keamanan kerap terjadi. Namun,
konflik antara umat beragama yaitu umat Islam dan Kristen juga bisa terjadi
bila tak ditangani secara efektif. Pada 2007 kekerasan yang nyaris terjadi
dapat dihindari di Manokwari dan Kaimana di propinsi Papua Barat. Tapi, tetap
saja ketegangan itu menyisakan perasaan sakit hari di kedua belah pihak.
Penyebab utamanya yaitu perpindahan penduduk Muslim dari daerah lain di Indonesia
ke Papua yang terus berlangsung; munculnya kelompok-kelompok baru yang bersifat
eksklusif di masyarakat Islam maupun Kristen yang telah memperkuat persepsi
bahwa agama yang lainadalah musuh; dampak yang tidak hilang-hilang dari konflik
Maluku; dan pengaruh dari perkembangan di luar Papua. Pemerintah daerah maupun
pusat perlu memastikan bahwa tidak ada peraturan daerah yang diskriminatif yang
dijadikan undang-undang dan tidak ada kegiatan oleh organisasi agama yang
eksklusif yang dibantu oleh dana pemerintah. Peristiwa Manokwari, yang terjadi
dalam selang waktu lebih dari dua tahun, memperlihatkan beberapa perubahan-perubahan
tersebut. Dimulai pada tahun 2005, ketika masyarakat Kristen menggalang massa untuk
mencegah dibangunnya sebuah Islamic Centre dan mesjid di daerah dimana
misionaris Jerman membawa agama Kristen masuk ke Papua pada pertengahan abad
kesembilanbelas. Kemarahan masyarakat Muslim merembet hingga keluar Papua; banyak
warga Muslim di Indonesia, yang baru mengetahui tentang sejarah pedagang Muslim
di aerah tersebut, melihat Islam sebagai
agama asli penduduk Papua dan menganggap penolakan pembangunan mesjid disitu
sebagai hal yang tidak dapat ditolerir. Para pemuka gereja setempat demi melihat
reaksi tersebut percaya bahwa mereka harus memperkuat identitas Kristen
Manokwari, sehingga pada tahun 2007 membuat rancangan peraturan ke DPRD yang menanamkan nilai-nilai dan
simbolsimbol Kristen ke dalam pemerintah daerah dan mendiskriminasikan Muslim dalam
prosesnya.
Rancangan peraturan tersebuthingga saat
ini akhirnya tidak pernah diundangkan tetapi telah memicu kemarahan diantara
masyarakat Muslim di seluruh Indonesia dan semakin menambah perasaan terancam di
kedua belah pihak. Masih perlu dilihat bagaimana tanggapan terhadap rancangan
undang-undang baru yang baru mulai diedarkan akhir bulan Mei 2008. Namun tidak
di Manokwari saja yang masyarakatnya merasa terancam. Banyak penduduk asli
Kristen yang merasa bahwa mereka secara perlahan tapi pasti bakal tersingkir
terancam oleh banjir migrant Muslim ke Papua, pada saat yang sama pemerintah
pusat dipandang mendukung terhadap Islam yang lebih konservatif. Sementara itu,
beberapa pendatang percaya bahwa mereka menghadapi diskriminasi atau bahkan
pengusiran dalam sebuah sistem demokratis dimana warga Kristen bisa melakukan
“tirani kelompok mayoritas”.
Perpecahan antar agama ini diwarnai oleh
politik: Banyak warga Papua Kristen yang menganggap otonomi daerah belum
berjalan cukup jauh, sementara banyak pendatang Muslim yang melihat otonomi
daerah sebagai sebuah bencana dan menjadi pendukung kekuasaan terpusat dari
Jakarta. Di beberapa daerah, ketegangan yang terpendam selama ini dikendalikan
dengan memasang bupati asal Papua yang beragama Kristen dengan wakil bupati dari
luar Papua yang beragama Muslim, dan kekuasaan politik dan ekonominya dibagi
sesuai dengan komposisi tersebut. Pengaturan ini mungkin bisa berjalan di
wilayah seperti Merauke, dimana populasi pendatangnya sudah lebih dari 50
persen, tetapi hal ini bukan jalan keluar bagi daerah yang penduduk
mayoritasnya merasa terancam.
Didaerah dimana resiko konfliknya
tinggi, penduduk asli Papua Muslim, yang sebagian besar terkonsentrasi di
wilayah Kepala Burung di bagian barat laut pulau Papua, bisa memainkan peran
untuk menjembatani kedua belah pihak, terutama lewat sebuah organisasi baru
bernama Majelis Muslim Papua. Organisasi ini secara tegas bertekad untuk
menerapkan nilai-nilai Islam yang universal dan juga sangat berakar pada budaya
dan tradisi Papua. Mereka memiliki kemampuan yang terbukti untuk meredakan ketegangan antar
agama, bekerja sama dengan rekan Kristen
mereka.Tetapi masyarakat asli Muslim pun sedang terpecah, karena semakin banyak
warga yang memiliki kesempatan untuk belajar tentang Islam ke luar Papua dan
pulang dengan pandangan-pandangan yang bertentangan dengan kebiasaan dan
tradisi asli. Akan menjadi kepentingan banyak pihak untuk mendukung sebuah
jaringan Sekolah Tinggi Agama Islam Negeri di Papua yang bisa menghasilkan
ulama-ulama dari warga asli dan mendorong karakteristik moderat yang sudah lama
dianut oleh Muslim Papua. Ada beberapa mekanisme yang bisa dipakai untuk melakukan dialog antar para pemuka agama di
Papua, termasuk kelompok kerja (Pokja) bidang agama Majelis Rakyat Papua, yaitu
sebuah lembaga yang dibentuk untuk melestarikan hak dan tradisi warga Papua,
tapi mereka tidak punya dampak ke akar rumput. Yang lebih efektif ungkin lewat programprogram yangdirancang
untuk mengidentifikasi wilayah-wilayah rawan konflik dan menyusunprogram-programnon-agama
yang bisa member manfaat bagi kedua masyarakat.
REKOMENDASI-REKOMENDASI
KEPADA:
Pemerintah
Pusat:
1.Hindari mendukung kegiatan-kegiatan berbasis agama yang jelas-jelas memiliki agenda
politik, sehingga tidak memperburuk persoalan yang sudah ada, dan enginstruksikan TNI dan Polri untuk memastikan
bahwa para personil yang bertugas di Papua tidak dilihat berpihak kepada salah
satu pihak.
2. Mengidentifikasi pendekatan-pendekatan baru untuk menangani
ketegangan antar agama di tingkat akar rumput, lebih dari sekedar kampanye
dialog antar agama diantara para elit yang seringkali tidak efektif.
3. Bekerja sama dengan pemerintah propinsi untuk mendukung STAIN
(Sekolah Tinggi Agama Islam Negeri) di Jayapura dan memfasilitasi hubungany ang
dekat dengan UIN (Universitas Islam Negri) di Jakarta untuk memastikan bahwa
Papua mengembangkan ulama-ulama dan para guru dari daerahnya sendiri yang mampu
menafsirkan nilai-nilai Islam yang universal dengan cara-cara yang lebih harmonis
daripada bertentangan dengan adat dan tradisi Papua.
Pemerintah
Daerah:
4. Memastikan bahwa pendanaan atau sumbangan keuangan pemerintah
terhadap kegiatan-kegiatan agama dilakukan secara transparan dan diaudit secara
independen, dimana informasi mengenai jumlah dan para penerima dana bisa
dilihat dengan mudah di situs-situs atau di dokumen publik.
5. Menghindari mendanai kelompok-kelompok yang menyerukan
eksklusivitas atau permusuhan terhadap agama lain.
6. Memastikan debat publik mengenai persentase lapangan kerja bagi
warga asli Papua dan dan dampak lebih jauh dari imigrasi penduduk dari luar Papua
ke Papua sebelum menyetujui pembagian daerah administratif lebih lanjut.
7. Menolak peraturan daerah yang diskriminatif.
8. Bekerja sama dengan para donor untuk mengidentifikasi
daerah-daerah yang rawan konflik dimana konflik mungkin bisa diredakan dengan proyek-proyek
non-agama yang melibatkan kerjasama untuk keuntungan bersama bagi seluruh
masyarakat.
Para Donor:
9.Mendukung pelatihan resolusi-konflik bagi organisasi-organisasi yang berbasis di Papua, termasuk
Majelis Muslim Papua dan kelompok kerja bidang agama Majelis Rakyat Papua.
International
Crisis Group (ICG), Jakarta/Brussels,
16 Juni 2008
0 komentar:
Posting Komentar